Jumat, 30 Oktober 2009

ARTIKEL: ALL ABOUT SIDI (5W+1H) DAN APA HUBUNGAN SIDI DENGAN PRASYARAT NIKAH

Katekisasi Sidi (sebutan yang sering disebut dalam bahasa Batak: Parguru Manghatindanghon Haporseaon-PMH) kesempatan mendalami firman Tuhan sekaligus membangun karakter seorang remaja agar lebih dewasa mengikuti Tuhan Yesus Kristus dengan setia. Maka menurut hemat saya harus diberi kesempatan bagi mereka mengikuti pembelajaran sesuai dengan silabus (Kurikulum) yang dipersiapkan Gereja masing-masing. Pemahaman sebahagian orang bahwa katekisasi sidi kesempatan untuk mendapatkan ijin menikah, ada juga yang mengasumsikan memperoleh sertifikat lepas tanggung jawab dari orang tuanya. Yang benar bahwa dalam Katekisasi sidi sebenarnya bukanlah hal itu tetapi adanya suatu masa pembinaan bagi remaja agar menjadi lebih dewasa iman untuk melakukan kewajiban sebagai pengikut Kristus. Maka dia harus dibimbing agar semakin mengenal Yesus Kristus dan kabar sukacita dalam Alkitab, bertumbuh dalam kepercayaan dan pengakuan iman kristen, hidup secara kristiani dengan pimpinan Yesus menghadapi hari-hari dengan sukacita yang baru, bertujuan dan berpengharapan sebagai umat Allah. Sehingga semakin tau membedakan mana yang baik dilakukan dan mana yang jahat yang mau ditinggalkan. Sekarang perlu menyimak satu persatu tentang Katekisasi Sidi gereja melakukan pembinaan warga gereja sejak dini agar peserta sidi dulu, sekarang dan akan datang semakin mantap wawasannya sesuai dengan iman kepercayaannya teguh dan tidak luntur ditelan jaman.

1. What (apa) itu sidi?
Sejak anak-anak sudah ada baptisan kudus yang dilakukan, mereka sudah dipanggil ikut masuk dalam persekutuan Kristen mewarisi kehidupan kekal. Selanjutnya menjadi tanggungjawab orang tua untuk mengajarkan firman Tuhan bagi putra-putri mereka, namun kenyataannya tidak sedikit orang tua yang lupa akan tugas dan tanggungjawabnya. Gereja sebagai institusi yang memiliki peranan penting terpanggil melakukan pembelajaran agar anak dipersiapkan secara dewasa baik jasmani dan dewasa iman. Saya mengutip Aturan dan Peraturan HKBP (AP HKBP) pasal 5 point 6 “Gereja melaksanakan pelajaran Sidi bagi mereka yang akan mengaku imannya.. Ketika akan mengakhiri pelajaran itu, Pendetalah yang mengevaluasi hasil belajar mereka di hadapan pelayanan tahbisan dan orang tuanya masing-masing.. Mereka mengaku imannya di hadapan jemaat pada kebaktian Minggu sesuai dengan tatacara yang tertulis dalam Agenda HKBP”. Maka sidi yang dilaksanakan di Gereja HKBP memperkenalkan Tuhan yang Maha Kuasa, pencipta, pemelihara, dan penguasa atas segala sesuatu. Yesus Kristus penyelamaat dan Roh Kudus adalah yang menguduskan hati manusia untuk percaya kepada karya keselamatan Kristus. Agar mereka mengerti akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai jemaat Kristus kepada Tuhan dan sesama manusia, membangun karakter agar mengasihi Tuhan dan sesama sehingga hidup mereka menjadi persembahan ibadah yang murni dan sejati bagi Tuhan, dan lain sebagainya. Maka yang menerima pembelajaran sidi itu sebaiknya orang yang memasuki usia 13-20 tahun. Masa inilah yang sangat rentan dan bergejolak dalam memasuki panca robah dimana perilakunya bisa berubah-ubah setiap waktu, maka kehadiran Gereja sangat memiliki peranan penting mendampingi kehidupan dalam membangun karakter yang utuh.

2. Why (mengapa) harus sidi?
Kesempatan baik bagi si Putra-putri Gereka dituntun dan dibina untuk menselaraskan gerak kehidupannya kepada Tuhan yang memberi berkat baginya. Maka pembelajaran sidi adalah moment yang pas dalam mengawali pentingnya mengajarkan dan menanamkan pengenalan Tuhan melalui karya-karyaNya, mengajarkan khatehismus karangan Marthin Luther yang terdiri dari : Hukum Taurat, kesaksian iman orang Kristen, Doa Bapa kami, Baptisan Kudus, perjamuan Kudus, doa berisi ringkas, padat dan jelas, mengajarkan sejarah Gereja dan perkembangan-perkembangan masa kini, belajar buku ende dan bahkan pengetahuan umum skop yang lebih luas. Sebaiknya orangtua dan anak dapat saling menopang agar dapat mengikuti pembelajaran sidi itu selama satu tahun. Artinya kurikulum yang sudah dipersiapkan harus diikuti agar suatu saat menjadi jemaat yang matang. Pengalaman penulis di berbagai gereja mulai gereja yang berada di desa dan gereja yang berada kota hampir sama, usul-usul orang tua yang berkembang agar anaknya dapat menerima peneguhan sidi tanpa menerima pembelajaran Sidi karena merekapun katanya menerima pendidikan Agama di sekolah mereka, melalui tulisan ini saya tegaskan tidak bisa disamakan bahan ajar di sekolah dengan pembelajaran Katekisasi sidi mungkin ada muatannya yang sama tetapi ada banyak ketidaksamaannya yang tidak diajarkan di sekolah mereka. Saranku rubalah paradigmu yang salah dan sebaiknya semua yang belum sidi usianya sudah memenuhi syarat segeralah mengikuti pembelajan sidi dimana gereja atau ambil surat pengantar dari gereja asalmu agar bisa kamu mengikuti pembelajaran sidi di mana saudara berada dalam posisi sekarang, pasti ada manfaatnya sekarang dan akan datang khususnya tentang kesaksian imanmu dan kesetiaan kepada Tuhan Allah.

3. When (kapan) mengikuti pembelajaran sidi?
Di dalam buku bahan ajar di Katekisasi sidi HKBP bahwa yang telah berusia 13-20 tahun dapat mengikuti pembelajaran sidi dan lamanya katekiasasi sidi 12 bulan (satu tahun) atau biasa dirumuskan 120 x pertemuan dan sekali pertemuan lamanya 45-60 menit. Tetapi sampai saat ini masih ada kita jumpai yang belum katekisasi sidi diatas usia 20 tahun maka pimpinan jemaat harus memiliki tanggungjawab penuh atas keberadaan mereka. Penulis pernah mengadakan katekisasi khusus bagi mereka yang sudah bekerja dan katekiasasi kilat bagi mereka yang akan segera meried dan mereka akan menerima pembelajaran khusus karena satu hal dan lain hal. Nah...penulis menyarankan kepada pimpinan jemaat setempat janganlah ada yang menerima sidi tanpa pernah diajari sebaiknya minimal 3 bulan sebelum mereka sidi dan perlu dikomunikasikan dengan baik kepada warga jemaat agar merekapun tau apa yang mau kita lakukan jemaat yang belum sempat menerima pembelajaran sidi.

