Jumat, 25 Maret 2011

RENUNGAN: KEJUJURAN

Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, orang yang menyembur-nyemburkan kebohongan akan binasa (Amsal 19:9)

I. Pengantar
Siapakah yang dapat melihat kejujuran dalam cerita bohong?
Sebagai seorang Raja Israel yang pertama di Israel, berdasarkan garis keturunan, "Salomo" naik tahta tanpa pemberian karunia Allah. Namun demikian, Salomo menunjukkan kasihnya kepada Tuhan dengan hidup menurut ketetapan-ketetapan Daud, Ayahnya. Karunia itu kemudian diperolehnya dalam penglihatannya di Gibeon. Tuhan menyodorkan kepadanya suatu pilihan. Menyadari pekerjaannya sebagai seorang pemimpin yang belum berpengalaman ditengah-tengah umat Allah (Israel) bangsa yang besar itu, maka dia memohon hati yang paham membedakan antara yang baik dan yang jahat (1 Raj. 3 : 9)
Salomo menyadari tanpa karunia Allah, seorang raja mustahil mampu menegakkan keadilan. Pada kenyataannya manusia seringkali menutupi kejujuran dengan kebohongan yang telah dipoles sedemikian bagus untuk memenangkan setiap persoalan yang dihadapi.
Dalam waktu yang singkat setelah Salomo mendapat karunia Allah, dia diperhadapkan dengan pertengkaran 2 perempuan sundal dengan bayi mereka (1 Raj. 3 : 16). Dengan memenangkan salah satu diantaranya telah menjadi contoh yang luhur yang menunjukkan hikmah Salomo. Beberapa istilah Ibrani dan Yunani yang bisa kita samakan dengan kejujuran, kita uraikan demikian :
- Misypat berarti keputusan yang tepat.
- Isedaa (kejujuranku : Kej, 30 : 30), yakub memenuhi syarat-syarat perjanjiannya untuk menggembalakan domba Laban.
Ada kalanya seseorang bisa selamat dari hukuman karena menghadirkan saksi dusta sehingga bagi banyak orang kepalsuan seolah-olah tertutupi. Bahkan di dalam peristiwa "kebun anggur Nabot" (1 Raj. 21:1- 29) Raja Ahab dan Izebel, muncul sebagai pemenang karena menghadirkan saksi dusta dan mengupah orang dursila untuk menyembur-nyemburkan kebohongan. Tetapi takhtanya tidak bertahan lama, yang paling mengenaskan Izebel mati terbunuh, mayatnya terinjak-injak dan darahnya dijilat anjing.

II. Keterangan
Salomo tampil sebagai seorang pemimpin yang sangat dikagumi. Dia muncul mengungguli sebayanya di Mesir, Arab, Kanaan, dan Edom. Dalam hal hikmat (1 Raj. 4 : 29 dab), Salomo menjadi penganjur Sastra Hikmat Israel. Tak ada masa lain lagi dari kerajaan Israel yang begitu berjaya. Amsal-amsalnya yang hebat ada 3.000 dan nyanyiannya 1.005. Dia berbicara tentang pepohonan, binatang seolah peneliti botani dan zoologi. Keberhasilan yang dicapainya termasuk memadu hubungan-hubungan internasional, kekayaan (dijamannya, di Yerusalem : emas sama dengan batu; 2 Tawarikh 1 : 15). Kemegahan bait suci dan banganan istananya didukung oleh para pelayannya yang terlatih, cara makan dan minum, semua itu menambah keharuman nama Salomo. Namun harus kita catat bahwa Salomo menempatkan takut akan Tuhan adalah sumber pengetahuan dan hikmat. Kejujuran sangat disanjungnya. Salomo menyadari bahwa : orang sesat adalah kekejian bagi Tuhan tetapi dengan orang jujur la (Allah) bergaul erat (Amsal 3 : 32).
Ada kalanya dalam menghadapi situasi sulit seperti yang kita alami di negara kita saat ini berbicara tentang kejujuran adalah hal yang mustahil. Sudah menjadi kenyataan bahwa harapan yang sudah hampir pasti bisa gagal karena ketidak-jujuran. Hal serupa ini bisa kita temukan dikalangan aparat hukum, misalnya : untuk menangani kasus korupsi pada awalnya menggebu-gebu untuk memberantas korupsi, tidak berapa lama kemudian khabarnya nyaris tidak terdengar.
Demikian juga dengan para pakar ekonomi, mereka tidak lagi mampu memberikan kepastian yang jujur tentang kemungkinan yang masih bisa diupayakan untuk mencegah kemerosotan ekonomi. Masyarakat seolah-olah tidak ada lagi penuntun yang dapat membimbing mereka keluar dari kesulitan yang mereka alami. Bahkan kekayaan alam Indonesia yang subur itu tidak lagi menjanjikan ketahanan pangan bagi bangsa ini. Untuk bisa keluar dari kesulitan yang kita hadapi sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga masyarakat Indonesia harus mau tunduk di hadapan Tuhan. Jangan ada diantara kita yang memperburuk keadaan dengai mengatakan hal yang tidak benar yang belum kita tahu kepastian berita yang akan kita sampaikan. Sebagai warga gereja yang baik kita harus berdoa bagi semua pemimpin dan warga masyarakat bangsa ini. Kita semua harus mau berubah dari kebiasaan yang tidak baik. Hal menyakitkan yang sudah kita alami jangan lagi dibumbui dengan kata-kata dusta yang dapat rnenambah ketakutan dihati masyarakat kita. Masyarakat lemah sudah lelah oleh banyaknya isu ketakutan tentang politik, ekonomi, dan keamanan. Belum lagi ancaman kesehatan yang setiap saat bisa berganti, seperti : sapi gila, flu burung dan lain-lain. Padahal kita tahu makanan yang tersedia di pasar tidak banyak pilihan. Jika ada orang yang mencoba memanfaatkan situasi demikian untuk kepentingan pribadi atau golongan, ingatlah ada Allah yang melihat jauh kedalam lubuk hati setiap orang. Dialah yang akan membalasnya dan akan ternyata, bahwa : orang yang menyembur-nyemburkan kebohongan akan binasa. Untuk itu apapun yang terjadi kita tidak perlu takut, percaya saja kepada Allah maka Dia akan bertindak.

