Sabtu, 30 Januari 2010

ARTIKEL: STRATEGI KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF

PENDAHULUAN
Belajarlah dari semut kata seorang pengkhotbah pada suatu kebaktian Minggu. Tetapi khusus untuk judul tulisan ini menurut penulis perlu juga ada contoh lain yaitu belajarlah dari si Tikko. Si Tikko adalah kerbau betina besar dan gagah dan diberi nama si Tikko karena tanduknya besar dan ujungnya tajam dan bentuknya setengah bundar (Tikko=bulat). Dia adalah semacam panglima perang untuk rombongan kerbau sebanyak 20 ekor milik Ja kampung di Hutaraja zaman baheula. Kalau saat kawanan kerbau ini dimanfaatkan untuk mangalonca sawah (melunakan sawah menjadi gembur) maka si Tikko selalu didepan dan rombongannya akan patuh mengikuti dari belakang. Jadi kita yang mengiringi rombongan ini tidak perlu berlelah untuk mencambuknya cukup hanya dengan komando ompung Ja kampung pasti beres. Saat mereka mau pulang kandang saat gerimis dan sudah sore seekor haimau besar menghadang rombongan dari semak belukar, dalam sekejap sesuai komando si Tikko mereka langsung membentuk lingkaran model bulatan jam dengan anak-anak dibelakang ekor masing-masing termasuk ompung ja kampung. Dengan mencari model kerbau yang dianggap lemah harimau berkeliling, tetapi Si Tikko sudah siap disana membantu dan melihat harimau bertindak begitu juga Si Tikko langsung menyerang harimau tersebut dan saking takutnya harimau itu meloncat kesemak semak dilembah. Tikko merupakan pemimpin yang kuat, tegas dan bijaksana bisa menyusun pertahanan dengan mengatur kerbau-kerbau yang kuat dan diselingi yang lemah kalau ada yang tidak mau diatur maka langsung ditanduk. Juga dia memberi contoh dengan berjalan dimuka sebagai komandan barisan. Kalau Anda sedang meginap di Hotel Tor Sibohi di Hutaraja apabila anda duduk diteras hotel anda memandang kearah timur maka anda akan melihat kandangnya Si Tikko di pinggang gunung Tor Simago mago. Selanjutnya sebagai seorang Pemimpin untuk mencapai suatu hasil kerja yang maksimal maka dia harus mempunyai strategi suatu kepemimpinan yang efektif seperti dibawah ini.

I. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Pengembangan SDM yang ada dari SDM yang tradisional ke SDM yang dinamis yang dapat berkembang dimaksudkan untuk meningkatkan prestasi kerja seseorang sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki dan pada periode tertentu diadakan penilaian untuk mengetahui sejauh mana hasil penerapan dilaksanakan sesuai harapan (Appraisal). Bilamana anda ingin merencanakan sesuatu untuk satu tahun kemuka, sebarlah benih. Bila anda ingin merencanakan untuk sepuluh tahun, tanamlah pohon, dan apabila Anda ingin merencanakan sesuatu untuk seumur hidup, kembangkanlah manusia begitulah apa yang dikatakan oleh filosof Cina kuno: Quan Ziguan. Jadi dapat kita lihat bahwa pentingnya pengembagan Sumber Daya Manusia itu sudah ada sejak zaman dahulu Prestasi kerja yang berhasil dicapai suatu perusahaan tidak terlepas dari prestasi kerja manusia. Kesempurnaan karenanya dapat dicapai dengan pelatihan dan pegembangan Sumber Daya Manusia yang terus menerus secara berkesinambungan. Pelatihan dan pengembangan dapat membantu meningkatkan efekifitas organisasi melalui peningkatan efektifitas individu. Selanjutnya ini karena meyangkut peningkatan prestasi kerja pegawai saat ini dan peningkatan kemampuan potensial yang mereka miliki sejalan dengan pertumbuhan organisasi dan bertambahnya permintaan akan kemampuan pegawai pegawainya. Untuk mengkelola dan mengembangkan Sumber Daya Manusia secara efektif, kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan hendaknya diidentifikasi dan dipenuhi secara efektif dan sistematis yang