4. Where (dimana) menerima pembelajaran sidi?
Bagi saya pada saat memasuki usia 13-20 tahun sebaiknya di gereja asalnya segera mengikuti katekisasi sidi tetapi kalau sudah meninggalkan kampung halamannya mungkin karena alasan kuliah dan alasan tapi belum menerima sidi sebaiknya di mana gereja yang paling dekat menerima bahan ajar setelah diterimalah surat keterangan dari Pendeta Resort atau pimpinan jemaatnya! Agar mereka dapat menerima pembelajaran sidi di gereja yang terdekat. Alasannya kenapa harus seperti itu karena itu kesempatan baginya memperdalam firman Tuhan melalui bahan ajar katekisasi sidi. Tetapi ada juga budaya rasa malu kalau usianya sudah di atas 25 tahun sudah mulai enggan mengikutinya, temuan yang terjadi dalam pelayanan pada saat mau menikah, itulah kesempatan baginya, bisa saja itu karena terpaksa dia harus mengikuti! Karena syarat mau menikah di gereja Protestant harus lebih dahulu sidi. Kadang-kadang keadaan ini memprihatinkan, sebaiknya harus dipersiapkan dirinya menjadi jemaat yang taat akan aturan yang berlaku di gerejanya.

5. Who (Siapa) yang akan disidikan?
Pertanyaan ini agak pelik untuk dijawab karena belum semua warga jemaat memahami secara bersama orang yang mengikuti pembelajaran sidilah yang pastas menerima peneguhan sidi. Kadang-kadang temuan yang terjadi sepertinya tidak dapat ditolerir kebenarannya, bagi penulis menyarankan sebaiknya orang tua harus satu visi berama majelis dan pelayan full timer, setiap yang menerima pembelajaran sidilah yang menerima peneguhan sidikan. Maukah kita konsisten melakukannya? Atau suka-suka kita aja. Bisa itu mengundang masalah baru dan bahkan sampai meng-kambing-hitamkan yang lain demi kepentinganmu. Imbauan penulis, dengan jiwa besar setiap yang mengikuti bahan ajar sidi yang layak menerima peneguhan sidi. Mari kita serius melakukannya.

6. How (Bagaimana) orang yang menerima peneguhan sidi?
Pertama: memiliki komitmen agar menjadi pengikut Kristus yang menunjukkan curi teladan. Kedua: Siap bertarung mempertarungkan iman percayanya agar hidupnya tetap dikendalikan firman Tuhan, dan pedoman hidupnya selalu beralaskan firman Tuhan. Ketiga: tidak mudah diombang ambingkan oleh arus jaman yang cepat berubah-ubah.

7. Lalu, hubungan sidi dengan prasyarat menikah?
Bagi gereja protestan khususnya HKBP orang yang sudah menerima peneguhan sidi adalah yang layak memasuki jenjang pernikahan kudus. Adapun alasan yang pertama: penulis merumuskan mereka sudah dikategorikan dapat bertumbuh secara jasmani dan bertumbuh secara spritual sesuai dengan iman percayanya. Kedua: pembinaan selama pembelajaran sidi membentuk pola berpikir semakin kritis membaca tanda-tanda jaman. Ketiga: menunjukkan kesetiaan dalam kehidupannya dan berpengharapan penuh melalui sola fide (hanya karena iman), sola scriptura (hanya karena firman Tuhan), sola Gratia (hanya karena anugerah) menjadi baro meter hidupannya. Jika dibandingka dengan dogma Katolik bahwa syarat menikah adalah orang yang mengikuti katakumen, persis sama dengan gereja protestan. Nah sekarang: rekan-rekan yang belum sidikan dan sudah memenuhi syarat putuskan sekarang juga segera daftarkan diri anda untuk mengikuti bahan ajar katekisasi sidi. Ingat pada saat sidilah kamu dapat dibentuk ke arah yang lebih baik melalui kesaksian imanmu. Sebenarnya anda beruntung kalau sudah sidi: status anda menjadi jemaat dewasa, dapat menerima perjamuan kudus, sudah dapat melanjutkan jenjang pernikahan menikah, tapi yang lebih luar biasa menjadi warga kerajaan Allah sekarang dan akan datang! Kesaksian imanmulah sebagai kata kuncinya dalam mengikuti Tuhan. Dimanakah itu kamu dapat raih? Melalui pembelajaran sidi? Makanya berulang-ulang kutegaskan: Kamu harus menjadi peserta sidi yang baik, itulah kesempatan menerima pembinaan dari hamba-hambaNya. Selamat menjadi peserta sidi yang serius dan konsisten. Ajaklah saudara dan rekanmu untuk mengikuti pembelajaran sidi. Horas (Hanya Oleh Karena AnugerahNya Saja).

(Penulis adalah Pdt. Haposan Sianturi, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2009)

Selasa, 13 Oktober 2009

ARTIKEL: PRIVATISASI PENDIDIKAN TINGGI

Salam sejahtera bagi kita semua!! Penulis mencoba mengangkat tema tentang Privatisasi Pendidikan, mungkin sesuatu yang jarang dibicarakan, bahkan terdengar. Karena baru-baru ini semakin tersadar akan pertanyaan seorang teman kelas 3 SMA yang bingung untuk melanjutkan pendidikan tinggi dimana, perihal berbagai kualitas yang ada baik negeri atau swasta mempunyai biaya kuliah yang relatif sama.

Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh setiap lapisan masyarakat, melalui institusi pendidikan yang berifat formal seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, hingga pada Perguruan Tinggi. Keberadaan pihak swasta yang menurut UU SISDIKNAS diberikan peluang dan kesempatan dalam ikut menyelenggarakan pendidikan dengan konsekwensi, lembaga swasta tersebut selaku pihak penyelenggara pendidikan bersedia menanggung biaya investasi dan biaya operasional secara mandiri, hal ini berbeda dengan pihak penyelenggara negeri dimana pihak Pemerintah turut campur tangan secara murni dalam hal pendanaan, kecuali gaji guru. Semua tingkat pendidikan itu mempunyai nilai manfaat bagi peserta didik masing-masing, baik mendapat fungsi laten / langsung maupun manifes / tidak disadari, yang nantinya akan berguna bagi peserta didik di masa depannya.
Dewasa ini banyak kita lihat munculnya sekolah yang berasal dari luar negeri, yang mempunyai rekanan dari sekolah di Indonesia untuk dapat membuka cabang. Hal ini merupakan refleksi dari arus Globalisasi yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dimana pendidikan seakan menjadi barang komoditi untuk diperjualbelikan dalam pasar bebas, yang artinya yang memiliki kemampuan ekonomi sajalah yang mampu merasakan dunia pendidikan. Bertolak belakang dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Dari pasal tersebut, Pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh atas terselenggaranya pendidikan bagi masyarakat. Dan hal ini menjadi semakin ramai dibahas masyarakat terlebih para mahasiswa di Jogja, Makasar, Depok dan Jakarta yang menolak Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) pada awal desember 2008, karena memiliki ketimpangan dengan UUD 1945. Dan pada tanggal 17 Desember 2008 lalu, RUU BHP telah disahkan dan menjadi acuan berbagai perguruan tinggi dalam menentukan kebijakan. Tentu saja hingga saat ini pun masih banyak pihak yang kontra terhadap UU BHP ini, dan berikut akan kita bahasa akan Privatisasi Pendidikan Tinggi.

