Senin, 18 Juli 2011

ARTIKEL: TRANSFIGURASI

Haruskah berubah ?
Paulus berkata: Ketika aku kanak kanak , aku berkata kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang setelah aku dewasa aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu (1 Kor 13:11). Dalam percakapan orang dewasa dengan seorang anak dituntut pengertian, karena pengucapannya sering tidak pas, misalnya saja : seorang ayah mau berangkat ke-kantor, anaknya teriak , “Pa, minta itut !”, Papanya bilang, “ini buku kantor nak!”. Untung Mamanya dengar, dan langsung peluk anaknya, dan menjelaskan: “Papa mau kekantor nak, tidak boleh ikut!”. Seorang Ibu memang lebih banyak berkomunikasi dengan anak-anaknya, dan yang lebih mengerti bahasa kanak-kanak. Ayah anak itu mengira anaknya, “minta itu (buku kerja yang ada ditangan Papanya), rupanya yang dimaksud adalah : minta ikut ! Perkataan ini hanya merupakan contoh sederhana. Jika kita selalu mempergunakan perilaku, gaya dan cara berpikir kanak-kanak maka orang akan bosan berteman dengan kita dan akhirnya meninggalkan kita.
Sekalipun Tuhan Yesus pernah menempatkan seorang anak pada posisi strategis ketika berbicara tentang : “kerajaan Allah” (Mark 10:15; Sesungguhnya barang siapa tidak menyambut kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk kedalamnya).” Hal itu menggambarkan keyakinan seorang anak terhadap orang tua-nya. Dia merasa aman dalam pelukan Ayahnya, dan menikmati semua asupan yang diberikan “suap demi suap”. Setiap tetesan ASI yang disuguhkan Ibunya, itulah yang memberi dia kehidupan. Demikian juga pertumbuhan seorang Kristen dewasa, harus ada ketaatan sejak awal pertumbuhan supaya mampu membedakan yang baik dan buruk. Meninggalkan sifat kanak-kanak masuk ke jenjang dewasa dan menjadikan Yesus Kristus sebagai sosok yang pantas diteladani. Menghormati Bapa surgawiNya dan mengasihi manusia yang berdosa.
Tidak jauh berbeda dengan penerbit yang rindu untuk meningkatkan kualitas isi dari buku (bacaan) yang mereka terbitkan, tidak dinilai dari tampilan luarnya saja. Sekalipun “kemasan” atau cover memegang peranan penting bagi mereka yang baru kenal. Jika seseorang tertarik dengan tampilan luarnya tetapi kecewa dengan isi; tidak berbobot, tidak membangun bahkan sama sekali tidak menyentuh jiwa pembacanya, jangan harap buku serupa dicari oleh pembaca. Begitu juga dengan seorang Ibu, mencoba memperbaiki penampilannya supaya disayangi suami dan anak anaknya; pergi kesalon, merapikan rambut, mengganti warna bibir dan melapis wajahnya dengan bedak yang mahal, tetapi kebiasaannya mengomel tidak berubah malah nambah. Suami dan anak-anaknya tidak mendapat keuntungan dari perubahan penampilan Ibu tersebut, mereka tetap saja kabur dari rumah dan tidak ada yang betah di rumah.

Menjadi Kristen dewasa, perubahan bentuk seperti apa yang perlu bagi kita?
1. Berhati hatilah dengan serigala berbulu domba
Menyebut diri sebagai nabi, tetapi hatinya penuh tipu muslihat (Munafik= muka nabi fikiran kotor). Sama seperti serigala berbulu domba yang masuk kedalam kandang domba, dengan maksud yang jahat. Seperti gembala yang tidak baik yang hanya mengambil keuntungan, menikmati susu dan bulunya, tanpa memperdulikan kepentingan dombanya. Tampilan luar sangat baik tetapi hatinya jahat ingin memberangus. Perubahan rupa yang sangat merugikan adalah : tidak jujur, menyimpan kedok dan mencari keuntungan untuk diri sendiri (perubahan hanya tampilan luar saja, namun dalamnya tetap). Sifat serakahnya dan keinginan memberangus domba tetap saja dipelihara.
Hindarilah cara hidup serupa itu dan jangan bergaul dengan orang seperti itu. Keinginan untuk berubah dari kebiasaan yang salah kepada hal yang lebih baik harus ada tekad, dengan konsep yang jelas. Sadar bahwa keadaannya yang keos dan tak berguna tidak mungkin dipertahankan. Bagaimana mungkin orang yang membiasakan diri dengan yang jahat dapat melakukan hal yang baik ? Satu satunya yang dapat memimpin kita keluar dari hidup serupa itu hanyalah pertobatan. Menyerahkan seluruh persoalan yang kita alami dan pasrah kepada Sang Penebus, sebab Dialah yang menjanjikan : “Akulah jalan kebenaran dan hidup, tidak ada yang sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku “(Joh 14:6).
Munculnya para pecundang, orang yang berkata-kata dengan hal yang baik tetapi pada kenyataannya tindakannya selalu curang dan menyakiti hati sesamanya. Berkata kata tentang kebaikan Allah dan mengklaim diri sebagai orang yang dikasihi Allah (band. Farisi dan ahli Taurat) tetapi tindakannya tidak manusiawi, tidak ada kasih. BahkanYesus yang selalu berusaha membela hak orang-orang yang termarjinalkan dianggap musuh. Yesus yang kesehariannya selalu rendah hati dan senantiasa mengagungkan kebesaran Allah, ingin mereka binasakan.

