Selasa, 28 April 2009

ARTIKEL: TOHONAN SINTUA

Pendahuluan
Didalam gereja atau persekutuan Kristen, “Sintua” (Penatua) dikenal sebagai salah satu unsur pelayanan atau petugas gerejawi yang memperoleh tugas pelayanan melalui penahbisan. Dengan penahbisan itu mereka dipilih dan disuruh oleh Tuhan untuk menjalankan suatu tanggung jawab kristiani yakni melayani Tuhan dan melayani sesama. Kemajuan sebuah pelayanan di jemaat (khususnya di gereja HKBP) bukan hanya tergantung kepada pelayanan seorang pendeta dan pelayan – pelayan yang menerima tahbisan (pangula na gok tingki = full time). Sintua mengambil peranan yang sangat penting dalam pelayanan di gereja.. itu sebabnya “tohonan sintua” bukan hanya sekedar pembantu (pangurupi) pendeta, guru jemaat, Bibelvrow, Diakones.
Boleh dikatakan “Tohonan sintua” (Jabatan Penatua) lah “tohonan” yang tertua di gereja mula – mula di Yerusalem setelah jabatan Rasul, Bahkan di gereja HKBP, tohonan sintua merupakan jabatan yang pertama diberikan kepada pelayanan pribumi untuk mendampingi pelayanan para misionaris yang di utus dari Eropah. Hal ini terjadi pada tahun 1867, hanya sekitar 6 tahun setelah babtisan yang pertama di tanah Batak (Tahun 1861 = Lahirnya HKBP). Dari sini kita dapat melihat bahwa tohonan sintua telah meleui perjalanan yang sangat panjang dalam sejarah Kristen baik gereja mula – mula dan juga didalam sejarah gereja Kristen baik gereja mula–mula dan juga di dalam gereja di tanah Batak. Sementara “ohonan guru” baru ditetapkan tahun 1873 sedangkan “tohonan kependetaan” pada tahun 1885.
Tohonan sintua adalah pelayanan yang berat tanggung jawab dan tuntutannya. Beratnya tanggung jawab seorang penatua menyebabkan beratnya pula kualifikasi yang diharapkan dari seorang sintua.

Pengertian “Tohonan”
Menurut Pdt. DR P.W.T. Simanjuntak (mantan Ephorus HKBP periode 1992 – 1998) kata “Tohonan” ditinjau dari perspektif orang batak bersumber dari dua suku kata yakni “toho” dan “an”. Kata “Toho” artinya tepat, sedangkan kata “an” artinya itu. Jika kedua kata itu digabungkan maka dapat di artikan sebagai berikut : “ lebih tepat si anu itu melakukannya ataupun membicarakannya dari pada si Anu ini”. Tohonan maksudnya adalah suatu pekerjaan khusus yang sangat penting yang tidak dapat dilaksanakan atau dilakukan oleh orang lain. Pengertian “Tohonan “itdak dapat disamakan dengan kata “ulaon” sebagai tugas yang tidak dapat diwakilkan dan dicabut. Berbeda dengan gereja – gereja lain yang mengartikan “tohonan” sebagai jabatan. Jabatan yang dapat di cabut dan berperiode.
Dari pengertian di atas, seorang yang menerima “tohonan” adalah seseorang yang sangat tepat untuk suatu pekerjaan yang diembankan kepadanya.

Tentang Nama Sintua ( Penatua)
Dari tulisan Pdt. M.S.M. Panjaitan, MTh. Di dalam Vocatioa Dei STT HKBP Pematang Siantar (Edisi XXXIII – XXXIV Pebruari 1992) yang disadur dari berbagai sumber bahwa istilah yang banyak dipergunakan dalam perjanjian lama untuk menyebut “sintua” atau penatua adalah “Zaken”.
Dalam bahasa Yunani, sintua adalah terjemahan dari kata “presbiter” atau presbyteros. Ada beberapa kali kata itu dipakai dalam Perjanjian Baru, misalnya : Luk 22:66; Kis 14:23; 22:5; I Tim 4 :14; 5:19; Tit 1:5. pada awalnya, kata “resbiter” mencakup pengertian yang sangat luas. Bahkan Rasul Yohanes dan Rasul Petrus menyebut diri mereka sebagai “Presbiter” atau sintua (Lih II Yoh. 1:1; II Yoh 1:1; I Petr. 5:1)
Dalam bahasa Inggris “sintua” terjemahan dari kata “elder” sekalipun kata tersebut boleh diterjemahkan dengan “pangituai” dan bisa juga berarti “sintua”.
Menurut Pdt. DR. Andar Ismail, di gereja Korea, sintua atau penatua disebut “Yang-No-Nim” “Yang” artinya panjang, wibawa, bijak, terpelajar, pemimpin. “No” artinya matang atau tua. Jadi sintua atau penatua adalah seorang yang panjang pikiran , panjang wibawa, panjang sabar, panjang akal, berjiwa pemimpin, yang bijak, matang dalam kepribadiaanya. Pokoknya berperilaku seperti seorang yang patut dituakan.
Menurut Pdt. Prof. DR. F.H. Sianipar, bahwa kata “sintua” dikalangan orang batak baru dikenal setelah kekristenan masuk ke tanah batak. Artinya bahwa kata atau nama “sintua” adalah istilah di dalam gereja yang menunjuk kepada jabatan. Sebelum kekristenan masuk ketanah batak, yang ada “pangituai” seperti “ pangituai ni huta”, yaitu orang yang diandalkan karena kepintarannya, pengalamannya atau karena usianya. Dikatakan lagi, kalau “pangituai ni huta” adalah menunjuk kepada “tohonan” kepada kedudukan seseorang ditengah –tengah masyarakat, sedangkan “sintua” menunjuk kepada “tohonan” ditengah –tengah gereja. Didalam bahasa batak, kedua istilah itu jelas berbeda sesuai dengan fungsinya.

Peranan Sintua
1. Perjanjian Lama
Menurut tradisi perjanjian Lama asal – usul sintua atau penatua sudah ada pada zaman sebelum Israel menjadi satu bangsa. Pada waktu itu, yang dimaksud dengan penatua adalah kepala – kepala suku atau marga, atau pimpinan kelompok masyarakat tertentu. Tetapi setelah terbentuknya lembaga yang mempersekutukan Israel, maka yang dimaksud dengan penatua adalah perwakilan dari seluruh umat, tetapi tidak mempunyai kuasa memerintah atau mengambil keputusan . penatua merupakan suatu badan yang membantu tokoh – tokoh pemimpin seperti Musa dan Yosua dalam hal menyampaikan perintah atau amanah yang datang dari Allah untuk mereka lakukan (baca : Kel 3:16; 18; 4:29; 12:21; 18:12; 19:7; Bil 16:25; Yos 7:6; 8:10; 11:16; Lel 29:1-9).
Setelah umat Israel menjadi satu bangsa yamg berdiam di palestina, mulai dari zaman hakim –hakim sampai zaman kerajaan, peranan sintua semakin besar. Di setiap wilayah atau kota ada yang disebut “Dewan Penatua” dewan Penatua ini mempunyai wewenang untuk memberi keputusan dalam hal yang menyangkut perkara – perkara politis, militer dan hukum.
Tetapi selain penatua – penatua setempat itu, ada juga penatua – penatua yang merupakan perwakilan dari setiap wilayah dan dari setiap wilayan dari setiap suku – suku Israel yang berkumpul untuk membuat keputusan – keputusan umum ( Lih Yos 11:5; I Sam 30:2b; 2 Sam 19:12). Misalnya, penatua – penatua Israellah yang memutuskan supaya bangsa itu mengangkut peti perjanjian dari Silo dalam perang bangsa itu melawan Filistin ( 1 Sam 4:3) Penatua – penatua itu jugalah yang mendesak Samuel untuk mengangkat seorang raja (1 sam 8:4). Ketika Saul berbuat aib, dia menunjukkan penyesalannya di hadapan para penatua Israel (1 sam 15:30). Para penatua itulah yang mengurapi Daud menjadi raja di Israel.
Tetapi ketika birokrasi dari kerajaan Israel itu telah di tetapkan, pengaruh penatua – penatua makin berkurang. Namun dalam situasi – situasi genting, kerajaan masih mengharapkan pertimbangan mereka (1 raja 20:7) dan juga dalam membuat keputusan – keputusan penting (1 raja 21:8,11)

2. Badan Sanhedrin di Yerusalem
Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa di tengah – tengah orang yahudi telah dikenal “dewan penatua” yang diberi kepercayaan memimpin bangsa itu. Dewan dikenal dewan penatua inilah yang kemudian berkembang menjadi Sanhedrin (Ibrani : Synedrion) di dalam umat yahudi. Pada zaman Yesus, Sanhedrin dikenal sebagai mahkamah / pengadilan tertinggi agama yahudi yang berkedudukan di Yerusalem. Anggota – anggotanya terdiri dari imam – imam kepala (Archiereis), ahli – ahli taurat (Frammeteis), dan penatua – penatua atau presbyteroi (Lih Mrk 11:27; 14:43,53; 15:1; bnd Mat 16:21; 27:41). Para penatua yang masuk menjadi anggota Sanhedrin , adalah berasal dari keluarga – keluarga terhormat, atau dari kaum bangsawan yahudi. Pada zaman Yesus, kuasa politis tidak diberikan kepada badan ini. Mereka hanya diberi kuasa untuk melakukan pengadilan dalam batas batas tertentu, yakni yang berkenaan dengan pelanggaran hukum – hukum keyahudian. Karena perannya yang lebih dikhususkan kepada persoalan – persoalan keagamaan, maka dalam perjanjian baru, Sanhedrin diterjemahkan dengan “Majelis Agama” (lih Mrk 13:9). Dengan demikian, istilah “penatua” nampaknya adalah juga gelar kehormatan bagi tokoh – tokoh masyarakat dan tokoh – tokoh keagamaan.