Globalisasi Vs Pendidikan
Arus globalisasi membawa dampak yang luar biasa bagi setiap negara, hal ini mampu menembus batasan geografi bahkan budaya di tiap negara. Pada akhir bulan Mei tahun 2008 saja, negara-negara anggota WTO yang juga Indonesia selaku anggota menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdangan di 12 sektor jasa, pendidikan tinggi termasuk dalam perdagangan bebas ini. Dan belakangan ini pula, negara maju mulai berlomba-lomba untuk mengekspansi berbagai negara dunia ketiga sebagai tujuan dalam pasar globalnya. Sebut saja Amerika yang dengan mudahnya bekerjasama dengan pendidikan tinggi di negara tujuan pasar globalnya dengan upaya membangun universitas baru, tujuannya jelas bukan lagi untuk mencerdaskan masyarakat karena biaya untuk dapat berpartisipasi sebagai peserta didik cukup besar, tidak heran pemasukan melalui bidang pendidikan cukup besar mempengaruhi pendapatan negara ini, Inggris dan Australia juga mengikuti jejak Amerika dalam mendapat keuntungan dari sektor Ekspor melalui jasa pendidikan.
Awal mula usulan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan berawal dari Pasal 53 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijadikan sebagai dasar pemerintah dalam mensahkan RUU tersebut, yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Pasal ini ditafsirkan bahwasannya masyarakat yang sebagai peserta didik juga punya tanggung jawab untuk membiayai pendidikan, maksudnya pembiayaan pendidikan tidak menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemerintah, tetapi ada sharing cost atau penanggungan biaya bersama dengan peserta didik. Secara tidak langsung, pembukaan UUD 1945 menjelaskan juga bahwa indonesia turut dalam perkembangan dunia atau arus globalisasi, “... Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...” didukung lagi UU tentang SISDIKNAS. Hal itu pula yang menyeret Indonesia menerapkan privatisasi pendidikan tinggi melalui Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Hingga kini masih saja diperdebatkan antara pro dan kontra dari UU BHP yang sudah ditetapkan pada tanggal 17 Desember 2008. Bila kita simak secara teliti, ternyata UU BHP memiliki cukup banyak kelemahan yang secara umum dapat dikelompokan kedalam 3 masalah utama, yaitu (1) masalah ketidakberpihakan kepada masyarakat kecil, (2) masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan (3) masalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam undang-undang ini. Keberpihakan pada masyarakat kecil untuk memperoleh jaminan pendidikan tinggi dengan biaya yang terjangkau, nampaknya tidak tercermin dalam pasal-pasal dari undang-undang ini.

Pendanaan Pemerintah
Ketidak mampuan pemerintah dalam memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen seperti yang sudah tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Dan tertulis sekurang-kurangnya 20% untuk pendidikan, menandakan untuk memperbolehkan pemerintah lebih dari 20% dalam menganggarkan APBN untuk pendidikan diluar gaji guru. Tidak heran negara kita masih terbelakang dalam bidang pendidikan karena pada tahun 2005 saja hanya menganggarkan 8,1%, tahun 2006 mengalokasikan APBN sebesar 9,4% untuk pendidikan, bahkan untuk mencapai setengah dari yang sudah ditetapkan UUD 1945 saja tidak bisa. Di tahun 2007 meningkat menjadi 11,8% dari APBN sebesar Rp 90,10 triliun (kompas, 10/12/2007), masih sangat minim perhatian pemerintah dalam mengalokasikan dana untuk pendidikan di Indonesia ini, sampai kapan pemerintah ingin lari dari pendanaan pendidikan ini, apakah UU BHP ini sebagai langkah awal untuk lari dari tanggung jawab. Lihat saja China, Malaysia dan India yang sangat memperhatikan pendidikan dalam negerinya, yang sangat royal dalam mengalokasikan dananya, tidak heran malaysia berada pada posisi 56 diatas Indonesia yang turun dari posisi 58 menjadi 62 dalam Educational Development Index. Padahal sejak periode awal kemerdekaan banyak guru Indonesia yang sengaja didatangkan untuk mengajar di Malaysia. Dengan ini semakin jelas bahwa negara yang maju ialah negara yang selalu menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan, agar dapat bersaing dengan negara lain, bukan berarti kita sebagai negara berkembang tidak dapat melakukan hal tersebut. Masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi secara eksplisit dalam UU BHP dapat difahami bahwa pembiayaan pemerintah masih tergolong rendah, meskipun anggaran pendidikan 20% dari APBN segera direalisasikan, apalagi dengan adanya pemerintahan bari di Pemilihan Presiden Juli nanti, biasanya mereka menjanjikan untuk lebih memperdulikan kesehatan dan pendidikan.

Privatisasi
Privatisasi secara umum dipahami sebagai proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikan BUMN atau kekayaan publik lainnya dari tangan seluruh anggota masyrakat kepada para pemilik modal perseorangan. Untuk itu UU BHP memberikan peluang bagi PTN untuk menutupi kekurangan biaya melalui komersialisasi kursi PTN dimana setengah dari biaya operasional ditanggung oleh BHP plus pemerintah, dan sepertiganya ditanggung oleh masyarakat atau peserta didik. Kondisi ini terjadi karena adanya kekosongan pengaturan tentang pendidikan tinggi dalam UUD 1945 (amandemen ke-4). Dampak yang diduga akan terjadi dari kurangnya tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan PTN ini adalah melambungnya biaya kuliah di PTN favorit. Terkait dengan masalah tanggungjawab pemerintah ini, UU BHP juga memberikan sinyal peluang masuknya pihak asing dalam bisnis pendidikan tinggi di Indonesia yang tentunya dapat mengancam integritas bangsa. Jejak liberalisasi pendidikan terekam sejak Indonesia meratifikasi perjanjian perdagangan bebas yang disponsori WTO pada tahun 1994. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, sektor jasa termasuk pendidikan tinggi dimasukan ke pasar global dan dijadikan komoditas jasa yang bisa diperjualbelikan.
Dalam privatisasi pendidikan ini tidak lagi mengandalkan pada sektor alam (natural resources) tetapi sudah dalam persaingan modal manusia (human capital) karena bukan lagi kita yang investasi untuk mengolah sumber daya alam di suatu negara, tetapi kita lah yang menginvestasikan tenaga pengajar yang kompeten dalam perdagangan jasa pendidikan ini. Dalam penerapan UU BHP, tiap-tiap pendidikan tinggi menjadi otonomi kampus yang bersifat mandiri dalam hal administrasi maupun pendanaan, pemerintah tidak lagi dapat mengintervensi setiap kebijakan universitas, diharapkan dengan UU BHP mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang handal, profesional dan memiliki kemampuan kompetitif yang tinggi di tengah krisis ekonomi. Badan Hukum Pendidikan juga menawarkan solusi akan fleksibilitas dalam hal pendanaan, universitas / perguruan tinggi yang sudah menjadi badan hukum diberi wewenang untuk menggali sumber dana secara fleksibel demikian juga pengunaan dana tersebut, tidak jarang juga orang beranggapan bahwa BHP sebagai kemandirian dalam self financing. Terlihat pemerintah seperti cuci tangan dalam hal pendanaan yang dikelola secara mandiri oleh tiap-tiap pendidikan tinggi. Karena hal itu pula membuat pendidikan tinggi harus ekstra mencari cara sebagai upaya pemasukan dana, dengan mengadakan program pendidikan baru dan berbagai pelatihan agar roda kegiatan dapat eksis untuk menjalankan administrasi dan mensejahterakan sivitas akademinya. Sehingga membuat pendidikan tinggi semakin tidak tersentuh oleh masyarakat yang tidak mampu karena adanya persaingan dalam seleksi masuk, dalam hal ini siapa yang mampu membayar lebih dapat duduk dan mendapat pengajaran layak. Otonomi kampus ini terlihat lebih komersialisasi dan industrialisasi daripada menciptakan pendidikan tinggi yang mandiri dalam mengelola pendanaan dan administrasi. Padahal sebelumnya PTN merupakan salah satu institusi pendidikan yang dapat diandalkan oleh kelompok miskin, ditinjau dari pembiayaan yang terjangkau. Dan hal ini menjadi sangat miris, ketika masyarakat yang unggul dalam akademik dengan mudah tersingkir karena ketidakmampuan dalam pembiayaan pendidikan tinggi, tergeser oleh kaum elit yang dengan mudah mengeluarkan sejumlah biaya guna melanjutkan pendidikan, dapat dipastikan bahwa pendidikan tinggi tersebut menjadi tidak kompeten karena hanya menampung seseorang yang berkantung tebal guna membayar biaya pendidikan tinggi. Terlebih lagi masyarakat kini mulai mencari cara praktis dalam kelanjutan dari pendidikan tingginya, orientasi dan pola pikir yang salah mulai terlihat sebagai akibat dari persaingan dalam perdagangan bebas, dimana tiap peserta didik tidak lagi mengharapkan terciptanya kemandirian sosial maupun peningkatan kualitas diri tetapi mulai digantikan pola pikir bahwa dunia kampus hanya untuk mempersiapkan peserta didik untuk siap di dunia kerja. Program studi ilmu sosial, budaya, dan ilmu filsafat tidak menjadi pilihan utama lagi karena tidak menjanjikan pekerjaan yang pasti, mereka lebih tertarik pada program studi yang berorientasi pada kebutuhan pasar tenaga kerja, seperti kedokteran, teknik industri dan ekonomi. Menjadi persoalan baru lagi karena, masyarakat Indonesia menjadi manusia yang pragmatis dan tidak mau berkembang lagi, mereka tidak mampu mengendalikan perkembangan jaman atau globalisasi, hanya mampu terbawa arus, bersifat praktis dan mengikutinya, tanpa bisa berekspresi lagi secara mandiri dan telah menjadi masyarakat yang konsumtif dibandingkan produktif.
Inilah gambaran secara tidak langsung dari otonomi kampus / privatisasi pendidikan tinggi yang diterapkan karena campur tangan pemerintah tidak sepenuhnya lagi, terkesan menjadi kepemilikan perseorangan karena memang bebas dalam melakukan berbagai cara untuk mendapat pemasukan dana. Privatisasi pendidikan tinggi ini terjadi karena 2 hal yaitu, adanya motivasi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, karena pemerintah dianggap tidak mampu mengelola pendidikan sebagai sektor pelayanan publik dengan baik dan maksimal, dan yang kedua ialah privatisasi sebagai anak kandung dari liberalisme yang semakin mengglobal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan diberbagai belahan dunia. Dimana pihak penyelenggara pendidikan butuh dana yang cukup untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan SDM atau kebutuhan lainnya yang menunjang proses belajar-mengajar. Menggunakan dunia pendidikan sebagai lahan bisnis yang menerapkan prinsip ekonomi: dengan modal sedikit-dikitnya demi keuntungan yang sebesar-besarnya, konsep inilah yang akan mengubah wajah dunia pendidikan tidak lagi pelayanan institusi pendidikan tetapi menjadi lahan bisnis. Untuk itu sasaran dari pasar ini tidak lagi semua lapisan masyarakat tetapi berpihak pada kaum elit. Seperti yang terjadi pada masa penjajahan kolonial belanda, dimana hanya kaum ningrat dan bangsawan yang dapat merasakan dunia pendidikan, masyrakat pribumi lainnya hanya dapat bekerja pada tuan tanah dan Belanda, kalau dahulu penjajah yang menjadi musuh rakyat kecil, kini di era globalisasi tekanan kekuatan pasar menjadi himpitan bagi rakyat kecil, yang kemungkinan besar hanya mampu mengeyam pendidikan menengah kebawah karena mahalnya biaya pendidikan tinggi. Maka dari itu pihak perguruan tinggi berlomba-lomba mencari pangsa pasar, mereka menjanjikan pendidikan yang cepat saji, cepat disantap oleh konsumen cepat berproduksi lagi, cepat menciptakan kesejahteraan (timbal balik dengan mendapat kerja secara cepat dan layak), maka hal tersebut dapat dinamakan sebagai McDonaldisasi Pendidikan Tinggi (Nugroho, 2002). Tentu saja yang kita harapkan dari UU BHP ini ialah kemandirian secara optimal pendidikan tinggi yang diharapkan mampu bersaing dengan dunia luar, tapi apakah mampu meningkatkan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi masyarakat atau malah justru sebaliknya memarginalisasikan kaum miskin karena ketidak terjangkauan biaya pendidikan?