2. Rela berkorban adalah pertobatan yang sesungguhnya
Apapun resiko dari perubahan hidup baru didalam Kristus harus siap menjalaninya. Paulus adalah orang yang ditangkap Yesus dalam perburuannya ketika hendak membinasakan orang Kristen. Yesus sendiri yang berperan : menjamah hatinya dan berseru “Saulus, Saulus; mengapa engkau menganiaya Aku (Kis. 9:4). Proses dari hari ke-hari harus dilalui dengan roh taat, sebab ada penderitaan, caci maki dan kecurigaan yang dilancarkan oleh orang-orang yang berada disekitar kita.
Orang yang sudah menerima Yesus Kristus menjadi Tuhan dan juru selamatnya adalah orang yang sudah mengalami perubahan. Dari orang yang ragu-ragu menjadi optimis, orang yang menderita sakit, menjadi sembuh. Dari banyak kelemahan mereka bangkit menjadi orang yang berpengharapan. Yesus mengajarkan tentang kebenaran Allah yang tidak tertandingi, yang ada dalam diriNya. Sebab seluruh ajaranNya menyatu pada diriNya sendiri. Kebenaran Allah dinyatakan sebagaimana mestinya. Pandangan masa depan yang tidak pernah menggoyahkan semangat pelayananNya sekalipun harus melalui kematian diatas kayu salib.
Adanya kelompok yang ingin memanfaatkan pengaruh nama Yesus dalam pengajarannya, mencoba pakai nama Yesus, tetapi hanya numpang popularitasnya saja, tidak dengan hati yang tulus, melainkan karena ada kepentingan. Tentang hal itu, Paulus berkata : tidak mengapa karena bagaimanapun juga Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur.(Flp 1:18). Pada prinsipnya keinginan berubah itu baik. Seseorang tidak mungkin mengubah dirinya menjadi lebih buruk. Sama seperti kupu-kupu, yang mengalami perubahan dari ulat yang rakus, bentuk tubuh yang tidak karuan, gendut dan menjijikkan. Setelah menutup diri dan berpuasa beberapa saat dalam kurungan kepompong, dia berubah menjadi lebih baik, indah dan lincah dengan sayap yang tipis menari-nari dialam bebas.
Kehadiran kita sebagai Kristen dewasa dalam komunitas orang percaya, dan dilingkungan kerja dimana kita ada, akan membawa perubahan yang lebih membahagiakan bagi banyak jiwa.
Syalom, Tuhan Yesus memberkati !!!!!!!!!!

(Penulis adalah Pdt. K.E. Limbong, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi April 2011)

Minggu, 17 Juli 2011

RENUNGAN: DOSA AROGANSI

“Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan
dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
(Matius 23:12)