III. Kesimpulan
Belajar dari keberhasilan Salomo sebagai seorang raja yang berhasil memimpin sebuah bangsa yang besar, maka ada beberapa catatan penting yang bisa kita lihat:
- tidak semua manusia lahir dengan bakat dan kemampuan yang hebat. Apa yang kira perlukan dalam melakoni kehidupan ini, Tuhan mengetahuinya. Dengan selalu menunjukkan kasihnya kepada Tuhan, Salomo diberikan karunia dan diberkati dalam menempuh setiap langkahnya. Sesederhana apapun penampilan dan cara berfikir kita, Tuhan pasti memampukan semua yang dikasihi-Nya dalam menempuh cita-cita yang dipergumulkan dalam permohonan dan doa kepada Allah.
- Kedekatan kepada Allah ditandai dengan kebaikan hati dan sikap adil, sebab Tuhan bergaul karib dengan orang yang jujur.
- Marilah belajar menciptakan ketenangan sekalipun orang-orang disekitar kita gelisah dan rusuh akibat berita yang tidak baik. Tetapi anak-anak Tuhan selalu menebar damai dan giat berkarya. SYALOOM!!!! TUHAN YESUS MEMBERKATI

(Penulis adalah Pdt. K.E. Limbong, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi November 2005)

HUMOR

Ulangan 14 Februari
Seorang siswa SMA malas mempersiapkan diri menghadapi ulangan pada malam Hari Kasih Sayang yang selalu ia rayakan bersama dengan pasangannya.
Keesokan harinya, pada lembar jawaban ia hanya mampu menuliskan keluh kesahnya karena tidak belajar.
"Soal-soal ini terlalu sukar. Cuma Tuhan yang bisa menjawabnya. Selamat Hari Kasih Sayang, Bu Guru"
Ketika pulang sekolah, ia menerima hasil ulangan bertuliskan:
"Tuhan dapat 100, kamu dapat 0, Selamat Hari Kasih Sayang"

Jurus Tak Ampuh
Si Anton sedang membaca emailnya, dan ada artikel menarik tentang cara berkenalan dengan (baca: merayu) cewek. Salah satunya adalah dengan memulai perbincangan seperti berikut:
Anton : Maaf, Mbak. Punya obeng, tidak?
Cewek: Ha? Tidak!
Anton : Kalau nomor HP punya, kan?
Akhirnya, Anton ingin mencoba "rayuan maut" tersebut
An : Maaf, Mbak. Punya obeng tidak?
Cew : Punya .... Mau yang plus atau minus?
An : Eh?!? Yang minus saja, Mbak. Kalau palu punya tidak?
Cew : Punya juga, ... nih ....
An : Kalau kunci inggris, ada tidak? (Dengan penuh
pengharapan agar si cewek menjawab "tidak")
Cew : Ooo ... itu juga ada ... dari ukuran 10 sampai 20. Mas mau
yang mana?
An : Langsung aja deh, Mbak. Punya nomor HP, tidak?
Cew : Ooo ... ini .... (Sambil menyodorkan kartu nama dan brosur
Ase Hardware). Kalau Mas butuh perkakas, hubungi saya saja. Saya kebetulan di bagian penjualan Ase Hardware, pusat perkakas yang terlengkap. Ase Hardware gitu lho!
An : Nasiiib.... (Sambil pergi dengan tertunduk lesu.)

Selalu Berbagi
Hari Minggu sore itu Musa dan Kaleb datang terlambat ke Gereja, padahal saat itu adalah belajar sidi seperti biasa.
Ketika mereka berdua dengan tergesa-gesa dan hampir bersamaan masuk ke kelas, sedangkan teman-teman lainnya sudah berada dalam kelas.
" Musa, kenapa kamu datang terlambat? Bukankah amang sudah jauh-jauh hari berpesan supaya semua datang pada waktunya?" tegur amang pengajar sidi tersebut
"Maaf, amang, saya ketiduran karena bermimpi," sahut musa secara jujur.
Grrrrr…seisi kelas tergelak dan tertawa.
"Memangnya kamu mimpi apa?" tanya pengajar lagi.
"Saya bermimpi dibawa malaikat jalan-jalan ke surga, amang…"
"Hmmm… Nanti sesudah acara kamu ceritakan di depan kelas tentang mimpimu itu ya," kata pengajar setengah menyindir Musa.
Lalu amang beralih kepada Kaleb, "Kamu, Kaleb, kenapa terlambat."
Jawab Kaleb, "Aku diajak Musa dalam mimpinya itu, amang…"

(Tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Februari 2011)

Jumat, 11 Maret 2011

ARTIKEL: PEMBINAAN MANTAN NAPOSOBULUNG

Pendahuluan
Redaksi Narhasem meminta saya untuk menulis dengan topik seperti di atas. Berdasarkan pemahaman klasik, bahwa naposobulung adalah mereka yang belum kawin, maka mereka yang namanya mantan naposobulung ialah mereka yang sudah menikah. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, orang yang disebut mantan naposobulung ialah pasangan muda yang belum terlalu lama menikah.

Flash Back
Gereja HKBP dengan tegas membagi anggota jemaatnya ke dalam beberapa kategori. Hal itu diatur di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Kategori itu ialah: sekolah minggu, remaja, naposobulung, parompuan dan ama. Di sekolah minggu, ada anak laki dan perempuan. Demikian juga di remaja dan naposobulung. Tetapi setelah orang menikah, HKBP tidak lagi membina warganya dalam konteks laki dan perempuan. Terjadi pemisahan antara pria dan wanita. Kapan keluarga muda itu dapat pelayanan secara intens? HKBP tidak menyediakan sarana bagi keluarga muda mendapat pelayanan. Mungkin dianggap sudah cukup, melalui kebaktian sektor, atau lungguk, mungkin juga ada anggapan yang mengatakan bahwa biarlah mereka turut ambil bagian dalam pelayanan kategori parompuan dan kategori ama.
Tetapi, kenyataan yang sangat kasat mata di hadapan kita ialah: sangat tidak banyak pasangan suami isteri yang terlibat dalam kegiatan kategorial. Jika sang isteri aktif di seksi parompuan, sangat tidak pasti, sang bapa akan aktif di seksi ama. Kenyataan pun mengatakan bahwa dalam kebaktian-kebaktian sektor, sangat jarang keluarga muda datang ke dalam kebaktian tersebut. Lalu, kapan mereka mendapatkan pelayanan yang intens?
Hal ini diperparah lagi dengan fakta yang mengatakan tidak adanya konseling nikah yang intens diadakan Gereja HKBP untuk pasangan yang akan menikah. Di HKBP Menteng, memang diadakan. Tetapi itu hanya dua kali pertemuan dengan pendeta. Bandingkan dengan Gereja GKI yang mengadakan konseling nikah selama satu tahun! Jika penulis tidak salah, HKBP Menganggap, anggota jemaat yang sudah sidi, dianggap sudah dewasa imannya. Oleh karena itu, pembinaan kepada anggota jemaat, cukup melalui porsi yang sudah ada sejak zaman para missionar melayani di Tanah Batak.
Kenyataan tidak! Bukan lagi rahasia, anggota jemaat HKBP yang baru menikah, telah cerai di pengadilan. Kita harus mengadakan satu pelayanan yang intens kepada keluarga-keluarga muda HKBP yang sekarang sedang menghadapi masalah yang jauh lebih sulit dari para orang tua mereka di puluhan tahun yang lalu. Sebagai jawaban atas kebutuhan itu, penulis mengadakan penelahan Alkitab bagi pasangan muda ini di HKBP Menteng Jakarta. Sekarang ini, ada keluarga muda yang turut ambil bagian di dalamnya terdapat 20 kepala keluarga. Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat turut ambil bagian di dalam penelahan Alkitab ini ialah: mereka yang hadir, haruslah pasangan suami isteri. Karena itu, kami menyebut PA itu PA Pasutri, akronim untuk pasangan suami isteri.