luas. Penilaian atas karya merupakan dasar dari proses ini, kecuali apabila prestasi kerja saat ini dimulai kurang berdasarkan kriteria-kriteria tertentu maka kelemahan-kelemahan dalam berprestasi yang tidak sesuai dengan harapan (target) perlu dikaji ulang, sebagai contoh : Perusahaan penerbangan SIA dengan kode SQ dari negeri pulau kecil Singapura. SIA adalah perusahaan penerbangan nomor satu didunia dengan pesawat-pesawat yang banyak menjelajah udara seluruh dunia, juga pesawat-pesawat model terbaru yang tidak dapat menerbangi antar negerinya sendiri tetapi dapat menerbangi udara hampir seantero dunia. Kalaupun ada penerbang regular kekutub utara dan kutub selatan maka merekalah (SIA) yang paling pertama mendaftar. Bagaimana perusahaan tersebut bisa semaju itu? Jawabnya ialah: setiap pegawai SIA baik pegawai yang paling rendah sampai kepada puncak pimpinan harus mengikuti pelatihan dan pengembangan dirinya sekali setahun tanpa kecuali. Dan harus dilaksanakan apakah itu didalam maupun diluar negeri.Tidak tanggung-tanggung biaya pelatihan dan pengembangan dicadangkan 10 % dari anggaran rutin perusahaan dan diawasi dengan sangat ketat. Jadilah mereka no 1 didunia padahal dinegaranya sendiri hanya satu saja bandaranya (untuk sipil maksudnya) dimana kalau seorang ingin terbang dengan pesawat komersil didalam negerinya sampai kiamat pun tidak akan terlaksana, lebih bagus dia bermimpi akan terbang dengan pesawat komersil ke Antartika kalau umurnya panjang. Untuk mencapai hasil tersebut diatas dipergunakan beberapa hal:
1. Mengadakan pendekatan dengan cara yang paling efektip. Pengalaman-pengalaman praktek dan penilaian empiris menurut De Vries 1981 menyatakan bahwa system penilaian prestasi kerja yang paling efektip didasari oleh:
a. Tuas atau objektip yang ditentukan terlebih dahulu.
b. Penilaian atas hasil yang dicapai.
c. Pemeriksaan atas perbedaan-perbedaan yang terjadi.
d.Tindakan atas perbedaan-perbedaan itu.
Pemindahan dapat berupa pelatihan dan pengembangan untuk memperbaiki kekeliruan-kekeliruan. Juga bisa diadakan penyuluhan-penyuluhan atau pengarahan.
2. Mengadakan penilaian atas prestasi kerja (Appraisal). Penilaian atas prestasi kerja dapat memiliki satu atau lebih dari tiga kegunaan menurut Rande 1984 sbb:
a. Penilaian sering digunakan untuk menentukan imbalan sehingga upah atau bonus digerakkan menuju atau sesuai dengan prestasi kerja.
b. Penilaian prestasi kerja digunakan untuk meningkatkan prestasi saat ini terutama
dimana ada kelemahan-kelemahan.
c. Penilaian sering digunakan untuk dasar menilai potensi yaitu apa yang dapat dilakukan oleh seseorang apabila diberikan kesempatan untuk jabatan yang lebih tinggi.

II. MENJADI MOTIVATOR
Dapat memotivasi bawahannya untuk bekerja lebih baik sesuai dengan goal perusahaan (institusi) sbb:
Unsur manusia didalam management saat ini ada 4 teori yang popular dan sangat terkenal saat ini:
1. Douglas Mc. Gregor :Theory x dan Theory y.
2. Abraham Maslow :Hierarchy of needs.
3. Frederick Herzberg : Motivation Hygiene theory.
4. Black dan Mouton: The management grid.
Untuk itu mari kita lihat ke 4 theory ini dengan penjelasan sbb:
1. Theory x dan y.
a. Theory x adalah dikenal sebagai konsep management secara konvensional yang memanfaatkan tenaga manusia untuk kebutuhan-kebutuhan organisasi/perusahaan/institusi. Menurut theory ini pada umumnya manusia suka malas. Untuk itu dia harus dipaksa dan lebih suka untuk diatur dan menghendaki perlindungan dari segalanya.
b. Theory y.
Pengeluaran tenaga adalah wajar, mereka menurut theory ini mengatur dirinya untuk mencapai tujuan juga mereka belajar dibawah kondisi sebagaimana mestinya dan sanggup memecahkan masalah-masalah organisasi.
