Banyak anak muda Batak sekarang ini, terutama yang sedang persiapan membangun rumah tangga baru, dipusingkan dengan serba serbi paradaton yang harus mereka ikuti dalam pernikahan, salah satunya adalah Sinamot. Fakta membuktikan ada pernikahan yang tertunda, bahkan tidak jadi dilangsungkan, karena Sinamot yang tidak disepakati. Bagi orang yang tidak memahami adat Batak memang jadi terlihat aneh, karena dianggap hal yang tidak relevan lagi di jaman modern seperti sekarang ini. Tapi bagi kita yang memang sudah dilahirkan sebagai orang Batak, maka mencoba memahaminya menjadi penting, agar kita tidak salah jalan dan tidak cepat-cepat menyimpulkan. Apa sih sesungguhnya Sinamot itu?
Esensi Sinamot
Dari pengalaman dan hasil observasi penulis, setidaknya ada tiga hal yang menjadi esensi dari Sinamot.
Pertama, Sinamot adalah tanda “penghormatan” keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Sebagian dari kita mungkin mengikuti berita di media massa tentang bagaimana keluarga Joy Tobing yang “merasa” sangat dihina dengan kiriman sekantung daging dari pihak keluarga pria yang katanya adalah Sinamot. Ingat, bahwa selain bentuk dan nilainya, maka proses yang harus berlangsung untuk disepakatinya Sinamot juga harus disepakati dan dilakukan dengan benar dan dengan tata cara yang diakui secara adat Batak. Oleh karena itu, berdasarkan konsep “suhi ni ampang na opat” (empat unsur utama dalam pernikahan secara adat Batak) keberadaan “Tulang” (saudara laki-laki ibu) juga diikutsertakan dan menjadi bagian penting dalam proses pernikahan itu.
Kedua, Sinamot adalah “bukti” atas komitmen terjadinya pernikahan secara adat. Artinya bukti atas janji pernikahan. Dalam adat Batak pernikahan bukan hanya menikahkan dua orang laki-laki dan perempuan, tapi juga “menikahkan” dua keluarga besar. Oleh karena itu keluarga besar masing-masing calon pengantin juga harus mengetahui, melihat dan menyepakati bukti itu. Karena pada akhirnya yang berkomitmen untuk terjadinya pernikahan adalah kedua keluarga besar itu. Artinya bahwa yang berkomitmen untuk mengikatkan diri satu sama lain adalah marga-marga yang terkait di dalamnya yang diwakili oleh kedua keluarga besar itu. Itulah makanya orang non-Batak seringkali terkagum-kagum kalau melihat jumlah yang datang saat pernikahan orang Batak. Sampai-sampai saat ini seringkali harus dilakukan dua acara terpisah, yaitu acara pernikahan secara adat dan acara resepsi yang mengundang rekan-rekan yang Non-Batak. Karena kalau disatukan akan menyulitkan pihak gedung untuk menampung. Menampung orang yang datang, dan menampung mobil-mobil yang harus parkir.
Ketiga, Sinamot adalah “kesepakatan” atau perjanjian. Hukum adat mengakui adanya kesepakatan secara lisan. Dengan demikian ucapan yang keluar dari mulut seseorang sudah dianggap sebagai ikatan. Berbeda dengan hukum modern yang dilakukan secara tertulis. Demikian juga dengan janji pernikahan. Dengan dibuktikan melalui Sinamot, maka pernikahan itu menjadi terikat secara adat, dan selanjutnya menjadi ikatan perjanjian di antara kedua belah pihak.
Keluhuran Nilai Sinamot Terdegradasi
Namun yang repotnya, ketiga esensi di atas akhir-akhir ini telah mengalami degradasi. Baik karena kurangnya pemahaman keluarga besar calon mempelai tentang proses berlangsungnya Sinamot, juga karena pemahaman yang salah dari banyak orang Batak sekarang ini yang menganggap Adat Batak itu kepanjangan dari cara-cara animisme atau dinamisme belaka. Lalu semakin banyak keluarga batak yang mulai terkooptasi oleh nilai-nilai materialisme dan hedonisme. Sehingga bagi mereka lebih penting nilai rupiahnya, daripada esensi penghormatannya. Lebih penting tingginya nilai Sinamot, daripada esensi dari komitmen pernikahan antara dua keluarga besar. Banyak orang berlomba-lomba untuk menaikkan besarnya Sinamot, supaya dilihat lebih hebat, lebih tinggi derajatnya dari keluarga yang Sinamot nya lebih rendah. Jadi sebenarnya sekarang ini ada faktor kompetisi harga diri orang Batak dalam Sinamot. Harga diri orang Batak saat ini seringkali diukur dari berapa besar Sinamot nya, bukan dari proses bagaimana Sinamot itu dilakukan secara benar dari perspektif keabsahan adatnya. Sinamot sekarang ini seringkali mengorbankan masa depan keluarga yang baru. Karena banyak keluarga yang melangsungkan pernikahan adat Batak secara jor-joran menaikkan Sinamot dan berpesta besar-besaran meskipun harus mengutang sana sini, dan menjual beberapa aset penting dari keluarga. Lalu selesai acara pasangan yang baru ini tidak memiliki “modal” yang cukup untuk memulai hidupnya. Akhirnya yang terjadi adalah si keluarga baru ini harus terseok-seok.