3. Jemaat Mula – Mula
Sintua atau penatua untuk pertama kali ditemukan di jemaat yang ada di Yerusalem. Peranan penatua disebutkan di sana dalam hubungannya dengan pengumpulan kolekte dari jemaat Antiokia bagi orang – orang Kristen di Yerusalem yang sedang mengalami kelaparan. Kolekte yang dibawa oleh Paulus dan Barnabas disampaikan kepada penatua – penatua di Yerusalem untuk disalurkan kepada orang – orang yang membutuhkan nya. Kemudian, ketika terjadi sidang para rasul di Yerusalem (Kisah Rasul 15), para penatua juga ikut dalam persidangan soal pemberlakuan hukum taurat bagi orang Kristen non Yahudi. Para penatua diangkat dari anggota – anggota jemaat untuk secara bersama – sama dengan para rasul untuk memimpin dan menyelesaikan soal – soal yang timbul di tengah – tengah jemaat mula – mula.
Dari nasehat yang diberikan paulus kepada penatua – penatua di Efesus (Kis 20:18-35), kita bisa melihat fungsi dan peranan penatua, dikatakan, mereka telah ditetapkan Tuhan sebagai “pangawas” dan gembala – gembala bagi jemaat itu. Telah dibimbing oleh para rasul mengikut keteladanan mereka, dan menjaga jemaat itu terhadap bahaya – bahaya guru – guru palsu yang datang dari luar dan juga dari dalam jemaat.
Dalam surat Yakobus kita melihat bahwa jika ada dari antara anggota jemaat yang sakit, maka para penatua sebaiknya dipanggil supaya mereka mengusahakan kesembuhan bagi anggota jemaat yang sakit dengan mendoakan dan mengoleskan minyak dalam nama Tuhan (lih Yak 5:14)

4. Gereja HKBP zaman DR. I.L. Nomensen
Setelah gereja berdiri di daerah Silindung, Tapanuli Utara (Tapunuli Utara (Taput ) oleh I.L Nomensen, jabatan sintua atau penatua diberikan kepada orang – orang pribumi untuk membantu para pendeta (missionaries) menjalankan tugas pelayanan di dalam jemaat. Mengingat luasnya pekerjaan yang harus dikerjakan oleh I.L . Nomensen pada waktu itu, sementara dirinya sendiri tidak mempu membina kehidupan kerohanian jemaat yang baru berdiri. Supaya bisa terlepas dari kesulitan itu, Nomensen berfikir, bahwa tugas palayanan itu sebagian harus diserahkan kepada anggota jemaat yang telah dapat memahami dengan baik adat dan sifat masyarakan batak itu sendiri. Pada tahun 1867, I.L Nomensen telah menahbiskan 4 orang putra batak menjadi penatua gereja yang pertama di gereja dame, sait ni huta, Tarutung, Yakni Abraham, Isak, Josep, Jakobus. Ke empat orang inilah yang membantu Nomensen membimbing anggota jemaat yang baru masuk Kristen. Mereka menegur, menasehati dan membawa ke jalan yang benar. Kalau Nomensen berhalangan memimpin kebaktian minggu, salah satu dari mereka berempatlah yang menggantikannya. Karena kebaktian minggu masih sesuatu hal yang baru bagi anggota jemaat, maka tugas penatua dalam hal yang menyangkut kebaktian itu demikian banyak. Pada waktu itu masih banyak anggota jemaat yang suka ribut dalam kebaktian, maka tugas penatua adalah menegor mereka. Apabila seseorang sampai tiga kali ditegor tetapi tetap tidak mau mengindahkan, maka anggota jemaat yang ribut tidak diperbolehkan ikut dalam perjamuan kudus. Apa bila tetap berkeras maka hukuman berikut adalah dikucilkan dari gereja.

Syarat Menjadi Seorang Sintua
Sejak zaman Perjanjian Lama sampai Zaman Perjanjian Baru hingga zaman gereja sekarang, setiap orang yang akan dipilih menjadi penatua harus lah orang – orang yang terpercaya, setia dan mampu menjalankan tugas. Dengan kata lain, mereka harus orang yang bijaksana, dan mempunyai integritas tinggi.
Karena beratnya tugas yang dikerjakan seorang sintua dalam jemaat, Paulus menasehatkan Timotius agar jangan buru – buru menahbiskan seseorang menjadi sintua (1 tim 5:22). Dan orang yang akan diangkat menjadi sintua di jemaat haruslah memiliki syarat –syarat tertentu sebagaimana di dalam 1 Tim 3 :1-7 dan juga Titus 1 :6-9, yakni :
1) Seorang yang tidak bercacat
2) Suami dari satu istri
3) Dapat menahan diri
4) Bijaksana
5) Sopan
6) Suka memberi sumbangan (bertamu)
7) Cakap mengajar orang
8) Bukan peminum
9) Bukan pemarah
10) Peramah
11) Pendamai
12) Bukan hamba uang
13) Seorang kepala keluarga yang baik
14) Disegani dan dihormati oleh anak –anaknya
15) Jangan seorang yang baru bertobat
16) Mempunyai nama baik di luar jemaat

Tentu masih banyak lagi yang dituntut dari seorang penatua dijemaat. Dari syarat tersebut tergambar apa yang patut dikerjakan oleh penatua dalam tugas pelayanan di dalam gereja dan masyarakat.
Dari syarat – syarat yang telah disebutkan di atas, gereja HKBP menentukan dalam aturannya siapa yang layak menjadi seorang sintua. Sesuai dengan aturan peraturan HKBP tahun 2002 dijelaskan bahwa syarat menjadi seorang sintua atau penatua adalah sebagai berikut :
a. Warga jemaat yang mempersembahkan dirinya menjadi penatua di jemaat.
b. Rajin mengikuti kebaktian minggu dan perjamuan kudus
c. Berperilaku tidak bercela
d. Paling sedikit umurnya 25 tahun
e. Sehat rohani dan jasmani
f. Sedikit – dikitnya berpendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP)
g. Dipilih oleh warga jemaat dari antara mereka dan ditetapkan oleh Rapat Pelayan Tahbisan.
Itulah gambaran dan ciri – ciri khas dari seorang penatua di dalam gereja HKBP, dan didalam gambaran itu tercermin juga gerak pelayanan dari seorang penatua . itu berarti pelayanan itulah yang menunjukkan diri seseorang sebagai penatua. Penatua itu bukanlah suatu gelar kehormatan didalam kehormatan di dalam gereja, melainkan suatu fungsi pelayanan di tengah – tengah jemaat.

Tugas Sintua Atau Penatua
Dikisah para rasul, ada 3 tugas utama para penatua :
1. memelihara atau menggembalakan jemaat, kepada para penatua di Efesus, Paulus berkata .”….jagalah…jemaat Allah….” (Kis 20:28)
2. Memimpin atau mengatur jemaat. Di titus 1:7, digunakan istilah “pangatur rumah Allah, kata yunaninya “Oikonomon”, berarti pengelola atau pelaksana usaha. Penatua berfungsi mengelola jemaat supaya jemaat menjadi hidup dan berkembang, tertib dan teratur.
3. menjaga kemurnian ajaran gereja, di Kis 20 :29 – 31, Paulus mengingatkan kemungkinan adanya orang, baik dari dalam maupun dari luar, yang berusaha menarik murid – murid dari jalan yang benar.

Tugas seorang Sintua menurut Aturan Peraturan HKBP tahun 2002 adalah sebagai berikut :
a. Sebagai tertera dalam Agenda Penerimaan Penatua HKBP
b. Melaksanakan Babtisan darurat
c. Menyusun statistik warga jemaat di lingkungannya masing – masing
d. Mengikuti sermon dan rapat penatua
e. Menyampaikan berkat tanpa menumpangkan tangan, sementara menurut Pdt. Prof. DR.F.H. Sianipar, tugas seorang sintua ada mencakup:
1. Mitra Pendeta dan Guru jemaat melaksanaknan pelayanan di gereja
2. Menjaga kehidupan rohani warga jemaat
3. Melaksanakan Babtisan Darurat Pandidion Nahinipu
4. Memelihara atau menjaga RPP (Siasat gereja)
5. Membuat statistik jemaat di Wijk masing – masing
6. Mengajar anak sekolah minggu
7. Menjaga dan mengembangkan harta gereja
8. Mengikuti sermon dan rapat sintua
9. Menjenguk orang yang sakit
10. Memimpin Kebaktian minggu (maragenda)
11. Berkhotbah

Penutup
Persyaratan yang diajukan untuk seorang sintua bukan dimaksud supaya kita menyerah dan berkata “saya tidak layak” Tohonan sintua adalah sebuah anugerah Tuhan yang diberikan atas dasar kemurahan hatinya. DR.J.L.Ch. Abineno mengatakan dalam bukunya Penatua – Jabatan dan pekerjaannya, bahwa jabatan gerejawi “tidak berdasar atas kebaikan atau prestasi dari mereka yang memangkunya “ibarat sebuah alat, mungkin kita merasa tidak memenuhi kualifikasi, tetapi jika Tuhan mau memakai kita sebagai alatNya, maka kita bisa menjadi alat yang berguna didalam tangan Nya.
Pelayanan kepada Tuhan tidak diukur dari banyaknya yang kita perbuat, melainkan dari kesungguhan dan kesetiaan kita melakukan pelayanan itu. Calvin berkata “yang penting bukanlah apa yang kita kerjakan dengan kekuatan kita, melainkan apa yang dikerjakan oleh Allah melalui kita “Alkitab bersaksi tentang seorang sintua “penatua – penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar “(1 tim 5:17)

