Jumat, 13 Januari 2012

ILUSTRASI: TENTANG POTRET KRISTUS

Ketika saya masih berusia 5 tahun dan tinggal di Lorong Roma, Kampung Sidorame, nun di kota Medan sana, maka ada satu permainan yang sering saya lakukan bersama adik saya Elisabeth. Permainan tersebut adalah hasil kreasi kami sendiri, dan hanya kami yang mengetahui operasionalnya. Permainan tersebut kami namakan, “Melihat Tuhan Yesus.”
Pagi-pagi benar, sehabis bangun tidur, kami akan duduk di tangga rumah dan mengarahkan pandangan ke langit biru. Bila kami mengarahkan pandangan sedemikian rupa dan dalam waktu yang cukup lama ke langit, maka akan tampaklah sosok-sosok transparan yang menyerupai bumerang, sabit atau sayap capung yang bergerak perlahan-lahan; dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah atau dari sudut yang satu ke sudut yang lain. Kemudian sampai pada satu titik tertentu, sosok tersebut akan hilang dari pandangan.
“Kau lihatkah Tuhan Yesus-nya, dik?”
“Lihat, bang.”
“Ada berapa Tuhan Yesus yang kau lihat?”
“Dua. Abang lihat berapa?”
“Satu. Nah, nah ini dia…Ehh, sudah hilang.”
Begitulah, hampir setiap pagi kami betah duduk di tangga; menghitung “Tuhan Yesus” yang bergerak-gerak di langit dan yang kemudian, pada satu titik tertentu akan menghilang, lalu disusul oleh “Tuhan Yesus” yang berikut.
Di kemudian hari, setelah saya bertambah besar, maka sadarlah saya bahwa yang kami lihat sebagai Tuhan Yesus itu ternyata hanyalah debu atau kotoran yang menempel di bola mata. Lalu, karena lendir yang ada di mata yang belum dibasuh, maka kotoran atau debu itu akan bergerak-gerak. Dan bila mata di arahkan ke langit, maka tentu saja ia akan kelihatan seperti sabit, bumerang atau sayap capung. Tapi ketika itu, tentu saja saya dan adik saya percaya benar bahwa yang kami lihat itu memang Tuhan Yesus. Dan sebagaimana layaknya orang dewasa, kesadaran melihat Tuhan Yesus ternyata juga memberikan suasana damai dan sukacita kepada kami. (Setidak-tidaknya, selama 1 jam kami tidak perlu berkelahi sebagaimana biasanya yang dilakukan oleh dua kakak-beradik. Dan ibu bisa melakukan
pekerjaannya dengan tenang…).

Lelaki Berjenggot dan Berjambang
Ketika saya masuk sekolah maka mulailah saya mengenal citra yang lain dari Tuhan Yesus. (Saya bersekolah biasa di SD Kristen Immanuel dan bersekolah minggu di HKBP Sidorame).
Saya rasa, citra Tuhan Yesus yang diperkenalkan kepada saya adalah juga citra yang diperkenalkan kepada semua anak di muka bumi ini, yaitu potret seorang lelaki berambut panjang, berkumis-berjanggut- berjambang dan memakai jubah putih.
Potret ini ada di buku cerita-cerita Alkitab, ada di kartu dan ada pula di lembar peraga. Kadang-kadang lelaki itu diperlihatkan duduk di tengah kerumunan anak-anak. Kadang-kadang ia diperlihatkan berdiri di tengah sekawanan domba. Kadang-kadang ia diperlihatkan sedang berdoa dengan tangan yang terkatup dan mata memandang ke langit.
Begitu meresapnya potret Yesus itu ke dalam pemahaman saya, sehingga wajah itu jugalah yang muncul setiap kali saya berdoa memohon sesuatu kepadaNya. (Dan sebagaimana halnya anak-anak, maka doa permohonan saya tentu hanya berkisar di seputar bagaimana agar hasil ulangan mendapat nilai tinggi, bagaimana agar saya tidak “dikompas” oleh anak-anak di ujung jalan sana atau bagaimana agar ibu jangan cepat mati).
Kadang-kadang ada saja kawan yang “berani” dan memberi tambahan gambar kacamata di atas potret wajah itu. Tapi bagi saya perbuatan kawan tersebut sungguh merupakan sebuah dosa besar. Dan saya yakin ia pasti akan masuk ke neraka…
Sedemikian yakinnya saya akan wajah Yesus, sehingga ketika masih duduk di bangku SD itu juga, “iman” saya pernah guncang karena fenomena seorang gila yang sering menyelonong ke halaman sekolah kami.
Pada waktu itu, di tahun 60-an, di kota Medan ada seorang lelaki yang sering berkeluyuran di seantero kota sambil komat-kamit dan membawa Alkitab. Ia berambut panjang, berkumis-berjanggut, memakai jubah putih dan selalu mengenakan sepatu sandal. Kami menamainya “Si
Panggabean Gila Agama”.
Bila ada kerumunan orang, maka “Si Panggabean” akan menyeruak masuk dan mulai berkhotbah. Saya tidak tahu benar apa yang dikhotbahkannya, tapi dalam khotbahnya ia selalu berulang-ulang meneriakkan, “Bertobatlah karena tiga hari lagi dunia akan kiamat…”
Begitulah, kalau pada jam keluar main pintu pagar tidak tertutup maka “Si Panggabean” akan menyelonong masuk. Mulailah ia berkhotbah di bawah tiang bendera dan dalam waktu sekejap saja semua anak sudah berkerumun di sekitarnya. Ada yang hanya tertawa-tawa, ada yang
mengulang-ulang perkataannya, ada yang menarik-narik jubahnya dan ada pula yang melemparinya dengan batu kecil. Tapi “Si Panggabean” tidak pernah marah. Ia hanya tersenyum dan terus saja berceloteh.
Dan sementara menonton “Si Panggabean” berkhotbah saya bergumul dalam hati, “Bagaimana kalau dia memang benar adalah Tuhan Yesus? Anak-anak yang mengganggunya itu pasti akan masuk neraka…” Karena itu saya tidak pernah berani mengusik “Si Panggabean”. Kadang-kadang saya beranikan juga diri saya untuk menyentuh jubahnya yang putih itu. Tapi niat saya bukan untuk mengganggu. Seperti yang dilakukan oleh perempuan yang menderita perdarahan dalam cerita Alkitab itu; saya berharap ada kuasa yang mengalir dari jubah itu ke diri saya.