UUD Pernikahan Kristen
Alkitab mengatakan bahwa keluarga adalah institusi yang Allah dirikan di dunia ini. Oleh karena itu, setiap orang yang mau mendirikan keluarga, mereka harus memahami apa dan bagaimana keluarga itu dijalankan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah untuk satu keluarga. Oleh karena itu, pembinaan yang sangat mendasar pun harus diberikan kepada pasangan baru itu yakni: memahami dengan benar makna dari ayat yang disebut orang sebagai undang-undang dasar pernikahan Kristen. Nas itu adalah Kej. 2:24. Di sana sangat jelas dikatakan bahwa mereka yang menikah itu dulunya terdiri dari dua pribadi, sekarang menjadi satu. Demikianlah Tuhan Yesus menafsirkan ayat itu dalam kitab Injil.
Prinsip yang dipakai Alkitab di dalam membangun senantiasa merusak lebih dahulu, barulah dibentuk sesuatu yang baru! Hal ini sangat jelas disuarakan nabi Yeremia pada bangsa Israel. Kita membacanya dalam Yer. 1:10. Yeremia diperintahkan untuk mencabut, merobohkan, baru kemudian membangun dan menaman. Tatkala kedua pribadi yang mempersatukan diri dalam pernikahan, mereka memiliki pribadi yang unik! Agar kedua pribadi itu dapat dipersatukan dalam ikatan yang kudus, maka hal pertama yang harus dilakukan ialah: menanggalkan pribadi yang lama, lalu bersama-sama mengenakan pribadi yang baru di dalam Tuhan. Proses menanggalkan yang lama itu kita sebut dengan istilah: mencabut, merobohkan. Sementara mengenakan pribadi yang baru kita sebut dengan istilah: membangun dan menanam.
Picasso, seorang maestro di bidang seni lukis pernah mengatakan: "setiap karya seni dimulai dengan tindakan pengrusakan". Dari sesuatu yang dihancurkan, dirusak, keluarlah satu karya senih yang indah. Jika kita ingin membangun sebuah rumah tangga yang indah dan berseni, maka hal yang pertama harus kita lakukan ialah: merusak, atau meninggalkan pola kehidupan yang lama, dan bersama dengan pasangan kita, mulai mengenakan yang baru. Untuk itu, diperlukan proses belajar bersama. Tidak akan terjadi pengrusakan, atau proses menanggalkan, bilamana hanya satu sisi dari keluarga itu yang belajar. Itulah sebabnya kita harus mengadakan pembinaan secara bersama untuk pasangan suami dan isteri.

Cara Berpikir
Ada orang yang mengatakan bahwa perilaku orang ditentukan oleh pola pikir manusia itu sendiri. Tatkala kita bertindak, perilaku kita akan menjadi acuan dari tindak tanduk kita. Di sisi lain, dunia kita sekarang ini sudah sangat kental terkontaminasi 'roh' individualisme. Sementara di sisi lain, Alkitab mengajarkan kepada kita, 'roh' yang seharusnya bekerja di dalam diri kita ialah: 'roh kolektivisme'. Alkitab mengatakan bahwa persekutuan orang percaya itu digambarkan sebagai 'tubuh Kristus'. Para orang tua kita masih hidup dalam roh kolektivisme itu, sekalipun roh individualisme telah merasuk ke dalam hati mereka. Adat Batak yang mengajarkan kolektivisme, menjadi sarana bagi mereka untuk memupuk roh kolektivisme di dalam diri mereka. Kita dengan pasti, anak muda sekarang ini, tidak lagi berada di bawah pengaruh adat Batak yang intens. Sekarang ini, pergaulan anak muda Batak lebih banyak dengan orang di luar suku Batak. Inter relasi dengan orang di luar suku Batak, membuka mata hati mereka tentang pilihan lain di dalam hidup ini, di luar orang Batak.
Marilah kita melihat salah satu contoh kecil. Tatkala seseorang menikah, ia tidak sendiri lagi. Di dalam dirinya telah didepositkan pasangannya. Apalagi tatkala ia telah punya anak. Ia telah menjadi amani/nai anu! Kemana pun, ia pergi, pada hakekatnya anak dan isteri/suami itu, turut bersama dengan dia. Ingat, ia sudah berubah nama. Namanya sekarang ialah: bapanya/ibunya anu! Namun, karena produk dari roh individualisme, orang tetap merasa ia sendiri, tatkala ia berada di kantor, di luar rumah. Oleh karena itu, perilaku mereka tetap mengacu kepada pribadi mereka sebelum menikah. Pola seperti ini seharusnya dirusak! Melalui kerusakan pola pikir seperti itu, maka tiap-tiap orang akan belajar untuk mengenakan pola pikir yang baru. Pola pikir baru itu ialah: aku adalah satu pribadi yang di dalam diriku, ada isteri/suami dan anak-anak.
Pola yang dipakai orang Batak dalam memahami dirinya sebagai satu pribadi yang di dalamnya ada kolektivitas, pada hakekatnya adalah pola yang juga diajarkan Alkitab untuk diterapkan setiap orang Kristen. Kita salah satu contoh yang diajarkan kepada kita oleh Rasul Paulus dalam surat Efesus. "buanglah dusta dan berkatalah benar seorang terhadap yang lain, karena kita adalah sesama anggota" demikian kata Rasul Paulus dalam Ef. 4:25. Mengapa saya tidak perlu berdusta kepada sesama? Asumsi yang dipakai Rasul Paulus ialah: kita adalah anggota tubuh Kristus. Jadi, tatkala saya mendustai orang Kristen, maka pada hakekatnya, saya mendustai diri sendiri. Prinsip ini sangat pas dipraktekkan di dalam hidup rumah tangga.
Alkitab mengatakan bahwa suami mengasihi isterinya seperti ia mengasihi tubuhnya sendiri. Jika setiap suami atau isteri memahami bahwa partnernya adalah bagian yang tak terpisahkan dari dirinya sendiri, maka takkan ada dusta di antara mereka. Dusta tidak menguntungkan orang yang saling mengasihi. Oleh karena itu, dusta adalah sesuatu yang merugikan diri sendiri. Hal ini sangat benar, jika landasan dari relasi di dalam keluarga adalah kasih.
Sisi lain yang dibahas Paulus dalam pasal yang sama dalam surat yang sudah kita kutip di atas ialah masalah marah. Marah di dalam konteks kasih, punya batas. Itulah sebabnya Paulus mengatakan bahwa marah itu harus berakhir jika matahari terbenam. Bukankah hal yang sama harus dilaksanakan di dalam kehidupan berkeluarga? Sisi yang ketiga diutarakan Paulus dalam pasal itu ialah: soal mencuri dan bekerja. Hal-hal ini menjadi bagian hidup yang sangat pas untuk diterapkan dalam konteks hidup berkeluarga dalam perspektif kolektifisme. Kita berpikir, masalah berdusta, marah dan mencuri adalah masalah pribadi kita semata-mata, tanpa ada korelasinya dalam persekutuan keluarga kita. Alkitab mengatakan masalah itu tidaklah seperti yang kita perkirakan. Pola pikir seperti itu perlu mendapatkan perubahan.
Dalam rangka merubah pola pikir inilah, kita mengadakan pelayanan yang intens kepada para pasangan muda ini. Melalui pelayanan yang berkesinambungan, maka setahap demi setahap, diharapkan roh kolektivisme itu akan mengairi hati dari tiap-tiap keluarga muda yang tidak lagi tertarik kepada adat Batak yang menaburkan pola pikir kolektivisme yang sangat Kristen! Jika tidak ada counter attack terhadap pengaruh individualisme yang begitu menggerogoti hati kita, maka ditakutkan, akan ada degradasi iman yang sangat deras menggerus kehidupan beriman anggota jemaat di masa mendatang. Roh individualisme pada akhirnya mendewakan diri sendiri. Produknya yang terburuk ialah: tidak ada lagi tempat untuk Tuhan di dalam kehidupannya.

