Sabtu, 31 Juli 2010

ARTIKEL: PERSEMBAHAN

Dalam setiap ibadah Minggu ada pernyataan liturgis tentang persembahan. Persembahan telah menjadi kelaziman dalam kehidupan Gereja dan Lembaga-lembaga Kristen. Sesuatu yang sudah lazim bisa kehilangan makna. Sebab itu kita merenung : bagaimana cara kita menggunakan hasil persembahan itu ? Bisa jadi kita bermuluk dengan istilah "korban syukur yang harum", namun dibalik itu kita mengharapkan imbalan.
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara pengertian umat Perjanjian Lama dan Gereja abad pertama tentang persembahan. Pada zaman Perjanjian Lama persembahan berhubungan erat dengan upacara korban. Dalam Imamat pasal 1 s/d 7 terdapat beberapa contoh jenis persembahan korban seperti korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban penghapus dosa, dan korban penebus salah. Ibadah Israel juga mengenal persembahan persepuluhan dalam bentuk hasil ladang, ternak atau uang (lihat Ulangan 14 : 22-27). Bahkan kemudian ada pula kelaziman untuk memisahkan sepersepuluh dan bumbu-bumbu di meja makan (lih. Mat. 23 : 23). Kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan memuat beberapa ketentuan yang mengatur wujud, jumlah, cara dan waktu memberi persembahan. Bahkan ada peraturan yang menetapkan denda 20 % bagi penyimpangan persepuluhan (lih. Im. 27
Ketika kemudian Gereja terbentuk pada abad pertama, persembahan mempunyai arti yang berbeda. Persembahan di gereja abad pertama berkaitan dengan perjamuan. Ketika itu belum ada pemisahan antara Perjamuan Kudus (ekaristi) dengan Perjamuan Kasih (agape). Orang membawa persembahan dalam bentuk makanan atau uang sebagai biaya untuk penyediaan makanan dengan tujuan agar orang miskin yang tidak mempunyai makanan di rumah bisa ikut makan (baca latar belakang munculnya "pelayanan meja" dim Kis. 6 : 1-6).
Persembahan dalam Agama Yahudi di zaman Perjanjian Lama bersifat kudus dan ritual, sedangkan di Gereja pertama lebih bersifat diakonal. Memang di Perjanjian Lama juga ada aspek diakonal, misalnya dalam Ulangan 14 : 28-29 dimana "orang asing, anak yatim dan janda yang di dalam tempatmu akan datang makan dan menjadi kenyang", Namun hal itu hanya terjadi sekali dalam tiga tahun. Padahal di Gereja abad pertama perjamuan yang bersifat diakonal itu terjadi setiap Minggu, bahkan menurut catatan Kisah Para Rasul 2 : 46 perjamuan itu terjadi setiap hari.
Bagaimana halnya bila dalam Gereja yang bersangkutan tidak ada orang miskin? Adakah sifat diakonal persembahan tidak berlaku? Pekerjaan diakonia tidak dibatasi oleh dinding Gereja, bahkan tidak pula oleh dinding apapun. Sebuah contoh terdapat dalam Kisah Para Rasul 11 : 27-30 tentang gereja di Antiokha yang menyalurkan persembahan kepada umat di Yudea. Juga ada contoh di 2 korintus 8 dan 9 tentang Gereja di Makedonia yang mengirimkan uang ke Gereja di Yerusalem. Pemahaman tentang persembahan menurut Gereja abad pertama seperti yang tertulis dalam Kisah Para Rasul dan sejumlah Epistel, menunjukkan perbedaan dasariah dibandingkan dengan persembahan dalam ibadah-ibadah lain. Pada waktu itu ibadah agama Yahudi, Kanani, Romawi dan Yunani ditandai dengan persembahan yang bersifat kultis dan ritual. Orang memberi persembahan supaya diimbali, supaya mendapat pahala dan supaya dibalas dengan kekayaan, keselamatan, kesehatan, keberhasilan dan lainnya. Di situ terdapat unsur do ut des yaitu "aku memberi supaya aku diberi". Dalam persembahan itu terdapat unsur sogok atau suap kepada kuasa-kuasa ilahi. Gereja abad pertama justru mengembangkan pemahaman vang sebaliknya. vaitu kita memberi karena kita sudah diberi. Persembahan yang kita berikan adalah ungkapan syukur atas keselamatan yang telah diberikan Allah melalui Yesus Kristus. Kita sudah menerima keselamatan, maka kita bersyukur. Ungkapan syukur itu kita berikan dalam wujud persembahan, pujian, dan berbagai perbuatan baik kepada sesama manusia. Rasul Paulus menulis : "kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka" (2 Kor. 8 : 13-15). Bahkan Tuhan Yesus mengajarkan untuk memberi dari keterbatasan, seperti janda miskin menurut Markus 12 : 41-44.
Dalam setiap ibadah Minggu panggilan untuk memberi persembahan masih terus diserukan. Masih benarkah motivasi persembahan kita ?

(Penulis adalah Pdt. Drs. B. Hutahaean M.Div., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2005)

Senin, 26 Juli 2010

ARTIKEL: PEMBERDAYAAN SEKSI PEREMPUAN DALAM PELAYANAN DI GEREJA

I. Pendahuluan
Benarkah perempuan itu lemah ?
Saya pernah membaca tulisan tentang perempuan, demikian : "sayangilah ibumu selama dia di dunia". Ketika itu Tuhan telah bekerja 6 hari lamanya. Kini giliran diciptakan para ibu (perempuan), seorang malaikat menghampiri Tuhan dan berkata lembut : "Tuhan, banyak nian waktu yang Tuhan habiskan untuk menciptakan ibu ini". Tuhan menjawab dan menjelaskan secara rinci semua kekhususan perempuan dimata Tuhan. Termasuk: keterampilan yang harus dimiliki, kesabaran, kelemah-lembutan, serta kemampuan mengasuh anak dan mendampingi suami. Malaikat itu masih saja memberikan komentar "terlalu lunak" katanya. Tapi kuat, kata Tuhan bersemangat : mampu memikul derita, dapat berfikir tapi juga memberi gagasan, idea dan berkompromi: kata Sang Pencipta. Akhirnya malaikat menyentuh sesuatu di bagian pipi, " Eh, ada kebocoran disini!". "Itu bukan kebocoran", kata Tuhan, itu adalah air mata......kesenangan dan kesedihan, silih berganti.... kekecewaan, kesakitan, kesepian, dan kebanggaan....... "Tuhan memang ahlinya", malaikat berkata pelan.
Itulah gambaran tentang perempuan yang sering kita dengar sampai sekarang, dari banyak kalangan mengatakan, bahwa : perempuan itu lemah dan tak berdaya. Tetapi ternyata "perempuan" adalah karya istimewa dan sangat spesial dimata Tuhan. Dari semua itu apakah yang menjadi jawaban "Seksi Perempuan" terhadap tritugas panggilan Gereja (Koinonia, Marturia, dan Diakonia) sebagai ungkapan kasih, yang dapat menyenangkan hati Tuhan ?
Perempuan HKBP terpanggil untuk ikut serta ambil bagian dalam tugas pelayanan ditengah-tengah Gereja,

II. Keterangan
1. Apakah yang sudah dikerjakan Perempuan HKBP melalui kehadirannya ditengah-tengah Gereja. ?
Adapun Seksi Perempuan HKBP yang terdiri dari:- anggota P.Ina (Semper: Parari Rabu dan Hanna), begitu juga perempuan "dewasa" yang sudah tidak aktif lagi dalam Naposobulung karena faktor usia dan karena kesibukan ditempat kerja sehingga sulit baginya untuk membagi waktu.
Dalam Kejadian 2:18,22 kita baca: Allah berfirman: "tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia" selanjutnya, setelah perempuan itu selesai dibangun-Nya-dibawa-Nyalah kepada manusia (Adam) itu. Melihat jumlah kehadiran perempuan yang mengikuti ibadah Minggu dan kebaktian lunggu, jauh lebih tinggi daripada kehadiran laki-laki dewasa (bapak-bapak dan pemuda). Padahal yang memegang jabatan pelayanan (khotbah, liturgis, pembaca warta, kolektan dan musik) lebih banyak kaum pria. Yang menjadi pertanyaan: di manakah suami dan anak-anak kaum ibu yang rajin mengikuti ibadah itu? Kebiasaan dan rutinitas beribadah yang demikian sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Sejak berdirinya HKBP (7 Okt 1961) sampai sekarang. Apakah yang sudah dikerjakan oleh perempuan HKBP dalam kurun waktu yang sudah terhitung "lama" itu? Apakah hanya datang dan duduk diam untuk mendengarkan Firman Tuhan tanpa menyampaikan pesan "keselamatan dari Yesus Kristus kepada seisi keluarga (suami dan anak-anak)" ? Atau mungkinkah kaum "Bapak dan Pemuda" merasa cukup aman, jika "Perempuan" sudah mengikuti ibadah secara rutin di-Gereja ? Apakah sebahagian orang Kristen merasa terlindungi dari ancaman kekejaman dunia jika ibunya sudah mendoakannya ?. Kemungkinan itu perlu dipertanyakan karena nyanyian "Di Doa Ibu kudengar nama-ku disebut" sangat populer dikalangan "warga masyarakat Batak" khususnya anggota jemaat HKBP. Adalah baik menghormati "sosok ibu" yang selalu berdoa untuk anak-anak dan suami tetapi jauh lebih baik, jika seisi keluarga sama-sama menyadari betapa pentingnya mengikuti ibadah bersama dan ikut ambil bagian dalam tugas pelayanan, mis: bergabung dalam menyanyikan lagu pujian melalui Koor, pemandu lagu, musik atau kegiatan lainnya.
Perempuan HKBP harus mau belajar dan terus menerus memperjuangkan kwalitas dirinya dan tetap memohon pertolongan Tuhan, supaya diberi hikmat untuk mempertanggungjawabkan keselamatan seisi rumah tangganya.
Perjuangan kita bukan hanya sekedar memberi makan dan minum tetapi yang lebih penting lagi bagaimana kita bisa dimampukan untuk menumbuh kembangkan iman anak-anak hanya kepada Yesus Kristus dimasa-masa sukar seperti sekarang. Semua perempuan HKBP harus menyadari tanggung jawab tersebut. Sekalipun peranan kaum Bapa tidak bisa diabaikan karena merekalah sebagai Imam dan kepala keluarga. Sebagai perempuan, status kita hanyalah sebagai pendamping. Namun untuk mengembalikan kesadaran kaum Bapak terhadap tanggungjawab tersebut adalah tugas kita sebagai Perempuan yang sudah diselamatkan darah Yesus. Tidak baik membiarkan suami dan anak-anak tinggal dalam kebiasaan yang salah, dengan perilaku yang buruk.
Perempuan HKBP harus mampu bekerja keras dan memperjuangkan peningkatan kwalitas dirinya, menuju perbaikan. Jangan merasa puas hanya duduk dan diam sewaktu mendengarkan Firamn Allah, tetapi selalu gagal mengarahkan anak-anak dan seisi rumahnya kepada keselamatan. Perempuan HKBP bukan hanya sekedar menaikkan lagu pujian melalui Koor tetapi terpanggil untuk ikut serta ambil bagian dalam tugas pelayanan.
Perjuangan kita sebagai seorang "ibu" didalam keluarga, bukan hanya kesejahteraan materi tetapi yang terutama bagaimana kita mampu meningkatkan kualitas iman, moral dan pendidikan. Sekalipun persoalan ekonomi masih saja menghantui ketenangan hidup kita, namun masih banyak nilai-nilai kebaikan yang bisa kita raih tanpa mengeluarkan uang. Termasuk: perilaku yang baik, sebagaimana layaknya anak-anak Tuhan. Bebas dari pengaruh Narkoba, rokok, minuman keras, judi dan sejenisnya.

2. Peran serta "perempuan dewasa " yang belum menikah, dalam Pelayanan di gereja Tuhan.
Perempuan dewasa yang belum menikah (tidak aktif dalam kegiatan naposo, mungkin factor usia atau pekerjaan), perempuan dalam usia ini sudah waktunya untuk menunggu seorang kekasih hati. Seseorang bercerita demikian : Kadang-kadang muncul pertanyaan ketika saya muda dulu, kapan ya saya bisa mendapatkan seorang kekasih yang sesuai dengan kriteria saya.
Ada lelaki yang mencoba untuk mendekati saya, tapi itu bukan pilihan saya, akhirnya daripada tidak punya seorang kekasih saya terima saja, tapi lama-kelamaan cinta kami tidak semulus bayangan saya. Ibu saya menyarankan : lebih baik menunggu orang yang kita inginkan ketimbang memillih apa yang ada. Tetap lebih baik menunggu orang yang kita cintai (berdoalah supaya Tuhan mengirimkan orang yang tepat menjadi pasangan kita) ketimbang memuaskan diri dengan apa yang ada. Tetap lebih baik menunggu orang yang tepat, Jika ingin berlari belajarlah berjalan dahulu, jika ingin berenang, belajarlah mengapung dahulu. Jika ingin dicintai belajarlah mencintai dahulu. Karena hidup ini terlampau singkat untuk dilewatkan bersama pilihan yang salah (apalagi yang tidak seiman dengan kita), menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius dan akhirnya membuahkan hasil yang manis dan sesuai dengan pilihan kita yang sesuai dengan rencana Allah. Penantian yang diperjuangkan bersama dengan pertolongan Roh Kudus akan selalu lebih baik daripada tindakan yang terburu-buru.
Masa-masa penantian yang demikian memang sangat mendebarkan, tetapi jangan sampai meninggalkan kebersamaan dengan saudara seiman. Ada orang yang enggan bergaul dengan orang-orang yang disekitarnya dan lebih banyak mengurung diri, padahal masih banyak hal-hal yang bisa kita lakukan jika kita mau menawarkan persahabatan dengan lingkungan dimana kita tinggal. Dengan ambil bagian dalam pelayanan dalam gereja, kita dapat memberikan semangat kepada orang lain yang merupakan undangan selamat datang kepada orang-orang yang belum mengenal kita. Bakat-bakat yang terpendam selama ini (misalnya : penyuluhan kesehatan bagi yang berprofesi di bidang medis, musik dan lain-lain) bisa menjadi berkat bagi anggota jemaat gereja kita.
Kita sangat mengharapkan peran serta semua Perempuan HKBP untuk ambil bagian dalam kegiatan di gereja kita, supaya nama Tuhan semakin dipermulliakan.