The Beatles dan Che Guevara
Ketika saya beranjak remaja maka potret Kristus yang saya bawa sedari masa kanak-kanak itu mulai kabur. Saya tidak tahu, apakah potret itu kabur karena saya sudah jarang memandangnya ataukah karena ia telah di-”imposed” oleh potret-potret “nabi” lain yang tidak kalah memukaunya.
Zaman ketika saya remaja adalah zaman yang gegap gempita oleh kehadiran “The Beatles”, “The Rolling Stones” dan “The Cats”. Semua personil-personil grup musik populer itu berambut panjang dan berkumis-berjanggut-berjambang. Dan potret “orang-orang besar” itulah yang lebih mendominasi halaman buku tulis, pintu lemari pakaian atau dinding kamar tidur kami, para remaja waktu itu. Saya rasa hanya anak-anak yang “kuper” sajalah yang masih memajang potret orang Nazaret yang menggendong domba itu di halaman buku tulisnya.
Satu pahlawan lagi yang tak kalah romantisnya pada waktu itu adalah Che Guevara. Gambar pria Argentina yang berjuang untuk Kuba dan mati tertembak di Bolivia ini juga menjadi pujaan orang muda di mana-mana. Sedemikan kagumnya saya dengan Che Guevara, sehingga–walaupun tidak mengerti bahasa Inggeris–saya selalu membawa-bawa sebuah buku saku karangannya, “The Guerilla Warfare”, kemana-mana.
Begitulah, semaja remaja, kalau saya berdoa (sesekali), maka saya tidak tahu wajah siapa yang ada di benak saya. Kadang-kadang saya melihat Kristus, kadang-kadang saya melihat Che Guevara dan kadang-kadang saya melihat John Lennon. (Dan bagi saya pada waktu
itu, lagu “Imagine” tentu saja jauh lebih hebat dari “Khotbah Di Bukit”).

Para Waria Yang Dikejar Tramtib
Begitulah, sejalan dengan perubahan usia, berubah pula citra atau potret Kristus yang saya persepsikan di dalam diri saya. Dalam satu titik perjalanan hidup, tiba-tiba saya menyadari, bahwa kalau saya berdoa atau berpikir tentang Kristus maka citra yang muncul lebih
banyak berupa suasana atau pemandangan.
Kadang-kadang saya mempersepsikan Kristus sebagai sebuah taman. Kadang-kadang saya mempersepsikan-Nnya sebagai sebuah sungai yang jernih dan tenang. Kadang-kadang sebagai sebuah jalan yang lurus, sebagai sebuah pohon, seberkas sinar, sepotong laut, atau apa saja. (Tadi pagi saya berdoa memohon perlindungan Kristus terhadap orang-orang yang saya kasihi yang ada di Medan, Bandung, Jakarta, Mataram dan Ambon. Lalu tiba-tiba saya melihat Kristus seperti seekor induk ayam yang besar, yang merentangkan kedua sayapnya untuk melindungi anak-anaknya dari intaian elang yang sedang melayang-layang di
langit).
Saya tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan di dalam diri saya dalam mempersepsikan Kristus. Kalau saya pikir-pikir lebih jauh; mungkin hal ini disebabkan karena saya terlalu banyak membaca sajak dan novel.
Ketika hal ini saya diskusikan dengan seorang sahabat dia hanya menatap saya dan berkata, “Akh, gila, lu!” Tapi saya rasa saya tidak gila. Saya tahu para penulis Alkitab juga sering mempersepsikan Kristus sebagai pohon anggur, jalan, terang, mempelai pria, kumpulan orang-orang (gereja), benteng, gunung batu dan apa saja.
Krisis yang berkepanjangan dan melanda negeri ini tentu saja sangat merasuki pikiran saya. Karena itu, kadang-kadang Kristus saya persepsikan pula sebagai kerumunan orang-orang Batak “yang tak berketentuan” di perempatan Cawang–Jakarta Timur sana, bayi-bayi korban deman berdarah “dengue” yang berdesak-desak di kamar rumah sakit, wajah anak-anak yang ceria ketika jam bubaran sekolah, iring- iringan tahanan kelas teri yang terpincang-pincang (karena kakinya ditembak) di depan kantor Polres atau banci yang tunggang-langgang dikejar tim Tramtib. Kristus juga bisa mewujud dalam paduan suara para janda yang dengan suara sederhana tapi sungguh-sungguh menyanyi pada jam kebaktian di gereja. Dua hari yang lalu, di sebuah apotik di bilangan Cempaka Putih–Jakarta Timur ada seorang bapak yang turun tertatih-tatih dari “bajaj” dan menyodorkan resepnya di loket. Ketika petugas menyebut harga obat tersebut, si bapak terdiam. Lalu dengan suara lirih dia bertanya, “Bolehkah saya tebus sepertiga dulu…?” (Kalau obat tersebut adalah antibiotika, maka cilakalah si bapak). Saya rasa bapak itu adalah Kristus.