Penutup
Bukan penulis tidak setuju terhadap UU BHP yang sudah berjalan ini, tetapi ada baiknya Pemerintah dapat menentukan kebijakan yang lebih pro rakyat, baiknya majukan dahulu tingkat pendidikan di daerah atau kota agar tidak terjadi gap yang terlampau jauh antara favorit dan yang tidak, hingga semuanya mampu bersaing secara sehat. Karena setiap pergerakan bangsa hanya dilakukan kalangan terpelajar, lihat saja Sumpah Pemuda, Penculikan Soekarno ke rengasdengklok, mundurnya Soeharto, semua itu dilakukan kalangan terpelajar, bukan serikat pekerja atau militer yang melakukannya, pendidikan adalah kunci untuk membawa bangsa lebih baik. Berikut beberapa saran penulis untuk kita masyarakat menanggapi UU BHP.
1. Melakukan sosialisasi UU BHP terhadap semua kalangan, karena terbukti banyak yang tidak faham. Pemerintah seakan membiarkan hal itu, dan kita jangan hanya diam saja tidak peduli tapi cobalah untuk mencari tahu
2. Pemerintah harus bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap pasal dalam UU BHP dan masyarakat harus mengawasinya.
3. Pemerintah dan masyarakat mencari solusi pembiayaan selain dana masyarakat
4. Pemerintah harus berhati-hati mengambil kebijakan dalam pendidikan.
Selamat hari pendidikan! Tetap semangat untuk mendidik dan dididik, layaknya Gembala dan domba. Tuhan memberkati...

Sumber Referensi:
- Adi Cahyani, Menimbang BHP untuk Meningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi.
- Effendi, Sofian. 2005. Strategi Menghadapi Libralisasi Pendidikan Tinggi. Jakarta : Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas : Tantangan, Peluang dan Harapan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah & Universitas Katolik Atma Jaya.

(Penulis adalah Donny Mason Sitompul -Anggota Team Redaksi Buletin Narhasem, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Mei 2009)

Selasa, 06 Oktober 2009

ARTIKEL: PEMUDA DAN REMAJA YANG MENELADANI DAN DITELADANI

“Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.”
(Yoh 13:14-15)

Kebanyakan manusia cenderung lebih suka untuk dilayani daripada melayani. Seperti murid-murid Yesus yang lebih suka menjadi yang terbesar daripada menjadi yang terkecil di antara yang lain. Bahkan bagi orang-orang yang secara khusus melayani di gereja pun sering terjadi hal-hal seperti ini. Walaupun dinamakan pelayan, tetapi tetap lebih senang untuk bisa dilayani oleh orang lain. Dasar dari itu semua adalah kesombongan manusia yang dimulai sejak kejatuhannya dalam dosa.
Kecenderungan ini pun sering ada di dalam pelayanan pemuda dan remaja di gereja. Banyak yang merasa perlu didahulukan kepentingannya sendiri, keinginannya, perlu selalu diperhatikan, dan dilayani dalam berbagai hal. Sikap seperti ini tentu tidak mencerminkan sikap pelayan yang sejati. Teladan paling tepat untuk setiap pelayan tentu saja terdapat pada diri Yesus.
Dalam Yohanes 13:14-15, disebutkan bahwa Yesus sendiri telah memberikan teladan kepada murid-murid-Nya untuk bisa diperbuat juga kepada orang lain. Yang dimaksud dengan ‘membasuh kaki’ dalam hal ini ialah melayani orang lain. Sikap yang harus dimiliki oleh seorang pelayan, yaitu melayani dengan penuh kerendahan hati. Kita lihat bagaimana Yesus yang adalah Tuhan rela merendahkan diri-Nya demi melayani murid-murid-Nya, bahkan sampai membasuh kaki mereka. Saat itu Yesus punya seribu alasan kuat untuk bisa dilayani layaknya seorang Raja, bahkan disembah sebagai Tuhan. Namun Dia menanggalkan itu semua untuk menggambarkan suatu kasih yang sejati dari seorang pelayan. Apakah terbayang dalam benak kita bagaimana seorang raja melayani rakyatnya bahkan rela membasuh kaki mereka. Pasti sangat sulit kita temukan hal itu di dunia ini. Teladan yang Yesus berikan bagi setiap pelayan pun bukan hanya seperti hal di atas, namun setiap aktifitas dalam hidup Yesus adalah teladan bagi kita semua. Sampai Dia mati di kayu salib untuk menyempurnakan kasih-Nya. Lalu bagaimanakah pemuda dan remaja meneladani-Nya dan menjadi teladan bagi yang lain?