III. Penutup
Sesungguhnya perempuan sebagai makhluk yang lemah itu terdiri dari 180 bagian yang lentur namun mempunyai daya tahan yang luar biasa dan tidak cepat capai. la bisa hidup dari sedikit teh kental (tanpa gula) dan makanan seadanya untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Memiliki kuping yang lebar untuk mendengar keluhan anak-anaknya dan seisi rumah-tangganya. Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan dan menyejukkan hati anak-anaknya dan semua orang yang dikasihinya. Lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah. Enam pasang tangan untuk melayani sana-sini, mengatur segalanya menjadi baik. Sepasang mata yang dapat menembus pintu yang tertutup. Mata itu bisa berbicara dan memaafkan seorang anak yang mengakui kekeliruaannya, dengan menatap lembut, mata itu berkata : "saya mengerti dan sayang padamu". la bisa menyembuhkan diri sendiri kalau ia sakit. Dan masih banyak lagi yang bisa diuraikan tentang kehebatan seorang perempuan yang dikenal sebagai makhluk yang lemah itu. Semua itu harus disadari oleh perempuan HKBP agar tidak tinggal diam dalam kebiasaan lama, tanpa mau belajar tentang banyak hal yang sangat diperlukan untuk membenahi masa depan keluarga, gereja, dan masyarakat sekitar kita.
Meningkatkan kualitas perempuan merupakan tanggung jawab kita semua untuk mendapatkan kualitas masyarakat yang baik dimasa depan. SHALOM.

(Penulis adalah Ny. Limbong Br. Tambun, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Maret 2006)

ARTIKEL: FUNGSI SEBUAH KELUARGA KRISTEN DALAM SETIAP ASPEK KEANGGOTAANNYA

Pada masa kini, beban keluarga semakin berat. Dasawarsa terakhir ini, dapat dikatakan adalah era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi komunikasi. Maka terjadilah yang disebut penyebaran informasi secara global atau globalisasi informasi, juga mengalirnya informasi sampai ke tengah keluarga. Terutama pada keluarga Asia, seringkali pengaruh informasi ini adalah terjadinya benturan-benturan nilai. Informasi yang positif berupa ilmu pengetahuan, teknologi, wawasan budaya dan nilai-nilai moral menambahkan nilai, menyebabkan pemberdayaan sumber daya manusia. Tetapi informasi yang negatif dapat berdampak masuknya nilai-nilai yang kurang sesuai dengan agama, adat istiadat, kebiasaan. Informasi yang menggambarkan kekerasan, kebebasan tanpa kendali, dorongan naluriah kasar dan sebagainya menyebabkan terjadinya benturan-benturan nilai. Bagi para orang tua perlu mengenal nilai informasi dan pembentukan karakter anak. Di mana anak diasuh dan dididik hendaknya dapat menjaga kekuatan seimbang antara pengaruh intern keluarga dengan ekstern keluarga.
Melalui peran atau fungsi keluarga ada 8 fungsi keluarga yang secara umum dapat membentuk karakter yaitu : fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, fungsi pembinaan lingkungan. Kedelapan fungsi keluarga adalah perwajahan cinta kasih dan kewibawaan orang tua di mata anaknya. Ruang keluarga hendaknya menjadi pusat kegembiraan, kesantaian dan komunikasi sesama anggota keluarga.
Namun kita tidak akan membahas analisa secara umum, namun kita akan melihat nilai-nilai apa yang diharapkan tertanam dalam sebuah keluarga kristen.

I. Dasar Alkitab Tentang Keluarga
Keluarga manusia dibentuk oleh Tuhan dengan mengikut citra Allah, dandipertanggung-jawabkan dan dikembangkan menurut citra Allah, dan menjadi
bait kudus Tuhan. Kejadian 2:7, ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Kejadian 2:18 TUHAN Allah berfirman: " Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."
Tuhan Yesus sendiri bertumbuh di dalam keluarga. Ia menjadi anak yang patuh
kepada orang tuaNya. Ia bahkan masih sempat memperhatikan ibuNya ketika Ia
disalibkan: Yohanes 19:25-27, Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.
Tuhan Yesus sangat menyetujui pernikahan, kita tahu bahwa Yesus melakukan mujizat-Nya yang pertama kali adalah dalam perjamuan kawin di Kana (Yohanes 2 : 1-11). Yesus juga mengajarkan, bahwa pernikahan adalah persatuan yang abadi, karena yang mempersatukan suami-istri adalah Allah sendiri : Markus 10:6-9, Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Allah memandang kepentingan dari pernikahan dan keluarga, sehingga selalu ditekankan berulang-ulang dalam Akitab. Dalam Perjanjian Lama dan Baru, kita dapat temukan banyak petunjuk untuk kehidupan berkeluarga.

II. Hirarki Dalam Keluarga
Suami/ seorang Bapak mempunyai tanggung-jawab di dalam fungsi keluarga, dalam hubungan keluarga kepada masyarakat. Demikian juga Ibu/ isteri juga bertanggung jawab kepada keluarga, begitu juga jemaat kepada Kristus. Keluarga adalah bagian dari masyarakat. Maka hendaknya keluarga Kristen bisa mencerminkan kasih Kristus. Efesus 5:22-25, Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.
Suami adalah kepala keluarga yang menjadi pengayom bagi istri dan anak-anaknya. Keluarga harus mencerminkan prinsip Kerajaan Allah. Bila cermin pemerintahan Allah ada dalam suatu rumah tanggga, berarti Yesus ada di atas suami. Dalam hal ini wewenang yang dimiliki suami bukan wewenang untuk digunakan semena-mena. Tetapi wewenang yang dibungkus dengan kasih Kristus demi kemuliaan Allah dan tegaknya rumah tangga Allah atau pemerintahan Allah dalam keluarga. Untuk ini seorang suami harus menjadi imam. Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa hubungan suami istri dapat menjadi lambang hubungan Kristus dengan jemaat
Allah menentukan suami harus menjadi imam dalam keluarga. Seperti Kristus berkorban untuk jemaat, demikian pula suami harus berkorban bagi keluarga. Hal ini juga ditegaskan oleh Allah Bapa dalam Kejadian 3:19, bahwa manusia (laki-laki) akan berpeluh dalam mencari nafkah.
Dalam Efesus 5:25, disebutkan bahwa suami harus mengasihi istri seperti “Kristus mengasihi jemaat”. Dalam hal ini, suami harus melihat kasih Kristus sebagai prototype atau teladan kasih yang harus dikenakan terhadap istri. Untuk itu kita harus mengerti tempat Kristus bagi jemaat. Kristus adalah kepala atau pemimpin yang memimpin kepada kebenaran.
Salah satu ciri keluarga yang sehat adalah ketika seorang Bapak benar-benar bertindak sebagai kepala/ commander yang sekaligus menjadi pengayom/ pelindung keluarganya dengan penuh kasih. Seorang Bapak yang menjadi kepala/commander di keluarganya akan berdampak pada kesuksesan pekerjaannya, karena secara psikis dia mempunyai jiwa yang sehat dan ini salah satu modal kesuksesan karir seorang laki-laki.
Di beberapa koran di Singapura sering memuat banyak kasus seorang suami meminta perlindungan hukum, karena mereka “ditindas” istri. Penindasan ini kadang bersifat fisik dan psikis; penindasan bersifat psikis adalah “kasus yang terbesar”, seorang istri “mengomel tiada henti”. Ini akan berdampak buruk terhadap karir suami juga kejiwaan suaminya, ada yang menjadi makin “tumpul” kemampuannya ketika bekerja; tidak kreatif; tidak bergairah dalam bekerja; atau malah menjadi seorang yang “workaholic”. Lebih suka bekerja daripada tinggal di rumah.
Tidak jarang kita jumpai ada keluarga dimana Suami tidak ditempatkan sebagai “kepala” atau sebagai “imam” dalam keluarga. Seorang Istri bisa menjadi sangat dominan penentu keputusan dalam keluarga. Ini banyak terjadi ketika si istri mempunyai karir lebih hebat, punya kemampuan intelektual lebih dari sang suami. Atau mungkin karena sang istri memang mempunyai sifat “dominan”.
Sikap istri yang terlalu dominan membawa suasana rumah-tangga menjadi tidak sehat. Lazimnya memang laki-laki yang memegang kendali keluarga (sesuai Firman Allah). Sikap dominan istri akan menimbulkan konflik bagi jiwa si suami dan anak-anaknya. Mungkin konflik ini kadang tidak terlihat nyata karena mungkin sang suami tidak mempermasalahkan bahwa istri yang memegang “perintah”. Tetapi ini tetap saja akan menjadi suatu konflik sebab “nature” laki-laki adalah diciptakan untuk menjadi “imam”.
Hakekat perempuan sejak semula diciptakan adalah sebagai “penolong yang sepadan” bukan untuk menguasai suami, janganlah menuntut yang berlebihan akan merusak seluruh tatanan kehidupan
Roma 12:3 Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.
Setiap kali terjadi “penyalahgunaan wewenang” dalam keluarga, selalu akan membawa suasana berkeluarga tidak baik; saat suami berlaku sebagai “diktator” atau istri yang “memegang kuasa penuh” berpotensi besar untuk membuat rumah-tangga tidak harmonis.
Memang kadang-kadang kita jumpai ada ketimpangan diantara suami-istri. Sang istri mungkin jauh lebih pandai, lebih pintar mencari uang, lebih cakap dan sebagainya. Apabila suami “memiliki kekurangan”, maka sebaiknya istri lebih banyak bisa menopang suaminya dalam kasih dan doa. Sebab istri biasanya memiliki kepekaan yang lebih atau waktu yang lebih dalam perkara-perkara rumah-tangga. Namun apabila istri memiliki “kekurangan” dibanding suami, maka sang suami akan menjadi pelindung yang penuh kasih.

III. Rumah Yang Indah
1. KERAJAAN SURGA HADIR DALAM KELUARGA :
Penting dilakukan bagi setiap anggota keluarga (Bapak, Ibu dan anak) untuk selalu menciptakan suasana Sorga didalam rumah. Tuhan Yesus mengajarkan dalam Doa Bapa Kami “Datanglah KerajaanMu, dibumi seperti di Sorga” Mari kita perhatikan ayat 10 dalam
Matius 6:7-15 Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.) Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu." Maka apabila doa tersebut diucapkan dengan “sungguh” bahwa kita memohon Kerajaan Sorga datang, maka sikap kita akan terbawa untuk selalu menciptakan suasana Sorga di dalam rumah kita. Pengucapan “Datanglah kerajaanMu” adalah Ini adalah suatu doa/permohonan supaya Allah memerintah. Memang Allah sudah memerintah, tetapi adakah kita mengakuiNya atau tidak menempatkan Allah sebagai Raja/ Otoritas tertinggi?. Ketika kita berdoa dan mengakuiNya sebagai Raja, dengan demikian ada Tuhan di dalam rumah kita. Kemudian “Jadilah kehendakMu” ini bisa menunjuk pada rencana kekalNya yang pasti akan terlaksana. Jika kita mengundang Allah dan kerajaanNya hadir, maka bumi bagaikan di Sorga. Dengan demikian keluarga hendaknya senantiasa mengundang Kuasa Tuhan dalam kehidupan berkeluarga.

2. SUASANA SORGA
Sorga itu indah, Indah tidak selalu bersifat luxury (mewah). Jika ada kedamaian di dalam rumah maka rumah akan terasa indah. Senyum dan tawa akan mewarnai keindahan itu. Bayangkan saja jika kita hidup di dalam suasana “kaku” dimana Bapak dan Ibunya jarang tersenyum, ini juga akan mempengaruhi karakter anak-anaknya. Di Sorga ada Cinta dan Kasih dimana masing-masing mengasihi satu dengan yang lainnya. Bapak, ibu, anak-anak semuanya bertutur kata manis tidak ada teriakan cek-cok. Keluarga yang damai dan sejahtera itu hanya bisa terwujud jika Allah diundang hadir. Kasih adalah landasan utama dalam penciptaan suasana Sorga : Efesus 3:17-20 sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah. Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita,
Suasana Sorga bermula dari hatimu. Jika hati kita masing-masing mau untuk menciptakan kedamaian dan menghindari konflik, maka hal ini tidaklah sulit untuk diwujudkan.