Daftar Pustaka:
1. Pdt. Prof. DR. F.H.Sianipar, Tohonan Sintua, Yayasan STT HKBP Pematang Siantar, 1996
2. STT HKBP P. Siantar, Vocatio Dei, (edisi XXXIII-XXXIV), Pematang Siantar, STT HKBP, 1992.
3. Dr. Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2003.
4. Dr. Andar Ismail, Selamat Melayani Tuhan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
5. Aturan dohot Peraturan HKBP Tahun 2002.
6. Agenda di HKBP

(Penulis adalah Pdt. Bikwai Simanjuntak, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2007)

Kamis, 23 April 2009

RENUNGAN: SETIA DALAM PERKARA KECIL (MATIUS 25:21)

Manusia cenderung kurang memberi perhatian pada hal-hal yang kecil. “Barang-barang kecil urus sendiri”, demikian sering kita lihat dalam stiker yang terdapat dalam bis. Orang yang melakukan perkara kecil biasanya disepelekan, kita cenderung menghargai orang yang berjasa dalam tugas atau perkara yang besar. Namun di dalam perumpamaan dalam Matius 25:14-30, Tuhan Yesus justru menghargai orang yang setia dalam perkara kecil. Di situ diceritakan tentang tiga orang hamba yang diberi modal sebesar lima talenta(Rp.1.800.000,-), dua talenta (Rp.720.000,-) dan satu talenta (Rp.360.000,-). Setelah majikan itu meminta perhitungan dari ketiga hambanya, hamba yang dipercayakan mengelola lima talenta membawa laba lima talenta. Maka tuan itu memberi penilaian dan pujian bahwa si hamba telah setia dalam perkara kecil, maka akan diberikan kepadanya tanggungjawab dalam perkara yang besar.
Di sini Kerajaan Sorga diumpamakan oleh Yesus sebagai keadaan di mana orang yang setia dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab yang kecil dihargai dan dipuji. Penilaian bukan berdasarkan berapa besar talenta yang dimiliki masing-masing orang, tetapi apakah talenta itu dikembangkan atau tidak? Ini perlu kita sadari bahwa Tuhan memberi kita masing-masing talenta untuk kita kembangkan demi mewujudkan maksud Tuhan di dunia ini. Saudara dan saya harus ingat, kita bisa berbuat sesuatu, kita memiliki waktu. Masalahnya mungkin anda tidak memanfaatkannya, atau menguburnya dalam-dalam, lalu menyalahkan Tuhan, seolah-olah Tuhan memberi terlalu sedikit kepada saudara.
Di jemaat mungkin ada yang tidak mendapat talenta menjadi penatua atau menjadi pengurus, komisi ini dan itu. Namun ada hal lain yang bisa dilakukan seseorang itu misalnya mengajak, mengundang atau mengupayakan supaya setiap anggota jemaat dengan sungguh-sungguh memberi yang terbaik bagi Tuhan melalui kegiatan gereja. Itu sangat berharga di hadapan Tuhan. Itu jauh lebih berharga dari penghargaan kepada seorang penatua atau pengurus gereja yang mempunyai kemampuan yang jauh lebih besar, tetapi merasa bahwa yang diberikan itu belum cukup dan menguburkannya tanpa berbuat apa-apa.
Talenta itu harus dikembangkan. Ketika orang yang diberi lima dan dua talenta itu berhasil melipatgandakan talenta-talenta mereka, majikan itu tidak mengatakan “aku akan memberi piagam penghargaan padamu”, tetapi “aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar”. Itu berarti tidak ada kesempatan untuk berhenti, dan tidak ada juga kesempatan untuk membangga-banggakan diri dengan apa yang sudah kita lakukan. Kecenderungan kita, kalau sudah berhasil dan mendapat pujian menjadi lupa diri, akhirnya hanyut dalam kemapanan yang ada dan tidak berupaya lagi untuk mengembangkan diri atau melakukan yang lebih baik dari apa yang sudah dicapai sebelumnya. Tidak ada kata berhenti untuk berbuat baik, tidak ada cuti untuk melayani Tuhan. Memang orang bisa pensiun atau periode dari tugas pelayanan formal, tetapi pensiun atau periode dari tugas formal tidak menjadi alasan untuk berpuas diri dan berbangga diri serta merasa itu sudah cukup.
Siapakah yang dikecam dan dihukum dalam perumpamaan Yesus itu? Orang yang mendapat satu talenta. Dia dihukum bukan karena ia mendapat satu talenta, tetapi karena ia menguburkan talenta tersebut. Jelas karena ia tidak berusaha dan tidak berbuat apa-apa untuk mengembangkannya. Seberapapun talenta yang kita miliki, jika kita tidak dapat melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab atau dengan hati yang tidak senang, kita tidak dapat melakukan sesuatu yang dapat menjadi berkat bagi sesama. Tanggungjawab yang kecil terasa seperti beban yang cukup memberatkan dan membatasi kebebasan diri. Akibatnya kepribadian dan kemampuan kita tidak berkembang menuju kedewasaan seperti yang diharapkan oleh Tuhan Yesus (Mat 5:48). Karena itu janganlah anggap remeh terhadap tanggungjawab yang kecil, lakukanlah itu dengan penuh tanggungjawab dan kesetiaan, Tuhan akan memberikan tanggungjawab dalam perkara yang besar. It’s not the quantity that counts, but the quality. Jadi lebih baik manfaatkan dan kembangkan talenta yang ada padamu dengan baik.
Karena konteks nats ini adalah khotbah Yesus tentang akhir zaman, maka ada hubungannya dengan pertanggungjawaban setiap orang kepada Allah atas apa yang sudah dipercayakan menjadi tanggungjawab masing-masing orang. Kesadaran akan pertanggungjawaban inilah setiap orang percaya termotivasi untuk memergunakan talenta yang ada seoptimal mungkin demi kemuliaan Tuhan dan berkat bagi sesama!

(Penulis adalah Pdt. Daniel Napitupulu, M.Min, tulisan ini dimuat dalam Edisi Khusus Peresmian HKBP Resort Semper)

Minggu, 12 April 2009

ARTIKEL: KONTROVERSI KEMATIAN YESUS

Berbicara tentang kontroversi kematian Yesus, maka kita akan tiba kepada beberapa tindakan yang bertolak belakang dengan nalar yang normal dan wajar. Namun justru di dalam kontroversi tersebut, kita menemukan: tidak selamanya nalar yang normal dan wajar menurut manusia adalah benar dan berguna.
Di bawah ini ada beberapa kontroversi kematian Yesus dari saat penangkapan sampai ke penyaliban: yang saya harapkan akan sangat berguna untuk melihat lebih jelas tentangproses kematian Yesus serta manfaatnya bagi manusia. Mengapa justru hal itu yang saya sorot? Jawabnya : karena hal inilah yang sangat perlu untuk menjawab kontroversi tentang kematian Yesus.
Memang banyak kontroversi tentang kematian Yesus. Ada banyak keraguan dari pihak agama lain. Bahkan ada pendapat yang mengatakan : bukanlah Yesus yang tersalib itu, tetapi malaikat Tuhan yang menggantikan yang menyamar menyerupai Yesus. Pendapat lain mengatakan, memang benar Yesus disalibkan, namun tidak sampai mati, hanya pingsan, sehingga Yesus tidak pernah mati dan tidak pernah bangkit.

I.Agama Kontroversial (Agama Berwajah Ganda)
Banyak orang tidak percaya bahwa sesungguhnya agama itu kontroversial, agama itu berwajah ganda. Mereka menjadi berang ketika ada yang berkata bahwa agama berwatak dua.
-Di satu sisi, ia anggun dan suci. Berbicara tentang welas asih dan kemurahan hati. Tentang Allah yang rahmani, lagi rahmini. Tentang janji hidup abadi bagi yang bijak dan yang bajik.
-Namun di sisi yang lain matanya bisa tiba-tiba menyala penuh kebencian. Mulutnya menganga siap menelan lawan-lawannya. Tangannya tak segan-segan melempar bom atau menghunus pedang.
Tak semua orang setuju dengan pernyataan itu, mereka berkata tanpa ragu: sikap yang kedua itu bukan agama, tapi orangnya. Agama itu suci, tak pernah dengki apalagi benci. Apabila ada yang begitu, itu pasti cuma tindakan oknum melulu. Tapi bila ada pertanyaan: apakah artinya agama tanpa orang-orangnya? Apakah yang dapat dilakukan agama, bila orang-orangnya tidak melakukan apa-apa?
Di Jumat siang itu, orang-orang beragama menyalibkan Yesus. Atas nama kebenaran agama. Demi kemurnian ajaran agama. Agama Yahudi. Bukan sebab Yesus orang jahat. Atas nama agamalah yang menyalibkan pemimpin agama yang Agung.