Pemuda dan Remaja yang Meneladani
Sebagai anak-anak Tuhan, pemuda dan remaja Kristen haruslah mampu menjadi teladan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya. Namun sebelum kita menjadi teladan bagi orang, terlebih dahulu kita harus bisa meneladani suatu pribadi yang benar. Sikap aktif untuk bisa meneladani orang lain akan secara tidak langsung membuat kita kembali menjadi teladan bagi orang lain. Secara pribadi, kita tentu memiliki banyak teladan dalam hidup, baik di keluarga, masyarakat, atau pun dalam pelayanan di gereja. Namun teladan sempurna yang ada bagi kita ialah Yesus sendiri. Orang lain mungkin bisa jadi teladan bagi kita, namun mereka pun adalah manusia yang mungkin saja melakukan sesuatu yang tidak perlu kita ikuti, karena setiap manusia tidaklah sempurna. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa dalam kekurangan dan kelemahannya pun setiap orang bisa menjadi teladan bagi kita; orang tua, kakak atau abang kita, teman, rekan pelayanan, tokoh masyarakat, atau bahkan tokoh-tokoh Alkitab lainnya. Namun hendaknya, semua teladan yang kita terima bisa kita seleksi berdasarkan kebenaran firman Tuhan. Yesus adalah Firman yang Hidup. Sehingga setiap teladan Yesus adalah cerminan kebenaran firman Allah itu sendiri.
Yesus mengatakan “…maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu…”. Dari pernyataan itu terlihat bahwa Yesus sendiri menginginkan kita untuk meneladan diri-Nya, dan kita wajib melakukannya. Maka kita pun wajib saling melayani dengan kasih. Ada banyak sekali teladan yang Yesus berikan dalam kehidupan-Nya. Yang pasti, semua itu Dia lakukan dengan penuh kasih kepada sesama; dalam hal menyembuhkan orang sakit, mengajar firman Allah, membangkitkan orang mati, dan banyak hal lainnya.
Tokoh-tokoh seperti Daud, Yosua, Musa, Samuel, Daniel, Paulus, dan tokoh lainnya hendaknya juga bisa menjadi teladan bagi kita. Dalam semua pergumulan hidup kita sebagai anak dalam keluarga, pelajar, mahasiswa, pekerja, maupun pelayan, kita bisa meneladani sikap mereka; setia kepada Allah, menjaga hubungan pribadi mereka dengan Tuhan, menuruti perintah Tuhan, dan lain-lain. Bahkan banyak juga tokoh di dunia ini yang bisa memberikan inspirasi tersendiri bagi pemuda dan remaja. Mulai dari tokoh-tokoh hiburan dan seni, tokoh politik, tokoh agama, atau tokoh masyarakat lainnya. Di zaman globalisasi seperti sekarang sangat terbuka kemungkinan bagi pemuda dan remaja untuk menerima suatu teladan, baik yang buruk maupun yang baik. Tinggal bagaimana kita menyikapi setiap teladan tersebut.
Semuanya harus kembali didasarkan pada firman Tuhan. Yesus memberikan teladan kepada setiap kita, anak-anak-Nya, untuk menuruti setiap perintah Tuhan, setia untuk berkomunikasi ddengan Allah (berdoa dan membaca firman Tuhan), melakukan setiap firman Tuhan, melayani sesama dengan sepenuh hati, memberitakan kabar keselamatan dimanapun kita berada. Semuanya itu Yesus lakukan sepanjang hidup-Nya dalam setiap aktifitas yang dilakukan-Nya. Yesus memberikan teladan sebagai seorang pemimpin sejati yang lebih suka melayani daripada dilayani.

Pemuda dan Remaja yang Diteladani

Pemuda dan remaja yang layak untuk diteladani akan tercermin dengan sendirinya saat dia bisa bersikap sesuai dengan teladan-teladan yang baik. Tanpa harus diminta secara khusus, mereka akan bisa menjadi teladan yang baik bagi orang lain. Langkah awal untuk mencapainya ialah dengan meneladani setiap sikap baik tersebut. Lalu bagaimanakah pemuda dan remaja yang bisa diteladani?
Dalam 1 Timotius 4: 12, Paulus menasihati Timotius, sebagai anak muda, untuk bisa menjadi teladan dalam pelayanannya; “Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” Dalam menghadapi para pengajar sesat saat itu, Paulus menekankan pada Timotius untuk tetap berpegang teguh pada firman Tuhan dan menjadi teladan sesuai firman-Nya. Dengan begitu, Timotius juga telah turut menyatakan kebenaran firman Tuhan melalui perbuatan-perbuatannya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemuda dan remaja saat ini butuh figur teladan yang benar agar tidak masuk ke dalam jerat yang salah di pergaulannya. Oleh karenanya, sebagai anak-anak Tuhan kita harus mampu menjadi teladan bagi rekan-rekan kita yang lain. Jangan sampai karena usia kita yang muda, kita terhalang untuk menjadi teladan. Seperti Timotius yang tekun memperlengkapi dirinya dengan firman Tuhan, demikian juga kita harus terus memperlengkapi diri kita dengan firman-Nya sehingga kita tahu bagaimana seharusnya menjadi anak muda yang patut diteladani.
Secara tidak sadar, mungkin kita telah cukup berpengaruh dalam kehidupan teman-teman kita. Oleh karenanya, jangan sampai kita memberikan suatu cerminan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Biarlah kita juga bisa menjadi teladan bagi teman-teman kita sendiri. Yesus meminta kita untuk meneladani semua yang telah diperbuat-Nya dalam pelayanan; mengasihi Allah dengan sepenuh hati dan sesame seperti diri sendiri.
Pemuda dan remaja yang layak diteladani ialah yang mampu mencerminkan pelayanan Kristus dan membantu orang lain untuk menerima Yesus secara pribadi. Dengan kata lain, orang yang melihat teladan kita akan merasa termotivasi untuk bisa sama-sama bertumbuh dengan kita dan termotivasi untuk turut kembali menjadi teladan. Seperti Timotius, hendaknya kita bisa menjadi teladan dalam perbuatan, tutur kata, pola pikir, sikap hati, dan segala yang kita lakukan sehari-hari. Beberapa hal diantaranya; menghormati orang tua, tidak suka membohongi teman, tidak menyakiti hati teman, bertutur kata dengan lembut, memiliki pikiran yang positif, tidak menjelek-jelekkan teman, tulus dalam menolong teman, tidak mudah tersinggung, selalu mendahulukan kepentingan orang banyak, mudah untuk memaafkan orang lain, penuh sukacita dalam berkomunikasi dengan orang lain, dan sabar menghadapi orang lain. Demikian beberapa hal yang sangat mungkin untuk kita lakukan untuk bisa menjadi teladan bagi orang lain.

Kesimpulan
Walaupun sebagai anak muda, kita tetap bisa menjadi teladan bagi orang lain. terlebih dahulu kita harus bisa benar-benar mengerti semua teladan pelayanan Yesus dan melakukannya dengan setia. Untuk bisa tahu dan mengerti tentang teladan pelayanan-Nya, kita harus rajin mempelajari firman Tuhan. Dan kita harus selalu memohon pada Tuhan untuk dimampukan melakukan firman-Nya dan menjadi teladan di kehidupan kita sehari-hari. Karena hanya dengan pertolongan-Nya-lah kita bisa benar-benar menjadi teladan. Dengan telah mengetahui semua ajaran Yesus, kita harus termotivasi untuk meneladani-Nya dan menjadi teladan dalam perkataan kita, dalam tingkah laku kita, dalam kasih kita, dalam kesetiaan kita dan dalam kesucian kita. Percayalah, Tuhan pasti memampukan kita untuk bisa melakukannya.