3. RUMAH YANG RAMAH
Keramahan selalu menghasilkan hal yang positif dalam hubungan antar manusia. Keramahan adalah salah satu bentuk kita menghargai orang lain. Tuhan Yesus adalah pribadi yang ramah, Dia menyapa dengan ramah orang-orang yang dianggap rendah oleh masyarakat sekitarnya; Dia menyapa Zakeus, Dia menyapa perempuan sundal, Dia menyapa orang-orang yang sakit kusta, dst. Kitapun bisa melihat hasil positif dari keramahan Yesus itu, bukan?! bahwa dengan keramahanNYa banyak orang diselamatkan. Keramahan tidak jarang melahirkan sukacita, rumah yang dipenuhi dengan sukacita adalah rumah yang sehat.
Kolose 4:6 Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus memberi jawaban kepada setiap orang.

Koreksi diri :
Apakah anda ramah ketika menyambut suami pulang dari bekerja?
Apakah anda ramah ketika menyambut istri pulang dari sesuatu aktivitas/ bekerja?
Apakah anda ramah dan memperlakukan anak-anak sebagai "harta" dari Tuhan?
Apakah anda ramah ketika berbicara dengan anggota keluarga anda?
Bisakah anda tetap ramah ketika mendapati anak-anak anda berbuat salah, dan memberikan mereka nasehat yang sesuai?
Bisakah anda membatasi lamanya kemarahan anda terhadap anggota keluarga yang berbuat salah dan segera bisa memberikan maaf/pengampunan?
Apakah anda ramah ketika menjawab telpon?
Apakah anda ramah menyambut orang yang berkunjung ke rumah?
Apakah anda ramah terhadap para pembantu?
dan lain sebagainya

4. RUMAH SEBAGAI TEMPAT PERLINDUNGAN YANG AMAN
Rumah adalah "pusat rohani" tempat kita mendidik anak-anak kita menjadi umat Tuhan yang dikenan Allah. Rumah adalah pusat pelatihan diri menjadi sebuah pribadi yang mencerminkan Kristus, menjadi bagian dari masyarakat. Kehidupan kita adalah kesaksian hidup bagi Kristus.
Jadikanlah rumah anda adalah sebuah tempat yang "paling aman", aman bagi jiwa dan aman bagi raga. Ketika kita mendapati anggota keluarga kita "malas-pulang" hendaknya itu menjadi "alarm bahaya" bagi kita, sudahkah kita menciptakan rumah kita sebagai tempat yang "aman"?
Jangan sampai ada anggota keluarga kita yang merasa bahwa rumahnya itu tempat yang menakutkan, takut pulang karena omelan, siksaan dan sebagainya. Rumah yang utuh adalah rumah yang aman bagi penghuninya, dan jadikan suasana rumah itu sebagai pembangkit semangat.

5. DASAR IMAN SUMBER KESELAMATAN
Jika ada satu orang saja dalam keluarga dimenangkan dalam Kristus, dia akan menjadi terang bagi keluarganya. Dan terang itu akan menjadi kesaksian hidup yang akan memberi teladan bagi anggota keluarga lainnya untuk pula datang kepada Yesus dan diselamatkan.
Kisah Para Rasul 16:31 …"Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu."

IV. Pendidikan Rumah
1. DISIPLIN ANAK
Orang harus belajar untuk mengetahui bagaimana hidup dan bekerja dengan orang lain. Untuk menjadi bahagia mereka mau bergaul dengan berbagai jenis orang yang ada di sekelilingnya. Setiap anak dalam hatinya menginginkan untuk dicintai. Jika anda peduli terhadap anak-anak, anda tentu percaya pada disiplin. Jika anda percaya pada disiplin, anda harus peduli pada anak-anak. Perasaan yang kuat terhadap penghargaan diri (self esteem) merupakan salah satu yang terpenting dari orang-tua untuk dapat diberikan pada diri seorang anak.
Disiplin dapat membantu seorang anak tumbuh dengan kepercayaan diri dan kontrol diri yang baik, yang dituntut oleh kesadaran yang baik dari dirinya dan tingkah laku yang positif terhadap orang-orang dan pengalaman hidupnya, perasaan yang baik tentang dirinya dan perasaan tanggung jawab, serta kepedulian terhadap lingkungannya. Cara yang efektif untuk menerapkan disiplin pada anak adalah lakukanlah disiplin tersebut secara konsisten dan yakin dengan tindakan yang kita lakukan (Orang tua menjadi tokoh central disiplin).
Peran orang-tua sangat penting di mata Allah. Orang-tua adalah rekan sekerja Allah dalam mendidik dan mempersiapkan anak-anak dari kecil hingga dewasa menjadi umat Tuhan yang berguna bagi kemuliaanNya. Tuhan Yesus menyukai anak-anak, begitu pentingnya pendidikan dan pembekalan bagi mereka ini, karena anak-anak adalah upah dari Allah : Mazmur 127:3 Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah.
Pendidikan rumah sangat penting, kita tidak boleh bergantung kepada pendidikan anak di sekolah saja. Ada banyak pendidikan-pendidikan lain yang diperlukan anak-anak untuk bekal dalam bermasyarakat. Pengetahuan etiket dan budi pekerti tidak didapatkan dalam sekolah saja tetapi terlebih penting dijarkan oleh orang tua kepada anak-anak. Pengetahuan dan etiket terparah yang kurang dimiliki oleh masyarakat disekitar kita diantaranya adalah :
1. Minimnyanya disiplin antre di tempat-tempat umum.
2. Tidak suka mengucapkan terima-kasih kepada orang yang memberikan layanan di tempat umum (misalnya di restauran/ kepada pelayan restauran, kepada kasir di toko-toko, kepada orang yang membukakan pintu bagi kita) dan lain-lain.
3. Kurang menghargai appointment dengan seseorang, kurang menghargai janji waktu. Jika ada orang yang menunggui kita sesuai janji, maka kita harus show-up sesuai appointment yang sudah disepakati.
Pendidikan seperti diatas ini diberikan oleh orang-tua kepada anak dengan memberi contoh perilaku, tidak cukup hanya kata-kata saja. Pendeknya jika orang-tua tidak disiplin, maka jangan harap anak-anak kita menjadi orang-orang yang disiplin.

2. MASALAH
Anak-anak mungkin tidak patuh atau memberontak kepada orang tua, pengasuh, guru dan sebagainya. Ketika anak-anak beranjak remaja-dewasa, ini adalah hal yang cukup sulit bagi para orang tua untuk mendidik mereka, sebab ada banyak hal yang dianggap sebagai tren gaul, padahal dampaknya buruk sekali contohnya : pergaulan bebas, begadang, mentato tubuh, minuman keras, narkoba dan seks bebas dan sebagainya. Ajari mereka untuk menghormati tubuh mereka. Bahwa tubuh kita adalah Bait Allah yang kudus. 1 Korintus 3:16-17 Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu"

3. PANDANGAN ALKITAB
Bila seorang anak dibesarkan dengan prinsip-prinsip Alkitab, mareka cenderung akan tetap mengikuti prinsip tersebut dalam kehidupannya yang selanjutnya. Orang tua bertanggung jawab atas pelatihan dan pendisiplin yang tepat bagi anak-anak sampai masa dimana mereka tidak lagi tergantung pada orang-tuanya. Ulangan 6:5-7 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.Amsal 22:6 Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu. Amsal 19:18 Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya. Amsal 13:24 Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.
Amsal 22:15 Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya. Efesus 6:4 Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. 1 Timotius 3:4 seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. Titus 2:4 dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya.

4. INSTRUKSI/ PERINTAH TUHAN
Efesus 6:1-4 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu--ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.2 Timotius 3:15 Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.

5. METODE
Ajarlah anak-anak sejak mereka masih kecil, dan jangan pernah menyerah. Sepanjang mereka berada di rumah, biarkan mereka menjadi perhatian utama. Ajarlah mereka untuk mencari teman-teman yang baik. Mereka akan memiliki teman- teman yang baik dan tidak baik. Melalui pegaulan antar-teman mereka akan membuat perbedaan yang cepat dalam kehidupan mereka. Adalah penting agar mereka mengembangkan suatu sikap toleransi terhadap semua orang, tetapi yang lebih penting adalah mereka dapat berkumpul di sekitar orang- orang yang baik yang akan mendatangkan kebaikan bagi mereka. Kalau tidak mereka dapat tercemar oleh cara-cara teman mereka.
Ajarlah mereka untuk menjadi manusia yang baik. Ajarlah remaja putra kita untuk menghormati remaja putri sebagai para putri Allah. Ajari para putri anda untuk menghargai remaja putra, karena anak-anak lelaki yang memegang imamat. Anak-anak lelaki nantinya akan menjadi manusia dewasa yang hendaknya menjadi pemimpin dan harus menentang kejahatan-kejahatan. Nantinya menjadi pengayom bagi keluarganya.
Ajarlah mereka untuk berdoa. Tidak seorang pun di antara kita cukup bijak untuk melakukannya sendiri. Kita memerlukan pertolongan, kebijaksanaan, bimbingan dari Roh Kudus dalam mengambil keputusan-keputusan yang amat penting dalam kehidupan kita. Tidak ada yang dapat menggantikan doa. Tidak ada sumber yang lebih besar dari kekuatan Tuhan.
Dalam mendidik anak, tekankan pentingnya kebutuhan untuk memanifestasikan buah dari roh. Ketika buah-buah roh ada dalam diri anak-anak, maka mereka akan lebih mampu menjalankan disiplin, kasih dan peraturan di rumah.
Galatia 5:22-23 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. Bicaralah dengan anak-anak sesuai tingkat pemahaman mereka. Jelaskan kepada mereka apa yang kita harapkan dari mereka. Jangan suka menghukum mereka dalam kemarahan. Berilah contoh kepada mereka, agar mereka dapat meneladani prilaku kita (orang-tua). Ingatlah contoh prilaku orang-tua adalah lebih efektif dari pada hanya kata-kata.
Bawalah anak-anak kita ke Gereja dan biarkan mereka menyaksikan kita (orang-tuanya) menyembah Allah dan berdoa. Kemudian mohonlah kepada Allah untuk memberimu petunjuk apa yang harus dilakukan pada anak-anak kita.
Penanaman disiplin pada anak diciptakan dalam keadaan hubungan suami isteri yang harmonis. Ayah dan Ibu mencerminkan satu kubu yang bersatu/ menyatu dengan cara :
a. Meminimalkan perbedaan pendapat (pertengkaran mulut) antara orang-tua dihadapan anak-anak.
b. Tidak ceroboh. Jadilah tegas dalam semua instruksi dan disiplin
c. Pahami bahwa tanggung jawab orang tua melampaui/ lebih besar dibanding pendidikan sekolah, klub, kelompok, dan organisasi lainnya
Laksanakan disiplin sesuai dengan usia anak dan pelanggarannya. Peraturan disiplin adalah sebagai berikut :
a. Buatlah pedoman/ petunjuk yang jelas sehingga ana-anak kita tahu apa yang harus dilakukannya dan apa yang dilarang.
b. Hukumlah setiap ketidak-patuhan.
c. Tegakkan disiplin dalam kasih bukan dalam kemarahan.
d. Yakinkan si anak mengerti akan kesalahan yang telah dibuatnya.
e. Tujukkan kasih kepadanya sesudahnya.
f. Selalu berikan pengampunan sesudahnya, kemudian perlakukan anak itu seperti hal itu tidak pernah terjadi.
g. Laksanakan terus disiplin, yakinkan perintah kita dipatuhi.
h. Bila orang-tua yang bersalah, mintalah maaf kepada anak-anak kita.

6. PRINSIP-PRINSIP
a. Tekankan pentingnya kepatuhan kepada orang tua, karena tidak patuh kepada orang tua berarti tidak patuh kepada Allah dan membawa kekacauan dan keruwetan dalam rumah tangga.
b. Tekankan pola berfikir anak-anak kita terhadap ajaran Kristus. Mulailah mempelajari referensi buah Roh. Bicarakan ayat-ayat referensi mengenai hubungan orang tua dan anak.
c. Tekankan pentingnya memberi Allah tempat yang utama dalam segala hal dan setiap hubungan.
Ingatlah tidak ada sesuatupun yang dapat menggantikan waktu kebersamaan kita dengan anak-anak kita. Anak-anak adalah berkat yang datang dari Sorga dan Yesus mengasihi anak-anak.