II.Pengadilan Kontroversial
Sebelum tengah hari, tidak kurang dari lima pemeriksaan, (pengadilan) dilakukan penguasa yang berbeda-beda terhadap Yesus, dengan kadar formalitas dan mungkin juga legalitas yang berbeda pula. Dalam rentetan pemeriksaan yang rumit itu, hubungannya satu sama lain tidak selalu jelas. Namun hasilnya pasti: sebelum malam tiba Yesus sudah mati.
-Pemeriksaan pertama : Hanas
Pemeriksaan pertama dilakukan oleh Hanas (Yoh. 18:12-23). Hanas memegang jabatan imam agung yang telah lengser 15 tahun sebelum pengadilan Yesus. la digantikan oleh menantunya Kayafas, yang pada saat penangkapan Yesus masih memegang jabatan itu. Tetapi Hanas merupakan kepala keluarga imam agung (dengan kata lain mertua dari Kayafas imam agung saat penangkapan Yesus), yang di mata banyak orang masih tetap dianggap imam agung yang sebenarnya. Kelihatannya Hanaslah dalang di balik usaha untuk membungkam Yesus (maklumlah untuk menolong menantunya Kayafas agar tidak kehilangan simpati/ kehilangan pengikut karena pengaruh Yesus}, Tentunya Hanas tidak mempunyai kekuasaan resmi untuk mengadili Yesus. Oleh karena itu Yesus dikirim ke Kayafas, imam agung yang diakui oleh pemerintah Roma serta ketua Sanhedrin.
-Pemeriksaan kedua: Sanhedrin
Dalam pandangan Yahudi, pemeriksaan oleh Sanhedrin merupakan pengadilan yang sebenarnya. Tentu pelanggaran yang menyangkut masalah keagamaan harus dibawa ke depan mahkamah agama tertinggi orang Yahudi. Kerumitan timbul dari hukum Yahudi sendiri, yang menentukan hukuman mati untuk beberapa pelanggaran agamawi yang berat, termasuk menghujat Allah. Itulah tuduhan yang dilontarkan kepada Yesus. Sehingga Yesus harus dihukum mati.
Kontroversialnya muncul ketika pelaksanaan hukuman mati. Yang berhak melakukan hukuman mati adalah wewenang tunggal penguasa Roma. Jadi kalau hukuman mati dijatuhkan, terdakwa harus dibawa ke pengadilan Roma. Padahal hujatan bukan suatu tuduhan yang diterima untuk melaksanakan hukuman mati pada pengadilan Roma. Melainkan tindakan kriminal misalnya pembunuhan, atau tindakan subversi misalnya pemberontakan yang pantas diganjar hukuman mati. Keadaan ini menyebabkan pengadilan terhadap Yesus menjadi kontroversi.
-Pemeriksaan ketiga dan keempat: Pilatus dan Antipas
Pilatus menerima utusan para pemimpin Yahudi untuk mengadukan/menuntut Yesus dengan dakwaan menghujat Allah (penghujat). Jalannya persidangan di sini tidak begitu jelas diketahui, namun yang pasti Pilatus bermaksud menghalangi keinginan pihak Yahudi sehingga mengulur-ulur waktu. Oleh karena itu pemimpin Yahudi mulai menceritakan gerakan revolusioner Yesus di Galilea. Menurut pemikiran mereka bahwa Pilatus tidak akan merestui hukuman mati kepada Yesus atas dakwaan sebagai penghujat maka mereka menambah dakwaan Yesus sebagai pemimpin nasionalis berbahaya. Pemimipin Yahudi dan Kayafas berasumsi:
~ jika hanya tuduhan Yesus sebagai penghujat Allah maka hukum Roma tidak akan menerima hukuman mati. Namun bagi orang Yahudi alasan ini sudah cukup untuk menyebut Yesus sebagai seorang yang murtad dan pantas dihukum mati.
~ jika hanya tuduhan sebagai pemimpin nasionalis berbahaya, memang pemerintah Roma cukup alasan untuk menjatuhkan vonis mati, namun dakwaan itu akan menjadikan Yesus sebagai seorang syahid yang patriotik dalam pandangan kaum nasionalis Yahudi (pada masa itu ada sebagian masyarakat Yahudi yang melakukan gerakan pembebasan dari penjajahan Roma yaitu kaum Zelot dan Saduse). Untuk itu Kayafas menggabungkan dua dakwaan tersebut: bagi penguasa Roma, Yesus dituduh sebagai pemberontak, sedangkan untuk masyarakat Yahudi, Yesus dituduh sebagai penghujat Allah. Jika akhirnya hukuman mati dijatulikan terhadap Yesus maka Yesus akan diingat sebagai seorang yang murtad.
Tetapi Pilatus berkesimpulan lain. Kalau Yesus datang dari Galilea, berarti Yesus datang dari wilayah Herodes Antipas (Antipas sebagai gubernur Galilea), dan kebetulan Antipas berada di Yerusalem untuk menghadiri pesta Paskah. Sebab itu biarlah Antipas yang mengadili. Namun Antipas juga tidak menemukan kesalahan seperti yang didakwakan. Antipas hanya mendengar kegiatan Yesus sebagai pembuat mujizat di Galilea. Bahkan Antipas berkeinginan bertemu dengan Yesus untuk melihat mujizat Yesus. Namun Yesus mengecewakan Antipas. Tidak ada mujizat yang diperlihatkan, bahkan Yesus menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan Antipas. Kemudian Antipas mengembalikan Yesus kepada Pilatus
-Pemeriksaan kelima: Pilatus
Pilatus terpaksa menangani perkara Yesus. Pilatus menyimpulkan bahwa Yesus bukanlah seorang revolusioner, melainkan seorang yang fanatik dalam hal agama. Yesus tidak berbahaya. Untuk membebaskan Yesus; Pilatus mempunyai ide yaitu menawarkan amnesti karena pada masa itu berlaku kebiasaan membebaskan seorang tahanan sebagai isyarat perdamaian pada pesta Paskah. Orang Yahudi tidak menerima, mereka sudah mempunyai calon yaitu Barabas.
Pilatus gagal untuk membebaskan Yesus. Namun Pilatus mengambil jalan tengah. la menyuruh Yesus dihukum cambuk. Ini sudah cukup berat, sebab pencambukan biasanya mendahului penyaliban, dan hanya dijalankan bagi pelanggaran-pelanggaran yang sangat berat. Dengan darah yang bercucuran akibat cambukan sudah cukup untuk menggantikan hukuman mati.
Namun Pilatus salah perhitungan. Hukuman untuk pihak yang menghujat bagi orang Yahudi adalah mati. Dan mereka tidak mau menerima kurang dari itu. Teriakan agar Yesus disalibkan semakin menggema. Pilatus tetap mengulur waktu. Para imam terus-menerus menekan Pilatus. Tekanan itu mencapai puncaknya dengan ancaman akan melaporkan Pilatus kepada atasannya yaitu Kaisar. Kali ini Pilatus tidak dapat mengabaikan pemerasan politis (takut dicopot jabatannya sebagai wali negeri/gubernur). Setelah beberapa kali menyampaikan keberatan, akhiranya Pilatus memberikan surat perintah hukuman mati.

III.Dakwaan Kontroversial
Ketika mereka harus memilih, siapa yang ingin dibebaskan: Barabas, si penjahat dan pembunuh atau Yesus, si guru agama yang mudah jatuh iba, pilihan mereka jelas, Barabas mesti bebas. Dan Yesus mesti ditumpas. Yesus tidak disalibkan sebagai penjahat - (sebab hukuman salib hanya untuk penjahat kelas kakap) -, Yesus disalibkan sebagai penghujat dan penyesat. Kejahatan mempunyai ukuran yang pasti. Jahat adalah, misalnya, bila saya membunuh, merampok atau mencuri.
Akan tetapi penghujat atau penyesat, apa ukurannya? Mungkin satu-satunya ukuran adalah: karena Anda mempunyai keyakinan yang berbeda dari saya. Dan itu, bagi agama, dianggap sangat berbahaya. Agama cenderung menganggap diri sebagai pemegang kebenaran mutlak. Karena namanya saja 'mutlak', ia cuma mengenal dua kategori: "ya" dan "tidak". Saya benar, dan karena itu anda salah. Oleh karena itu, jangan heran, bila tiba-tiba agama menampilkan wajah pemberang, sebab menumpas perbedaan dianggap identik dengan membela kebenaran. Inilah dakwaan kontroversial kepada Yesus.

IV.Salib Kontroversial
Allah telah memilih jalan salib untuk menyelamatkan manusia. Ini bukan karena Yesus harus begitu, tetapi karena Dia mau begitu. Aneh bin ajaib. Sebab jalan salib sesungguhnya bertolak belakang dengan nalar yang normal dan wajar. Menurut jalan yang wajar, manusialah yang seharusnya membawa korban kepada Allah. Namun yang terjadi pada peristiwa salib justru sebaliknya. Allah membawa korban bagi manusia. Menurut nalar yang wajar, orang lainlah yang dikorbankan untuk kepentingan diri sendiri (ingat tragedi Mei 1998, ingat Ambon dan banyak lagi). Namun yang terjadi pada peristiwa salib justru sebaliknya : Allah mengurbankan diriNya sendiri, demi keselamatan pihak lain, Anda dan saya.

V.Mengapa harus Salib?
Mengapa harus Salib. Padahal Allah dengan mudah dapat memilih jalan lain. Yang lebih enak. Yang lebih gampang. Tentu tidak mungkin dapat menyelami sedalam-dalamnya ‘logika’ Allah telah memperingatkan,” Jalanku bukanlah jalan, dan pemikiranKu bukanlah pemikiranmu.” Jangan coba-coba berspekulasi. Namun kita bisa mengatakan, dengan memilih jalan salib, Yesus mau memberikan contoh dan teladan untuk kita panuti.
-Kasih itu mahal. Tak pernah mudah. Tidak pernah murah. Di satu pihak, tidak ada nilai yang lebih diagungkan daripada kasih. Namun di pihak lain, tidak ada nilai yang telah mengalami inflasi yang begitu hebat daripada kasih di dalam praktik kehidupan umat ktristiani. Dimana-mana kasih itu menjadi barang murahan, hanya di mulut. Mudah diucapkan. Karena kasih telah menajdi tuntutan kepada orang lain, dan bukan pertama-tama menjadi tuntutan kepada diri sendiri. Ketika kepentingan diri sendiri dirugikan, orangpun dengan segera berteriak: mana kasih itu? namun, ketika ia merugikan orang lain, adakah ia menuntut kepada diri sendiri : mana kasih itu? Kasih yang sejati tidak menuntut, kecuali pada diri sendiri. Allah menempuh jalan salib sebab Allah bersedia membayar mahal untuk kasihNya kepada manusia. Oleh karena itu, kasih itu tidak pernah mudah, tidak pernah murah
-Tidak ada kemenangan yang lebih sempurna daripada kemenangan atas diri sendiri. Itulah yang terjadi di Bukit Golgota, Allah mengalahkan Dirinya sendiri. Yesus tidak disalibkan. Mengalahkan lawan-lawan yang hebat adalah keperkasaan. Akan tetapi, mengalahkan diri sendiri adalah keperkasaan yang jauh lebih hebat. Di atas salib, Yesus berhasil mengalahkan kuasa iblis. Namun bukan ini yang paling utama. Kapan saja dan dengan cara apa saja, iblis sebenarnya dapat dikalahkan dengan mudah. Kemengangan salib menjadi kemenangan yang sempurna, justru karena di sana Allah mengalahkan dirinya Sendiri. Yaitu dengan memilih jalan salib. Bukan jalan lain yang lebih mudah. Bukan mempertahankan tahta, tetapi seperti yang dikatakan Paulus, melainkan justru dengan ‘mengosongkan diri’.
Inilah paparan yang hanya segelintir dan sederhana tentang Kontroversi Kematian Yesus. Mudah-mudahan bisa menjawab kebimbangan dan keragu-raguan tentang kematian Yesus, oleh karena ada beberapa pandangan yang sangat mecolok untuk meniadakan kematian Yesus dalam rangka menebus umat manusia.