Situasi inilah yang akhirnya menjadi beban anak-anak muda Batak sekarang ini untuk memutuskan menikah, karena persepsi orang Batak yang terlanjur salah terhadap Sinamot. Pasangan muda yang akan menikah selalu “dihantui” oleh pertanyaan dari anggota keluarga: “berapa Sinamot mu”. Bukan lagi pertanyaan seputar bagaimana persiapan mental mu, sudah berapa kali mengikuti bimbingan pra nikah di gereja, atau bagaimana rencana kalian setelah menikah. Keagungan nilai pernikahan mulai digusur oleh seberapa besar acara yang akan dibuat. Seberapa banyak tamu yang akan diundang. Acara pernikahan Batak sekarang ini mulai bergeser dari yang tadinya perikatan dua keluarga dalam adat Batak, ke arah penyelamatan muka keluarga dengan Sinamot yang sebesar mungkin. Sinamot sudah mulai bergeser dari penghormatan antar keluarga besar menjadi sekedar transaksional semata. Sinamot seringkali akhirnya direduksi menjadi sekedar jual beli belaka.
Lalu Bagaimana?
Pertanyaan ini akhirnya harus dikembalikan kepada kita orang Batak. Sebab orang Batak memang terkenal dengan percaya dirinya yang tinggi. Bahkan seringkali tidak sadar akhirnya sampai pada ego yang tinggi. Kita harus jujur dengan itu. Semua maunya jadi raja. Ai sian bontian do au nunga raja...begitu kata kita. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan percaya diri yang tinggi. Tapi ketika itu sudah menyentuh ego yang membabi buta demi sekadar harga diri, sebaiknya kita mulai slowing down. Anak-anak muda harus berani bilang ke keluarga besar bahwa mempersiapkan kehidupan setelah menikah jauh lebih penting dari sekadar acara pernikahan sehari. Adat penting, Sinamot penting. Tetapi jangan sampai nilai-nilainya digeser menjadi pemuasan ego keluarga semata. Anak-anak muda Batak saat ini harus berani meluruskan cara pandang orang tua yang terhalusinasi oleh kepentingan harga diri sesaat. Kembalikanlah adat pada tempat dan nilai-nilai yang sesungguhnya. Besar kecilnya acara adat sesungguhnya bukan diukur dari jumlah uang yang digelontorkan, tetapi kelengkapan seluruh proses yang telah dilewati dengan benar dan kebesaran hati para anggota keluarga yang terlibat. Kebesaran hati untuk menerima apa yang ada, tidak berlebihan, dan tidak perlu mengorbankan masa depan keluarga muda yang baru meniti kehidupan rumah tangganya.
(Penulis adalah St. Mangara Sidabutar, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi November 2011)
Esensi Sinamot
Dari pengalaman dan hasil observasi penulis, setidaknya ada tiga hal yang menjadi esensi dari Sinamot.
Pertama, Sinamot adalah tanda “penghormatan” keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Sebagian dari kita mungkin mengikuti berita di media massa tentang bagaimana keluarga Joy Tobing yang “merasa” sangat dihina dengan kiriman sekantung daging dari pihak keluarga pria yang katanya adalah Sinamot. Ingat, bahwa selain bentuk dan nilainya, maka proses yang harus berlangsung untuk disepakatinya Sinamot juga harus disepakati dan dilakukan dengan benar dan dengan tata cara yang diakui secara adat Batak. Oleh karena itu, berdasarkan konsep “suhi ni ampang na opat” (empat unsur utama dalam pernikahan secara adat Batak) keberadaan “Tulang” (saudara laki-laki ibu) juga diikutsertakan dan menjadi bagian penting dalam proses pernikahan itu.
Kedua, Sinamot adalah “bukti” atas komitmen terjadinya pernikahan secara adat. Artinya bukti atas janji pernikahan. Dalam adat Batak pernikahan bukan hanya menikahkan dua orang laki-laki dan perempuan, tapi juga “menikahkan” dua keluarga besar. Oleh karena itu keluarga besar masing-masing calon pengantin juga harus mengetahui, melihat dan menyepakati bukti itu. Karena pada akhirnya yang berkomitmen untuk terjadinya pernikahan adalah kedua keluarga besar itu. Artinya bahwa yang berkomitmen untuk mengikatkan diri satu sama lain adalah marga-marga yang terkait di dalamnya yang diwakili oleh kedua keluarga besar itu. Itulah makanya orang non-Batak seringkali terkagum-kagum kalau melihat jumlah yang datang saat pernikahan orang Batak. Sampai-sampai saat ini seringkali harus dilakukan dua acara terpisah, yaitu acara pernikahan secara adat dan acara resepsi yang mengundang rekan-rekan yang Non-Batak. Karena kalau disatukan akan menyulitkan pihak gedung untuk menampung. Menampung orang yang datang, dan menampung mobil-mobil yang harus parkir.