V. Hubungan Orang Tua Dan Anak
Hubungan dalam keluarga sering dirusakkan oleh konflik pemberontakan, kurangnya disiplin, kurangnya pengertian, dan keinginan tahu. Hubungan dalam keluarga menjadi pengaruh besar dalam kedamaian di rumah tangga. Bagaimana jika kita dihadapkan kepada masalah : Anak-anak memberontak kepada orang-tua, atau orang-tua mengabaikan anak-anak.
Pertumbuhan dalam kehidupan Kristen memerlukan disiplin diri dan kesediaan
berkorban buat satu dan yang lain. Dalam kasus anak-anak, yang terutama harus ada kepatuhan kepada orang tua. Anak-anak harus menghormati dan mematuhi orang tua (baca Efesus 5 dan 6)
Orang tua harus menjadi teladan di dalam keluarganya, Ulangan 12:28 Dengarkanlah baik-baik segala yang kuperintahkan kepadamu, supaya baik keadaanmu dan keadaan anak-anakmu yang kemudian untuk selama-lamanya, apabila engkau melakukan apa yang baik dan benar di mata TUHAN, Allahmu."
Kolose 3:20-23 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya. Efesus 6:4 Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.

KEPEMIMPINAN ILAHI DI DALAM KELUARGA
1 Korintus 11:1-12 Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus. Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran yang kuteruskan kepadamu. Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah. Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.
Efesus 5:22 tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, Kolose 3:16-21 Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia. Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.

PETUNJUK BAGI ORANG-TUA
Amsal 13:24 Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.
Amsal 29:15 Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya.
Amsal 19:18 Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya.
Ibrani 12:5-11 Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.

PETUNJUK BAGI ANAK-ANAK
Efesus 6:1-3 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu--ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.
Kolose 3:20 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan.
Amsal 30:17 Mata yang mengolok-olok ayah, dan enggan mendengarkan ibu akan dipatuk gagak lembah dan dimakan anak rajawali.
Ciptakan rasa nyaman di rumah, ada senyum dan perhatian dari orang-tua kepada anak-anaknya. Para orang-tua adalah tokoh utama yang menjadi panutan, menjadi tempat perlindungan bagi anak-anaknya. Orang-tua yang baik harus menciptakan suasana surga dirumahnya. Begitu indah jika dalam keluarga orang tuanya saling menghormati, seorang ibu hormat kepada bapak, seorang bapak mengasihi dan menghargai dengan sungguh istrinya. Itu semua akan dilihat anak-anak kita sebagai contoh dasar baginya dalam bersosialisasi. Jika suasana damai ada dalam rumah, maka komunikasi antar setiap anggota keluarga akan berjalan dengan baik.
Orang-tua yang bijak dihadapan anak-anaknya adalah mereka yang bersikap sebagai “pelindung” dalam kebutuhan rohani dan jasmaninya. Orang-tua yang baik menyediakan apa yang diperlukan anak-anaknya. Bapa kita di Sorga adalah cerminan seorang bapa yang baik. Orang-tua adalah wakil Allah untuk anak-anaknya. Kemudian anak-anak akan tunduk kepada orang tuanya di dalam tunduk kepada Allah. Dan Allah akan tetap menjadi yang tertinggi dalam keluarga.
Orang-tua yang bijak mempunyai manajemen emosional yang baik (EQ yang baik), mereka tidak mudah marah (naik-pitam). Tetapi menghadapi masalah-masalah yang ada dalam rumah tangga dengan kepala dingin dan bersikap rasional. Apabila orang tua selalu tampil simpatik maka anakpun akan terbawa dalam sikap demkian, dan selanjutnya menjadi sikap dasar yang penting dimiliki ketika mereka beranjak dewasa dan melakukan tanggung jawab yang besar dalam hidupnya.
Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka. Terdapat pemikiran bahwa IQ menyumbang paling banyak 20 % bagi sukses dalam hidup, sedangkan 80 % ditentukan oleh faktor lain (faktor lain ini melibatkan faktor EQ yang terbanyak).
Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup.
Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara dan persahabatan, ataupun dalam menangkap aturan-aturan tak tertulis yang menentukan keberhasilan dalam politik organisasi.
Orang dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada karir/pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah keluarga kristen memiliki peran dalam berkembangnya zaman, sebuah keluarga kristen memiliki fungsi baik secara internal maupun eksternal. Setiap fungsi eksternal adalah cerminan dari berhasilnnya setiap anggota keluarga dalam menjalankan fungsi internalnya. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa keluarga kristen yang baik dan benar adalah yang melandaskan setiap dayung kehidupannya dalam kehendak Kristus sesuai dengan firmanNya didalam Alkitab.
Tuhan Memberkati.

Sumber : Seminar Fungsi Keluarga Kristen Yayasan BPK Penabur, Jakarta.

(Penulis adalah Maestri Y. Tobing, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Oktober 2005)

Sabtu, 24 Juli 2010

ARTIKEL: HUKUM TAURAT KE V

"Hormatilah orang tuamu agar engkau berbahagia dan lanjut umurmu di bum! Yang diberikan Allah kepadamu"

Dalam cerita peristiwa di Sinai, Tuhan Allah memberikan Dasa Titah (Ibrani = aseret devarim) kepada bangsa Israel (Kel 20:2-17; Ul 5:6-21). Dasa Titah itu dipahatkan Allah sendiri dalam dua buah loh batu. Dasa Titah itu merupakan ringkasan yang sederhana tetapi menyeluruh tentang ketentuan-ketentuan hakiki hubungan perjanjian dan membatasi tingkah laku yang sesuai dengan keanggotaan umat Allah. Salah satu isi dari Dasa Titah itu adalah tentang menghormati orang tua, bahkan dikatakan agar engkau beroleh kebahagiaan dan lanjut umurmu di bumi yang diberikan Allah kepadamu.
Dasa Titah itu bukan saja diberikan kepada bangsa Israel waktu itu, tetapi Dasa Titah itu juga sampai kepada kita saat ini, dan berlaku sampai selama-lamanya. Inilah kelebihan dari Titah dan firman Allah, berlaku dahulu, sekarang (masa kini) dan rnasa yang akan datang. Tinggal yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita menghayati Titah atau firman Allah itu.
Banyak orang yang kurang memahami makna dari Titah ke-5 tersebut. Mereka menyangka bahwa orangtua adalah hanya sebatas orang tuanya sendiri, padahal yang dimaksud dengan orangtua itu adalah termasuk orang yang lebih tua dari kita, bukan hanya orangtua kita sendiri saja. Tambahan lagi, menghormati orangtua sering diartikan dengan sebatas memberikan sesuatu (benda/hadiah) kepada mereka. Dan hal yang lebih konyol lagi, tentang pemujaan kepada leluhur. Pemujaan kepada leluhur bagi orang Batak merupakan nilai tertinggi, yang dilakukan dengan segala macama upacara dan tata cara. Misalnya dalam pembangunan tugu yang dianggap sebagai penghormatan kepada leluhur. Alasan-alasan yang dibuat untuk pembangunan tugu tersebut adalah sesuai dengan Titah ke-5. Di samping itu juga dipakai ayat-ayat Alkitab sebagai alasan untuk pembangunan tugu, antara lain Kejadian 25.7-11 : Tentang Abraham yang dikuburkan Ishak dan Ismael di gua Makhapela; Kejadian 49 . 29 . Pesan Yakub kepada anak-anaknya supaya dikuburkan di sisi nenek moyangnya; Kejadian 50 : 25 : Pesan Yusuf kepada saudara-saudaranya agar dikuburkan di sisi nenek moyangnya dengan membawa tulang belulangnya dari Mesir ke Kanaan. Ditambah dengan peribahasa Batak yang mengatakan : "Tinaba hau toras bahen sopo tu balian, na burju marnatoras ingkon dapotan parsaulian". Artinya barang siapa yang baik dan hormat kepada orang tuanya akan mendapat kesejahteraan. Tapi semua hal itu dipahami oleh sebagian orang (terutama orang Batak) dengan membuat tugu-tugu (kuburan) orang tua mereka dengan kemewahan yang luar biasa, juga acara-acara pesta pada waktu kematian. Suatu hal yang sepertinya kontroversial, dalam acara kematian terlihat tari-tarian (tortor) dengan musik yang sungguh menggegerkan.
Melihat beberapa persoalan diatas, maka perlu dicermati agar kita jangan salah mengartikan Titah ke-5 itu, bagaimana sebaiknya kita memahami terlebih melakukannya dalam kehidupan kita sebagai umat percaya.

1. Menghormati Orang tua.
Sebagaimana dikatakan bahwa yang harus dihormati bukan hanya sebatas orangtua kita sendiri, tetapi juga termasuk orang-orang yang lebih tua dari kita. Kewajiban yang diarahkan disini adalah bagaimana menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama, bahkan kalau kita bandingkan dengan etika Perjanjian Baru, justru dikatakan supaya saling menghormati. Sebab saling menghormati merupakan dasar tata tertib sosial dan damai sejahtera. Bukan itu saja, menghormati juga berarti mengasihi. Hormat bukan berarti takut tanpa alasan, justru hormat adalah didorong oleh rasa kasih dan ucapan terima kasih yang mendalam, dan sebagi wujud dari rasa rendah hati.

2. Menghormati orang hidup, bukan orang mati.
Dalam pengertian Yahudi, siapa yang menghormati orangtuanya pasti akan memelihara mereka pada umur tuanya. Tapi sering tanpa sadar, orang justru menghormati orang tua yang sudah mati. Sebagai contoh, ada seorang anak yang merantau dan dia berhasil di perantauan, katakanlah dia menjadi orang yang terkenal dan kaya raya. Tapi dia tidak pernah ingat kepada orangtuanya dan saudara-saudaranya yang ditinggalkannya di tanah kelahirannya. Mengirim surat ataupun menelpon pun tidak pernah, apalagi pulang ke kampungnya. Suatu saat dia mendapat kabar bahwa ayahnya telah meninggal dunia, dia pun pulang ke kampungnya. Karena dia termasuk orang yang terpandang dan kaya raya, dia membuat pesta besar-besaran pada acara kematian ayahnya tersebut, bahkan dia membuat kuburan untuk orang tuanya dengan biaya ratusan juta. Inilah pemahaman yang kurang benar, semasa hidupnya sang ayah tinggal di rumah yang atapnya bocor, sempit dan pengap. Tapi giliran ayahnya sudah mati dibuatkan rumah yang mewah. Dan ada lagi beberapa hal yang mungkin perlu kita cermati, soal kebiasaan orang batak, misalnya dalam hal memberikan "sulang-sulang" atau memberikan makanan kepada orangtua. Ketika hal itu dilakukan justru yang 'makan' enak adalah anak-anaknya, sebab orangtua yang sudah lanjut usia itu tidak bisa lagi memakan makanan yang diberikan anak-anaknya. Semasa orangtuanya sehat, sebiji kue pun tidak pernah diberikan, giliran sudah tua dan sakit-sakitan diberikan "sangsang' atau daging kerbau, coba kita bayangkan bagaimana orangtua tersebut memakannya? Baiklah kita mengingat orangtua kita setiap saat, terlebih pada masa hidupnya, bukan soal banyak ataupun besarnya yang kita berikan, tapi perhatian itulah yang diharapkan orangtua kita.

3. Tugu hidup, bukan tugu mati.
Sebagaimana dikatakan tadi, bukan tugu atau kuburan yang mahal sebagai tanda penghormatan kita kepada orangtua. Sungguh sangat disayangkan, jika masih terjadi lagi persaingan-persaingan yang kurang beralasan, supaya marganya lebih hebat dilihat orang misalnya, ada beberapa marga yang membuat tugunya sampai bermilyaran, ada yang membangun tugu leluhurnya (moyangnya) di tanah berhektar-hektar. Padahal orangtua dan sanak-keluarganya di daerah itu hidup dalam serba kekurangan. Adalagi orang yang sampai-sampai berhutang banyak hanya untuk membuat kuburan yang mewah. Kuburan megah dan mewah dengan lampu di sana sini, tapi disebelahnya rumah tempat tinggal yang hampir ambruk dengan hanya diterangi lampu teplok (dian). Orang-orang kota sibuk dengan pesta-pesta dan acara pengumpulan dana hanya untuk membangun tugu leluhur mereka, padahal semua itu hanyalah benda mati belaka. Tambahan lagi, kebiasaan "bona taon" yang sering dilakukan sampai-sampai menghabiskan biaya ratusan juta hanya untuk kegembiraan sehari, padahal keluarga atau kampungnya sangat membutuhkan bantuan. Alangkah baiknya tugu mati itu diubah menjadi tugu hidup. Dana untuk membangun tugu mati dibuat untuk tugu hidup, seperti pembangunan sekolah-sekolah, jalan-jalan, air minum, gereja, pertanian, dsb.

4. Jauhkan kesombongan dan takhayul.
Kesombongan dan takhayul inilah mungkin penyebab dari kejadian-kejadian di atas. Sering memang hasutan-hasutan menggoda orang melakukan hal-hal yang kurang tepat. Contohnya dalam peristiwa kematian, harus dibuat musik (gondang) untuk menghargai orang tua yang sudah mati, tambahan lagi supaya orang ramai-ramai datang untuk mendengarkan musik (gondang) tersebut. Harus memotong kerbau, karena yang mati itu sudah "saur matua" (tidak ada lagi beban tanggungannya). Acara harus dibuat sedemikian meriahnya supaya kelihatan kalau keturunan (pinompar) dari orangtua yang mati tersebut adalah orang-orang yang sukses dan berada. Bukankah hal-hal yang demikian adalah kesombongan? Terkadang juga sungguh sangat menyedihkan, banyak orang menghadapi kematian dari orangtuanya sampai-sampai harus berhutang. Sudah ditimpa kemalangan, juga ditimpa hutang. Tanpa sadar memang kita melihat orang-orang dalam acara kematian asyik dengan tarian (tortor) mereka dan makan ramai-ramai. Alasan-alasan turut berduka cita, penghiburan dan berbagai macam alasan sering diberikan untuk membenarkan perilaku tersebut! Tambahan lagi pakaian-pakaian mewah dan pakaian-pakaian seragam pada waktu kematian menambah persoalan yang membingungkan.