Karaoke
Sejak dahulu Holywood selalu berupaya untuk membuat filem sejarah kehidupan Kristus. Dan tidak dapat dipungkiri, filem-filem seperti ini selalu mendapat sambutan yang meriah. Gereja-gereja pun senang memutar filem seperti ini dan percaya bahwa inilah salah satu sarana kesaksian dan pemeliharaan iman jemaat yang sebenarnya sudah tidak terhitung kanak-kanak lagi. Tapi pengembaraan (atau petualangan) rohani saya membuat saya sudah tidak tertarik lagi terhadap hal-hal seperti ini. Bagi saya filem- filem ini ibarat karaoke. Dan saya selalu terusik dengan karaoke (alat yang membantu orang bernyanyi dengan kursor yang berlari-lari di atas teks, ilustrasi musik dan sebuah tayangan visual yang oleh pembuatnya dianggap bisa menggambarkan suasana lagu tersebut). Atas lagu-lagu tertentu yang saya senangi, saya membangun visualisasi sendiri. Atas lagu “Sepanjang Jalan Kenangan” misalnya, maka saya membayangkan sebuah jalanan yang di kiri kanannya ada pohon kenari dan yang berjalan di tengahnya adalah saya sendiri dengan seorang perempuan yang sosoknya hanya saya sendiri yang tahu. Karena itu, kalau yang muncul di karaoke adalah seorang pria yang berambut cepak dan ganteng serta seorang wanita Hongkong yang berambut keriting; imajinasi saya menjadi terganggu…

Mata Rohani
Saya senang dengan berbagai imajinasi yang saya bangun tentang citra atau “potret” Kristus, dan saya ingin tetap memelihara kebebasan membangun imajinasi tersebut.
Di karya-karya sastra–misalnya di karya Leo Tolstoy–ada banyak citra Kristus. Tapi di karya-karya non-fiksi pun saya acapkali menemukannya. Belum lama berselang, saya membaca sebuah memoar dari mantan tahanan politik G30S-PKI. Si penulis menceritakan kepahitan hidup yang dialaminya selama tahanan Salemba–Tangerang– Nusakambangan–dan Pulau Buru. Aha, ternyata Kristus juga saya temukan di sana.
Agama saya–Kristen Protestan–memang tidak melarang visualisasi Tuhan dan para nabi. Bagi kami adalah hal yang wajar-wajar saja untuk menampilkan potret Kristus dalam rupa apa saja–apalagi rupa manusia. Bagaimana pun ia adalah Tuhan Yang Menjadi Manusia dan Tuhan Yang Mensejarah, tokh?
Tapi saya khawatir kalau filem-filem Hollywood itu membuat mata rohani saya menjadi kurang peka dan melihat Yesus hanya sampai sebatas sosok manusia James Caviezel, yang notabene “tak jauh-jauh amat” dengan sosok John Lenon, Che Guevara, dan yang lain
sebagainya. Dan saya tidak ingin menjadi bagian dari orang-orang yang pada akhir zaman nanti akan bertanya, “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?” (Matius 25:44).

(Penulis adalah Mula Harahap, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2004)

ARTIKEL: MARSIPANGANON (REFLEKSI TEOLOGIS)

MAKAN BERSAMA sangat penting dan bermakna khusus bagi komunitas Batak. Tidak ada suatu pembahasan atau kegiatan penting yang boleh dilakukan sebelum makan bersama. Ingkon di ginjang ni sipanganon do pangahataion na marsintuhu. (percakapan penting harus dilakukan sesudah makan). Seperjamuan atau sapanganon adalah tanda persekutuan, kebersamaan dan perdamaian, jadi bukan sekadar aktifitas mengenyangkan perut saja.
Ada bermacam bentuk makan bersama dalam kultur Batak. Ada tradisi mamboan sipanganon (membawa makanan ke rumah seseorang) dan ada pula mamio (mengundang orang datang untuk makan), memberi makan pihak “atas” (manulangi) dan atau pihak “bawah” (mangupa), memberi makan dalam rangka meminta sesuatu dan ada juga hanya untuk mentraktir (manggalang), makan merayakan sukacita (mangan haroan, mamoholi, pesta unjuk) atau menghayati kedukaan (mangan indahan sipaet-paet/ togar-togar).
Kultur Batak secara umum menyebutkan makan sebagai mangan indahan na las (makan nasi hangat) dan manginum aek sitio-tio (minum air bening). Indahan na las dohot aek sitio-tio adalah simbol kehidupan penuh sukacita dan kejujuran. Makan bersama sebab itu bertujuan merayakan kehidupan dan kebenaran.
Menarik, bahwa bahasa Batak sama-sama menggunakan kata las untuk menyebutkan hangat maupun sukacita. Kata tio berarti bening, digunakan untuk air maupun pandangan juga niat hati. Air yang bening adalah simbol transparansi, kejujuran dan ketulusan yang sangat dijunjung tinggi dan dihargai oleh kultur Batak.