(Penulis adalah Leonardo Sitompul -Ketua Seksi Pumuda HKBP Semper-, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2009)

Sabtu, 03 Oktober 2009

ARTIKEL: MUNCUL BIDAT SESAT MAKA GEREJA BERSIASAT

1. Pengantar
Terminologi “sekte” senada dengan istilah “aliran”, yang bisa dikatakan masih bagian atau ada hubungan atau terjadi karena perbenturan persepsi pemikiran yang dipercayai. Berbeda dengan “bidat” yang berkonotasi negatif, sebagai aliran yang sangat berbeda, lain, dan terlalu jauh menyimpang dari kaidah yang normal. Tulisan ini memakai terminologi “bidat” untuk tujuan memperjelas pembahasan aliran yang dianggap gereja menyesatkan atau dianggap sebagai “patologi keagamaan”, sehingga batasan yang menjadi tulisan ini tidak meluas agar tidak membuat bingung.
Menurut saya kemunculan bidat disebabkan karena 2 hal, yakni arus pemikiran dari luar berjumpa dengan Injil sehingga terjadi konfrontasi, ekses dari perdebatan pemikiran teologis tentang sejumlah tematis Alkitab atau Injil di mana sampai kepada suatu keputusan akhir untuk mengecam, menyatakan sesat, bahkan pula mengutuknya. Nah, perlu wisata petualangan untuk masuk menjelajahi pemikiran dari awal kemunculan Kristen sampai keadaan sekarang. Namun jujur saja perkembangan keadaan bidat bagi gereja merupakan suatu tantangan iman tersendiri di mana gereja harus melakukan 2 hal sekaligus, yaitu melakukan tindakan preventif untuk membentengi jemaat dari pengaruh ajaran bidat, dan melakukan tindakan purifikasi atau pembersihan ajaran dengan siasat gereja setelah ada klarifikasi agar tidak bercampur dengan ajaran resmi gereja.