5. Berilah yang patut (Markus 7 :10 -13)
Allah sungguh sangat menginginkan kita menghormati dan mengasihi orangtua kita. Sering kita salah mengartikan bahwa hormat dan mengasihi Allah dapat dilakukan dengan mengabaikan orangtua kita. Memang benar bahwa menghormati dan mengasihi Allah adalah yang utama dari segalanya. Namun kita harus ingat, bahwa menghormati dan mengasihi Allah itu juga adalah perwujud-nyataan dari hormat dan kasih kita terhadap orangtua. Jika kita membaca 1 Yoh 4:20, dikatakan bagaimana mungkin kita benar menghormati dan mengasihi Allah yang tidak kelihatan itu, sedangkan orangtua yang disekitar kita sendiri tidak kita hormati dan kasihi, itu namanya pendusta! Kita harus berhati-hati dengan ajaran-ajaran atau pun dogma-dogma yang memakai nama gereja atau kekristenan yang mengajarkan pentingnya 'persekutuan gereja' diatas segala-galanya. Tidak perlu menuruti orangtua, yang penting teman satu persekutuan; orang tua dianggap sebagai orang berdosa yang belum hidup baru sehingga tidak perlu didengar nasehatnya; perpuluhan lebih penting daripada menolong orang tua yang kekurangan. Kita harus ingat ketika Yesus berkata : "apa yang kamu lakukan terhadap anak kecil ini, sama dengan apa yang kamu perbuat kepadaKu". Kebaikan yang kita lakukan terhadap sesama kita sama dengan kebaikan yang kita lakukan terhadap Allah. Itulah perwujud-nyataan iman yang benar, bagaimana kita merefleksikan iman itu dalam hidup kita.
Dari beberapa keterangan di atas, kita perlu menyadari betapa pentingnya untuk menghormati orangtua kita. Dan penghormatan itu diberikan bukanlah pada saat kematiannya, tetapi semasa hidupnya. Inilah hukum kasih yang diperintahkan Allah kepada kita, bagaimana kita mengasihi sesama kita (orang tua kita). Menghormati dan mengasihi orangtua akan mendatangkan berkat berkelimpahan dari Tuhan Allah.

(Penulis adalah Pdt. M.R. Situmorang, S.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Oktober 2005)

Jumat, 23 Juli 2010

ARTIKEL: PERAN GEREJA HKBP DI TENGAH MASYARAKAT DAN NEGARA INDONESIA

1. Pengatar
Sejak tahun 1998 gereja HKBP dan Negara Republik Indonesia mengalami suatu perkembangan yang sangat dasyat dan monumental. Negara Republik Indonesia mengalami suatu tonggak pembaharuan yang dikenal dengan gaung reformasi yang sangat mendasar. Negara kita berubah dari pemerintahan yang otoriter menjadi Negara yang demokratis. Perubahan itu begitu essensial, sehingga agaknya seluruh elemen bangsa dipengaruhi oleh kejadian yang radikal tersebut hingga sekarang,termasuk HKBP.
Itu sebabnya gereja HKBP selain mengalami pengaruh perubahan bangsa ini, juga secara internal mengalami suatu perubahan yang luar biasa, dengan terjadinya dan paska Sinode Rekonsiliatif. Sejak tahun 1998, HKBP mangalami suatu proses perubahan kehidupan bergereja, antara lain mulai terjadi pembenahan diri dan konsolidasi internal, bahkan telah mampu melakukan loncatan yang mendasar. Kita mencatat bahwa HKBP telah sukses mengahiri konflik internalnya berkepanjangan yang sudah laten terjadi sejak paska Jubileum 100 tahun HKBP. Pemaknaan ini dilanjutkan pula dengan adanya perubahan Aturan Peraturan 2002 yang mana kita berhasil merumuskan visi yang inklusif dan missi menterjemahkan tugas panggilan gereja di semua aras, dari basis jemaat, memperkokoh landasan Sinode Distrik dan Peran kepemimpinan yang flat di aras Pusat. Kemudian secara berkelanjutan telah dilakukan perubahan memahami dan menghayati agar momen tahun Koinonia 2007, tahun marturia 2008 dan tahun 2009 ini tahun Diakonia.
Rangkaian tersebut digiatkan agar HKBP melakukan revitalisasi dirinya sebagai gereja yang sudah holistic dan transformatif (tema sentral perayaan Jubileum 50 tahun), sebagai gereja yang sudah mandiri baik dalam hal pengadaan sumber daya manusia, management, dana dan teologi/confessi (tema utama perayaan Jubileum 100 tahun, HKBP Manjujung Baringin na). Kini gereja HKBP sedang diperhadapkan untuk mempersiapkan diri memaknai Jubileum 150 tahun, 2011 yang akan datang. Sesuai visi HKBP, maka mestinya kita harus melakukan segala daya, upaya dan teologi untuk merumuskan peran gereja HKBP yang inklusif, dialogis dan transparan serta bermutu ditengah dunia, local, regional, nasional dan internasional dan ditengah kehidupan manusia yang semakin menjungjung tinggi nilai-nilai dan pemerintahan yang demokratis dan penegakan HAM.
Karena itu mulai tahun diakonia ini dan jika mungkin tentu dalam dua tahun ke depan ini kita harus memperkokoh penguatan kehadiran gereja HKBP secara monumental dan integral dalam konteks inklusif ditengah kehidupan masyarakat yang pluralis dan demokratis serta mendunia.
Upaya menuju Jubileum 150 tahun tersebut mestinya mendorong Rapat Pendeta kita kali ini mampu mempersiapkan kajian teologis agar kita menjadi gereja yang berdiakonia sebagaimana diharapkan thema kita, “murah hatilah karena BapaMu murah hati ( Lk 6.36 ). Dengan demikian dalam sub-thema Rapat Pendeta ini, saya ingin untuk memberi masukan kritis bagaimana gereja HKBP dapat merespon berbagai masalah kehidupan kita bergereja, bermasyarakat dan berbangsa. Sehingga gereja kita menjadi gereja yang aktip mensejahterakan, mengusahakan keadilan dan sukacita ditengah masyarakat, bangsa dan Negara sesuai dengan thema tahun Diakonia,”usahakan dan doakan kesejahteraan kota/bangsa dimana kamu Aku buang, karena kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu (Jeremia 29.7 dan bandingkan dengan Roma 14.17 ). Ini sekaligus dalam upaya kita mempersiapankan dan memperlengkapi diri memenuhi tuntutan tahun Yobel, tahun pembebasan, merayakan tahun rahmat Tuhan telah tiba. Konsekuensinya mengarahkan kita pada upaya merespon berbagai masalah kemiskinan, ketidakadilan, perusakan alam dsb ( Imamat 25 dan Lukas 4.18-19 ).

II. Memahami Masalah Sosial
Untuk memahami adanya perubahan mendasar atau sering disebut bertumbuhnya reformasi di Negara kita ini, kini kita dapat menganalisis apakah perubahan-perubahan terjadi sesuai dengan tuntutan yang demokratis dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Menurut kajian Bapak Dr Singgih, minimal ada 4 perkembangan yang mestinya kita perhatikan dalam upaya memahami reformasi yang sedang terjadi, antara lain , agar :
• Perekonomian Indonesia menjadi kuat secara fundamental
• Kemiskinan dan penderitaan rakyat ditangani secara langsung
• Kehidupan berdemokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat ditegakkan di dalam lingkup dunia politik
• Kehidupan beragama di antara umat beragama berjalan secara rukun, wajar dan dialogis.
Tentunya selain ke 4 hal diatas masih banyak daftar perubahan substansial yang perlu dikritisi dan dianalisis lebih dimensional dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat terlebih dalam upaya mensejahterahkan seluruh masyarakat, penegakan keadilan dan hak-hak azasi manusia serta terjadinya jaminan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia. Daftar masalah tersebut walaupun disana sini ada yang sudah seperti sudah dirumuskan diatas, namun dibawah ini kembali terlihat dari hasil survey Metro yang mencatat minimal ada 10 masalah terbesar yang mengancam kehidupan demokrasi kita, yakni : Ekonomi, korupsi, kemiskinan, pengelolaan BBM,buruknya sistem pendidikan, pengangguran, tingginya harga pangan, bencana alam, kelaparan dan krisis pangan dan krisis kepemimpinan.
Kemudian menarik juga untuk kita simak menilai sejauh mana demokrasi di Indonesia sudah sesuai dengan legal yuridis konsep demokrasi Pancasila. Hal ini semakin mencuat belakangan karena nampaknya ada sinyal adanya gerakan yang ingin mengutak-ngatik Pancasila sebagai azas satu-satunya di negeri ini bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moedjanto mencatat ada 9 ciri-ciri demokrasi terkandung dalam UUD 1945, yakni :
• Ketentuan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, termasuk cara pengambilan keputusan MPR.
• Prinsip Negara Hukum
• Prinsip Negara kesejahteraan
• Paham Negara yang integralistik, bukan trias politika
• Lembaga-lembaga negara, kedudukan dan wewenangnya.
• MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan penjelamaan seluruh rakyat
• Presiden adalah mandataris MPR yang memegang concentration of power upon the President dengan tenggang waktu jabatan 5 tahun.
• Kedudukan dan hak warganegara
• Hubungan antara warga negara dan pemerintah
Berdasarkan pendekatan Legal Yuridis itu disimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, demokrasi yang dipinpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan sebagaimana disebutkan oleh sila ke 5 dari Pancasila. Hal itu kemudian menjadikan kenapa di pemerintahan Orde baru tahun 80-an, semua organisasi masyarakat, dan lembaga agama serta semua elemen bangsa didesak untuk menerima Pancasila sudah final dan satu-satunya azas berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Kini masalahnya sejauhmana kita memahami dan mengartikulasi prinsip demokrasi itu dalam ruang gerak gereja kita sebagai gereja tua dan memiliki tanggungjawab . Sebab gereja kita memang sudah diberi Tuhan menjadi gereja yang besar.
Untuk sekedar membantu kita memahami konteks saat ini, baik pula jika kita memperhatikan hasil study dari Prof. Dr. Paulus Wirutomo, Guru Besar Sosiologi UI yang mengambarkan situasi dan kondisi perkembangan sosial di Indonesia dan dampaknya pada pelayanan umat Kristen menyampaikan adanya beberapa fenomena yang sedang terjadi belakangan ini di Indonesia. Ia menyebutkan :
• Adanya deformasi yakni kerusakan pada keteraturan sosial, sehingga tidak terjadi reformasi yang berkelanjutan.
• Adanya fenomena sekedar demokrasi kerukunan, akibatnya solidaritas terhadap sesama tertunda.
• Semakin nyata terjadi pembiaran bertumbuhnya sekat socio-cultural-animosity, yakni kebencian sosial yang tersembunyi
• Adanya perkembangan kekuasaan yang terpusat tetap pada sekelompok kecil elite.
• Merebaknya budaya santai dan konsumtip mengantikan budaya kerja keras.
• Terjadinya krisis mental dan moral bangsa.
• Pada hal dalam tingkat dan kualitas kesadaran berbangsa dan bermasyarakat cendrung berkembang keprihatinan. Ada 3 peta golongan masyarakat saat ini.
• Golongan rasional yakni golongan masyarakat yang hanya menekankan kehidupan dari segi perhitungan untung rugi, jumlahnya tidak banyak tetapi kini secara signifikan cendrung bertambah terus.
• Golongan kedua, yakni golongan idealis yang mendasarkan kehidupannya pada nilai-nilai yang dijungjung tinggi seperti nasionalisme, kesatuan, demokrasi, kemandirian, patriotisme. Jumlahnya agak banyak tetapi cendrung menurun seiring beralihnya generasi.
• Golongan ketiga, yakni golongan tradisionalis yang menganggap integrasi, perubahan, kemajuan berjalan secara otomatis, tidak perlu dilakukan peran aktip lagi. Golongan ini berjumlah besar mungkin lebih dari 80%.
Dalam kaitannya dengan realita kondisional umat Kristiani di Indonesia dikatakan bahwa :
• Orang Kristen memahami nilai agama terlalu steril atau mantap menghadapi segala terpaan apa pun, sehingga kurang berpikir kontekstual dengan kondisi sosiologis masyarakat. Dalam kesadaran orang Kristen di Indonesia terjadi kesenjangan antara nilai ideal dan aktual.
• Mekanisme sosialisasi nilai-nilai Kristiani kurang efektip dilakukan. Itu terjadi karena gereja-gereja kurang berperan dalam kehidupan jemaat sehari-hari, sehingga nilai-nilai kekeristenan tidak lagi melekat. Komunitas basis masih sangat lemah.
• Masih ada kecendrungan ekskulsif dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun ormas. Sehingga kehidupan gereja belum bermental menggarami.
• Gereja juga masih mengalami ”minority syndrom”, sehingga dalam kesadarannya masih mengutamakan jumlah ketimbang kualitas.
Bertolak dari berbagai masalah, perkembangan dan kecendrungan diatas, kini kita dapat sama-sama merefleksikan, sejauhmana HKBP berkiprah, kita berada dimana, apakah gereja kita turut terlibat melakukan respon dan solusi pembaharuan yang demokratis, transformatif, mandiri dan inklusif ? Atau gereja kita justru terkesan escapis, pasif atau pessimistik. Sehingga kita tidak siapa-siapa, tidak bagian dari masalah, tapi juga tidak bagian dari solusi masalah yang terjadi di masyarakat. Dari segi peran diakonia, kita sudah mengadopsi adanya satu bidang tambahan penting peran HKBP, yakni adanya dewan, biro merespon masalah-masalah kemasyarakatan. Merespon berarti kita tidak cukup sekedar bertindak secara reaktip. Melainkan kita perlu berperan aktip dalam melakukan perubahan supaya perubahan tersebut diwarnai dan digarami dari visi, missi dan keunikan pelayanan gereja HKBP, juga sesuai dengan keyakinan/ confessi dan strategi pelayanan kita ke depan. Hal ini juga menjadi sangat urgen, karena dari segi kalender gereja HKBP sedang memasuki perayaan Jubileum 150 tahun, yang sarat dengan tuntutan ” pembebasan ” manusia dan alam dari berbagai belenggu, dari lilitan hutang, dari kerusakan alam, pembebasan orang miskin, orang buta dan kaum tertindas serta memberitakan tahun rahmat Tuhan sudah tiba.