“TOLAK Arogansi HKBP!”, “Bubarkan HKBP!” Demikian antara lain bunyi poster dari orang-orang yang berdemo di sekitar bundaran Hotel Indonesia pada bulan September tahun lalu. Kegiatan demo di bundaran HI itu berlangsung seminggu setelah warga HKBP se-jabodetabek melakukan Ibadah Syukuran di stadion olah raga Bekasi. Pada Ibadah Syukuran itu warga HKBP menolak kehadiran dari Perber yang tidak sesuai dengan UUD 45 yang menjamin kebebasan umat beragama untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya masing-masing dan warga HKBP juga menolak arogansi dari oknum-oknum yang dengan dalih Perber kerap menghambat aktivitas ibadah dari warga HKBP, contohnya warga jemaat HKBP dari Ciketing.
Dari dua peristiwa itu kita menangkap ada dua pihak yang menggunakan kata ‘arogansi’. Pendemo di bundaran HI menuduh bahwa warga HKBP adalah arogan oleh karena menentang keberlakuan dari Perber. Sebaliknya warga HKBP juga menuduh bahwa orang-orang yang menghambat aktivitas ibadah HKBP di Ciketing adalah juga arogan. Apa sebetulnya arti kata ini?
Masih dengan penggunaan istilah ‘arogansi’. Apakah dalam lingkup pergaulan masyarakat secara umum kita juga menjumpai penggunaan kata itu? Bukan tidak mungkin! Bisa saja terjadi saling tuding. Ada yang mengatakan bahwa kalangan mayoritas arogan. Sebaliknya ada yang mengatakan bahwa kaum minoritas juga arogan, makanya ada istilah tirani minoritas.
Bagaimana dengan persekutuan internal gerejawi apakah ada kalangan yang dituding sebagai arogan? Tulisan ini tentunya tidak bertujuan untuk menghakimi kalangan-kalangan tertentu. Tulisan ini lebih bertujuan untuk mengajak kita melakukan refleksi bersama bahwa bahaya penyakit (dosa) arogansi bisa menjangkiti siapa saja. Ingat Bang Napi yang selalu berkata: “Waspadalah! Waspadalah!”

Yang Dimaksud Dengan Perilaku Arogan
Apakah yang dimaksud dengan sikap arogan?
Dalam KBBI kata ‘arogan’ disebut sebagai istilah Psikologi yang artinya ‘mempunyai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah’ dan sinonim dengan kata ‘sombong’ (menghargai diri secara berlebihan, meninggikan diri, berkata atau berbuat dengan congkak) dan ‘congkak’ (merasa dan bertindak dengan memperlihatkan diri sangat mulia [pandai, kaya, dsb]). Masih ada dua kata lagi yang juga sinonim yaitu: ‘pongah’ (sangat sombong atau angkuh [baik perbuatan maupun perkataan]) dan ‘angkuh’ (sifat suka memandang rendah kepada orang lain, tinggi hati).
Dari sini kita melihat bahwa sikap arogan dapat ditunjukkan melalui perkataan atau perbuatan yang dilatarbelakangi oleh karena penilaian (penghargaan) diri yang melebihi takaran dan sebagai ikutannya memberi penilaian (penghargaan) yang kurang terhadap orang lain dan bahkan juga dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa. Kalau cuma sebatas ‘tinggi hati’ dan ‘kurang menghargai orang lain’ dampak dari sikap arogansi memang masih belum membahayakan, pada kenyataannya, perilaku arogan itu bisa menimbulkan masalah yang serius baik di dalam interaksi antar personal apa lagi kalau melebar kepada interaksi antar kelompok. Arogansi bisa berakibat kepada pemaksaan kehendak. Jika hanya sebatas merasa lebih mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Yang perlu dicermati adalah bahwa perasaan lebih terhadap diri sendiri atau terhadap kelompok sendiri bisa menimbulkan tidak hanya pemaksaan kehendak, tapi juga perilaku yang tidak adil dan bahkan perilaku kekerasan.