1. TUDU-TUDU SIPANGANON
Tudu-tudu sipanganon yang arti harafiahnya penanda perjamuan (bila dalam keadaan lengkap disebut na margoar atau bagian-bagian hewan yang diberi nama sesuai dengan yang berhak menerimanya dalam parjambaran atau pembagian daging hewan) adalah bagian-bagian tertentu hewan sembelihan yang diletakkan di tengah-tengah sebagai simbol penghormatan hasuhutan kepada undangannya khususnya hula-hula. Maksudnya: untuk menjamu hula-hula pihak tuan rumah tidak membeli daging kiloan (rambingan) tetapi rela mengorbankan nyawa satu ekor hewan. Sebagai balasnya hula-hula akan memberikan ikan (dengke) dan beras. (Dahulu disebut boras sipir ni tondi atau beras penguat roh, sekarang bagi komunitas Batak-Kristen harusnya disebut boras parbue atau beras buah kehidupan).
Sering kita saksikan pada jaman sekarang sewaktu menyerahkan tudu-tudu sipanganon atau penanda perjamuan pihak keluarga akan beramai-ramai memegang piringnya dan kalau mereka terlalu banyak jumlahnya akan saling memegang bahu, seolah-olah ada sesuatu yang hendak dialirkan. Padahal kesaksian orang tua-tua pada jaman dahulu tidak begitu. Tudu-tudu sipanganon cukup diletakkan di tengah-tengah ruangan di hadapan undangan terhormat! Bagi kita orang Kristen lebih baik tudu-tudu sipanganon diletakkan di tengah tengah ruang agar tidak menimbulkan salah tafsir seolah-olah makanan itu memiliki kekuatan magis atau menjadi medium penyaluran berkat. Sebab tudu-tudu sipanganon itu hanyalah simbol penghormatan kepada undangan bahwa jamuan dilakukan dengan khidmad dan sepenuh hati. Tidak ada kekuatan magis yang hendak dialirkan di sana.
Sebagai simbol pengormatan, tudu-tudu sipanganon seharusnya pertama kali disampaikan kepada Allah dan kemudian kepada manusia. Sebab itu dalam even pertemuan Kristen-Batak sebaiknya kita lebih dulu berdoa makan sebelum menyerahkan tudu-tudu sipanganon kepada hula-hula. Itulah tanda bahwa kita lebih taat dan hormat kepada Allah daripada kepada manusia (Kis 5:29).

2. SAPA
Sapa adalah piring kayu berdiameter lebih-kurang 40 cm. Pada jaman dahulu keluarga nenek moyang kita makan duduk lesehan di lantai menggunakan satu sapa. Lazimnya 1(satu) rumah memiliki 1(satu) sapa. Bapa, ibu dan anak-anak makan di satu sapa dengan tertib, sopan dan hormat. Peranan sapa sebab itu mirip dengan meja makan di rumah kita orang moderen. 1 satu) rumah 1(satu) meja makan. Yang terpenting bukanlah sapa atau meja makan itu an sich tetapi kesatuan keluarga yang menggunakan sapa atau meja makan itu.

Tentu saja kita sekarang tidak mungkin lagi kembali ke tradisi sapa. Namun acara makan dan doa bersama satu keluarga inti harus tetap kita hidupkan dan laksanakan. Mungkin bagus jika kita komunitas Kristen-Batak dapat menjadikan sapa sebagai simbol kebersamaan keluarga inti: ayah, ibu dan anak-anak. Sebab ada kecenderungan kita hanyut dengan ritus-ritus keluarga besar (na saompu, parmargaan) dan mengabaikan peranan keluarga inti sebagai dasar atau tiang kehidupan.

3. MARMEME
Pada jaman dahulu ibu-ibu marmeme, mengunyahkan makanan untuk anak-anaknya yang masih kecil. Makanan lebih dulu dikunyah si ibu kemudian secara cepat dan trampil langsung dimasukkan ke mulut si anak kecil. Persis seperti burung atau hewan lainnya. Bagi kita orang moderen mungkin ini dianggap menggelikan, kurang higienis atau “jorok”. Namun pada jaman dahulu marmeme adalah wajar dan merupakan tanggungjawab orangtua. Sebagaimana menyusui, marmeme sangat meneguhkan hubungan emosional antara orangtua. Ada satu umpama yang dalam tentang marmeme: dompak marmeme anak, dompak marmeme boru. Artinya tidak ada perbedaan antara anak laki-laki atau anak perempuan.