Menyatu
Sisi kedua dari undang-undang dasar pernikahan Kristen sebagaimana telah kita bicarakan di atas mengatakan bahwa orang yang menikah itu akan menyatu dengan isterinya. Setelah meninggalkan, sekarang datanglah bagian kedua, yakni: menyatu. Dua pribadi menjadi satu. Penyatuan ini merupakan pekerjaan yang tersulit di dalam hidup ini. Ada orang menjalani proses ini di sepanjang hidupnya. Gambaran yang paling agung yang pernah didemonstrasikan di dunia ini, tentang penyatuan ialah: Allah menjadi manusia! Untuk bisa menjadi manusia, Yesus mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba. Proses ini menjadi acuan bagi kita untuk mempersatukan diri di dalam satu keluarga yang memuliakan Tuhan di dalam kehidupan ini.
Bilamana kita perhatikan dengan seksama, langkah yang diambil Tuhan Yesus dalam rangka menjadi manusia, sebagaimana diuraikan Paulus dalam surat Filipi, maka kita akan menemukan pola yang sama seperti diutarakan di atas. Yesus mengosongkan diri lebih dahulu, lalu Ia mengambil rupa seorang hamba. Kita menggarisbawahi kata mengambil rupa. Inilah tindakan yang kita perlukan untuk diterapkan di dalam hidup pernikahan Kristen. Tiap pribadi yang telah mengikatkan diri dalam pernikahan yang kudus itu, perlu 'mengambil rupa' menjadi seorang isteri dan seorang suami yang telah dipersatukan Allah.
Bila proses 'mengambil rupa' ini berlanjut, maka langkah berikutnya adalah: merendahkan diri dan taat. Ketaatan adalah sesuatu yang dipelajari. Ketaatan tidak ada dengan sendirinya di dalam hidup kita. Pada hakekatnya kita adalah pemberontak. Untuk ini, kita perlu mengadakan pembinaan yang intens, agar selangkah demi selangkah, ketaatan itu akan terakulturasi di dalam hidup kita.

Bersekutu
Langkah ketiga dalam undang undang pernikahan Kristen itu ialah: persekutuan. Secara harfiah dikatakan menjadi satu daging. Seks adalah persekutuan yang paling intim dalam kehidupan manusia. Tetapi sekarang, dalam kehidupan manusia yang sangat individualistis, seks menjadi sesuatu yang hanya bersifat daging semata-mata. Allah mendisain seks menjadi satu sarana bagi manusia untuk memahami eksistensinya sebagai manusia dalam gambar Allah. Alkitab mengatakan bahwa seks adalah sebuah misteri. Tatkala seks diobral sebagaimana dilakukan dunia barat khususnya,maka misterinya pun hilang.
Persekutuan yang bersifat rohani inilah yang harus dipelajari setiap pasangan Kristen yang mengikatkan diri dalam pernikahan kudus. Mempelajari hal ini, tidaklah berakhir dalam tempo yang singkat. Oleh karena itu, belajar untuk menikmati persekutuan dalam nikah yang kudus adalah sebuah proses belajar seumur hidup. Oleh karena itu pula, pembinaan terhadap pasangan Kristen pun haruslah dilakukan seumur hidup pula.
Apalagi Tuhan telah mengaruniakan anak kepada kita. Seorang hamba Tuhan yang melayani dalam konseling keluarga Kristen mengatakan bahwa tiap anak membawa sebuah amplop dari Tuhan, tatkala ia hadir di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang dapat membuka amplop itu, kecuali dirinya sendiri. Para orang tua diminta agar mereka mendidik anak itu sedemikian rupa, agar di masa depannya, ia akan dimampukan untuk membuka amplop tersebut. Di dalam amplop itu, ada tertulis rencana Allah bagi masa depannya.
Musa menyampaikan firman Tuhan kepada bangsa Israel, agar setiap orang tua mempergunakan segala kesempatan untuk mengajarkan firman Tuhan yang telah mereka terima kepada anak-anaknya. Kita pun menerima firman itu melalui Gereja-Nya yang kudus. Pola persekutuan seperti ini harus diciptakan alagi dunia sekarang sudah sangat individualis. Bahkan orang sekarang ini telah memisahkan dirinya bahkan dengan anaknya sendiri. Strutur keluarga sekarang sudah sangat berbeda dengan para pendahulu kita. Anak adalah bagian tak terpisahkan dari dalam kehidupan orang tua. Itu dulu. Sekarang anak adalah bagian dari persekutuan keluarga yang diikat oleh norma yang sangat rapuh. Ikatan itu mungkin hanya dalam konteks hukum atau norma dalam masyarakat. Tatkala kepentingan pribadi sangat mendesak, kepentingan anak mendapatkan porsi yang paling akhir dalam hal mengambil keputusan.
Untuk menangkal semua hal-hal yang negatif produk dari zaman ini, kita sangat memutuhkan sebuah wadah untuk membina keutuhan keluarga. Orang dapat mengasah dan diasah dalam wadah itu. Semoga HKBP dapat melihat kebutuhan warganya dalam hal pembinaan terhadap keluarga-keluarga muda yang sekarang sedang mengalami pertempuran dahsyat dengan 'roh zaman' ini. Jika mereka kalah dalam pertempuran itu, maka masa depan Gereja pun tidak dapat dibayangkan. Sebab, anak-anak mereka inilah yang akan menentukan masa depan Gereja HKBP. Marilah kita merintis jalan yang akan mereka tempuh dengan selamat dan dalam damai sejahtera Tuhan.

(Penulis adalah St. Hotman Ch. Siahaan, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2008)

Rabu, 09 Maret 2011

ARTIKEL: TELAAH SINGKAT SIKAP AROGAN YANG DITEMUI DALAM PELAYANAN DI GEREJA BERKULTUR BATAK YANG BERSUMBER DARI KEKAYAAN DAN STATUS PERKAWINAN

Di setiap organisasi apapun, baik organisasi di gereja maupun non-gereja selalu saja muncul sikap arogan. Sebenarnya, tidak ada organisasi yang menyatakan bahwa organisasinya adalah organisasi yang arogan ataupun bercorak arogan, namun karena organisasi tersebut dalam kesehariannya dijalankan oleh manusia maka sikap arogan yang menjadi salah satu ciri dari perilaku manusia yang telah jatuh dalam dosa kerap kali bermunculan. Termasuk juga organisasi gereja, walaupun setiap minggu seluruh jemaat mendapatkan siraman Firman Tuhan setiap minggu dan juga menyatakan pengakuan dosa dalam setiap kebaktian minggu, hal tersebut tidak meniadakan munculnya sikap arogan dalam keseharian pelayanan di gereja. Tulisan singkat ini bermaksud membagikan pemahaman dan pengalaman penulis terhadap sikap arogan yang ditemui penulis dalam pelayanan di gereja batak, tentu kurang lebih 75 persen pengalaman ini didapat dari keikutsertaan penulis dalam pelayanan terdahulu di punguan naposobulung di HKBP Semper, selebihnya mungkin yang penulis alami dan ketahui dari pengalaman di resort, distrik dan juga mendengar sharing dari teman-teman naposobulung lain. Tulisan ini tidak bermaksud menjelek-jelekan gereja atau seseorang, tetapi tulisan ini dibuat dengan maksud sebagai bahan koreksi dan masukan untuk pengembangan pelayanan di gereja, khususnya gereja berkultur batak.