Daftar Pustaka
1. Yesus Sang Radikal : oleh R.T. France
2. Mengapa Harus Disalib ; oleh Eka Darmaputera
3. Kristus Dalam Paskah: oleh Charles Colson dkk
4. Mengikuti Yesus: oleh Dietrich Bonhoeffer
5. Jalan Kematian, Jalan Kehidupan: oleh Eka Darmaputera.

(Penulis adalah Pendeta Palti Hatoguan Panjaitan, S.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi April 2005)

Jumat, 10 April 2009

ARTIKEL: BULETIN NARHASEM& SEMANGAT KUALITAS KRISTEN, HARAPAN SERTA MASUKAN-MASUKAN UNTUK BULETIN NARHASEM DI ULTAH KE-3 (4 APRIL 2007)

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada Buletin Narhasem yang ke-3. Horas ma di hamu sude seluruh Tim Buletin. Performa suatu buletin mampu melangkah sampai tahun ke-3 penerbitan dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, bagi saya merupakan suatu prestasi. Proficiat! Saya ingat perkataan Yesus: “Barangsiapa setia pada perkara2 yang kecil, ia setia juga dalam perkara2 besar (Luk. 16:10). Dari perkataan Tuhan kita ini, saya meyakini selalu bahwa suatu karya besar mulanya dimulai dari karya kecil. Semua karya legend dan lahirnya tokoh legend yang tercatat dalam sejarah Alkitab (PL & PB), sejarah gereja maupun sejarah dunia selalu dimulai dari suatu karya kecil. Setia dalam hal kecil. Kecil nan indah. Small is beautiful. Micro is beautiful. Namun kemudian, melalui ketekunan, doa, iman, ketaatan, konsistensi dan pengharapan, atau dalam simpulan dua hal sederhana ‘komitmen kesetiaan’ dan kuasa penyertaan Tuhan, maka karya itu akhirnya mampu bertumbuh dan berbuah menjadi karya besar. Menjadi ‘masterpiece’, yang dikenang dalam sejarah dan menjadi berkat bagi banyak orang melintasi tempat, domain dan waktu.
Kedua, menurut pengamatan saya Buletin Narhasem sampai sejauh ini sudah menunjukkan pertumbuhan dan penampakkan hasil (buah) dari suatu proses yang cukup pas, baik dan benar. Ini bila saya ikuti dari mulai terbit perdana hingga memasuki tahun penerbitan ke-3. Itu yang antara lain membuat saya selalu antusias bilamana Tim Redaksi meminta saya untuk berkontribusi mengisi/ menyumbangkan artikel, maka saya dengan sukacita melakukannya. Jika ditelusuri sebenarnya tidak sedikit buletin atau majalah kristiani di Jakarta serta di beberapa daerah lain yang pernah terbit. Namun memasuki 2-3 tahun penerbitan biasanya mengalami kesulitan sehingga gagal terbit, yang berakhir pada kematian alias ‘gugur’ ditelan jaman. Layu sebelum berkembang. Tidak berbuah. Rupa-rupa alasannya, ada karena kreativitas yang sudah ‘mentok’, berubahnya arah visi buletin/majalah, tim redaksi yang sudah tak solid bekerja, alasan pendanaan/biaya, tiadanya impresario (promotor/ pembina/sponsor yang punya beban dan hati), dll. Untuk hal ini, saya jadi teringat juga dengan perumpamaan Yesus tentang pohon ara yang tidak berbuah dalam Luk. 13: 6-9 “Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma! (ayat 7b). Itulah realitasnya: ‘pohon’ yang tidak berkembang dan berbuah, dalam konteks ini dikatakan 3 tahun, terpaksa harus ditebang!
Sangat disayangkan memang. Namun, Buletin Narhasem menurut hemat saya tidak seperti ‘pohon ara yang tidak berbuah itu’. Justru sebaliknya. Buletin kita ini saya pandang telah mampu survived dengan segala keterbatasannya. Mampu bertumbuh, dan kini sedang berkembang, siap berbuah. Karena apa dan selama apa? Karena saya lihat masih ada komitmen kesetiaan dari Tim Buletin di dalamnya. Karena selama ini pun masih dirasakan adanya kuasa penyertaan Tuhan di dalamnya. Eben Haezer: sampai di sini Tuhan (masih) menolong kita! Ini dasar kita untuk bersyukur. Dua hal ini: komitmen kesetiaan dan penyertaan Tuhan, menjadi kunci sebenarnya bagi Buletin Narhasem ke depan dapat membangun keberhasilan terbit ‘semakin hari semakin baik’ untuk maksud tujuan sesuai mottonya selama ini: Hanya untuk kemuliaan Tuhan (“Just for the glory of the Lord”). Orang bijak pernah bilang: “Kalau yang lebih baik masih memungkinkan, baik itu belum cukup”. “If better is possible, the good is not enough”.
Hal ketiga, untuk menjadi ‘semakin hari semakin baik’ (getting better) itu, tidak dapat tidak Buletin Narhasem perlu terus memiliki semangat improvement yaitu semangat perbaikan terus menerus) sambil tetap bersyukur dan bersyukur pada Bapa. Jangan cepat merasa puas diri dengan hasil yang sudah dicapai, namun tidak pula mau tinggalkan ucapan syukur kepada Tuhan. Inilah semangat kualitas kristen. Teladan ini bisa kita lihat contohnya pada upaya & karya ‘sang pembangun’ Nehemia dalam PL dan Rasul Paulus dalam PB. Juga bapa2 gereja kita dan tokoh2 penting yang mewarnai dunia, termasuk di tanah air kita. Tidak heran bila karya dan kehidupan mereka bukan saja dinilai berhasil namun juga mampu memberi dampak luar biasa!
Keempat, secara prinsipil dan praktis menurut saya spirit kualitas kristiani (semangat improvement dan bersyukur atas kemurahan Kristus) sangat mungkin dikembangkan untuk Buletin Narhasem. Sekaligus saya sampaikan sebagai harapan dan masukan2 di ultah yang ke-3 Buletin tercinta ini :
1) Buletin Narhasem perlu membangun terus keunikannya sendiri sambil mengucap syukur, di tengah pluralitas/banyaknya macam ragam buletin/majalah kristen yang ada di tengah2 khasanah pembaca.
Ciri khas (uniqueness, singularitas) sangat diperlukan di tengah pluralitas/macam ragam buletin dan majalah kristiani yang terbit di tengah2 pembaca dewasa ini, baik dalam lingkup HKBP, dunia kristen dan umum. Saya kira Buletin kita ini sejatinya sudah punya ciri khas, yakni isinya yang cukup berbobot, ‘tidak kacangan’, layak ‘dilirik dan dibaca’, cukup sarat dengan worldview/cara pandang dan pengajaran Kristen serta bernuansa komunitas Batak. Namun perlu dipikirkan, apa yang membuat ‘berbeda’ (tampil beda) bagi pembaca dengan buletin/majalah lain yang berciri hampir sama menghindari duplikasi, seperti misalnya Warta HKBP terbitan Distrik Jawa-Kalimantan, dll. Selain itu apa yang menjadi ‘keunikan’ atau ‘kelebihan’ Buletin cetak kita ini yang masih perlu dibangun, dalam kaitan dengan tumbuhnya media2 ‘buletin elektronik’ berupa group-group milist di internet bernuansa kristen-batak, yang dapat menjadi pertimbangan pembaca dalam meme-nuhi kebutuhan mereka. Apakah malahan bisa menjadi hubungan komplementer, saling mengisi dan bekerjasama.
2) Buletin Narhasem perlu menetapkan strategi pemilihan sasaran pembacanya lewat doa dan ucapan syukur serta pertimbangan2 rasional.
Dengan nilai ajaran kristen dan nuansa bataknya, sebenarnya Buletin Narhasem sudah memiliki sasaran pembacanya tersendiri dan ini patut disyukuri. Dalam istilah lain, Buletin kita ini sudah memiliki “ceruk” (niche) sendiri dan itu baik adanya. Kini tinggal melakukan strategi pemilihan sasaran ceruk ini saja: ingin melakukan penetrasi dan/atau mem-perluasnya.
a. Penetrasi sasaran, maksudnya tetap pada sasaran kategori pembaca naposo dan remaja, namun ke depan tidak saja untuk konsumsi naposo/remaja HKBP Semper tapi melakukan penetrasi juga untuk para naposo/remaja HKBP2 lainnya misalnya dalam lingkungan Distrik 3 Jakarta.
b. Perluasan sasaran, maksudnya tidak hanya pada sasaran kategori pembaca naposo dan remaja, namun ke depan memperluas sasaran untuk huria secara keseluruhan. Bukan hanya untuk konsumsi huria HKBP Semper, tapi juga untuk huria2 HKBP lainnya, misalnya dalam lingkungan Distrik 3 Jakarta.
Strategi yang dipilih akan mengandung konsekuensi kepada perubahan nama buletin, topik, tema2 artikel, cara serta gaya penyajian informasi dan tampilan fisik (cover, isi), dll. Dan pemilihan strategi berikut sasaran pembaca ini, secara aktual akan sangat membantu Buletin kita memosisikan dirinya secara pas sesuai visi misi serta kebutuhan dan harapan (ekspektasi) pembacanya.
3) Dari segi isi (content) Buletin Narhasem diharapkan bisa terus menjaga bobot isinya agar pembaca dapat memperoleh informasi, artikel, masukan, news (berita) yang bermanfaat dan mencerahkan terutama untuk tujuan pendewasaan iman percaya jemaat kepada Kristus, Tuhan kita. Esensi dari pemberitaan kristiani baik melalui media lisan maupun tulisan sejatinya adalah untuk terjadinya perubahan/ pembaharuan mindset menuju ke arah kedewasaan penuh di dalam Kristus (Roma 12: 2, Ef. 4: 13). Peran editor ke depan dirasa semakin penting, guna meningkatkan pengerjaan tugas pengeditan, penyelarasan dan harmonisasi isi (content), topik dan materi buletin sehingga menjadi sebuah kesatuan penyajian yang utuh dan enak dibaca bagi pembaca, dalam bahasa, gaya dan genre yang pas.
4) Dari segi tampilan Buletin, saya kira soal tampilan ini masih bisa dilakukan perbaikan-perbaikan tentunya disesuaikan dengan keunikan dan strategi pemilihan sasaran pembaca yang mau ditetapkan. Beberapa hal yang menjadi masukan:
- Ukuran Buletin mungkin bisa diperbesar sedikit, agar memperluas ruang dan memperbesar huruf agar lebih mudah dibaca.
- Cover bila anggaran dana memungkinkan, bisa dibuat dalam bentuk soft-cover dengan bahan yang lebih baik.
- Desain cover dapat di-improve menjadi lebih tampil menarik.
- Bentuk dan besar huruf untuk seluruh artikel tidak berbeda. Namun untuk yang non-artikel atau kolom2 lain bisa lebih besar atau lebih kecil.
Bagi saya pribadi, kemasan penting namun kemasan tidak lebih penting dari content (isi)nya. Saya banyak menemui buletin-buletin atau majalah, yang dari segi kemasan bagus, namun sayang (maaf) isi/contentnya tidak begitu bermutu. Informasinya pun kurang valid dan reliable. Maka, harapan saya Buletin Narhasem ke depan tetap lebih mengutamakan mutu isi/content, kemasan meskipun penting menjadi nomor dua.
5) Dari segi biaya/ongkos penggantian harga, saya kira sudah waktunya Buletin Narhasem jika mungkin menetapkan penggantian ongkos cetak atau harga kepada para pembacanya. Hal ini dimungkinkan, bila kelak kelompok sasaran pembaca Buletin Narhasem sudah semakin jelas dan luas. Kebijakan harga ini adalah suatu bentuk apreasiasi atau penghargaan para pembaca terhadap suatu karya yang telah dihasilkan oleh Tim Buletin Narhasem. Hal ini sekaligus upaya edukasi terhadap pembaca Kristen cq HKBP agar bisa menghargai terhadap karya2 bacaan yang bagus dan membangun.
6) Dari segi pendistribusian, sudah mulai dipikirkan dari sekarang. Dengan cara apa agar Buletin Narhasem dapat terdistribusi secara efisien dan efektif. Faktanya banyak karya bacaan bagus tetapi kurang berhasil dalam pendistribusian, sehingga tidak banyak dirasakan manfaatnya oleh para pembaca. Mudah-mudahan melalui upaya lebih terencana, Buletin Narhasem dapat sampai ke tangan pembaca tepat waktu dan tepat sasaran (entah itu kategori remaja/naposo atau huria secara umum; atau di kalangan HKBP Semper atau HKBP2 yang lain). Perlunya contact-person di berbagai kategori dan huria perlu dilakukan, apabila Buletin ini akan menjangkau segmen pembaca yang lebih luas.
7) Dari segi komunikasi dan promosi, ini juga penting dilakukan. Banyak cara agar kehadiran Buletin Narhasem semakin disadari dan dirasakan oleh khalayak pembaca remaja/naposo atau huria. Bisa melalui komukasi verbal di huria, lewat pengumuman, melalui para contact-person yang ditunjuk atau melalui komunikasi mulut-ke mulut (word mouth communications). Bisa juga melalui cara presentasi oleh Tim Redaksi pada waktu2 khusus di kelompok2 calon sasaran pembaca. Cara lain bisa melalui info SMS atau pemanfaatan milist-milist internet untuk menggugah hati sasaran pembaca mendapatkan dan membaca Buletin.
8) Dari segi pendanaan (funding). Selain melalui dukungan anggaran yang tersedia di huria dan dana yang diperoleh dari penggantian ongkos cetak dari pembaca, Tim Buletin seyogianya memikirkan upaya-upaya penggalangan dana untuk Buletin. Berbagai cara bisa ditempuh. Antara lain melalui pemuatan ‘iklan’ dari pembaca yang mungkin memerlukan sarana promosi, kegiatan2 bulan dana untuk Buletin, pengajuan proposal kepada pihak2 yang peduli terhadap eksistensi Buletin sebagai bentuk tanggung-jawab sosial mereka terhadap pembinaan media, huria, generasi muda (remaja & naposo) dan masyarakat.
Akhirnya sekali lagi saya mengucapkan Selamat Ultah ke-3 bagi Buletin Narhasem. Kiranya berkat dan kemurahan Tuhan senantiasa menaungi dan menyertai seluruh Tim Buletin Narhasem dalam menapaki hari-hari ke depan dalam semangat pengharapan yang tak pernah pudar dan semangat kualitas Kristen. Bravo Buletin Narhasem! Soli Deo Gloria!