III. Metodologi Merespon Masalah
Dari segi praktis boleh saja memang tidak begitu sulit bagi gereja kita untuk berpartisipasi aktip, kritis dan dinamis ditengah masyarakat, bangsa dan negara. Tetapi kenapa sampai sekarang kita masih merasa enggan dan ahirnya tidak lebih giat untuk meujudkan kekritisan sosial gereja kita bermasyarakat, bebangsa dan bernegara .
Untuk itu barangkali perlu dianalisis dimana hambatannya. Hal yang mendasar tentunya pertama bersumber dari metodologi kajian dan implementasi doktrin atau tradisi teologi yang kita anut. Apakah ada relevansi teologi kita terhadap kondisi kehidupan di sekitar kita atau sama sekali kita belum menyentuh akar masalah teologis ini. Ini juga bisa mungkin karena selama ini terlalu sibuk dalam perangkap konflik, sehingga kita lebih memusatkan perhatian pada kondisi situasional yang memaksakan gereja kita bertindak seperti itu, atau bisa juga karena kealpaan berpikir kritis gereja memahami sejarah keselamatan Tuhan yang sudah terjadi dalam kehidupan gereja HKBP sejak era missionar sampai sekarang. HKBP mestinya sudah diperkaya dengan pengalaman empirisnya berteologia ditengah konteks dunia dimana kita berada di semua umat manusia, dan terhadap alam semesta.
Kesulitan metodologis ini bagi kita di Indonesia terletak misalnya dalam upaya kita memahami posisi doktrin aliran gereja kita dikaitkan dengan konteks Negara kesatuan Republik Indonesia. Dr Mangisi Simorangkir dalam disertasi Doktornya menyatakan bahwa ” berbicara tentang hubungan gereja dan negara di Indonesia dalam kaitannya dengan teologi ajaran dua kerajaan Marthin Luther, tidak terlepas dari pembahasan kelima sila Pancasila sebagai falsafah Negara. Tapi juga akan tiba pada analisis konsep agama tentang bentuk negara, dalam hal ini pandangan agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.. Dalam sejarah Indonesia, ancaman disintegrasi sudah terjadi sejak awal. Persoalan dimasukkannya atau tidak dimasukkannya syariat Islam dalam piagam Jakarta. Ini membuktikan, bahwa Islam menganut paham teokratis dan bahwa Islam identik dengan kebangsaan. Ini tidak dilakukan dengan setengah hati, sebab bukan saja mereka menginginkan agar negara diatur oleh hukum Islam, bahkan Islam tampak juga dalam simbol-simbol kenegaraan dalam bentuk busana, produk makanan, restoran, pendidikan, perbankan, dll..
Dengan kata lain juga menjadi jelas bahwa membicarakan hubungan gereja dan negara juga tidak terlepas dari pemahaman tentang politik dan sistem pemerintahan Indonesia yang berazaskan Pancasila, UUD 1945 dan demokrasi modern yang berpijak pada pemisahan 3 kekuasaan, eksekutip, legislatif dan judikatif. Sehingga halnya mesti diukur. Pertama, sejauhmana hubungan gereja dan warga gereja( dalam hal ini Lutheran) dengan pusat proses pengambilan keputusan politis. Dengan kata lain bagaimana hubungan gereja dan warga gereja dengan DPR/MPR sebagai pusat pengambilan keputusan politik di Indonesia (kelompok legislatif). Kedua, bagaimana hubungan gereja dan warga gereja dengan pemerintah sebagai pelaksana keputusan politik ( kelompok eksekutif ), dan ketiga, bagaimana hubungan gereja dan warga gereja dengan pengadilan di Indonesia (kelompok Judikatif ). Hubungan-hubungan itu terjadi dalam dua arus, lewat warga jemaat secara pribadi dan sebagai warga negara, dan lewat gereja sebagai sebuah organisasi agama. Tugas ini tidak mudah, sebab ketiga kekuasaan di Indonesia tidaklah terpisah dengan tegas sebagaimana sistem demokrasi modern yang menginginkannya.
Dari uraian diatas menjadi jelas, bahwa hubungan gereja dan negara di Indonesia tidak diatur oleh suatu idiologi kelopok agama, dalam hal ini Islam sebagai mayoritas, melainkan diatur berdasarkan prinsip demokrasi yang mengedepankan kepentingan rakyat secara keseluruhan tanpa membedakan hak-hak kelompok mayoritas dan minoritas. Jika demikian halnya maka tugas gereja menjadi lebih ringan, walaupun ancaman itu tidak bisa dilepas begitu saja, tanpa kekritisan. Disinilah tugas gereja menjadi sangat urgent untuk mendoakan Negara sekaligus juga untuk melakukan pelibatan aktip gereja merespon dampak dan realitas perkembangan politik di Indonesia. Sebab Indonesia bukan negara agama, melainkan negara demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian untuk membantu kita, selain dari konteks kita memahami peran kritis kita sebagai bagian integral bernegara kita juga perlu memahami sudut pandang gereja kita sebagai bagian integral melakukan peran kemasyarakatan merespon kemiskinan, mengkritisi masalah ketidakadilan, serta masalah lainnya. Sejauhmana gereja kita dapat merefleksikan keterlibatan kita dengan dan bersama orang-orang yang miskin, tertindas dan terabaikan.
Leonardo Boff, dalam buku the Way of The Cross Way of Justice, menjelaskan bahwa teologi berusaha membicarakan iman secara rasional dan sistematis. Kriteria menentukan kebenaran setiap teologi adalah apakah teologi itu menyuburkan kehidupan iman, harapan dan cinta. Teologi itu benar sejauh diterjemahkan ke dalam meditasi, doa, tobat, mengikuti Kristus, dan perhatian serta keterlibatan pada sesama manusia. Jika teologi tidak mengambil langkah-langkah itu, maka bisa dipastikan teologi itu adalah teologi istana, artinya melayani orang besar dan kekuasaan orang-orang yang didewakan di dunia ini. Teologi seperti itu tidak melayani Allah.
Padahal mestinya teologi itu bersifat,”ante et retro occulata ” artinya bermata dua, mempunyai dua sudut pandang. Mata yang satu memandang ke masa lampau, ketika penyelamatan telah terjadi. Mata yang lain melihat masakini, ketika keselamatan menjadi kenyataan sekarang dan disini. Jika teologi hanya memandang satu sudut saja, maka teologi itu menderita myopi ( berpandangan kabur dan dangkal).. Karena itu mestinya teologi gereja di satu satu mesti terpusat pada Yesus historis, kehidupannya, penyiksaannya, kematian dan kebangkitannya ( Jalan salib ). Sebab sengsara Kristus adalah konsekuensi dari kesetian-Nya kepada BapaNya dan kepada manusia. Kendatipun ditolak manusia, Bapa tetap menghendaki agar kerajaaNya dibangun sekarang di dunia ini. Yesus mati karena dosa dunia. Berkat korban Kristus, kerajaan Allah menang dan tetap berjaya. Sedangkan di sisi yang lain sengsara Kristus merupakan jalan keadilan yang terpusat pada Kristus yang diimani, yang melanjutkan penderitaan Kristus dewasa ini dalam diri saudara dan saudariNya yan dihukum, dibelenggu dan dibunuh karena masalah keadilan. Sebab dewasa ini penderitaan Kristus sepertinya terulang kembali dalam hidup mereka yang menjadi korban karena masalah ketidakadilan. Sebagaimana Yesus, banyak orang yang menderita, bahkan dibunuh karena mempertahankan hak-hak orang kecil dan keadilan bagi orang miskin. Kebangkitan Yesus yang tersalib membuktikan perjuangan meujudkan keadilan tidak percuma. Maknanya adalah mereka mengambil bagian dalam kepenuhan hidup dan kemenangan mutlak dari keadilan.
Dari kedua uraian tadi, maka mestinya gereja kita harus setia pada perannya terlibat tidak hanya berkotbah tentang Tuhan yang kaya menjadi miskin agar kita menjadi kaya ( 2 Kor 8. 9, melainkan mestinya gereja kita harus aktip untuk memberdayakan orang miskin, yang menderita dan tertindas, bukan karena tujuan kekuasaan politis, melainkan karena pengutusan Kristus kita ke dunia ini.
Mengikuti alur metodologis ini mestinya kita juga sudah senantiasa bercermin dan melakukan rekonstruksi sejarah, bagaimana plus minus misi pelayanan HKBP sejak era missionar. Di era missionar, kita bisa mencatat beberapa hal yang sangat menarik, bagaimana mereka membangun peran gereja yang transformatip, holistik dan agresif.
Hingga sekarang kita harus mengakui masih relevanya pemulihan peran pargodungan merespon berbagai masalah sosial ekonomi, budaya dan bahkan mungkin politik, baik di wilayah pedesaan, transisi maupun perkotaan. Walaupun tentunya disana sini perlu dimodifikasi dan perlu mengadopsi berbagai hal sesuai konteks. Sebab gagasan pargodungan dirancang tidak sekedar dipakai sebagai percontohan, melainkan lebih dari itu digunakan untuk mengusung aneka perubahan yang holistik dan transformatip. Itu sebabnya selain di pargodungan ditata pembangunan gereja sebagai pusat kontemplatip, rumah doa dan persekutuan. Juga di pekarangan pargodungan dibangun rumah sakit atau klinik, didirikan sekolah, dibangun percontohan pertanian terpadu dan organik, ditata pohon2 produktip di sepanjang parik. Sehingga kehidupan di wilayah gereja nyata dialami doa Bapak kami, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga. Model ini mestinya mejadi ikon peran HKBP sepanjang zaman.
Pdt Betz dalam obsessi pelayanannya dari sejak awal menyadari bagaimana pentingnya segera dilakukan transformasi yang generatip. Itu sebabnya ia telah mengkader sejak dini para pelayan Batak (pribumi) untuk kemudian mengemban tugas generatip melanjutkan penginjilan yang lebih inkulturatip terhadap masyarakat Batak. Dalam buku yang ditulis oleh Drs PTD.Sihombing,Msc, Benih yang disemai dan buah yang menyebar, dicatat bagaimana Gr Samuel Siregar telah dibawa untuk belajar di Belanda dan kemudian melanjutkan studi keguruan di seminari di Barmen. Ia berangkat ke Belanda bersama Pdt Betz tahun 1869 dan kembali ke Indonesia tahun 1874. Ia kemudian kawin dengan Maria br Silitonga yang juga tahun 1872 sudah berada di Jerman. Dalam sejarah pelayanannya Dr IL Nommensen mendorong Samuel melamar jabatan yang lowong pada kantor kontroleur Toba Holbung, yang baru dibuka pemerintah Kolonial pada tahun 1883 di Laguboti. Nommensen dengan sengaja mendorong melakukan alih-professi. Keputusan itu dilakukan Nommensen, walaupun mendapat tantangan yang hebat dari para missionar, namun haruslah difahami bahwa Nommensen sendiri mempunyai motivasi bersifat strategis. Karena Nommensen kwatir tentang kemungkinan akan terkedalanya kepentingan lanjutan penginjilan zending di Tanah Holbung Utara. Dan memang sebagaimana diantisipasi, Gr Samuel dan kemudian sesudah perkawinannya yang kedua dengan Saudari dari Sisingamagaraja ke 12, Rosianna br Sinambela tahun 1884, maka gerakan penginjilan menjadi terbuka lebar diterima seluruh Toba Holbung.. Dengan demikian sebenarnya dalam upaya kita meujudkan visi dan obsessi gereja kita yang inklusif, maka berbagai upaya strategis, termasuk di dalamnya mendorong kader pelayan atau ketengah pelayanan di pemerintahan atau ruang publik lainnya mestinya tidak kita anggap sebagai hal yang tabu atau desersi. Kajian teologis seperti Ester mungkin juga perlu mendapat perhatian kita.
Dari segi konstitusional gereja HKBP sebenarnya juga sudah mereformasi dirinya, terlebih karena visinya yang inklusif . Mestinya Visi HKBP yang inklusif itu harus menjadi landasan dan persiapan kita merayakan Jubileum 150 tahun dan menjadi kata kunci kita untuk mempersiapkan rencana program jangka Panjang paskah Jubileum 150 tahun, yakni apa program kita 50 tahun ke depan hingga Jubileum 200 tahun, 2061. Mungkinkah gereja kita bisa tidak sekedar ada, tetapi menjadi eksis sebab gereja kita sudah menjalankan visi yang inklusif memasuki kehidupan jemaat dan masyarakat 52 tahun ke depan.
Jika di era missionar simbol pargodungan mampu menampilkan peran gereja HKBP yang transformatif. Sehingga dimana ada gereja HKBP, disana ada sekolah yang mencerdaskan masyarakat. Dimana ada gereja disana ada rumah sakit atau klinik yang menyembuhkan. Dimana ada gereja disana ada parik yang ditanami pepohonon yang produktip dan dapat dinikmati oleh masyarakat terlebih anak-anak dan remaja. Dimana ada gereja disana ada percontohan pertanian selaras alam dan percontohan ekonomi , sinur napinahan gabe naniula. HKBP waktu itu menjadi ikon yang mensejahterakan dan meujudkan paradeiso di bumi seperti di sorga.
Jika di era Jubileum 100 tahun, walaupun gereja kita dalam kondisi perang dunia kedua dan akibatnya gereja kita kehilangan pemimpin, karena para missionar diinternir dan dipulangkan ke negerinya. Namun gereja kita masih mampu merumuskan dan menjalankan visi gereja yang mandiri ( manjujung baringin na ) baik di bidang daya, teologi dan dana. Gereja HKBP dalam keterbatasannya mampu membangkitkan peran penatua/awam secara maksimal. Gereja HKBP mampu merumuskan Konfessinya yang mandiri dan cendrung ke Lutheran. Salah satu teologi yang menarik dari confessi kita tentang hubungannya dengan negara, ditekankan. Pertama, kita menolak pemahaman bahwa gereja kita bukan gereja negara ( Huria Negara ), karena berbeda kewajiban negara dari panggilan gereja. Juga menarik untuk memahami bahwa bukan rapat, dan bukan jemaat yang menentukan kekuasaan di dalam gereja. Karena itu bukan demokrasi yang mengatur gereja, tetapi Kristokrasi ( Ndang demokrasi na mangarajai huria, alai Kristokrasi do ).Secara monumental di dalam kerangka Jubileum 100 tahun HKBP juga telah mampu mengembangkan sendiri pelayanan missi ke Mentawai dan Enggano tanpa bantuan dari Barmen, membangun uiversitas Nomensen secara monumental, mengembangkan pelayanan diakonia sosial di Elim, merevitalisasi pendidikan dengan didirikan sekolah Teknik menengah di Siantar, FKIP, Fakultas Teologi di Siantar, dsb. Bahkan HKBP telah turut aktip mendirikan dewan gereja-gereja di Indonesia, mendirikan STT di Jakarta dan mengutus rektor pertama, Dr Muller Kruger di sekolah tersebut, menjadi tuan rumah mendirikan gereja-gereja di Parapat, dsb.
Kini kita sedang diperhadapkan pada pra dan paskah Jubileum 150 tahun. Apakah gereja HKBP sekaligus dapat mereviltaslisasi peran sosialnya seperti sudah digagas pada era missionar dan era kemandirian. Sehingga gereja kita kembali merelevansikan fungsi pargodungan dan fungsi kemandiriannya di berbagai bidang peran sosial, budaya, ekonomi dan politik. Bagaimana kita mengaktualisasikan agar dimana ada HKBP, disitu terjadi pencerahan, terjadi kesembuhan, terjadi pemihakan terhadap orang miskin, marginal. Bagaimana kita agar turut menjadi kesembuhan bagi bangsa-bangsa dan alam, bagaimana kita menyadarkan warga agar menghindari kekerasan di dalam keluarga ( overcoming violence istimewa alam domestic violence ). Bagaimana kita berpartisipasi dalam proyek meujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan jemaat ( JPIC ). Bagaimana gereja kita mampu mengadvokasi kebijakan negara yang menjungjung tinggi kebebasan beribadah, hak-hak azasi manusia, hak-hak gender dan terlihat meujudkan kegiatan melepaskan masyarakat dari berbagai belenggu yang menindas mereka. Dalam buku Panduan tahun diakonia 2009 secara terinci sudah dituliskan, namun sejauhamana hal itu dapat difahami, diujudkan dan diorganisasi dalam kerangka peran pembebasan dan peran sosial ekonomi, politik ditengah masyarakat dimana kita melayani. Mungkinkah lembaga keuangan mikro dapat didukung agar terujud secara nasional, yang mana warga jemaat yang memperoleh banyak dan yang sedikit dapat saling membutuhkan dan saling melengkapi?. Mungkinkah gereja HKBP dapat meujudkan program ansuransi kesehatan bagi seluruh warganya?
Dari segi kepemimpinan, kita melihat bahwa di gereja kita telah mengadopsi peran kepemimpinan yang memberdayakan dengan adanya kepemimpinan yang flat, sehingga pengaturan pendelegesaian mestinya sudah harus terjadi (delegation of authority ). Sehingga sebenarnya mobilisasi pelayanan kita di ketiga tugas panggilan gereja sudah menjadi kebutuhan, karena jemaat dan masyarakat sudah merasakannya. Barangkali yang belum cocok hanya ketulusan pendelegasian dan bagi peran, atau bisa saja karena belum adanya sebutan yang pas untuk masing-masing pimpinan, sehingga tidak tercermin adanya pembangian peran yang sesuai dengan Aturan dan peraturan. Sebab dari segi AP jika kita memakai istilah orang kedua dalam kepemimpinan saat ini, pasti dipegang oleh Kepala Departemen Koinonia, tetapi karena hanya kepala bukan wakil Ephorus, lalu peran itu tetap difahami seperti pradigma lama. Demikian seterusnya jika sungguh-sungguh difahami, maka tugas Kepala departemen diakonia harus difahami dalam kerangka wakil ephorus mengkordinasi dan menjalankan pelayanan diakonia sosial, koordinasi pendidikan, kesehatan, pengembangan masyarakat dan merespon masalah-masalah masyarakat. Demikian peran yang lain, jika ini dijalankan maka sebenarnya diharapkan bisa terjadi juga di aras distrik hingga ke pelayanan berbasis jemaat. Makanya peningkatan status distrik menjadi Sinode mestinya harus diikuti dengan perubahan pradigma baru pelayanan dan kepemimpinan yang semakin meujudkan koinonia yang bermarturia dan berdiakonia, marturia yang koinonis dan diakonis dan diakonia yang koinonis dan bermaturia. Bahkan seperti kita ketahui, AP juga secara signifikan sudah memberi arah, jika dibutuhkan demi kelancaran dan pengembangan pelayanan perlu dimobilisasi peran warga jemaat ( jemaat bisa sebagai bendahara di gereja kita ) dan pembentukan kelembagaan yang berkelanjutan, seperti Yayasan, dsb.
Dari segi strategi monumental kehadiran inklusif ditengah bangsa dan Negara, mestinya HKBP sudah harus mempersiapkan kapasitas kelembagaan dan kapasitas pengelola peran HKBP di semua aspek kehidupan. Untuk tujuan itu mungkin perlu dipikirkan kelembagaan yang berkelanjutan yang dapat dirasakan kehadirannya ditengah masyarakat, bangsa dan Negara. Lebih konkrit Juileum 150 tahun sudah harus melakukan karya monumental. Mungkin sudah tiba saatnya memikirkan Kantor besar sebagai kerangka berbangsa dan bernegara di Pusat kekuasaan di Negeri ini, agar akses HKBP lebih dekat ke pusat pengambilan keputusan. Ini juga perlu dilengkapi dengan strategi pengembangan pelayanan peran sosial, ekonomi dan politik kehadiran HKBP di aras Propinsi ( tidak lagi cukup di aras distrik ). Kemudian demi pelayanan itu, maka program rekruitmen kepemimpinan sudah membutuhkan pembinaan yang bertaraf nasional dan internasional. Sehingga kapasitas rekruitmen kepemimpinan di HKBP berada di semua aras, baik lokal, regional, nasional dan internasional. Pengorganisasian Pastoral yang rapih tersusun yang berbeda dengan pengorganisasian lembaga sekuler dan dunia juga perlu semakin jelas.
Kini terpulang kepada kita sejauhmana para Pendeta meujudkan program diakonia yang koinonis dan bermarturia di semua aspek kehidupan dan dalam kerangkanya mendinamiser AP termasuk mengamendemen atau menyempurnakan AP agar menganut orientasi pelayanan bukan kekuasaan. Serta bagaimana kita dalam waktu yang relatif cepat masih berupaya keras untuk mempersiapkan program monumental menyambut Jubileum 150 tahun di semua aras pelayanan. Untuk itu apa yang ditargetkan dalam program diakonia diharapkan dapat menjadi monumen yang mungkin diujudkan dan kemudian menjadi program yang dapat dirayakan