4. MANULANGI & MANGUPA-UPA
Kultur Batak mengenal istilah manulangi, yaitu menyampaikan makanan yang lezat kepada orangtua atau hula-hula. Dahulu motivasi memberi makanan ini selain untuk menyenangkan hati orangtua atau hula-hula, juga untuk menyampaikan permohonan kepada yang diberi makan. Apalagi ketika memberi sulang-sulang hariapan atau perjamuan purnabakti atau pensiun dari adat kepada seorang tua, sebetulnya lebih kental dengan kepentingan anak-anak daripada kepentingan orangtua yang sudah lanjut usia itu. Disinilah iman Kristen harus menerangi dan menggarami kultur manulangi. Acara manulangi haruslah berdasarkan kasih agape atau kasih tanpa pamrih (holong na so marpambuat) dan hormat tanpa syarat (hormat na so marsiala) kepada orangtua.
Mangupa-upa adalah kebalikan dari manulangi. Yaitu dari orangtua kepada anak, dari hula-hulakepada boru. Tujuannya terutama untuk menguatkan, meneguhkan dan memberi semangat kepada anak atau boru yang sakit, terkejut atau baru lepas dari bahaya. Pada jaman pra-kristen orang yang sakit, lemah, terkejut, celaka dianggap ditinggalkan oleh roh-nya (tondi-nya) karena itu perlu diupa-upa agar rohnya kembali: “mulak tondi tu ruma”. Sebab itulah nenek moyang kita kadang memberikan beras ke atas kepala anak atau borunya. Istilah boras si pir ni tondi menunjuk kepada pemahaman bahwa tondi (roh) si sakit harus dikuatkan dan didinginkan. Istilah boras si pir ni tondi ini tidak cocok lagi dengan kekristenan kita yang menghayati kesatuan pribadi (tubuh-roh). Selain itu bagi kita yang beriman kepada Kristus makanan (sipanganon) tidak lagi dianggap memiliki kekuatan magis atau menjadi medium berkat. Sumber kesembuhan, kekuatan dan keselamatan kita adalah Tuhan Yesus Kristus yang telah mati dan bangkit. Boras hanyalah simbol hahorason! Sebab itu acara mangupa-upa bagi kita adalah kebaktian atau ibadah memohon kesembuhan atau kekuatan kepada Allah Bapa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Makanan upa-upa hanyalah simbol kasih dan perhatian kita kepada yang sakit dan bukan medium (parhitean) berkat. Dalam mangupa-upa perhatian kita harus tetap tertuju kepada Kristus yang tersalib dan bangkit. Jelas dan tegas bagi kita Kristus itulah satu-satunya sumber kehidupan.

5. MANGAN INDAHAN NA SINAOR atau PARPANGANAN NA BADIA
Kultur Batak mengenal apa yang dinamakan mangan indahan na sinaor, atau perjamuan pendamaian (pemulihan hubungan). Jika ada dua orang atau kelompok yang terlibat konflik maka mereka akan menyelesaikan konflik melalui makan bersama yang biayanya dipikul oleh kedua belah pihak. Bagi kita komunitas Kristen-Batak tentu tidak ada larangan menyelenggarakan makan bersama sebagai tanda perdamaian ini. Namun, kita harus menyadari bahwa sesungguhnya Kristuslah yang mendamaikan kita (Efesus 2:13-18). Karena itu Perjamuan Kudus (ekaristi) itulah sesungguhnya perjamuan pendamaian yang sejati. Melalui Perjamuan Kudus pertama-tama dan terutama kita diperdamaikan dengan Allah dan sebagai dampaknya diperdamaikan dengan sesama, diri sendiri dan alam lingkungan kita.
Dalam Perjamuan Kudus tubuh dan darah Tuhan hadir dalam dan bersama-sama roti dan anggur yang kita makan. (con-substansia). Roti dan anggur tidak berubah wujud namun tubuh dan darah Tuhan hadir bersama-sama roti dan anggur itu. Sebab itu pada saat Perjamuan kita memang benar-benar menerima tubuh dan darah Tuhan Yesus: sumber pengampuan dosa, pendamaian, kehidupan yang kekal, sukacita, dan damai sejahtera kita. Dalam gereja purba (I Kor 11:17-22) dikenal perjamuan kasih (agape). Sebelum Perjamuan Kudus, maka jemaat lebih dulu makan bersama, yang bahannya dikumpulkan dari yang dibawa oleh masing-masing anggota. Lambat-laun tradisi ini menghilang. Namun sebenarnya baik jika dihidupkan kembali oleh gereja-gereja berlatar belakang budaya Batak dan modernitas yang sangat haus akan kebersamaan dan persekutuan (communion).
Pertanyaan terakhir: siapa yang paling berat menanggung biaya tradisi makan (marsipanganon) Batak ini? Apakah jamuan-jamuan makan ini membebaskan (meringankan) atau malah memberatkan (menekan) komunitas Kristen-Batak itu sendiri terutama yang ekonominya lemah?

6. SEMUA BOLEH TETAPI TIDAK WAJIB
Apa kata Alkitab tentang makanan? Yesus mengatakan bahwa segala sesuatu boleh dimakan, yang najis bukanlah apa yang masuk melalui mulut tetapi apa yang keluar dari mulut (perkataan). (Mat 15:11) Segala sesuatu dapat dimakan dan diminum, tidak ada yang haram. (Kol 2:16). Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman. (Roma 14:17). Tidak ada jenis makanan yang mendekatkan atau menjauhkan diri kita dari Allah (I Kor 8:8-10). Kita boleh makan dan minum apa saja (termasuk daging bercampur darah, atau alkohol) dengan ucapan syukur. Dan kita tidak diijinkan menjadikan kebebasan itu sebagai batu sandungan bagi orang lain. Kita harus menguasai diri dan tidak boleh diperhamba oleh makanan atau minuman (termasuk bir atau anggur!). Karena itu kita juga tidak boleh menjadikan sangsang (daging babi yang dicincang dan dimasak memakai darah) sebagai tanda kekristenan kita. Ingat: tanda bukti kekristenan kita yang sesungguhnya adalah kebenaran, damai sejahtera dan sukacita abadi oleh Roh Kudus. (Roma 14:17).