2. Hierarchy of Needs.
Teori ini menyatakan bahwa orang terpaksa harus puas mulai dari yang paling dasar meningkat kepada hal yang paling rumit juga berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang paling bawah sampai kepada kebutuhan yang paling tinggi seperti kebutuhan fisiologis kebutuhan keamanan, kebutuhan akan rasa memilki/dimiliki, kebutuhan akan rasa penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri.
3. Theory Moivation- Higiene.
Theory ini mengklasifikasikan faktor pengisi pekerjaan sebaga pemberi kepuasan atau hal-hal memberi seseorang kepuasan. Faktor penggugat disebut sebagai pemberi ketidakpuasan. Dia menemukan bahwa lawan dari kepuasan dalam pekerjaan itu adalah bukan ketidakpuasan, sebagai penggantinya adalah tidak puas. Sebaiknya lawan dari ketidakpuasan itu adalah bukan tidak adanya ketidakpuasan meskipun hal itu berarti kepuasan. Karena sesuatu hal tidak menyebabkan ketidakpuasan bukan berarti mengikuti suatu hal tersebut mengakibatkan kepuasaan.
4. Theory The management Grid.
Menurut theory ini bahwa setiap manager memiliki sebuah gaya kepemimpinan yang dapat dilihat, yang maksud hal ini didasari oleh tingkat perhatiannya terhadap pekerjaan dan terhadap bawahannya yang menghasilkan suatu produk atau pelayananan. Pada salah satu ujung spektrum adala seorang manager yang hanya berminat terhadap pengeluaran hal dari pekerjaan sedangkan pada ujung yang lainnya adalah manager yang memanjakan bawahannya pada beban biaya, dapat mengalahkan pekerjaan.

III. DAPAT MENDELEGASIKAN WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB PEKERJAAN SESUAI JOB
Delegasi adalah penyelesaian suatu pekerjaan melalui orang lain. Tugas seorang pemimpin adalah memperhatikan bahwa seluruh usaha berjalan dengan baik dan lancar melalui usaha dari bawahannya, untuk itu ia harus mendelegasikan sebagian dari wewenang dan tanggung jawabnya kepada bawahannya sesuai dengan job masing masing. Walaupun penanggung jawab terakhir adalah top management. Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab ini memberikan keuntungan sbb:
1. Top pimpinan tidak harus dibebani lagi dengan aktifitas yang kecil karena sudah dibebankan pada setiap unit yang ada.
2. Bawahan akan berusaha bekerja lebih baik lagi karena sudah diberikan wewenang dan tanggung jawab penuh atas pekerjaan sesuai dengan job masing-masing dan jabatan yang ada (merasa di wongke).
3. Bawahan akan berusaha menambah ilmu dan pengetahuannya demi mempelancar tugas dan pekerjaan sehari hari.
4. Bawahan akan lebih hati-hati dan teliti lagi dalam melaksanakan tugas karena apabila terjadi keliruan maka dia sendiri akan mendapat hukuman.
Dengan demikian dalam pelaksanaan program kerja dan anggaran (goal yang akan dicapai perusahaan) bisa diawasi melalui pemimpin unit masing-masing. Pendelegasian tugas-tugas berat dan memperbesar tanggung jawab bawahan biasanya merupakan pendekatan yang berguna dalam pengembangan kepribadian. Sebenarnya tidak ada cara yang lebih baik untuk mengembangkan kepemimpinan selain memberikan tugas yang membutuhkan tanggung jawab dan membiarkan orang itu mengerjakannya sendiri, Survey atas 208 eksekutif dan pejabat senior oleh Charles Margerison menghasilkan laporan bahwa pengaruh-pengaruh terpenting dalam perjalanan karir mereka sebelum berusia 35 tahun. Adalah perluasan tugas dan wawasan oleh atasan langsung mereka dengan memberikan pengalaman kepemimpinan, tanggung jawab menyeluruh bagi tugas-tugas terpenting dan meminta pengalaman diberbagai bidang.