IV. Penutup
Rumusan peran sosial, ekonomi dan politik HKBP ditengah bangsa, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sudah jelas dan cukup sempurna sebagaimana bisa dibaca dan dikaji dari sejarah gereja HKBP, dari Konfessi dan maupun secara operasional dari AP 2002. Kini sejauhmana kita bisa mengaktualisasikan dan mengoperasionalkannya dalam pelayanan di semua aras struktural gereja kita.
Kini kerelaan yang visioner, keberanian membagi tugas dan membagi peran pelayan dan jemaat, bagaimana kapasitas ketenagaan dan kapasitas kelembagaan serta komitmen meningkatkan hal-hal tersebut secara terus menerus dapat dilakukan. Hal ini penting dilakukan agar tugas mendasar lainnya seperti peran profetis dan advokatip dalam bernegara secara integral menjadi kekhasan pelayanan gereja kita juga. Demikian pula agar gereja kita dapat menghayati dan mengamalkan motto tahun diakonia dalam konteks kita berjemaat dan bermasyarakat, sebab jika sejahtera jemaat sejahtera pelayan, jika masyarakat sejahtera, sejahtera gereja dan negara.
Mari kita ujudkan gereja yang mencari dan dicari semua orang, terlebih mereka yang paling membutuhkan. . Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadaMu ( Mat 11.28 ). Gereja yang seperti itu hanya terujud, jika gereja kita dapat melakukan seperti apa yang dikatakan Tuhan Yesus, sesungguhnya segala sesuat yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina dina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku ( Matius 25.40 ). Melayani orang miskin, yang hina dina adalah ibadah kita kepada Tuhan. Kita murah hati, karena memang Bapak kita juga murah hati ( Lukas 6.36 ). Mestinya inilah missi baru kita yang inklusif, gereja yang melakukan pengorganisasian segala daya, dana dan teologi memberdayakan masyarakat miskin dan menderita di sekita kita.
Kemudian juga barangkali penting agar kita sebagai pelayan tidak turut membuat banyak warga jemaat dan masyarakat berada dalam ke bingungan. Sebab sikap kita yang barangkali enggan mengkritisi perkembangan masyarakat yang semakin demokratis dan dinamis sekarang ini. Walaupun paradoksi kita tetap waspada menghadapi realitas sosial, ekonomi dan politik yang oleh Alkitab kadang digambarkan sebagai domba menghadapi serigala, Mat 10.16. Namun untuk itu sebagai gereja kita tidak harus memilih sikap yang neutral atau pro pada kekuasaan yang menindas, atau kekuasaan yang otoriter. Melainkan gereja senantiasa harus berdoa agar diberi Tuhan bijak seperti ular dan tulus seperti merpati.
Saat ini dikuatirkan tidak hanya oleh gereja, tetapi terlebih kaum Islam ( NU, dan Muhammadiah ) yang berbasis budaya kearifan keaneka ragaman bangsa Indonesia, yang melihat adanya kekuatan intervesi Islam transnasional ketengah negara ini. Serigala pencuri domba, serigala memangsa sesamanya bisa menjadi realitas sosial ekonomi dan politik ke depan di negeri ini.
Karena itu jika kita sebagai gereja memilih konsep yang bijak dan tulus, maka mestinya kita kritis dan konstruktip untuk memilih mana yang terbaik dari berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik sepanjang sejarah di Indonesia ini. Jika perlu kita harus menyuarakan suara profetis kita bahwa kita lebih taat kepada Allah daripada manusia ( Kisah 5.29). Marilah kita menguji kekuatan politik yang berkembang saat ini secara arif. Kita cari Tuhan yang mengajar kita memilih pemimpin yang mensejahterakan, yang berani menjamin adanya keadilan bagi semua dan setia pada komitmen menjaga kedaulatan rakyat di Indonesia. Sambil, selagi hari masih siang, berbuat baik kepada semua orang, dalam berperan aktip memajukan peradaban manusia, melakukan kegiatan pencerdasan, penyembuhan, aksi sosial dan perduli terhadap upaya selaras alam, perjuangan penegakan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.