(Penulis adalah Pdt. Ir. Hans Midas Simanjuntak, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi April 2007)

Kamis, 02 April 2009

ARTIKEL: THE OLD OR YOUNG CALLING - ALTERNATIVE THINKING

1.PENGANTAR
Panitia menghubungi saya untuk mengupas tentang fakta pergumulan usia pelayan penatua di gereja-gereja, khususnya di gereja HKBP. Judul semula diberikan panitia adalah “ In Old Age or Until Old Age ” menurut saya belum mempertajam apa yang hendak diutarakan mengenai kesenjangan pemikiran dan budaya tentang kiprah generasi muda dan generasi tua di dalam penatalayanan gereja. Sasaran pemikiran yang diharapkan sebenarnya kira-kira apakah usia sangat menentukan di dalam melayani Tuhan melalui gerejaNya? Kemudian apakah masa bakti seumur hidup bagi pelayan penatua di HKBP dapat memberi kepuasan pada level kebutuhan jemaat, yang menyangkut motivasi panggilan, integritas, dedikasi, dan komitmen pelayanannya? Kedua pertanyaan ini sangat penting dan susah-susah mudah untuk memberi ulasan teologis yang memadai, namun bukan berarti tidak bisa dikupas secara faktual teologis. Demi sasaran dimaksud maka saya mengubah judul semula menjadi seperti tertulis di atas, untuk membuka alternatif pemikiran.
Suatu iklan produk kebutuhan menyajikan distorsi pemikiran antara generasi muda dan generasi tua, dengan mengungkap ketimpangan persepsi dan perspektif terhadap manusia pada usia muda dan di saat tua. Iklan itu hendak mengatakan bahwa masih muda belum pantas mengutarakan opininya, kecuali yang sudah tua. Rasanya iklan itu mengekploitasi kultur masyarakat Timur yaang mengagungkan dan menguatkan pendapat bahwa generasi tua lebih mapan, lebih bajik, dan lebih matang; sedangkan generasi muda cuma kencur, masih ingusan, polos dan hijau, gampang terombang-ambing, plin-plan, dan kurang makan garam (kurang daya empiris). Gampang, ingat saja pepatah kita,”Tua-tua keladi, makin tua malah makin jadi”, atau dikatakan,” Belum banyak makan garam”. Sayangnya sangat minim juga dikuak bahwa banyak penguasa dunia justru pada saat usia tua mencapai taraf kehancuran dan kebobrokan akut, misal Ferdinand Marcos, Soekarno, Soeharto.