Yang Rentan Dengan Perilaku Arogan
Siapakah yang rentan berperilaku arogan? Apakah yang rentan berperilaku arogan adalah orang-orang yang memiliki status sosial tinggi?
Dilihat dari definisi di atas, perilaku arogan itu bisa datang dari siapa saja, utamanya dari kalangan yang memang memiliki takaran lebih. Ukuran lebih bisa dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas. Orang yang lebih pintar, lebih ahli, lebih berkedudukan, lebih cantik, lebih ganteng, lebih sukses, dst akan cenderung memiliki penghargaan diri yang lebih besar (bandingkan definisi: ‘penilaian diri yang melebihi takaran’). Kita perlu mewanti-wanti orang-orang dengan status sosial tinggi oleh karena kemapanannya dari segi penghasilan, kedudukan, kepintaran, keahlian, dll. Mereka terbilang sasaran empuk dari korban-korban dosa arogansi. Perasaan superioritas atau tindakan yang memperlihatkan diri sangat mulia, sangat pandai atau sangat kaya amat mungkin muncul di kalangan orang-orang yang memang mendapat berkat lebih. Tapi apakah perasaan superioritas itu pada waktu yang sama juga disertai dengan sikap suka memaksa atau pongah, suka memandang rendah kepada orang lain, dan tinggi hati? Terlebih-lebih apakah perasaan superioritas itu kemudian akan menghasilkan perilaku yang tidak adil atau anarki? Jadi di sini, adanya perasaan lebih dari orang lain tidak selalu berdampak kepada pemaksaaan kehendak bahkan sampai melakukan anarki, minimal kekerasan simbolik! Tampaknya tidak boleh mencap bahwa keadaan lebih akan membuat yang bersangkutan menjadi arogan.
Itu dari segi kualitas, dari segi kuantitas, orang-orang dengan populasi lebih besar, orang-orang dengan jumlah penganut lebih besar, komunitas yang terdiri dari etnis dengan jumlah lebih besar, dst juga akan cenderung memiliki penghargaan lebih besar terhadap kelompoknya.
Dalam ruang lingkup kehidupan berbangsa, mungkin kita tidak boleh serta merta menuding bahwa teman-teman dari mayoritas adalah arogan. Kita perlu makin membina hubungan dengan teman mayoritas, barangkali kita belum banyak berkomunikasi dengan mereka. Dalam ruang lingkup kecil, mungkin perilaku arogan, tanpa disadari, bisa terjadi dalam diri kita pula meski belum sampai menimbulkan perilaku yang tidak adil dan perilaku anarkis pula.
Bagaimana dengan lingkungan pergaulan gerejawi? Tampaknya harus dikatakan ada peluang yang sama! Saya selalu tertarik untuk membanding-bandingkan irama kehidupan dan corak pergaulan di dunia sekuler dengan lingkungan gereja. Perilaku di tengah-tengah masyarakat umum, hemat saya, lebih kurang mempengaruhi (dan dipengaruhi – jadi ada timbal balik) dinamika perilaku di tengah-tengah interaksi internal keagamaan. Saya tidak mengatakan bahwa wajah republik ini identik dengan wajah gereja. Namun, etos kerja, budaya organisasi, corak pergaulan, roh aji mumpung, roh KKN, pragmatisme kepentingan sesaat, dst. sebagaimana dijumpai dalam dinamika kehidupan berbangsa juga terasakan anginnya di setiap lingkungan pergaulan, tak terkecuali di lingkup keagamaan. Saya juga tidak mengatakan: tidak ada lagi orang yang idealis di republik ini, semua telah pragmatis, semua cuma memikirkan kepentingan duniawi, itu diluar kewenangan saya! Yang menarik bagi saya adalah bahwa godaan sikap arogansi di lingkup pergaulan masyarakat secara umum bukan tidak mungkin juga terasakan suasananya di dalam gereja untuk tidak mengatakan lebih hebat lagi godaannya dalam gereja.
Masih ada satu lagi, yang menarik untuk dipertimbangkan. Kenyataannya, status social setiap orang tidak selalu menetap. Bisa, bahkan sering terjadi, pergeseran status dari yang rendah kepada yang tinggi (demikian pula maupun sebaliknya dari tinggi kepada yang rendah). Dengan itu dapat dikatakan bahwa perilaku arogan bisa menjangkiti siapa saja, karena semua orang bisa tiba pada status kemapanan. (Entahkah masih ada pula kasus luar biasa di mana tanpa status kemapanan dimiliki perasaan superioritas???)