I. Definisi Arogan Dan Karateristik Arogansi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI), arogan berarti sombong dan congkak. Lebih lanjut menurut KBI, secara psikologi, arogan itu mempunyai perasaan superiotas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah. Menurut penulis, superiotas adalah perasaan yang merasa lebih dibanding orang lain, padahal belum tentu lebih dan kalaupun ada kelebihan tidak perlu disewenangkan atau dilebih-lebihkan. Hal-hal yang sering dilebihkan tetapi belum tentu lebih yang menjadi karakteristik arogansi misalnya “lebih tinggi”, “lebih kuat”, “lebih memiliki kuasa/pengaruh”, “lebih hebat”, “lebih mengetahui atau lebih pandai atau lebih jago”, “lebih benar” dibanding orang lain dan sebagainya. Arogansi membuat manusia tidak dapat memandang dirinya dan juga manusia lain secara utuh. Sadar atau tidak ketika kita bertindak arogan, kita telah membuat perbedaan manusia yang seharusnya setara menjadi berkasta.
Sebagai telah penulis singgung diatas, perasaan arogan ini banyak sekali ditemui di masyarakat, di tempat perkuliahan yang intelektualitas menjadi “tuhan”nya pun sering ditemui sikap arogan, mis. ketika pertama kali masuk kuliah, sering dilakukan orientasi pengenalan kampus yang dilakukan oleh senior terhadap junior yang baru masuk. Walaupun tidak tertulis, senior secara lisan selalu menyatakan slogan-slogan: “Pasal 1 senior tidak pernah salah; Pasal 2 Jika senior salah, lihat Pasal 1). Dengan slogan ini, senior bisa berbuat semaunya terhadap juniornya. Slogan ini juga menunjukan bahwa arogansi sudah bertumbuh kembang dalam masyarakat dan mereka yang ada “diatas” menikmati dan tanpa sadar ikut serta dalam melembagakan sikap arogansi ini. Sikap Arogansi sadar atau tidak sadar pun muncul, tumbuh dan berkembang dengan baik dalam gereja batak. Sepertinya, jemaat dan juga parhalado kadang menikmati sikap-sikap arogansi tersebut. Sikap Arogan yang ditemui dalam pelayanan gereja batak tidak terlepas dari pemahaman atas budaya batak yang selama ini menjadi pegangan bagi jemaat gereja batak. Walaupun, kekristenan telah masuk dalam sejarah bangsa Batak, namun budaya batak pra-kristen yang tidak sesuai dengan falsafah iman Kristen masih kental dalam kehidupan jemaat gereja Batak. Memang tidak mudah merubah ini, tetapi kita yang telah mengenal Allah harus terus memperjuangkan perubahan ini, agar kita bisa hidup seturut dengan kehendak Allah. Dalam tulisan ini, akan dibahas sikap-sikap arogansi yang bersumber dari kekayaan dan status perkawinan, serta bagaimana arogansi itu menurut Firman Tuhan. Sebenarnya, selain kekayaan dan status perkawinan, terdapat juga arogansi yang bersumber dari segi lain, misalnya dari segi jenis kelamin, umur, pendidikan dan sebagainya. Namun karena keterbatasan waktu yang diberikan penulis oleh Tim Buletin Narhasem, penulis dengan lancang menyunat permintaan Tim Buletin Narhasem tersebut, penulis mohon maaf untuk itu.

II. Sikap Arogan Yang Ditemui Dalam Pelayanan Gereja Berkultur Batak Yang Bersumber Dari Kekayaan Dan Status Perkawinan
IIA. Arogansi yang bersumber dari kekayaan
Hamoraon (kekayaan) sering dijadikan tujuan hidup manusia. Tak terlepas manusia batak. Manusia Batak sangat mendambakan kekayaan, dengan kekayaan maka dapat dikatakan kita telah memperoleh kesuksesan hidup. Dengan kekayaan, kita dapat mengadakan pesta-pesta adat mewah yang secara tidak langsung dapat menaikan harkat dan martabat di tengah-tengah komunitas Batak. Karenanya, orang Batak umumnya sangat ingin anaknya menjadi orang kaya dikemudian hari. Tidak sedikit sewaktu anak-anak kita diiming-imingi kekayaan supaya rajin belajar. Iming-iming itu dilakukan berulang-ulang sehingga tanpa sadar tertanam dalam hati kita bahwa kekayaanlah yang menjadi tujuan indah dalam kehidupan. Makanya, sewaktu remaja dan naposo kita berjuang untuk mendapatkan kerjaan yang bagus yang tidak lain adalah pekerjaan yang dapat mendapatkan materi atau uang yang banyak. Salahkah kita jikalau berambisi mencari kekayaan yang sebanyak-banyaknya? Tidak, sepanjang kekayaan itu dipakai untuk kemuliaan Tuhan, dalam hal ini tidak dijadikan alat untuk menunjukan arogansi dalam pelayanan gereja. Kita harus akui materi memang diperlukan dalam pelayanan gereja. Karenanya, kita juga berdoa kepada Tuhan agar Tuhan berkenan melimpahkan berkat jasmani kepada jemaat kita. Penulis akan memberikan contoh sikap arogansi yang bersumber dari kekayaan jemaat dan sikap arogansi yang bersumber dari kekayaan gereja.
Pernah dalam suatu pesta parheheon di acara kebaktian minggu sewaktu naposo dulu, saya melihat sendiri ada suatu keluarga yang bukan jemaat HKBP Semper meminta sakramen babtisan kudus secara khusus untuk anaknya (bukan di acara babtisan yang ditetapkan sebelumnya). Mungkin dia harus membabtiskan anaknya karena pendeta resort waktu itu sedang melayani di acara kebaktian di HKBP Semper. Mereka diperlakukan secara “sangat” khusus. Mereka diberikan reservasi 2 baris bangku untuk keluarga besarnya dan rombongannya yang ikut hadir, padahal seharusnya reservasi hanya cukup diberikan kepada kedua orangtua anak yang dibabtiskan saja. Bahkan, opung dari anak yang dibabtis, yang kebetulan seorang sintua yang telah pensiun di HKBP dipersilahkan duduk menghadap jemaat di sebelah pendeta resort yang sedang bertugas, padahal setahu saya pada waktu itu yang duduk disebelah pendeta yang berkhotbah adalah guru huria. Saya merasa orang ini adalah orang yang memiliki kekayaan yang lebih dari jemaat lainnya dan saya dengar sudah banyak sekali uangnya yang telah dipergunakan untuk pelayanan gereja sehingga sepertinya gereja sudah memiliki banyak hutang dan karenanya gereja pantas memperlakukan mereka secara istimewa. Ini hanya dugaan saya, sekali lagi saya menduga, namun jikalau dugaan saya ini benar, maka pada waktu itu kita telah menunjukan contoh arogansi dalam pelayanan. Mari kita berfikir sebaliknya, jikalau ada jemaat miskin meminta babtisan kudus secara khusus kepada pihak gereja kita pada waktu itu, apakah gereja kita akan memberikannya? Jikalau memberikannya apakah dilakukan di kebaktian pagi atau di kebaktian sore saja supaya tidak menggangu kepadatan acara parheheon di kebaktian minggu pada waktu itu? Kemudian juga, apakah gereja akan menyediakan reservasi khusus buat mereka seperti reservasi yang diberikan kepada keluarga kaya yang membabtiskan anaknya seperti contoh diatas? Jikalau, kita menjawab ya atau dengan kata lain tidak membedakan perlakuan terhadap keluarga kaya dan keluarga miskin yang meminta pelayanan dari gereja maka pendapat saya yang menyatakan adanya arogansi pelayanan yang bersumber dari kekayaan adalah pendapat yang keliru.
Contoh pengalaman lain, sikap arogansi yang bersumber dari kekayaan gereja. Ada parhalado yang mengeluh dan menyatakan di depan pengurus naposo pada waktu itu bahwa jumlah persembahan kebaktian naposo tidak sebanding dengan biaya mengadakan kebaktian naposo sehingga kebaktian naposo perlu ditinjau lagi keberadaannya. Penulis sempat terperanjat dan gusar ketika mendengar langsung ucapan ini, mengapa ada pemikiran bahwa pelayanan naposo tidak boleh “merugikan” kekayaan gereja. Berapa sih ruginya “kekayaan” gereja dibanding biaya mengadakan pesta-pesta gereja yang belum tentu maksimal faedahnya dengan pelayanan gereja? Tak sadarkah parhalado pada waktu itu bahwa naposo itu perlu pembinaan yang sejalan dengan jiwa mudanya sehingga pelayanan itu mengena dan berpengaruh kuat dalam jiwa naposo. Naposo dan anak-anak itu masa depan gereja, kalau kita tidak membina naposo dan anak-anak atau membina tapi pelayanan tersebut tidak mengena ke jiwa mereka jangan harapkan gereja kita di masa mendatang dapat tegak berdiri.