(Penulis adalah Pdt. Daniel Taruli Asi Harahap, M.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2004)

Kamis, 12 Januari 2012

ARTIKEL: MEMBENTUK EKSISTENSI PELAYANAN REMAJA DAN NAPOSOBULUNG DI GEREJA (HKBP SEMPER)

1. High-Impact Pelayanan Remaja dan Naposobulung
Tidak habis-habisnya syukur bagi Tuhan Yesus Kristus, yang telah menganugerahkan kesempatan untuk melayani-NYA pada masa saya remaja dan naposobulung di Gereja HKBP Semper. Suatu pengalaman yang sangat berharga dan tidak akan pernah terlupakan, karena dampaknya sangatlah besar (high-impact), bukan hanya sesaat atau hanya pada saat melayani, akan tetapi sampai dengan hari ini dan bahkan sampai sepanjang masa. Nilai dari pelayanan itu tidaklah dapat dibandingkan dengan apapun juga, bahkan dengan emas dan perak. Pelayanan di kepengurusan (kepanitiaan) Remaja dan Naposobulung (R NHKBP) sejak tahun 1995 sampai dengan 2002 (+/- 8 tahun) telah meninggalkan banyak kesan yang mendalam bersama dengan Tuhan. Suatu pengalaman rohani yang membentuk kepribadian, mental dan cara berfikir yang diubahkan oleh Tuhan untuk mengarahkan hidup ini memiliki nilai (value) sesuai dengan perintah Tuhan di dalam Alkitab yaitu MENGASIHI TUHAN ALLAH DAN MENGASIHI SESAMA. Itulah makna atau intisari dari segala pelayanan Remaja dan Naposobulung.
Apa yang membuat pelayanan ini begitu bernilai? Berikut beberapa aktivitas pelayanan pada waktu itu:
a. Mengunjungi Amang Sintua yang Sedang Sakit
Betapa tidak kami terharu ketika mengunjungi Amang Sintua Sarumpaet (Almarhum) yang pada waktu itu sedang menderita penyakit stroke di rumahnya. Penyakit yang membuat beliau tidak dapat beraktivitas normal karena sebagian tubuhnya mengalami kelumpuhan. Pada waktu itu kami bawakan sebuah T-Shirt, kemudian mengenakannya di hadapan seluruh Naposobulung yang berkunjung. Beliau tersenyum dan tertawa bahagia. Setelah itu kami menyanyikan sebuah lagu rohani yang selalu dibawakan beliau ketika mengajari kami sidi, “Andaikan Yesus, Kau Bukan Milikku (KJ No.300) Ketika kami menyanyikannya, beliau tersenyum dan terharu karena bahagia. Peristiwa itu sangatlah berkesan. Secara pribadi, saya sangat terharu melihat beliau bahagia.
b. Penjualan Pakaian Bekas Layak Pakai ke Marunda
Betapa tidak kami bahagia ketika melihat wajah para nelayan, istri nelayan dan anak-anak nelayan di daerah Marunda, tersenyum ketika mereka dapat membeli pakaian-pakaian yang kami jual sangat murah. Pakaian-pakaian yang menurut kami sudah bekas tetapi masih bagus-bagus. Menurut informasi yang kami terima saat itu (tahun 1995/1996), setiap hari penghasilan mereka hanya sekitar Rp5.000 – Rp10.000 per keluarga. Anggota keluarga mereka rata-rata 4-5 orang. Oleh karena itu, harga pakaian kami hanya kisaran rata-rata Rp500 sampai dengan yang termahal Rp5.000. Berbondong-bondong para nelayan itu datang untuk mendapatkan baju, celana, jaket dsb. Pakaian yang menurut kami sudah bekas, tetapi bagi mereka sangat bagus untuk dikenakan. Bapak ketua RT-nya berkata, “Jangan sungkan-sungkan kembali lagi ke sini. Pasti kami berikan ijin untuk jualannya”. Setiap kami akan datang, biasanya pengurus masjid selalu mengumumkan melalui pengeras suara “toa” kepada masyarakat sekitar.
c. Kunjungan ke Panti Asuhan KDM dan Yayasan Bangun
Betapa tidak kami bahagia ketika mengunjugi panti asuhan Kampus Diakonia Modern (KDM) di Kampung Raden, Pondok Gede, Bekasi dan panti asuhan Yayasan Bangun, di Tanjung Priok. Berbagi kebahagiaan bersama dengan mereka dalam makan siang dan bermain dalam kelompok. Ada beberapa orang yang pada akhirnya kami ketahui latar belakangnya, karena orang tuanya memang sudah tidak ada, atau orang tuanya tidak bertanggung jawab. Badan dan rambut mereka berbau tidak sedap (maaf kata), karena memang mereka jarang mandi. Mereka juga ada yang “ingusan” (maaf kata), membuat kami sebetulnya merasa tidak nyaman. Namun, justru itulah kebahagiaannya, menyatu dengan mereka ditengah-tengah ketidaknyamanan, membuat kami merenung, bahwa “Sang Bayi” Yesus pun lahir di kandang domba yang jauh dari steril dan bersih, apalagi wangi. Dengan kunjungan itu, kita diajarkan bahwa banyak anak-anak terlantar yang membutuhkan Kasih Tuhan melalui uluran tangan kita. Meski anak-anak itu “hina” sekalipun, tetapi mereka tetapi berharga di mata Tuhan.
d. Mengunjungi Jemaat yang Sakit
Betapa tidak kami pilu ketika mengunjungi beberapa jemaat yang sakit di rawat di rumah maupun di rumah sakit. Yang sakit dari mulai remaja sampai dengan orang tua, bahkan yang sudah mendapatkan gelar “Ompung”. Mereka membutuhkan dukungan secara mental psikologis yang membuat mereka lebih bersemangat menjalani hari-harinya ditengah kesakitan. Bahkan ada yang sudah dinyatakan kanker ganas dan menurut dokter sudah tidak dapat disembuhkan. Kami berdoa bersama untuk memohon kesembuhan dari Tuhan. Di dalam doa ada kedamaian dan pengharapan. Itulah yang ingin kami bagikan kepada jemaat-jemaat yang sakit tersebut. Meskipun demikian, jemaat yang sakit pada akhirnya ada yang meninggal karena tidak tertolong lagi namun ada juga yang sembuh, itu adalah anugerah Tuhan.
e. Festival Paduan Suara Naposobulung se-DKI Jakarta