IV. DAPAT MELAKSANAKAN PENGAWASAN ATAS GOALS YANG ADA
Pimpinan dan bawahan yang ada bergabung untuk menyusun kesepakatan yang menyangkut goals (sasaran dari Institusi /organisasi yang ada). Sasaran yang mana secara terbuka didiskusikan dan disepakati pada kecenderungan yang lebih menuju titik temu dari pada sasaran yang tidak jelas. Hasil kesepakatan itu menjadi efektif untuk prestasi kerja.
1. Proses Pengawasan.
Pengawasan atas sasaran setiap unit yang telah disepakati prosesnya sbb:
1. Penetapan standard prestasi kerja atas sasaran yang ada.
2. Pengukuran prestasi kerja yang nyata.
3. Membandingkan kenyataan terhadap standard prestasi kerja.
4. Adanya penetapan variasi diantara batas hasil yang sudah dicapai yang masih bisa ditolelir dan variatif diluar batas yang masih bisa ditolelir.
5. Adanya pengambilan tindakan korektif sesuai dengan pengevaluasian ulang (review) mencangkup :
a) Apakah melebihi sasaran jauh diatas target yang ada dan mengapa demikian harus ditemukan fakor penyebabnya.
b) Sasaran mencapai seluruh target tetapi hanya berkisar target tersebut.
c) Sasaran tercapai hanya pada unit tertentu saja sedang unit lainnya tidak.
d) Semua unit tidak mencapai sasaran termasuk sasaran yang kritis.
Dari hasil pengawasan ini maka pada semester berikutnya perlu diadakan evaluasi atas sasaran dan hasi kerja untuk Revisi Program dan Anggaran berikutnya dengan menutup titik-titik lemah yang ada dan menggiatkan unit-unit yang ada untuk semester berikutnya.Dengan demikian revisi progam dan anggaran harus dilaksanakan.

V. TEGAS DALAM TINDAKAN DAN BIJAK ATAS KEPUTUSAN
Sebagai pemimpin masa kini dan masa yang akan datang seorang pemimpin agar mencamkan beberapa hal dibawah ini :
1. Kenali bahwa apa yang anda lakukan mungkin akan lebih penting artinya daripada apa yang anda katakan dalam peran pemimpin tersebut. Lakukanlah usah-usaha secara sadar untuk menggunakan sikap perilaku kepemimpinan yang efekif setiap saat.
2. Tekankan usaha-usaha persuasif dan pemberian saran-saran sebanyak mungkin. Gunakanlah cara paksaan (misalnya dengan ancaman ataupun pemberian sanksi) hanya apabila diperlukan saja untuk memastikan diperolehnya kerja saja dan dukungan yang amat penting untuk kemajuan kelompok.
3. Sambutlah kekuasaan atau kekuatan itu dan digunakan secara bijaksana dalam usaha pencapaian hasil organisasi yang positif dan bukan kearah penonjolan pibadi. Guna mencapai dan memelihara kemampuan untuk mempengaruhi arah tindakan itu cobalah pelihara berbagai sumber yang dapat memberikan kekuatan ataupun kekuasaan tersebut.
4. Kembangkanlah keterampilan komunikasi anda itu melalui pelajaran dan praktek. Orang-orang kompeten yang pendiam kemungkinan juga tidak akan dikenali. Oleh karena itu, cobalah agar kita peka terhadap peluang untuk mendemonstrasikan kemampuan-kemampuan persuasif anda tersebut.
5. Kenalilah batas-batas otorita formal anda dan juga ketergantungan anda akan anak buah (dan rekan sejawat) dalam hal pemberian dukungan. Bangunlah hubungan pasif yang saling menguntungkan. tekankanlah usaha-usaha persuasif dalam membangun pengaruh.
6. Kenalilah bahwa memimpin itu bukan merupakan sesuatu hal yang statis, ataupun fenomena satu arah saja. sadarilah bahwa anda itu mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh orang lain. Sadari pula bahwa hal ini merupakan serangkaian proses yang melibatkan berbagai transaksi sepanjang waktu. kembangkanlah hubungan yang saling memberikan keuntungan baik bagi anda maupun bagi anak buah anda.
7. Sadarilah tentang faktor-faktor kekuatan intern maupun ekstern yang menghambat sikap perilaku anda, khususnya dalam hal interaksi anda dengan anak buah anda. Anda akan menjadi lebih efektif dalam usaha-usaha memberikan pengaruh apabila hal terlihat sah oleh orang-orang yang terkena tindakan-tindakan anda tersebut.