2. PANGGILAN TUHAN ATAU MOTIF PRIBADI ?
Banyak kisah di dalam Alkitab menyajikan tentang panggilan Tuhan terhadap manusia pada saat usia muda. Yakub menerima berkat dari ayahnya Ishak dan pergi mengembara ke daerah Midian atau Mesopotamia pada usia muda. Musa pun dipanggil Tuhan setelah memberi advokasi kepada rakyatnya dan menerima panggilan Tuhan di usia muda. Tuhan memanggil Samuel menjadi hakim sekaligus nabi bagi bangsa Israel pada usia sangat muda. Demikian kenaikan Saul, Daud, dan Yosia menjadi raja atas bangsa Israel saat usia mereka relatif muda. Nabi Yeremia sudah dipanggil Tuhan saat masih di dalam kandungan. Umumnya ketika dipanggil Tuhan mereka pada menolak karena usia masih sangat muda, namun akhirnya mereka memperlihatkan kemampuan baik di dalam kepemimpinan maupun inteligensia (integritas, moralitas, motivasi, dan dedikasi) sangat mengagumkan. Hakim “muda” Samuel berani membawa Firman Tuhan yang menghukum hakim “tua” Eli dan keluarga atas segala kesalahannya. Raja “muda” Yosia dengan gagah dan berani kembali memberlakukan pembaharuan di dalam sistem pemerintahannya sekaligus menyatakan “kembali kepada Firman Tuhan”. Mengapa ada kemampuan luar biasa yang ditunjukan mereka? Jawabannya panggilan Tuhan benar-benar dihayati sebagai kekuatan mentalitas dan spiritualitas yang hakiki yang tidak akan membiarkan mereka terjatuh dan hanyut terbawa arus. Artinya kesungguhan, kesetiaan, dan kejujuran telah menjadi prinsip pelayanan mereka terhadap Tuhan. Jadi mereka mendengar Firman Tuhan, mendengar aspirasi rakyat atau umatnya, kemudian melakukan gerakan pembelaan, bukan pengekangan. Mereka bersandar pada asas sangat penting bahwa segala sesuatu di mata Tuhan dapat memungkinkan terjadi sehingga tidak ada rasa kekuatiran dan kebingungan di dalam kiprah pelayanan mereka.
Nah, sangat penting bagi para pelayan HKBP untuk terlebih dahulu memahami dan mengimani tentang panggilan Tuhan ke dalam dunia kehidupannya sehingga ketika diperhadapkan pada persoalan di kenyataan hidup dan tantangan justru meneguhkannya. Dalam tradisi gereja biasanya ditanyakan tentang dasar panggillan Tuhan kepada seorang pelayan (baik pendeta, guru huria, bibelvrouw, diakones, evangelis, dan sintua). Ketika saya mau menerima tahbisan kependetaan ditanyakan dasar panggilan Tuhan, yang menjadi motivasi hidup saya untuk melayani Tuhan. Lalu saya menjawab dari 2 nas Alkitab sangat penting bagi makna panggilan Tuhan. Pertama saya mengungkap firman Tuhan mengatakan,”Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran” (Rom.6:18). Saya datang ke gereja HKBP bukan untuk mencari pekerjaan namun mencari Tuhan dengan membawa dan membela kebenaran yang saya imani, yang berangkat dari Alkitab. Kepentingan gereja harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan keluarga. Tuhan sendiri membela orang-orang tertindas, terhukum, dan termiskin (bdg.Luk.4:18-19) sebagai keberpihakan kebenaranNya maka hendaknya setiap orang Kristen harus juga menegaskan komitmen tersebut, bukan membantahnya atau menundanya. Di tradisi gereja HKBP makna ini disebut dengan ungkapan yang terkait dengan persembahan,”hupelehon do diriku”,”diparar Ho do hami”. Panggilan Tuhan harus dipahami sebagai persembahan hidup dari seluruh hidup kita sehingga tidak bergantung pada suara-suara kekuatan dunia, misalnya kekuatan individualisme, egoisme dan kapitalisme atau materialisme. Karena ada warga jemaat berlebihan berkat dan memberi ucapan syukur besar-besaran maka kuatir menyatakan kebenaran, takut menyinggung perasaan orang dermawan tersebut sehingga kerjanya jaga-jaga perasaan bukan lagi menegakkan kebenaran padahal kebenaran Tuhan harus dinyatakan kepada semua orang tanpa diskriminasi walau pun menyakitkan hati.
Kedua saya memaparkan sabda Tuhan Yesus di dalam Injil Yohanes bahwa Dia adalah Gembala Yang Baik (Yoh.10). Tuhan Yesus mencari satu domba yang sesat agar kembali ke jalan kebenaran, bahkan Gembala Yang Baik harus rela meski harus merenggut nyawaNya. Selain kebenaran mesti diungkap, kebaikan dan pengorbanan harus juga tercermin di dalam kehidupan pribadi seorang gembala/pelayan. Dia tidak mementingkan diri atau kelompoknya sendiri, tidak egois, tidak oportunis, tidak chauvinis, tidak narsis, melainkan harus siap sedia di segala medan dan waktu pelayanan. Kapan pun dan di mana pun pelayan gereja sudah menjadi milik Tuhan. Jadi tidak melihat materi tetapi esensinya sehingga kalau terjadi kerumitan dan kegaduhan tidak kabur dengan pindah gereja. Misionaris Burton dari Inggris ketika melayani di Silindung tahun 1824 menghadapi statement orang Batak,”Dang olo hami manadingkon adatnami naung leleng huhangoluhon hami. Dang adong sipaubaon disi. Alai molo dipatuduhon hamu tu hami dalan tu hamoraon dohot hasangapon, las do rohanami manjangkon hamu”.1 Pergumulan tentang kekayaan dan kehormatan ternyata sudah lama diperdebatkan bahkan hingga kini. Konsep budaya Batak tentang kekayaan, kehormatan, dan kebahagiaan (hamoraon, hasangapon, hagabeon) masih bisa didebat secara luas karena belum ada suatu pandangan yang meyakinkan tentang hal demikian. Apakah konsep itu berkaitan dengan 3 prinsip lain, yakni sahala, sumangot, tondi dan dalihan na tolu (hulahula, dongantubu, boru)? Terhadap pandangan tersebut sudah selayaknya mendapat perhatian saksama dan keseriusan dari seluruh komponen HKBP agar bisa satu persepsi untuk kejelasan dan kepastian sehingga generasi tidak bingung. Warisan generasi tua tentang ketidaktuntasan pandangan hidup budaya Batak menjadi tanggung jawab bersama kita, termasuk keberanian generasi muda untuk mengkajinya.
Panggilan Tuhan sebenarnya hanya berkaitan dengan 3 hal pokok sangat penting untuk dipahami, yang seluruhnya tidak ada kaitan dengan faktor usia manusia. Pertama panggilan Tuhan sangat terkait pilihan di mana Tuhan sudah punya perencanaan untuk memilih pelayannya sejak masih anak-anak (Rom.9:11) sehingga tidak ada kata salah di dalam implementasi kehendak Tuhan, dan manusia pun tidak boleh menolak pilihan Tuhan, sebab pilihan Tuhan sudah tentu baik dan layak buat manusia. Jika ada seorang Kristen menolak panggilan Tuhan maka dia dapat digolongkan sebagai tidak tahu diri, kurang ajar, dan tidak layak (bdg.2 Tes.1:11). Kedua panggilan Tuhan adalah kudus sebab Dia kudus adanya sehingga panggilan Tuhan kadang disebut “panggilan sorgawi” karena datangnya dari sana, bukan dari keinginan dunia misalnya supaya menjadi orang terpandang dan dihormati (lih.1 Tim.1:9; Flp.3:14; Ibr.3:1). Dengan makna ini setiap orang yang telah dipanggil dan dipilih menjadi pelayan harus hidup sewajarnya, sederhana, tidak lagi sembarangan dalam perangai kehidupannya, dan menjadi teladan yang membawa kedamaian di hati warga jemaatnya. Jangan sampai timbul suara kritik dari jemaat yang menyatakan,”holan hata do!” bahkan “pangula huria borngin, arian bandit !”. Bisa saja terjadi jabatan pelayan digunakan untuk menutupi topengnya, menutup aibnya, dan menebus dosanya, sebagai jalan pertobatan. Pelayan Tuhan sebisanya hidup kudus, dengan menjaga sikap dan perkataan. Menurut hemat saya di dalam tulisan sebelumnya telah dikaitkan antara istilah “sintua” dan “santo”, yang cara menulis akronimnya pun sama.2 Ketiga panggilan Tuhan terkait erat dengan pengharapan, sedang pengharapan harus sinkron pelaksanaannya dengan prinsip lain seperti kasih dan iman, sampai timbul istilah teologi “realitas berpengharapan” (Ef. 1:8; 4:4). Walau pun dunia ini carut marut penuh tantangan dan pencobaan namun di dunia yang kita injak ini ada pengharapan untuk berharap menuju pada jalan kesempurnaan, berharap ada perubahan, berharap semakin maju iptek, iman, dan Kerajaan Tuhan. Dalam kerangka ini diusulkan tokoh mashab kritis Frunkfur Erich Fromm perlunya “The Revolution of Hope” (Revolusi Harapan). Revolusi harapan dimaksud Fromm adalah pencermatan terhadap situasi sosial kita sekarang (apa yang kita hadapi dan di mana posisi keberadaan kita?) dan pengandalan atas kekuatan ide (harus ada idealistik untuk solusi, disebut Fromm sebagai “kemungkinan nyata” terhadap yang pertama).3 Kedua hal tersebut harus mendapat perhatian yang serius dari kalangan muda warga gereja HKBP jika memang benar-benar ingin melakukan langka Yosia, yakni melakukan pembaharuan di struktur HKBP, tentu harus ada gerakan yang konstruktif, berani dan proaktif, tidak lempar batu sembunyi tangan.