Contoh Perilaku Arogan Dan Peringatan Tentang Dosa Arogansi Dalam Alkitab
Tampaknya tidak mudah untuk mendeteksi perilaku arogan dalam Alkitab. Hal itu antara lain dikarenakan, rasa superioritas dan kebanggaan umat maupun pribadi-pribadi yang kita baca dalam Alkitab menjadi samar jika dihubungkan dengan campur tangan ilahi. Jika kita mengutip lirik dari para dara yang melantunkan lagu rakyat yang membangga-banggakan Daud (tapi sebaliknya membuat hati Saul panas): ‘Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.’ (1 Samuel 18:7) maka kita tidak dapat menangkap adanya teks yang menunjukkan kearoganan Daud. Menyangkut kemenangannya atas Goliat dia justru berkata: “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu. Hari ini juga TUHAN akan menyerahkan engkau ke dalam tanganku dan aku akan mengalahkan engkau dan memenggal kepalamu dari tubuhmu…” (1 Sam 17:45-46).
Masih dengan cerita Saul versus Daud, dalam 1 Samuel 24:1-23 kita mengikuti episode ke sekian di mana perburuan Saul atas Daud masih berlanjut. Namun pada satu kesempatan yang tidak terduga Daud sebetulnya punya kesempatan untuk berbuat jahat atau membalaskan perbuatan Saul dengan membunuhnya. Ganti lalu tangan (atau lebih tepat lalu pisau) yang ia lakukan cuma memotong punca jubah Saul dan berkata: ‘Dijauhkan TUHANlah kiranya dari padaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi TUHAN, yakni menjamah dia, sebab dialah orang yang diurapi TUHAN.’ (24:7) Yang dilakukannya malah mencegah orang-orangnya dan tidak mengizinkan mereka menyerang Saul.
Perilaku arogan Daud malah terjadi pada season berikutnya di 2 Samuel 24:1-17, di mana Daud merasa telah hebat dan menyuruh para panglima perangnya untuk menghitung rakyatnya. Akibatnya TUHAN marah dan Daud disuruh memilih satu dari tiga jenis hukuman: “Pergilah, katakanlah kepada Daud: Beginilah firman TUHAN: tiga perkara Kuhadapkan kepadamu; pilihlah salah satu dari padanya, maka Aku akan melakukannya kepadamu…Akan datangkah menimpa engkau tiga tahun kelaparan di negerimu? Atau maukah engkau melarikan diri tiga bulan lamanya dari hadapan lawanmu, sedang mereka itu mengejar engkau? Atau, akan adakah tiga hari penyakit sampar di negerimu? Maka sekarang, pikirkanlah dan timbanglah, jawab apa yang harus kusampaikan kepada Yang mengutus aku.’ (24:12-14).
Demikianlah kita mendengar dalam Perjanjian Baru permintaan Yakobus dan Yohanes kepada Yesus: ‘Guru, kami harap supaya Engkau kiranya mengabulkan suatu permintaan kami…Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaanMu kelak, yang seorang di sebelah kananMu dan yang seorang lagi di sebelah kiriMu.’ (Markus 10:35,37). Dalam kaitan itulah Yesus berkata: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang.’ (Markus 10:41-45). Di sini kita melihat keinginan untuk menjadi superior. Tampaknya bahaya itu juga bisa mengancam umat kristiani maupun pelayan-pelayan Tuhan pada masa kini juga.

Obat Agar Jangan Jatuh Kepada Dosa Arogansi
Dalam bukunya, Percaya Diri vs Kesombongan, Alan Loy McGinnis menuliskan bahwa ‘memandang diri kita dengan pandangan yang tepat akan membuat kesombongan menjadi sesuatu yang menggelikan…’ (hl. 192). Apakah sesungguhnya yang dapat disombongkan oleh umat kristiani? Tidak ada!
Masih menurut McGinnis, penangkal dan obat agar tidak terjangkit penyakit (baca: dosa) Arogansi adalah Hukum Yang Terutama. Dengan berupaya untuk memenuhi Hukum Yang Terutama itu seseorang sedang berupaya ‘menggambarkan seluruh hidupnya telah menjadi satu dalam komitmen yang penuh sukacita dan penuh kasih…Kita berutang rasa syukur kepadaNya dan karena siapa Dia, bukan karena suatu keuntungan tertentu yang telah dianugerahkanNya kepada kita. Penyembahan yang melampaui diri kita itu membuat kita menang atas godaan untuk menjadi terlalu sibuk dengan diri sendiri. Tetapi, tidak perlu diragukan lagi bahwa orang semacam itu menjadi luar biasa. Orang-orang yang percaya dengan sungguh-sungguh bukkanlah orang yang lemah. Sebaliknya, mereka benar-benar sangat kuat.’
Dia melengkapkan lagi, ‘Memiliki hidup yang penuh ketaatan tidaklah berarti bahwa Anda harus berjalan dengan kepala tertunduk, terus-menerus meminta maaf, mengkritik diri sendiri, dan merendahkan diri sendiri: Aku tidak bisa mengingat nama-nama, Aku benar-benar minta maaf karena merepotkanmu, Aku tampaknya tidak pernah sampai tepat pada waktunya, Aku sangat lemah dalam hal ini.’ (hl. 191)
Kita berbicara tentang bagaimana agar tidak jatuh kepada dosa arogansi, namun pada waktu yang sama kita juga tidak boleh jatuh pula kepada dosa (penyakit) minder!

(Penulis adalah Pdt. Maurixon Silitonga, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Maret 2011)