Ketiga, Sinamot adalah “kesepakatan” atau perjanjian. Hukum adat mengakui adanya kesepakatan secara lisan. Dengan demikian ucapan yang keluar dari mulut seseorang sudah dianggap sebagai ikatan. Berbeda dengan hukum modern yang dilakukan secara tertulis. Demikian juga dengan janji pernikahan. Dengan dibuktikan melalui Sinamot, maka pernikahan itu menjadi terikat secara adat, dan selanjutnya menjadi ikatan perjanjian di antara kedua belah pihak.
Keluhuran Nilai Sinamot Terdegradasi
Namun yang repotnya, ketiga esensi di atas akhir-akhir ini telah mengalami degradasi. Baik karena kurangnya pemahaman keluarga besar calon mempelai tentang proses berlangsungnya Sinamot, juga karena pemahaman yang salah dari banyak orang Batak sekarang ini yang menganggap Adat Batak itu kepanjangan dari cara-cara animisme atau dinamisme belaka. Lalu semakin banyak keluarga batak yang mulai terkooptasi oleh nilai-nilai materialisme dan hedonisme. Sehingga bagi mereka lebih penting nilai rupiahnya, daripada esensi penghormatannya. Lebih penting tingginya nilai Sinamot, daripada esensi dari komitmen pernikahan antara dua keluarga besar. Banyak orang berlomba-lomba untuk menaikkan besarnya Sinamot, supaya dilihat lebih hebat, lebih tinggi derajatnya dari keluarga yang Sinamot nya lebih rendah. Jadi sebenarnya sekarang ini ada faktor kompetisi harga diri orang Batak dalam Sinamot. Harga diri orang Batak saat ini seringkali diukur dari berapa besar Sinamot nya, bukan dari proses bagaimana Sinamot itu dilakukan secara benar dari perspektif keabsahan adatnya. Sinamot sekarang ini seringkali mengorbankan masa depan keluarga yang baru. Karena banyak keluarga yang melangsungkan pernikahan adat Batak secara jor-joran menaikkan Sinamot dan berpesta besar-besaran meskipun harus mengutang sana sini, dan menjual beberapa aset penting dari keluarga. Lalu selesai acara pasangan yang baru ini tidak memiliki “modal” yang cukup untuk memulai hidupnya. Akhirnya yang terjadi adalah si keluarga baru ini harus terseok-seok.
Situasi inilah yang akhirnya menjadi beban anak-anak muda Batak sekarang ini untuk memutuskan menikah, karena persepsi orang Batak yang terlanjur salah terhadap Sinamot. Pasangan muda yang akan menikah selalu “dihantui” oleh pertanyaan dari anggota keluarga: “berapa Sinamot mu”. Bukan lagi pertanyaan seputar bagaimana persiapan mental mu, sudah berapa kali mengikuti bimbingan pra nikah di gereja, atau bagaimana rencana kalian setelah menikah. Keagungan nilai pernikahan mulai digusur oleh seberapa besar acara yang akan dibuat. Seberapa banyak tamu yang akan diundang. Acara pernikahan Batak sekarang ini mulai bergeser dari yang tadinya perikatan dua keluarga dalam adat Batak, ke arah penyelamatan muka keluarga dengan Sinamot yang sebesar mungkin. Sinamot sudah mulai bergeser dari penghormatan antar keluarga besar menjadi sekedar transaksional semata. Sinamot seringkali akhirnya direduksi menjadi sekedar jual beli belaka.
Lalu Bagaimana?
Pertanyaan ini akhirnya harus dikembalikan kepada kita orang Batak. Sebab orang Batak memang terkenal dengan percaya dirinya yang tinggi. Bahkan seringkali tidak sadar akhirnya sampai pada ego yang tinggi. Kita harus jujur dengan itu. Semua maunya jadi raja. Ai sian bontian do au nunga raja...begitu kata kita. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan percaya diri yang tinggi. Tapi ketika itu sudah menyentuh ego yang membabi buta demi sekadar harga diri, sebaiknya kita mulai slowing down. Anak-anak muda harus berani bilang ke keluarga besar bahwa mempersiapkan kehidupan setelah menikah jauh lebih penting dari sekadar acara pernikahan sehari. Adat penting, Sinamot penting. Tetapi jangan sampai nilai-nilainya digeser menjadi pemuasan ego keluarga semata. Anak-anak muda Batak saat ini harus berani meluruskan cara pandang orang tua yang terhalusinasi oleh kepentingan harga diri sesaat. Kembalikanlah adat pada tempat dan nilai-nilai yang sesungguhnya. Besar kecilnya acara adat sesungguhnya bukan diukur dari jumlah uang yang digelontorkan, tetapi kelengkapan seluruh proses yang telah dilewati dengan benar dan kebesaran hati para anggota keluarga yang terlibat. Kebesaran hati untuk menerima apa yang ada, tidak berlebihan, dan tidak perlu mengorbankan masa depan keluarga muda yang baru meniti kehidupan rumah tangganya.
(Penulis adalah St. Mangara Sidabutar, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi November 2011)
1 komentar:
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Posting Komentar