3. BUDAYA ORGANISATIONAL DAN ARUS PEMIKIRAN
Mungkin kita sudah membaca buku menarik berjudul “Jesus,the Organizer” dari seorang hamba Tuhan yang melayani di negara Filipina, Jose P.M.Cunanan.4 Buku tersebut mengeksplorasi bahwa pelayanan Yesus merupakan pembelajaran sangat menarik tentang pengorganisasi. Coba kita bedah secara cermat dan matang tentang perikop berjudul “Yesus memberi makan lima ribu orang” di Markus 6:30-44, yang paralelnya dapat dibaca di Matius 14:13-21 dan Lukas 9:10-17. Pertama kita mendapat informasi bahwa Yesus “mendengar berita itu”, adanya kelaparan di dalam masyarakatNya. (Mat.14:13; Mrk.6:37). Kedua Yesus bergerak, tidak diam termangu, do something, lakukan sesuatu. Ketiga Yesus berhati nurani, Dia tergerak, He has a compassionation, manghilala di dongan na dokdok manang na hansitan. Dia tidak membiarkan dan mengabaikan situasi itu (Mat.14:13;Mrk.6:32-34). Keempat Yesus mendelegasikan dan menugaskan murid-muridNya untuk memeriksa situasi sosial, memeriksa berapa orang yang kelaparan, apa daya atau stok pangan (Mrk.6:38). Kelima Yesus membentuk organisasi dengan mengatur 5.000 orang kelaparan itu menjadi kelompok kecil untuk memudahkan intervensi sosial, tidak repot dan tidak ribut (Mrk.6:39-40). Ada kerjasama yang elegan, cantik bermain, tidak asal-asalan, dan masing-masing mengerti tugas serta posisinya. Panggilan dan pilihan Tuhan untuk melayani umatNya tidak terlepas dari kenyataan hidup dan situasi sosial di mana kita berada, dengan dominasi budaya dan sistem kemasyarakatan yang melekat, termasuk pengelolaan organisasinya sebab gereja HKBP adalah juga suatu organisasi. Bagaimana budaya organisasi orang Batak?
Sekarang kita tengok orang Batak. Pertama karakteristik orang Batak adalah suka berkumpul sehingga banyak sekali punguan-punguan baik bersifat intern (perkumpulan marga-marga) maupun ekstern (kumpulan kampung-kampung, parsahutaon). Sejak dini orang Batak rupanya sudah berorganisasi. Problemnya orang Batak tidak pandai memanage kepentingan dan ambisinya sehingga seringkali saat ada masalah kemudian kabur begitu saja, bukan dihadapi dan diselesaikan secara baik dan elegan. Pengaturan rekrutmen, pemupukan hubungan baik, dan pendekatan komunikasi seringkali juga menjadi kendala yang menguatkan arah perpecahan. Sudah perlu ada peninjauan terhadap model perkumpulan orang Batak, sebab hanya bersifat introvertif, primordial, dan nepotisme. Di sinilah sudah perlu reaktualisasi terhadap organisasi bius yang tidak hanya mencakup semarga dan sekampung, melainkan meluas sehingga tidak hanya jago kandang. Meski tidak disebut bius, perkumpulan seperti Palito dan Kerabat dapat digolongkan sebagai organisasi bius modern. Kedua setiap orang Batak telah diajari teknis pengambilan posisi di dalam situasi sosial tertentu. Ketika pesta semarga digelar, tentu sebagai saudara semarga tidak duduk di posisi hulahula atau menjadi parhobas (boru), sebab ada waktunya bertindak sebagai hulahula, boru, dan dongantubu. Ketiga adanya konsep kerajaan di mana setiap orang Batak memandang dirinya sebagai haruslah proporsional, dan pas momentumnya, tidak pukul rata sehingga menjadi aral pergerakan orang Batak. Budaya orang Batak demikian sedikit banyak dibawa ke dalam organisasi gereja sehingga pergeseran dan pergesekan tidak dapat dihindari kecuali mengelolanya menjadi kekuatan untuk membangun. Andrew Brown menyatakan bahwa improvisasi untuk aktualisasi diri di dalam berorganisasi harus memiliki pemahaman terhadap perubahan/pergeserran budaya, ada strategi serta performance ssehingga bisa tampil efektif untuk mengorganisasikan kebutuhan dan identitas anggotanya.5 Kekuatan ide sangat berperan dan berpengaruh di dalam infiltrasi strategi dan performance.

4. PELAYAN MUDA : URGENSI ?
Di jaman rasul Nommensen memang faktor usia menjadi pertimbangan penting untuk meyakinkannya bahwa orang-orang Kristen baru tersebut benar-benar pengikut Tuhan Yesus yang setia. Dalam perkembangannya tidak bisa dijadikan jaminan bahwa faktor usia bisa dinyatakan telah matang secara kerohanian dan pemikiran. Ada contoh kasat mata di mana orang-orang Kristen muda ternyata masih saja bimbang walaupun usianya dan pendidikannya rasanya tidak mungkin. Tokoh Raja Patik Tampubolon, mantan guru huria yang sempat membimbing dan memasuki daerah spiritualitas Parmalim, demikian juga Raja Mulia Naipospos, mantan guru huria, menjadi datu atau pimpinan tertinggi kepercayaan Parmalim yang bermarkas di Huta Tinggi, Laguboti.6 Mereka sudah pensiun dan berumur di atas 50 tahun saat meretas jalan tersebut. Di HKBP masih saja ada pertimbangan usia dalam pemutasian pendeta. Yang sudah berumur rasanya dianggap lebih bijaksana menempati pos-pos pelayanan di kota-kota. Padahal Tuhan tampaknya menyukai kalangan muda mungkin karena beberapa pertimbangan. Pertama orang muda masih bisa ditempa, diajari, dan dibimbing seturut kehendakNya. Kedua energitas dan dinamitas orang muda lebih semangat ketimbang orang tua yang telah berumur. Ketiga orang muda mampu mengambil sikap adaptif untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial yang dihadapinya. Keempat orang muda apalagi belum menikah belum memiliki beban dan tanggung jawab yang berarti ketimbang orang tua yang banyak menimbang urusan keluarga, kekerabatan, dan pekerjaan. Pertanyaan kita sangat relevan dengan kebutuhan ini sebenarnya adalah apakah sudah waktunya dan sangat mendesak terjadinya alih generasi? Selanjutnya apakah generasi muda sudah memiliki kapasitas, abilitas, dan integritas memadai untuk memikul salib Kristus di dalam pelayanan gereja tanpa mudah terombang-ambing dimakan isu-isu modern? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, dan perlu proses waktu untuk dapat mengatakan kemungkinan bisa.
Selain itu penguasaan budaya organisasi dan arus pemikiran di atas memang didominasi oleh kalangan orang tua, yang telah berusia 45 tahun ke atas dengan track record dan empiris yang serba cukup sehingga bisa lebih bijaksana dan dianggap layak di dalam pengambilan keputusan, namun tidak berarti kalangan muda tidak mampu. Kembali ke pokok pergumulan kita tentang penatalayanan di gereja HKBP maka tidak ada masalah pemilihan terhadap para pelayan muda sebagai rekrutmen walau pun disebut “sintua naposo”. Jika ada istilah ini rasanya perlu ada istilah “sintua namatua” agar ada “check and balance”, keseimbangan. Rasanya dapat saling melengkapi untuk menunjang penatalayanan. Kekuatan ide, dan pemahaman atas kecenderungan perubahan jaman lebih cermat diikuti generasi muda, ditambah dengan akselerasi pelayanan serta nilai plus lain seperti kemampuan wawasan yang luas. Ketika ada ide untuk membuat periodisasi pelayanan penatua maka sudah perlu peninjauan terhadap pemahaman makna teologis tentang tahbisan (tohonan) sebab HKBP masih memahami tahbisan berasal dari Tuhan dan bersifat permanen, dibawa sampai mati. Ini pergumulan besar warga jemaat HKBP dan perlu kajian mendalam, bukan karena ikut-ikutan saja. Kesulitan yang dihadapi justru di desa-desa karena hal itu ada kaitan dengan konsep kerajaan tadi, sebagai basis kekuatan dan identitas gereja HKBP. Bisa saja cuma pembatasan di jabatan pelayanan saja dengan membatasi faktor usia sampai usia 45 tahun misalnya, namun generasi muda juga harus ada komitmen untuk mempersiapkan diri sebagai kader pelayan, sebagaimana dilakukan Tuhan terhadap para pelayanNya di atas. Di kota-kota tidak ada kesulitan tentang ini karena sumber daya manusia mencukupi namun di desa-desa akan menjadi masalah besar, sebab umumnya yang tua-tua saja tinggal di desa sedang generasi mudanya sudah merantau. Ketika penulis melayani di desa, sungguh sulit bisa mendapatkan guru sekolah minggu, sebab yang tinggal hanya anak-anak remaja yang serba terbatas. Namun sekarang kembali ke hati nurani generasi muda, apakah cukup termangu dan berbisik-bisik tanpa tergerak?

Catatan Kaki:
1 Justin Sihombing,”Sedjarah ni Huria Kristen Batak Protestan”, Medan:Philemon & Liberty:1961,hal.10-11
2 Baca Buletin Narhasem, edisi Juli 2007 dari penulis di mana ada kaitan antara makna sintua dan santo.
3 Erich Fromm,”Revolusi Harapan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal.139-158.
4 Jose P.M.Cunanan,”Jesus, the Organizer” telah diterjemahkan oleh YAKOMA PGI, banyak didiskusikan di kalangan gereja dan aktivis kemanusiaan. Untuk akses melalui internet, silahkan klik :http://daga.dhs.org/daga/press/urm/urm5/urm5i.htm
5 Andrew Brown,”Organisational Culture”, London: Pitman Publishing, 1995, hal.249-251
6 Parmalim sebenarnya didirikan Raja Sisingamangaraja XII sebagai upaya preventif agar penyebaran agama Islam tidak merembes cepat ke tanah Batak sekaligus mencegah kolonialisasi dari Belanda dengan berharap orang-orang Batak tertarik untuk melestarikan budaya Batak. Untuk itulah Singamangaraja menugaskan salah satu panglimanya Guru Somalaing Pardede untuk menggarap ide tersebut, namun dalam perkembangannya bergeser menjadi suatu kepercayaan. Tentang ini dapat dibaca karya Batara Sangti Simanjuntak berjudul Sejarah Batak.


(Penulis adalah Pdt. Melvin Simanjuntak, tulisan ini dimuat di Buku “UntukMU” yang diterbitkan Buletin Narhasem dalam rangka 4 tahun pelayanan Buletin Narhasem pada April 2008)