2. Pemikiran Sesat Dan Siasat Gereja
Secara historis kemunculan bidat sama tuanya dengan kemunculan gereja. Tentu di awal-awal kekristenan sudah terdapat pihak-pihak yang tidak puas dan tidak dipenuhi kebutuhan rohaninya sehingga menimbulkan suatu pemikiran teologis tersendiri. Jika pemikiran tersebut berasal dari luar, tentu tidak akan berat pergumulan Kristen mula-mula, namun kemunculan pikiran teologis yang terjadi ada pula muncul dari tengah-tengah jemaat. Misal Surat 1 Korintus 3 mengetengahkan adanya perbedaan persepsi cukup tajam antara Rasul Paulus, Apolos, dan Kefas. Perbedaan tersebut muncul dari tanggapan, dan pemahaman yang ditangkap setiap warga jemaat berbeda-beda.Yang satu lebih dapat menerima siraman rohani dari Paulus, satunya lagi dari Apolos, dan satunya lagi lebih dapat menerima percikan rohani dari Kefas.
Analogi yang relevan terhadap perbedaan persepsi tersebut adalah khotbah-khotbah dari para pendeta. Terhadap pendeta A karena bisa buat ketawa terkekeh-kekeh maka dikatakan, ”Tabo nai jamitana”, ”jago do hape pandita i”, tapi terhadap pendeta lain yang serius dan tidak ada lucunya maka mungkin ada warga jemaat mengatakan,”Ai dia do pandita on, ndang tabo jamitana”, ”ah, gabe mondokhondok au nuaeng”, sampai kepada pikiran rada miring, ”Pandok ma disi panditanami!”. Ada juga tidak komentar dalam hatinya tapi ketika ditanya, apa isi pokok khotbah tadi maka dijawabnya,”ndang huboto bah !”. Mungkin karena ganteng pendetanya, warga jadi terpesona, atau kurang ganteng jadi timbul kurang pesona. Jadi macam-macam respon jemaat terhadap khotbah pendeta, berakibat pada munculnya sentimen emosional, bukan kecerdasan emosional, yang disebut di perikop tersebut sebagai “iri hati”,”roha pangiburu”.
Hal berbeda terdapat di dalam Kisah Para Rasul 14, Surat Galatia, dan Surat Kolose. Di dalam Kisah Para Rasul pasal 14 Rasul Paulus langsung konfrontasi untuk menghadapi ajaran pemikiran filsafat Stoa sehingga muncul persepsi di antara mereka bahwa Barnabas disebut Zeus, dan Paulus disebut Hermes. Di mitologi Yunani, juru bicara dewa tertinggi yang disebut Zeus adalah Hermes. Dari kata Hermes inilah diambil istilah untuk “Hermeneutika” sebagai ilmu tafsir di dalam disiplin ilmu teologi. Lain lagi di Surat Galatia di mana Rasul Paulus menghadapi 2 ajaran sekaligus yang berbeda sama sekali yang berkembang di dalam iman jemaat, yakni aliran Gnostisisme dan Libertinisme. Gnostisisme adalah ajaran yang menekankan pada penggunaan kekuatan akal sehat, rasio atau gnostos, yang mendapat angin setelah munculnya pemikiran filsafat yang menyatakan bahwa manusia adalah mahluk berpikir, cogito ergo sum dari Rene Descartes (terkenal dengan diagram Cartesius di dalam ilmu matematika) dan Immanuel Kant. Karena itu jika sesuatu tidak rasional maka patut ditolak menurut Gnostisisme sebagai kriteria. Paham Gnostik mengilhami kemunculan bidat Christian Science, Sciencetology, dan New Age Movement dalam hal yang prinsipil. Namun paham Gnostisisme juga menjadi alasan kemunculan bagi rasionalisme, nihilisme, eksistensialisme, dan humanisme.1
Berbeda dengan Gnostisisme, kalau Libertinisme amat menekankan pada kebebasan (libertus). Kristus telah memerdekakan setiap orang Kristen dari belenggu dosa, karena itu setiap orang memiliki kebebasan dalam segala hal dan dalam arti seluasnya, sehingga membuat beberapa warga jemaat merasa tidak perlu bertanggung- jawab. Kebebasan tiada tara menurut ajaran resmi gereja adalah salah, tidak dapat dibenarkan. Karena manusia menjadi tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, menjadi orang yang apatis, dan membuat manusia sesukanya. Libertinisme berbeda dengan paham yang berkembang saat ini bidang ekonomi, Liberalisme yang keturunannya Neoliberalisme berkongsi dengan Globalisasi. Tapi Libertinisme ini dapat dikatakan menjadi cikal bakal pemikiran tajam dari Eksistensialisme yang dikembangkan John Stuart Mill di Inggris, Jean Paul Sartre di Perancis, Martin Heidegger di Jerman, Fuad Hassan di Indonesia. Demikian juga pemikiran Humanisme,yang dipikirkan Erasmus Huiz.2 Eksistensialisme dan Humanisme dalam arti pengertian mereka memandang manusia menjadi pusat dari segala sesuatu, dan manusia adalah mahluk yang paling berharga serta terpandang, sedang yang lain jika bertentangan harus dimusnahkan. Dalam koridor tersebut timbul istilah “homo homini lupus”, tiap kelahiran manusia menjadi ancaman terhadap kebebasan manusia lain, demikian juga keberadaan Tuhan. Di bidang politik istilah “homo himini lupus” mendapat makna sebagai rivalitas.
Lain lagi tantangan bidat yang muncul di Surat Kolose, yakni Asketisme. Asketisme sebenarnya telah dipelopori oleh para pengikut Yohanes Pembaptis, yang kemudian dikenal sebagai “Sekte Qum’ran” berdasarkan penemuan gulungan tulisan (magilot) yang diyakini para peneliti sebagai persekutuan asketisme. Menurut pandangan teolog modern Yohanes Pembaptis setelah membaptis Yesus Kristus secara simbolis tetap memberikan pengajaran di sekitar sungai Yordan sebagai basis pelayanannya, dan tidak ingin memasuki “dunia keramaian” dan “dunia kebisingan”, karena membuat mereka menjadi tidak sakral dan dianggap sebagai “dunia penuh dosa”. Di masa Yohanes Pembaptis dan pengikutnya hanya pengasingan (mirip pertapaan) sebagai bentuk pengudusan dan pengimanan yang benar. Tapi perkembangan lebih lanjut sebagaimana dihadapi Rasul Paulus, mereka sudah melangkah sangat maju pemikirannya. Pertama menurut asketisme proses penyelamatan terjadi hanya melalui anugerah. Kedua asketisme sangat menekankan pada ajaran perbuatan baik, di mana sangat menentukan dalam kehidupan manusia (mirip pahala dalam Islam). Dan terakhir asketisme memerintahkan para pengikutnya untuk menjalankan puasa walau dalam kondisi sakit sekalipun. Karena dalam penderitaan terdapat kenikmatan dan kebahagiaan. Di Porsea dulu sekitar tahun 1960-an sempat muncul bidat Parsiak Bagi, mirip dengan asketisme.
Di masa Bapa-bapa Gereja terdapat perbedaan pemikiran yang cukup tajam tentang suatu tematis di dalam Alkitab. Misal keberadaan Yesus Kristus sebagai Anak Allah atau dogma tentang “trinitas”. Nah, mari kita menerawang satu per satu bagaimana sebenarnya muncul pemikiran ajaran sesat pada awal kekristenan? Pandangan sesat pertama justru datang dari seorang warga jemaat bernama Marcion, saudagar kaya raya hingga mampu mendirikan sebuah gereja. Menurut Marcion, Allah Perjanjian Lama (PL) dan Allah Perjanjian Baru (PB) sangat berbeda. Allah PL bersifat terbatas, kurang sempurna, kurang mulia, dan kurang memiliki kemampuan dasyat. Karena itu Allah PL bersifat pemarah, pendendam, dan kejam. Allah PL tidak mengutus Yesus Kristus datang melawat dunia melainkan Allah lain yang menurutnya benar dan berlaku adil, namun Allah PL yang menjebak Yesus untuk disalibkan karena sifat benciNya. Akibat pandangan Marcion sedemikian rupa, membenci semua unsur Taurat di PL maka Marcion menolak dan membuang semua kitab PB yang terkait dengan PL. Kitab-kitab PB yang diterimanya adalah Kitab Lukas dengan meniadakan kisah kelahiran Yesus, semua surat para rasul kecuali Surat Timotius dan Surat Titus.3 Hasil pekerjaan Marcion itu disebut sebagai “Kitab Marcion”. Ajaran Marcion berkembang mulai abad ke 2 hingga abad ke 5, kemudian dinyatakan sebagai ajaran sesat.
Perkembangan selanjutnya sangat ramai bahkan perdebatan sengit pun tidak terhindarkan. Perdebatan tersebut lahir di kalangan para pemimpin gereja, di antaranya sangat penting disebut Arius, Apolinaris, dan Nestorius. Dari kata “nestorius” menjadi “nestorian” bagi pengikutnya datang istilah “nasrani”. Menurut Arius, presbiter dari Aleksandria,Yesus Kristus tidak sama dan tidak serupa dengan Allah Bapa, namun ciptaan Allah Bapa yang tertinggi serta ciptaan yang tertua. Allah Bapa menciptakan segala sesuatu kemudian melalui Yesus Kristus, namun Yesus Kristus tidaklah kekal adanya. Karena Yesus Kristus memiliki ketaatan yang tinggi maka Allah Bapa memberi tempat terhormat kepadaNya. Dasar pandangan ini yang dikemudian diambil oleh seorang warga Amerika Serikat (AS) berdarah Yahudi, Charles Taze Russel untuk mendirikan Saksi Yehova (Jehova Witnessing). Persoalan kesehakekatan (homo-ousios) atau ketidaksehakekatan (hetero-ousios) Yesus Kristus dengan Allah Bapa akhirnya dibawa ke dalam Konsili Nicaea I tahun 325 M. Hasil konsili memutuskan bahwa ajaran Arius sesat, dikutuk dan untuk melawan ajaran Arius dikumandangkan Pengakuan Iman Nicea yang sangat terkenal tersebut.4 Apolinaris, uskup dari Laodekia justru berpendapat bahwa Yesus Kristus hanya memiliki tubuh dan jiwa, namun tidak memiliki roh sebab rohNya telah diganti oleh Logos (Yohanes 1). Karena itu Yesus Kristus bukanlah manusia melainkan Ilahi, sama dengan Allah Bapa. Pandangan ini sering disebut “monofisitisme”. Pada tahun 377 M ajaran Apolinaris dinyatakan sesat oleh Damasus I dan dikukuhkan dalam putusan Konsili Konstantinopel II tahun 553 M bahkan dikutuk.
Demikian juga pandangan Nestorius yang memisahkan ketuhanan Yesus dan kemanusiaan Yesus, dengan alasan jika benar Yesus adalah sungguh Tuhan dan sungguh manusia maka tidak ada keesaan Tuhan melainkan keduaan Tuhan. Sedang pandangan Eutikianus menyatakan bahwa unsur kemanusiaan dan keilahian Yesus Kristus bercampur padu, namun tentu keilahianNya melebihi kemanusiaanNya. Kedua pandangan ini, Nestorius dan Eutikianus dibicarakan dalam Konsili Kalsedon tahun 451 M. Hasilnya kedua pandangan tersebut dinyatakan sesat, kemudian dikeluarkan Pengakuan Iman Kalkedon. Dengan keluarnya kredo Kalsedon maka Gereja menyatakan 4 hal penting. Pertama Yesus Kristus memiliki sifat keilahian yang sempurna, untuk menangkal ajaran Arius. Kedua Yesus Kristus memiliki sifat manusia yang sempurna, untuk menangkal ajaran Apolinaris. Ketiga kedua sifat tersebut tidak terpisahkan dan berada dalam satu pribadi, untuk menangkal ajaran Nestorius. Keempat kedua sifat itu juga tidak bercampur atau saling melebihi, untuk menangkal ajaran Eutikianus.5 Keempat pernyataan Gereja tersebut sampai kini menjadi pijakan dogma Kristen, yang dipegang oleh Gereja Katolik, Gereja Kristen Orthodoks Timur, Gereja Protestan Lutheran, Gereja Protestan Calvin, dst. HKBP termasuk gereja dari aliran Lutheran.