IIB. Arogansi yang bersumber dari perkawinan
Salah satu ketidaksukaan banyak naposo sewaktu naposo kalau harkat dan martabat naposo direndahkan karena dia seorang naposo. Padahal banyak sekali Firman Tuhan yang bercerita mengenai injil yang memanggil dan memakai kaum muda dalam pelayanan gereja, sebut saja Daud, Musa, Timotius dan sebagainya. Namun di kalangan gereja berkultur batak, jangan harap naposo memperoleh kedudukan yang seimbang dalam pelayanan di gereja. Kondisi ini tercipta karena adat batak sangat membedakan sekali antara orang yang sudah kawin dan orang yang belum kawin. Hanya orang-orang yang sudah kawin saja yang dapat menerima memiliki posisi penting dan memiliki jambar (bagian) dalam acara-acara adat batak, sementara orang yang belum kawin, walaupun umurnya sudah lanjut, tetap saja tidak mendapatkan jambar apapun. Dalam tulisan ini, saya tidak mau mengkritisi adat batak, tetapi tolong jangan bawa-bawa aturan di adat batak mengenai perkawinan tersebut dengan aturan di gereja yang seharusnya tidak membeda-bedakan manusia dari status perkawinannya. Pendapat penulis ini jangan diartikan saya anti adat batak, banyak adat batak yang baik dan mencerahkan kehidupan saya dan saya bangga dan bersyukur menjadi orang batak, apalagi batak kristen.
Perhatikan dalam kepanitian-kepanitian gereja berkultur batak, setidaknya yang saya alami, posisi-posisi strategis selalu diberikan kepada orang tua, naposo hanya diberikan posisi-posisi pelayanan yang “parhobas” misalnya penerima tamu, pembantu umum atau hiburan dan paling tinggi menjadi salah satu wakil sekretaris supaya bisa disuruh menjadi pengetik, pokoknya ujung-ujungnya “holan parhobas”. Sedangkan posisi strategis sebagai salah satu penentu kebijakan selalu diserahkan kepada orang tua. Memang, sejatinya posisi apapun adalah parhobas, yaitu melayani Tuhan dan tidak ada pembedaan melayani Tuhan apapun jenis posisi pelayanannya. Tetapi, janganlah mengangkat atau meletakan posisi orang dalam pelayanan dengan secara tidak langsung memastikan dahulu status perkawinannya sudah atau belum. Lihat kemampuan dan komitmennya, itu yang penting. Tidak ada dasar landasannya yang menyatakan suatu kepanitiaan gereja akan berjalan dengan baik kalau dipimpin oleh orang-orang yang telah kawin. Kawin dan tidak kawin tidak dapat dijadikan landasan untuk menentukan posisi pelayanan di gereja, setiap jemaat yang mengasihi Tuhan, memiliki kemampuan dan komitmen yang baik, statusnya sudah kawin maupun belum kawin, menurut penulis dapat terlibat dalam jenis pelayanan apapun di gereja, termasuk posisi pelayanan yang strategis. Memang ada orang yang sudah kawin memiliki kemampuan dan komitmen baik dalam pelayanan, penulis setuju kalau mereka diberi posisi strategis dalam pelayanan, tetapi menurut penulis ada juga naposo yang memiliki kemampuan dan komitmen yang tidak kalah bahkan melebihi orang yang telah kawin sehingga layak diberi posisi pelayanan yang penting baginya.
Satu hal, penulis juga bersyukur kalau HKBP telah berani mengangkat sintua dari kalangan naposo, itu adalah terobosan yang baik dan semoga ini dapat diterapkan dengan maksimal di gereja berkultur batak. Percayalah, banyak potensi dan semangat kemudaan yang diperlukan dalam pelayanan di gereja berkultur batak. Sayang kalau hal ini disia-siakan. Terobosan ini secara tidak langsung mau menyatakan HKBP sebagai salah satu gereja berkultur batak sudah mengakui kemampuan naposo dalam terlibat aktif dalam pelayanan gereja yang bersifat strategis. Kalau menjadi sintua saja sudah boleh, kenapa terlibat dalam posisi strategis kepanitiaan belum bisa? Bisa donk...