(Penulis adalah Pdt Nelson Siregar, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Oktober 2009)

Selasa, 20 Juli 2010

ARTIKEL: RELEVANSI SIDI SEBAGAI AWAL MELAYANI

Pendahuluan
Ada sebuah ironi tentang makna sidi yang pernah dialami penulis. Tatkala menghadiri sebuah acara adat yang dilaksanakan orang Batak di Jakarta, karena anak tuan rumah baru dilantik menjadi anggota sidi Jemaat. Salah seorang dari hadirin mengatakan kepada anak yang baru sidi itu perkataan ini: “sidi itu artinya sudah ikut dengan isa”. Hati penulis trenyuh, karena sadar bahwa banyak anggota jemaat HKBP yang tidak memahami makna dari sidi. Ada juga orang yang mengatakan bahwa mereka yang sudah sidi, akan menanggung sendiri dosa dosanya. Sebelum sidi, orang tuanyalah yang menanggungnya. Pemahaman yang sangat salah. Tetapi anehnya para pendeta kita tidak pernah memberi koreksi akan hal ini melalui khotbahnya, sepanjang yang saya ketahui.
Apa artinya sidi? Kata sidi berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya penuh. Kita sering mendengar ungkapan dan bahkan nama Purnomo Sidi. Arti kata itu ialah: bulan penuh. Gereja kita HKBP mengenal keanggotaan jemaat dalam dua bagian. Bagian pertama ialah: anggota jemaat yang tidak penuh dan anggota jemaat penuh. Dalam Gereja Calvinis sering kita mendengar sebuat anggota sidi jemaat. Semua orang yang belum belajar sidi disebut anggota tidak penuh. Mereka ini adalah anak anak sekolah minggu dan remaja, serta mereka yang menerima siasat Gereja dan mau belajar ulang tentang iman yang dihayati oleh Gereja HKBP. Untuk orang orang ini belum diberi kesempatan menikmati seluruh harta jemaat. Khususnya makan di meja makan Tuhan, atau perjamuan kudus.

Belajar Sidi
Kita harus mengajukan satu pertanyaan penting? Mengapa sidi harus diadakan oleh Gereja? Jawabannya ialah: Gereja mengadakan konfirmasi atas iman dari orang yang sudah menerima baptisan dari Gereja. mengikuti katekisasi sidi pada hakekatnya artinya ialah: mengikuti program belajar untuk membuat konfirmasi atas apa yang telah dilaksanakan orang tua dari si anak pada waktu ia menerima baptisan kudus. Jadi, masalah utama yang harus dibenahi di dalam diri orang yang sedang belajar sidi ialah: imannya pada Tuhan Yesus Kristus. Karena itu, pamahaman Gereja tentang baptisan harus sungguh sungguh dipahami oleh mereka yang belajar jadi anggota sidi jemaat. Apakah pemahaman Gereja tentang baptisan?
Gereja kita memahami baptisan ialah: kelahiran kembali ke dalam keluarga Allah. Melalui baptisan itu, kita diterima menjadi anggota keluarga Allah. Bahkan melalui syair dalam Buku Ende, acara pembaptisan itu adalah cara Allah untuk menuliskan nama dari tiap anak yang dibaptis di dalam kitab kehidupan. Itu berarti berbicara tentang status sebagai anak Allah dan keselamatan yang dinikmati di dalam Kristus. Point ini seharusnya menjadi urusan utama di dalam pengajaran atas pelajar sidi.
Dari sudut pengalaman, saya melihat bahwa bahan ajar yang disampaikan pada pelajar sidi ialah: pengetahuan tentang Alkitab. Bahkan di satu Gereja, pernah saya lihat dalam kurikulum untuk pelajar sidi, diajarkan perbandingan agama Islam dan Kristen. Ada kecenderungan di kalangan pengajar sidi, mereka mau menularkan ilmu teologi kepada para pelajar sidi. Apakah memang hal itu yang mereka perlukan? Saya ragu tentang hal itu. Kita tahu bersama, hampir tidak ada para pelajar sidi yang sudah menyelesaikan pelajarannya, lalu terlibat secara aktif dalam kegiatan kategorial dari dirinya sendiri. Mengapa? Alasannya menurut hemat penulis ialah: mereka tidak melihat relevansi dari pelajaran yang mereka pelajari selama satu tahun dalam kehidupan mereka sehari hari.
Secara pengetahuan mereka telah banyak tahu tentang iman Kristen. Tetapi semua pengetahuan itu adalah sebuah data, yang tidak dapat terkoneksi dengan hidup sehari hari. mereka tetap tidak mengenal siapa Allah di dalam hidup kesehariannya. Mereka tetap tidak mengadakan konfirmasi dengan apa yang mereka telah lakukan melalui orang tuanya dalam baptisan. Baptisan bagi mereka tetap sesuatu yang terjadi di masa lalu, dan tidak ada relevansinya bagi kehidupan dimasa kini. Ironis menurut penulis.
Sebagaimana diajarkan dalam almanak Gereja kita, satu tahun kalender Gereja, harus membicarakan seluruh aspek karya Kristus bagi keselamatan umat manusia. Bagian pertama dari minggu minggu itu berbicara tentang apa yang dikerjakan Allah bagi kita. Paroh kedua membicarakan bagaimana respon kita terhadap apa yang diperbuat Allah bagi kita. Menurut hemat penulis, hal yang sama harus juga dilakukan kepada para pelajar sidi. Mereka harus diminta untuk membuat sebuah respon pribadi sebagai tanda konfirmasinya terhadap keselamatan yang telah dia terima. Wujud dari konfirmasi itu ialah sebuah pelayanan kepada Tuhan melalui Gereja-Nya. Itulah sebabnya saat anak anak kita belajar sidi, kepada mereka telah ditanamkan sisi pelayanan di dalam Gereja Tuhan. Ini adalah bukti dari respon dia atas apa yang dikerjakan Allah baginya.
Seorang pendidik Kristen pernah mengatakan bahwa definisi dari pendidikan dalam konteks iman Kristen ialah: sebuah proses penanggalan dosa dari kehidupan anak didik. Jadi bukan pengetahuan yang paling dibutuhkan di dalam belajar sidi. Tujuan utama ialah: mereka sadar akan status mereka sebagai orang beriman yang telah menerima keselamatan di dalam darah Yesus Kristus yang telah tercurah di Golgatha. Melalui kesadaran ini, diharapkan mereka membuat sebuah respons positif dengan turut ambil bagian di dalam pelayanan yang telah tersedia dalam persekutuan jemaat.
Setiap orang yang berjumpa dengan Tuhan secara pribadi, tak pernah tidak menerima penugasan dari dia yang telah berkenan dijumpai. Bukti bukti tentang hal ini sangat banyak kita dapatkan di dalam Alkitab. Para murid dipanggil menjadi penjala manusia. Mereka dengan segera meninggalkan pekerjaan mereka semula sebagai nelayan. Rasul Paulus bertemu dengan Yesus di jalan menuju Damsyik. Tatkala ia mendengar panggilannya menjadi rasul, pertanyaan pertama yang dia ucapkan kepada Tuhan ialah: “Tuhan apakah yang harus aku perbuat”. Demikian juga dengan orang Yahudi yang berkumpul di hari raya Pentakosta di Yerusalem. Takala mereka mendengar khotbah Petrus, mereka semua bertanya: “Apakah yang harus kami perbuat”.
Pengajaran yang pas untuk para pelajar sidi, seharusnya menghasilkan respon yang sama, sebagaimana diungkapkan di atas. Mereka mengajukan pertanyaan apa yang harus mereka perbuat. Tatkala anak anak pelajar sidi itu mengajukan pertanyaan yang sama, maka tugas Gereja untuk menyediakan sarana bagi mereka agar dapat menunaikan tugas yang harus dilakukannya sebagai responnya terhadap panggilan Allah.
Sayang seribu kali sayang, Gereja kita sekarang ini hanyalah melakukan apa yang sudah dilakukan orang di zaman dahulu kala, tanpa berusaha untuk menemukan pola yang pas untuk generasi muda sekarang ini. Mungkin pola pelajaran bagi pelajar sidi di tahun 50 masih pas untuk kebutuhan mereka pada waktu itu. Salah satu contoh, pola pelayanan yang bersifat kategorial, apakah masih relevan bagi orang orang di zaman ini? Kita hanya mengenal pola pelayanan bagi para kategorial dalam wujud paduan suara dan penelahan Alkitab. Tidakkah kita dapat menemukan apa yang pas untuk kebutuhan para remaja kita, sehingga mereka dapat mengaktualisasi diri di dalam pelayanan yang kita sediakan bagi mereka?
Saya takut, jika kita hanya mempertahankan apa yang sudah ada di dalam Gereja kita ratusan tahun lamanya, semuanya itu tidak lagi dilirik oleh para remaja kita. Akibatnya kita akan ditinggalkan mereka. Maksud penulis bukan berarti kita akan merubah doktrin kita, merubah konfessi kita. Tetapi jika kita jujur, kita tidak mau mengalami perubahan, karena perubahan itu adalah sesuatu yang kita tidak dapat kuasai.

Memperlengkapi
Jika kita menoleh pada pengajaran rasul Paulus dalam surat Efesus, khususnya pasal empat, di sana kita temukan nasihat yang sangat berharga bagi kita. Paulus mengatakan: “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” Ef 4:11-12.
Belajar sidi adalah satu pelayanan yang disediakan Gereja untuk memperlengkapi anggota jemaat yang masih muda, agar mereka dimampukan melayani sesuai dengan karunia yang didepositkan Allah di dalam hidupnya. Pada hakekatnya, semua orang yang dibabtis dan telah membuat sebuah konfirmasi atas imannya, mereka itu adalah para pemberita Injil. Pemberita Injil itu adalah semua orang yang telah melihat penampakan Kristus yang bangkit.
Sebagaimana kita yakini bersama, baptisan adalah ambil bagian di dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Para pelajar sidi kita akan ditolong oleh Roh Kudus untuk percaya pada Yesus yang bangkit. Kita semua yang telah dibaptis, mulai dari anak-anak sampai pada orang-orang tua, semua adalah Pekabar-pekabar Injil, semua adalah pelayan-pelayan Tuhan, atau semuanya adalah "'orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan' (Efesus 4: 12). Kita sadar, bahwa tidak semua orang orang yang ada di dalam persekutuan kita dapat memperlengkapi diri mereka sendiri di dalam menunaikan tugas panggilannya. Itulah sebabnya Allah mengangkat dari anggota jemaat menjadi rasul, nabi, pemberita pemberita Injil dan gembala-gembala serta pengajar. Merekalah yang kemudian kita sebut saat ini sebagai Parholado (yaitu Pendeta, Guru Jemaat, bibelvrouw, 5intua, Diakones dil).
Mereka memperlengkapi seluruh orang-orang kudus lainnya, yang saat ini kita sebut ruas untuk pekerjaan pelayanan. Jadi anggota jemaat itu pada dasarnya adalah pelayan -pelayan, bukan orang yang dilayani atau sihobasan tetapi adalah parhobas itu sendiri. Tugasnya berbeda. Mereka ditugaskan dalam hidup mereka sehari-hari di luar, yaitu sebagai pedagang, guru, penyemir sepatu petani, pegawai negeri dll. Di sanalah tempat mereka bertugas, menunjukkan melalui hidupnya bahwa Yesus telah bangkit.
Oleh karena itulah kita selalu mendengar apa yang disebut dengan imamat am orang percaya. Semuanya adalah pelaku, tetapi dengan tugas-tugas yang berbeda dan anugerah¬-anugerah yang berbeda. Dilihat dari sudut ini, tidak bisa lagi dikatakan bahwa kebaktian orang dewasa lebih penting dari kebaktian anak clan pemuda, atau sebaliknya. Semuanya sama-sama pelaku, yang turut merayakan kebangkitan itu, turut berkumpul sebagai kesaksian bagi dunia. Jemaat itu adalah untuk seluruh lapisan umur. Kebaktian dewasa, tidak lebih penting dari yang lain. Pengeluaran untuk kegiatan dewasa misalnya tidak lebih utama dari pembinaan bagi anak-anak dan pemuda. Mereka sama-sama diperlengkapi unfuk penginjilan dalam bidang masing-masing, karena merekalah pelaku-pelakupekabaran Injil.
Pertanyaan yang paling penting yang harus kita jawab sekarang ini ialah: apakah pelayanan yang kita berikan kepada anggota jemaat kita, dalam hal ini pelajar sidi, adalah dalam rangka memperlengkapi mereka untuk tugas pengijilan yang harus mereka lakukan di dalam kehidupannya? Mereka terpanggil untuk memberitakan Injil bagi teman teman remaja mereka, di Gereja, di sekolah di jalan, dimana saja kapan saja. Tentunya hal ini dapat dilakukan tatkala mata mereka telah melihat kemuliaan Allah di dalam Yesus Kristus yang telah mati dan bangkit juga untuk mereka. Parhalado mempunyai tugas untuk memfasilitasi pertemuan mereka dengan Kristus yang bangkit.

(Penulis adalah St. Hotman Ch. Siahaan, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2009)