3. Berbagai Bidat Sesat
Dari uraian di atas rasanya jelas sudah bahwa kemunculan aliran bidat yang menyesatkan disebaabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal biasanya karena ketidakpuasan dengan pelayanan yang diterima warga jemaat bercampur dengan kondisi sosial politik yang kurang menguntungkan sehingga menimbulkan aras perlawanan yang anti-kemapanan atau anti-status quo. Tulisan ini hanya memuat perkembangan bidat yang pernah masuk, dan masih bertahan di negara kita, Indonessia. Tidak khusus membahas tentang banyaknya bidat yang bertebaran di seluruh dunia. Bidat-bidat yang dimaksud adalah Mormon, Christian Science, dan Jehovah’s Witnesses. Walau perrnah ada bidat bernama Children of God masuk ke Indonesia di era 1980-an namun cepat mati suri sehingga tidak perlu dibahas di sini.
Bidat Mormon timbul karena perekonomian tidak sehat di negara AS sehingga mendorong Joseph Smith mendirikan The Church of Jesus Christ of the Latter-Day Saints (Gereja Yesus Kristus dari Orang Kudus Akhir Jaman) pada tanggal 6 April 1830, yang dikenal dari nama kitabnya saja, yakni “Mormon” (The Book of Mormon). Selain kitab Mormon terdapat juga kitab-kitab lainnya, yakni Doctrine and Covenant, Nauvoo Charter, dan Pearl of Great Price.6 Awalnya perkembangan bidat Mormon mengalami penghambatan dan kekerasan di negara asalnya karena pengikutnya sendiri memang sangat agresif dan agitatif dalam melakukan penyerangan terhadap aliran-aliran gereja yang mapan. Bidat ini sempat masuk ke negara Indonesia, namun kurang berkembang pesat. Mereka telah membangun semacam sekretariatnya di Jakarta Selatan, di Jalan Saharjo 317B walau sudah keluar surat larangaan dari pemerintah kita dengan SK No.70 dan No.76. Joseph Smith yang memaklumatkan diri sebagai nabi bidat ini berasal dari keluarga miskin dan hidup dalam penderitaan, bahkan ayahnya sendiri terlibat dalam hutang piutang hingga masuk penjara, namun dibesarkan dari aliran gereja Presbiterian. Smith bekerja keras untuk dapat memenuhi kebutuhannya bahkan sampai mencari-cari harta karun seperti Menteri Agama kita di masa Presiden Megawati dulu. Bidat ini tidak mengakui trinitas, kitab-kitab Perjanjian Baru diganti dengan kitab Mormon sebab kitab Mormon dianggap kelanjutan dari kitab-kitab Perjanjian Lama, jemaat Mormon dapat jadi “allah” sama seperti yang mereka yakini, dan Yesus Kristus walau diyakini sebagai penebus namun disamakan dengan Yehova (kebalikan dari ajaran Saksi Jehova).
Selain bidat Mormon masih terdapat bidat lain yang juga telah masuk ke Indonesia, yakni Christian Science. Sebenarnya nama asli bidat ini adalah Church of Christ, Scientist (Gereja Kristus Pakar Ilmu Pengetahuan) didirikan oleh Mary Baker Eddy berdasarkan inspirasi dari Dr.P.P.Quimby, sahabat dari suami pertamanya, Drg.Daniel Paterson pada tahun 1879 bersama 26 orang, termasuk murid-muridnya. Namun Paterson meninggalkan Mary tanpa sebab sehingga terpaksa diceraikannya tahun 1873 lalu Mary menikah kembali dengan muridnya bernama Asa Gilbert Eddy selama 5 tahun karena Eddy meninggal akibat serangan jantung. Mary dan Paterson sering ribut sehingga membuatnya mengidap penyakit histeria. Setelah Quimby meninggal tahun 1866, Mary mengalami penyembuhan metafisik ilahi, yang dsebutnya sebagai Christian Science. Menurut Mary penyebab penyakit dari Eddy dan dirinya adalah hanya soal mind (budi pekerti) yang berakibat pada gangguan mental fisik. Lalu Mary membuat buku berjudul, ”Science and Health with Key to the Scriptures”, yang menjadi kitab suci kedua bagi bidat ini selain buku Emmanuel Swedenborg. Jika Quimby dan Swedenborg memusatkan bahwa mind itu mengatasi materi (mind-over-matter) dan merupakan kehendak pribadi maka Mary menyatakan bahwa mind itu berasal dari Tuhan Allah dengan kebenaran Tuhan sendiri. Sama dengan bidat Mormon dan Jehovah’s Witnesses mengklaim bahwa Alkitab yang ada sudah keliru dari penafsiran yang benar. Karena itu mereka menyodorkan penafsiran baru yang justru membuatnya menjadi bidat. Bidat ini tidak mengenal dosa dan Yesus Kristus berbeda dengan Allah Bapa. Karena itu tidak mungkin Kristus dapat menebus dosa manusia, dan dianggap sebagai berita pembohongan. Bidat ini memiliki surat kabar terkemuka di dunia, yang kadang sering diacu oleh surat-surat kabar Indonesia, yakni The Christian Science Monitor. Di Pematang Siantar bidat ini sangat dekat letaknya dengan HKBP Martoba.
Russel mendirikan Jehovah’s Witnesses tahun 1879 berdasarkan inspirasi bahwa kedatangan Kriistus terrjadi pada awal milenium tahun 1914 setelah didahului dengan masa panen selama 40 tahun sesuai Wahyu 7:4-9. Sebelumnya Russel menganut ajaran Advent, namun karena berbeda pandangan dengan pemimpin Advent Nelson Barbour menyangkut soal kedatangan Kristus maka dia berjalan sendiri. Awalnya Russel membentuk Bible Study tahun 1879 kemudian dipilih oleh kelompok Bible Study sebagai pendetanya seperti Mary Baker dipilih oleh murid-muridnya. Sukses dengan Bible Study, mulailah mereka mendirikan majalah berjudul “Zion’s Watchtower and Herald of Christ’s Present”. Rupanya tirasnya naik tajam sehingga mereka membangun institusi yang dinamai “Zion’s Watch Tower Bible and Tract Society”. Mulai tahun 1893 nama Zion’s dihapus, cukup dengan nama Watch Tower (Menara Pengawal). Kehadiran perang dunia pertama tahun 1914 seolah-olah sangat membenarkan keyakinan tafsiran Russel di mana perang itu dianggapnya sebagai perang Harmageddon (Perang antara Kebaikan dan Kejahatan). Menurut Russel wajah baru akan muncul pada tahun 1918. Namun ternyata perang dunia pertama berakhir tahun 1918 tidak muncul kedatangan Kristus. Sayang Russel keburu meninggal pada tahun 1916 sehingga tidak menyaksikan tafsirannya yang meleset total. Menurut Russel Allah Bapa dan Yesus Kristus adalah dua pribadi yang berbeda sama sekali. Allah Bapa sebagai Creator memiliki posisi dan status lebih tinggi dari Yesus Kristus, sedangkan Roh Kudus adalah alat kuasa dari Allah Bapa (Jehova). Dengan demikian terjemahan Alkitab salah total sehingga kelompok bidat ini menerbitkan terjemahan Alkitab dengan nama “New World Translation of the Scriptures” tahun 1961 sekaligus melarang pengikutnya untuk melakukan tafsiran sendiri atau studi banding terhadap terjemahan mereka. Saksi Yehowa mengakui tebusan Kristus namun mereka memahami seorang penebus dosa pada hakekatnya juga berdosa. Akhirnya pada tahun 1976 bidat Saksi Yehowa dinyatakan sesat dengan SK pemerintah melalui Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yang melarang melakukan misinya.

Catatan Kaki:
1. Tentang nihilisme, eksistensialisme, humanisme, dan rasionalisme dapat dibaca di karya Louis Leahy,”Aliran-aliran Besar Ateisme”, Jakarta-Yogyakarta : BPK-GM, Kanisius, 1990, yang berbuntut pada kemunculan ide Postmodernism dengan pelbagai corak. Baca juga Kees Bertens,”Panorama Filsafat Modern”, Jakarta : Gramedia, 1987.
2. Ibid., Sartre menyatakan di dalam kebebasan manusia terdapat hakekat kemanusiaannya. Karena itu manusia harus bebas sebebas-bebasnya dan semua halangan termasuk kelahiran anak harus dianggap sebagai rival. Untuk mencapai itu Sartre turun langsung dalam aksi demonstrasi di Perancis.
3. Perhatikan Paulus Daun,”Bidat Kristen daari masa ke masa”, Manado: Yay.Daun Fam., cet.ke 13, 20
4. Lih. Norman P.Tanner,”Konsili-konsili Gereja”, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 36
5. Tony Lane,”Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani”, Jakarta: BPK-GM, 1990, hal. 52
6. Lebih lanjut baca Jan Siihar Aritonang, “Berbagai Aliiran di Dalam dan di Sekitar Gereja”, Jakarta : BPK-GM, 1999, hal.343-370; bdg. Paulus Daun, op.cit, hal. 127-133.

(Penulis adalah Pdt. Melvin Simanjuntak, M.Si., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi November 2007)