Apa lagi yang membuat pelayanan ini begitu bernilai? Betapa tidak kami sangat bersukacita ketika Paduan Suara (Koor) kami dinyatakan sebagai Juara III pada Festival Paduan Suara Naposobulung se-DKI Jakarta, yang waktu itu diselenggarakan oleh NHKBP Tebet. Bisa dibayangkan siapakah kami “HKBP Semper” ditengah-tengah gereja-gereja HKBP yang “besar” di Jakarta ini. Kami juga tidak memiliki pelatih profesional pada waktu itu. Dengan talenta yang ada di dalam punguan Naposobulung, kami berusaha memaksimalkannya untuk mempersembahkan dua buah lagu pujian kepada Tuhan, “Sang Pemilik Kehidupan”. Lagu yang kami bawakan pada waktu itu adalah “Kristus, Penolong Umat yang Percaya” (KJ No.254) dan “Great is Thy Faithfulness”. Yang terpenting adalah proses menjadi juaranya, bukan juara itu sendiri. Kami berlatih +/- 2,5 bulan untuk mempersiapkan diri secara fisik dan mental. Dari segi penilaian teknis, kami berusaha semaksimal mungkin menguasai lagu-lagu tersebut, menghayatinya dalam ekspresi, dan yang terpenting menyatukan suara kami, sehingga suara Sopran, Alto, Tenor dan Bass hanya terdengar 4 suara saja, meskipun kami ada +/- 25 orang. Tidaklah mudah untuk menghasilkan Koor yang berkualitas. Dibutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan materi. Namun sekali lagi betapa indahnya bernyanyi memuji Tuhan dalam Koor yang memiliki kualitas tinggi dan penuh dengan kesatuan serta penghayatan.
f. Pekan Olah Raga dan Seni
Betapa tidak kami sangat bersukacita ketika R-NHKBP Semper mengadakan Pekan Olah Raga dan Seni (PORSENI). Setiap lunggu bersatu menampilkan talenta yang mereka miliki dalam olah raga dan seni. Beberapa cabang olahraga yang diperlombakan, seperti sepak bola, tenis meja, bulu tangkis, lari, catur dan catur jawa. Kesenian yang ditampilkan adalah lomba vokal group dan Cerdas Cermat Alkitab. Indah sekali rasanya ditengah-tengah semangat persaingan namun ada kesatuan di antara kami. Kami bisa saling mengenal satu dengan lainnya dari tujuh atau delapan lunggu di HKBP Semper yang berpartisipasi. Anggota R-NHKBP yang sebelumnya belum dikenal, menjadi kami kenal. Bahkan dari antara mereka, saat tulisan ini dilansir, ada yang sudah dan sedang menjadi pengurus Remaja dan Naposobulung HKBP Semper. Itulah salah satu buah dari pelayanan, bertambahnya jiwa yang rela menyerahkan dirinya melayani Tuhan Yesus Kristus.
g. Bible Camp Pelajar Sidi dan Kamp Pelayanan
Yang tidak kalah pentingnya adalah kegiatan Bible Camp Pelajar Sidi dan Kamp Pelayanan. Dua agenda yang sangat penting dalam membina para remaja dan naposobulung sebelum mereka terjun ke dunia pelayanan di HKBP Semper. Mereka dibagikan mengenai “Arti Keselamatan” dilanjutkan dengan “Arti Pelayanan”, kemudian bagaimana “Karakter Seorang Pelayan” dan “Dinamika Kelompok” untuk bersinergi dalam melayani Tuhan. Sungguh sangat berkesan dalam hati, dan akan terus terpatri apa yang sudah didapatkan pada waktu itu. Semua Firman Tuhan yang dipaparkan sesi demi sesi memberikan bekal yang abadi dan bernilai tinggi dalam mengarungi kehidupan ke depan, bukan hanya pada waktu melayani di gereja HKBP Semper tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari di keluarga, sekolah, kampus dan dunia pekerjaan.
h. BULETIN NARHASEM
Yang terakhir tetapi bukan berarti yang paling kecil artinya adalah BULETIN NARHASEM, Buletin kita tercinta ini. Siapakah yang rela mengerjakannya? Remaja dan Naposobulung, bukan? Ya, merekalah yang mengurusinya. Ucapan syukur yang sangat mendalam, karena Buletin ini masih eksis sampai dengan saat ini. Di tengah usianya yang hampir memasuki tahun ke-8, Buletin ini sudah banyak menjadi berkat bagi pembacanya. Sangat besar anugerah Tuhan bagi tim redaksi Buletin ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah Tuhan selalu memberikan orang-orang yang rela mengorbankan dirinya untuk menjadi tim redaksi, penulis dan editor dari Buletin ini. Sesuai dengan motto dari Buletin ini “BULETIN NARHASEM FOR THE GLORY OF THE LORD”. Biarlah terus nama Tuhan Yesus ditinggikan, dimuliakan dan diagungkan. Biarlah semakin banyak orang yang mengenal Dia, “Sang Juru Selamat”. Dan semakin banyak orang yang datang kepadaMU untuk melayani.
Masih banyak lagi kegiatan-kegiatan pelayanan R-NHKBP selain yang saya sharingkan di atas. Kegiatan-kegiatan rutin seperti Kebaktian Bulanan, Koor, Perseketuan Doa Syafaat dll. Semua itu bernilai tinggi. Tetapi karena keterbatasan ruang dan waktu, maka saya hanya menceritakan sebagian saja. Kalau para pembaca, khususnya R-NHKBP ingin mengetahui lebih dalam bisa langsung bergabung ke dalamnya. Segera hubungi pengurus R-NHKBP. Jangan tunggu. Nikmatilah kasih dan kuasaNYA dalam pelayanan yang bernilai tinggi dan kekal. Jangan berkata Anda masih muda, Anda tidak layak. Karena pelayanan adalah anugerahNYA semata.
Pelayanan R-NHKBP Semper sudah banyak memberikan dampak (high-impact) yang mungkin secara kasat mata tidaklah kelihatan. Ya, karena memang pelayanan ini adalah pelayanan rohani. Pelayanan yang dampaknya adalah bagi jiwa/roh seseorang yang membentuk iman percaya kepada Tuhan semakin teguh dan tak tergoyahkan di tengah-tengah dunia ini. Dampak pelayanan itu bukan hanya bagi remaja dan naposobulung itu sendiri, tetapi juga bagi jemaat secara luas. Mungkin ada dari antara pembaca artikel ini merasakan apa yang dirasakan oleh penulis. Puji Tuhan! Saksikanlah itu di tengah-tengah kehidupan Anda dengan terus menjadi pelayannya baik di keluarga maupun pekerjaan dan masyarakat, dimana Anda tinggal. Teruslah berikan dukungan bagi punguan R-NHKBP Semper, melalui dukungan moral, pemikiran dan materi.