III. Arogansi Menurut Alkitab dan Bagaimana Seharusnya Pelayan Bersikap?
Sebagaimana telah dijelaskan diatas arogansi adalah sifat sombong dan congkak. Secara tegas dikatakan dalam Amsal 21:4 bahwa hati yang sombong adalah pelita orang fasik dan itu adalah dosa. Demikian pula dalam Amsal 6:16-17 secara tegas Allah menyatakan kesombongan adalah salah satu dari tujuh perkara yang paling dibenci oleh Tuhan. Karenanya dalam dalam Yakobus 4:6 tersurat Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati. Sehingga, tidak ada tempatnya arogansi dalam kehidupan orang percaya. Memang bukan berarti dengan menjadi Kristen otomatis sikap-sikap arogansi itu akan hilang atau akan mudah kita hilangkan dalam diri kita. Mengilangkan arogansi dalam kehidupan manusia termasuk pelayan adalah suatu proses penjang yang kadang membuat hati kita menangis, namun jika kita terbuka untuk dikoreksi dan diperbaharui Tuhan maka Tuhan akan memampukan kita menjadi orang yang menjauhkan arogansi dalam kehidupan kita. Tinggal kita, maukah kita berusaha menjauhkan sikap arogansi dalam kehidupan kita?
Contoh tokoh-tokoh Alkitab yang tidak bersikap arogan antara lain adalah Yusuf dan Tuhan Yesus sendiri. Yusuf tidak arogan kepada saudara-saudaranya yang telah mencampakan dia, dia tetap mengasihi dan rendah hati walau hukum memungkinkan dia pada waktu itu untuk menghukum saudara-saudaranya yang mencampakkan dia. Walau dia seorang pejabat tinggi di Mesir pada waktu itu yang memiliki kuasa yang tinggi, dia tidak menggunakan kuasanya untuk berlaku arogan kepada saudara-saudaranya tersebut, melainkan kuasanya dipakai untuk menyatakan kasih dan kerendah-hatian. Lebih lagi Tuhan Yesus, dia rela disiksa dan akhirnya mati demi dosa manusia. Tak ternilai pengorbanan dan teladan rendah hati yang ditunjukan Tuhan Yesus.
Bagaimana dengan kita, apakah ada cara agar kita melepaskan dan menjauhkan diri dari sikap arogansi? Tentu ada, sebagai langkah awal bagi pelayan untuk menjauhkan sikap arogansi adalah marilah kita memeriksa dan menyadari siapa diri kita di hadapan Tuhan. Kita adalah manusia berdosa yang dilayakkan Tuhan menerima pengampunan dosa dan diperkenankan Tuhan menjadi pelayannya, maka marilah pelayan Tuhan memegahkan keselamatan Tuhan sebagai hal yang istimewa dan tidak tertandingi dengan apapun juga. Kita harus memiliki pikiran bahwa keselamatan dari Tuhan melebihi harta kita, melebihi aturan-aturan dunia yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, melebihi adat-adat batak yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, bahkan melebihi orang-orang yang kita kasihi sekalipun. Dengan memiliki pemahaman ini maka niscaya kita akan menjauhkan diri dari arogansi walaupun harta kita banyak atau status kita telah kawin atau umur kita jauh lebih tua atau karena pendidikan kita sangat tinggi, dan sebagainya. Langkah selanjutnya adalah, marilah kita mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan kita atau setidaknya marilah memperlakukan orang lain seperti memperlakukan diri kita sendiri. Yang “berlebih”, janganlah menggunakan kelebihannya untuk menunjukan superioritasnya terhadap orang lain, tetapi tetap mengasihi dan rendah hati kepada yang “berkekurangan”. Tuhan Memberkati kita semua.

(Penulis adalah Benny Manurung, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Maret 2011)