2. Mengapa Naposobulung menjadi “Kerdil”
Satu hal yang sudah menjadi persepsi keliru di tengah-tengah jemaat HKBP adalah Naposobulung akan dianggap eksis dan berarti jika setiap minggu aktif mengisi acara dalam Kebaktian Umum berbahasa Batak. Jika Naposobulung tidak mengisi acara Koor, maka Naposobulung dianggap tidak eksis dan lesu. Naposobulung yang bagus adalah jika mereka kelihatan oleh jemaat memiliki anggota Koor yang banyak secara kuantitas. Oh, alangkah kerdilnya pemikiran seperti itu. Pemikiran yang secara tidak langsung telah “mengkerdilkan” peranan dan fungsi R-NHKBP di tengah-tengah jemaat. Bukankah Koor itu hanya sebagian kecil saja dari aktivitas R-NHKBP. Sekali lagi saya pertegas, hanya sebagian kecil saja.
Oleh karena itu, marilah kita coba berfikir yang lebih besar terhadap R-NHKBP. Sudah banyak yang penulis sharingkan di atas, yang memiliki makna mendalam dan sangat bernilai tinggi dan kekal. Marilah kita ubah persepsi kita yang kerdil itu. Bangunlah kembali Remaja dan Naposobulung ini menjadi sebuah punguan yang berkualitas dan besar. Bukan mengedepankan kuantitas dan Koor semata.

3. Eksistensi Pelayanan R-NHKBP adalah Menjadi Garam dan Terang
Paragraf ini ditujukan khusus bagi seluruh rekan-rekan Remaja dan Naposobulung terkasih.
Sebagai penutup dari tulisan singkat ini, penulis ingin kembali mengingatkan bahwa eksistensi punguan R-NHKBP adalah kembali kepada visi yang mulia. Menjadi garam dan terang. Bagi keluarga, jemaat, masyarakat sekitar dan masyarakt luas. Kepakanlah sayapmu jauh lebih luas lagi. Jangan monoton dalam melayaniNya. Jangan berkutat hanya di dalam saja. Berkreasilah lebih tinggi lagi. Berdayakanlah seluruh potensi dan talenta yang ada pada R-NHKBP. Manfaatkanlah waktu yang singkat ini. Paling maksimal hanya 10 tahun rekan-rekan dapat melayani sebagai R-NHKBP. Setelah itu rekan-rekan akan menjadi seorang suami/isteri, bapak/ibu dalam keluarga kecilmu. Bangunlah kembali suatu punguan R-NHKBP dengan visi yang kuat dan konsistenlah dalam menjalani visi tersebut sampai dengan garis akhir. Kiranya Tuhan Yesus Kristus, “Sang Gembala Agung” akan senantiasa memimpin, melindungi dan memberkati rekan-rekan untuk terus maju dan tak lelah melayaniNya. Karena sesungguhnya kepada kita telah diberikan Anugerah KESELAMATAN dan kita semua wajib mengerjakan KESELAMATAN itu sampai MARANATHA. Amin.

(Penulis adalah Maurice Nainggolan, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Januari 2012)