Selasa, 01 Maret 2011

ARTIKEL: KENDALA DAN SOLUSI PEMBANGUNAN GEREJA DI INDONESIA

Warga negara Republik Indonesia yang berlatarbelakang aneka ragam suku, bahasa, budaya dan agama disebut sebagaii bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Untuk mempertahankan dan menciptakan keutuhan kesatuan bangsa yang bhineka itu; para pemuka-pemuka bangsa telah menetapkan dasar dan tatanan hidup bernegara dan berbangsa (bermasyarakat), yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Istimewa dalam hal mengenai toleransi beragama, pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebut : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Pada UUD pasal 28 E disebut (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya; memilih pendidikan dan pengajaran dst. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani. Pada UUD pasal 28 J dikatakan : setiap orang wajib menghormati hak azasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berlandaskan pengamalan dan pengkhayatan Pancasila dan UUD 45; Kerukunan umat beragama masih terbilang utuh sampai tahun 1950 ditengah-tengah negara ini walaupun ada gerakan segelintir orang yang mau menjadikan negara ini menjadi negara Islam. Pembangunan rumah ibadah maupun gedung sekolah dapat berdiri dimana-mana tanpa ada gangguan. Sebab pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat benar-benar berjiwa nasionalis, Pancasilais dan normatif.
Tetapi seiring dengan perkembangan jaman modern, nilai-nilai hidup yang berlandaskan Pancasilais dan yang bertatanan kepada UUD 1945 semakin memudar. Akibatnya tampillah di negara ini para cendekiawan yang menanamkan dan melakukan praktek intoleransi dan diskriminasi di tengah-tengah pemerintahan dan masyarakat. Oleh karena penyebaran virus intoleransi dan diskriminasi tersebut kaum mayoritas tampil menjadi penguasa atas kaum minoritas. Pancasila dan UUD 1945 tersebut diatas bukan lagi sebagai landasan dan tatanan hidup warga negara ini. Pengekangan jiwa Pancasila dan UUD 1945 terjadi oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 1/1976 tentang tata cara penyiaran Agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia dan pendirian rumah ibadah. SKB ini diterbitkan dengan dalih menghempang pengrusakan rumah ibadah. SKB itu disebutkan bukan penghempang tetapi dalam prakteknya SKB telah menjadi pemicu konflik antar umat beragama. Hal itu terbukti dari pengrusakan rumah ibadah yang semakin menjadi-jadi setelah diterbitkan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 8/2006 dan no. 9/2006 yang mengatur pendirian tempat peribadatan. Isi SKB ini menggambarkan adanya pengakuan hak-hak warga mayoritas atas warga minoritas. Pada SKB itu ada dituliskan apabila ada 90 warga sesuai dengan KTP (40 KK) yang membutuhkan tempat rumah ibadat, harus mendapatkan dukungan masyarakat paling sedikit 60 orang yang disahkan Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan, Kecamatan. Pertanyaan: Mengapa harus ada persetujuan atau dukungan masyarakat sekitar? Mengapa tidak cukup surat yang disyahkan aparat pemerintah? Bukankah yang membutuhkan rumah ibadah itu warga negara yang mempunyai hak yang sama dengan mereka dan dapat mendirikan tempat rumah ibadahnya di tanahnya sendiri? Kaum minoritas itu bukan pendatang atau penompang di negerinya sendiri. Hak dan Kebebasannya beribadah dan membangun tempat beribadat telah dijamin UUD 45. Oleh sebab itu, SKB telah mematikan jiwa UUD 45.
Kemudian permohonan yang ditanda tangani aparat pemerintahan itu disampaikan ke Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Anggota FKUB lebih banyak dari warga mayoritas sehingga dalam pengambilan keputusan selalu yang mayoritas yang berkuasa dan menang. Memang ada dituliskan dalam SKB tersebut : kalau dukungan warga tidak sampai 60 orang padahal pengguna sudah memenuhi keperluan nyata maka pemerintah akan memfasilitasinya. Rumusan ini hanya tinggal tulisan sebab permohonan yang telah direkomendasikan FKUB tidak diindahkan oleh Bupati selaku pejabat yang berwewenang menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan rumah ibadat. Malah ada Walikota yang arogan mencabut IMB pembangunan gereja yang sudah ada tetapi tidak mendapat teguran dari Gubernur atau Presiden.
Jadi, SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tidak memuluskan pembangunan gereja di Indonesia; mengapa praktek intoleransi, diskriminasi dan kekerasan terus terjadi dalam kebebasan beragama di Indonesia! Penyelenggara negara dan partai politik tidak mampu menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan dan tidak paham prinsip fundamental hak asasi manusia yang menjadi hak konstitusional warga negara. Tercatat 216 peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. Terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan penyelengara negara sebagai aktor. Dari jumlah itu 24 adalah tindakan pembiaran dan 79 adalah tindakan aktif, termasuk pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan. Pemerintah pusat baru bertindak setelah situasi meruncing dan Pemerintah daerah tidak melakukan apa-apa (Kompas, selasa 25 Januari 2011 hal 16).
Selain daripada kendala pembangunan sarana peribadatan yang diakibatkan oknum-oknum pemerintah yang tidak nasionalis dan Pancasilais tersebut, kendala timbul pada grass-root (masyarakat golongan bawah). Tokoh-tokoh agama dan warga masing-masing agama tidak komunikatif sehingga terbangun sifat saling mencurigai, cemburu, irihati, saling menjelek-jelekkan dan membenci. Pada grass-root terbangun opini:
a) Komunitas mayoritas tidak menghendaki lokasi rumah ibadah berada di tengah-tengah mereka. Berdirinya rumah ibadah itu dianggap sebagai sarana penyiaran agama bagi yang lain dan mengganggu pada masyarakat sekitar. Mereka tidak menyadari bahwa gangguan itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan gangguan Adzan dan penutupan jalan yang mereka perbuat.
b) Kehadiran komunitas minoritas ditegah-tengah mereka menimbulkan iri hati dan kecemburuan karena alasan kesenjangan ekonomi. Karena kaum minoritas yang lebih ulet, terampil dan mampu bekerja keras sehingga mereka memiliki tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi. Kesenjangan itu sering memicu konflik walaupun sifatnya tidak masuk akal.
c) Dalam masalah perkawinan yang berbeda agama seolah-olah ada pemaksaan untuk pindah agama di gereja. Padahal dalam gereja tidak dikenal istilah pemaksaan; harus berdasarkan kesadaran yang tulus. Sehubungan dengan perkawinan ini, disinyalir ada usaha untuk merusak muda-mudi kristen. Dengan pikiran : kawini dia, ikuti dulu sesaat agamanya, kemudian tinggalkan dia.
d) Oleh karena kepentingan politik, ada ormas yang menjadikan agama sebagai kendaraannya. Dalam menggolkan maksudnya diciptakan trik-trik supaya terjadi benturan pada grass-root. Dibentuk kelompok/forum/laskar-laskar yang brutal sebagai pembela kaum mayoritas. Mereka melebihi aparat keamanan dalam setiap aksinya. Merekalah yang tampil terdepan sebagai pengawas SKB yang menghampang pembangunan gereja dan pengerusakan tempat ibadah yang belum memiliki IMB.
e) Mereka iri dan cemburu atas perbedaan nilai sosial budaya yang nampak pada orang Kristen Batak dikala terjadi suasana suka dan duka maupun dalam hubungan kekerabatan yang diikat kasih dan parmargaon. Mereka mengetahui bahwa marga itu adalah salah satu sarana yang menguatkan kesatuan dan keakraban. Oleh sebab itu, ada usaha untuk menghilangkan marga supaya kesatuan dan keakraban itu lambat laun memudar. Mereka menganjurkan (mamaksakan) supaya marga jangan dituliskan pada akte kelahiran. Jangan mau. Tidak ada nama tanpa marga pada orang Kristen Batak sampai akhir jaman.
Mencari solusi mengatasi kendala pembangunan gereja akan mengalami proses yang rumit. Karena masalah itu tidak terlepas dari cara cara mafia hukum dan kebohongan pemerintah sebagai yang disuarakan oleh tokoh-tokoh lintas agama. Suara dan isi tulisan sungguh baik tetapi tindakan dan perbuatan tidak mencerminkan pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Mereka bukan pengayom menegakkan Bhineka Tungal Ika. Mereka adalah serigala yang berbulu domba. Oleh sebab itu, seluruh umat kristiani yang berbaju jirahkan kebenaran, keadilan dan kejujuran harus berani menyampaikan suara kenabian baik secara langsung maupun melalui media elektronik menegur oknum-oknum pemerintah yang tidak berwibawa. Supaya mereka bertobat untuk menjalankan hukum secara adil dan benar. Kendala IMB gereja akan dapat diatasi jikalau ada ketegasan dari aparat pemerintahan mulai dari Presidan sampai kepada Kepala Rukun Tetangga (KRT). Kalau seluruh aparat pemerintahan berjiwa nasionalis –Pancasilais yang secara tegas menindak oknum-oknum dan melarang/menghapuskan ormas-ormas pengacau di negeri ini, cita-cita bangsa yang sejahtera dan damai akan terwujud.
Oleh sebab itu, marilah kita doakan mereka. Tunjukkanlah rasa hormat dan loyalitasmu kepada pemerintah yang berwibawa dan taatilah peraturan yang berlaku. Lakukanlah kewajibanmu. Jadilah garam dan terang di tengah-tengah lingkungan mu. Menjadi pribadi yang komunikatif kepada sesamamu. Tampillah memancarkan sinar yang menyenangkan. Jangan norak oleh karena keberadaanmu. Jadilah saluran kasih Tuhan terhadap orang-orang yang ada disekitarmu supaya kebencian, iri hati dan kecemburuan hilang oleh karena kebaikanmu. Jauhkanlah rintangan-rintangan yang ditimbulkan perpecahan didalam gereja karena perpecahan itu sering menjadi satu alasan untuk tidak memberikan IMB. Hadapilah kenyataan hidup ini dengan berani. Jangan kecut. Tidak akan ada yang dapat melenyapkan gereja dari muka bumi ini walaupun dengan terpaksa harus menghadapai aneka ragam kesulitan. Ingatlah apa yang dikatakan Tuhan Yesus : “Lihatlah, Aku mengutus kamu seperti domba ketengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Matius 10 : 16)”.
Hadapilah keadaan itu. Badai akan berlalu sebab; Tuhan akan berperang untuk mu dan kamu akan diam saja (Keluaran 14 : 14). Pembangunan gereja akan menjadi kenyataan sebab urusannya ditangan Tuhan. Dengan diam saja bukan berarti no action tetapi kita diingatkan supaya jangan bersandar pada pikiran dan kemampuanmu, tetapi tunjukkanlah buah-buah imanmu terhadap pemerintah maupun masyarakat sekitarmu.

(Penulis adalah Pdt. Pangauan Purba, Sm.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Februari 2011)