8. Kenalilah bahwa hasil-hasil itu seringkali tergantung kepada lebih dari satu segi seperti halnya keterampilan atupun usaha-usaha anak buah kita saja, karena hal itu juga mencakup pembatas-pembatas kontekstual dan sikap perilaku kepemimpinan anda sendiri. Berusaha dalam segala sifat-siifat yang selaras antara anda dan anak buah anda serta dilakukan baik secara prestasi individual ataupun secara prestasi kelompok.
9. Berusahalah agar kita sensitif terhadap batas-batas posisi otoritas kita. Usahakan untuk mengembangkan suatu kewenangan pribadi yang dapat menggambarkan peran-peran ataupun posisi-posisi yang spesifik. Kenali segera perubahan-perubahan situasi yang menuntut penyelesaian dalam kaitan hubungan antara pemimpin dan pengikutnya.
10. Kenali kenyataan adanya konflik kepentingan tersebut sebagai sesuatu yang normal untuk para anak buah anda. Nyatakanlah pemahaman anda tersebut dengan cara mendiskusikan dilema potensial itu secara terbuka. Kembangkan suatu pengharapan yang jelas yang dapat membantu meminimalisir perilaku yang berpengaruh kurang baik bagi terciptanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
11. Dapatkanlah penghormatan dari bawahan anda dan ciptakanlah serta pertahankan kepercayaan terhadap diri anda itu dengan cara menyediakan sumber daya sumber daya yang diperlukan dan memuatkan usaha-usaha kita dalam pencapaian sasaran kelompok. Tonjolkanlah prestasi prestasi pencapaian individual maupun kelompok.
12. Perlihatkan perhatian yang nyata terhadap tugas-tugas dan produktivitas sebagaimana juga terhadap faktor-faktor manusia dan hubungan antar mereka. Jadilah pribadi yang senang mendukung dan membantu terciptanya interaksi tersebut, tekankan kepada sasaran-sasaran dan bantulah anggota-anggota kelompok tersebut untuk dapat mencapai hal itu.
13. Usahakanlah agar anda dapat berlaku seluwes mungkin. Sesuaikanlah pola sikap perilaku anda agar dapat sesuai dengan situasi termasuk dengan para pengikut anda. Namun demikian juga usahakanlah untuk tetap pada kerangka pola sikap perilaku yang menyenangkan baik diri anda sendiri. Terlampau berusaha untuk menyesuaikan diri dengan dasar-dasar yang sesungguhnya tidak selaras dengan dasar pola sikap tingkah laku anda akan dapat megakibatkan suatu konsekuensi yang negatif.

PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan ini dapat kita simpulkan bagaimana strategi kepemimpinan yang efektif untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kita belajar dari kepemimpinan masa lampau dimana keefektifan kepemimpinan seseorang tergantung dari antara lain:
1. Mau belajar dari kondisi lapangan karena setiap tempat mempunyai karakter yang berbeda atau perilaku manusianya.
2. Mempunyai modal ilmu yang lebih tinggi dari lingkungan perihal pengalaman bisa belajar dari orang-orang sekitar, Learning by doing and teaching by example.
3. Mempunyai ketegasan dalam bertindak untuk kelancaran goals yang akan dicapai. Kalau ada kesalahan pelaksanaan bisa diperbaiki sesuai dengan tujuan.
4. Bijak dalam bertindak terhadap semua komponen yang ada jangan peraturan atau kesepakatan hanya berlaku bagi orang-orang tertentu dan bagi yang lainnya bisa diatur sesuai selera dan ingat bahwa keputusan diambil, oleh orang yang hadir bukan oleh orang yang tidak hadir.
5. Melaksanakan tugas adalah suatu pengabdian mempunyai talenta yang berbeda sesuai dengan pemberian Tuhan. Memegang sesuatu tidak boleh seperti Maniop banggar taraso milas dipalua tetapi harus “golom ria ria” (tidak diterjemahkan) pegang dengan keras maka ria-ria yang pinggirannya sangat tajam tersebut akan lumat dan hancur didalam genggaman kita. Tidak percaya boleh coba walaupun itu “hanya petuah” dari nenek moyang kita tetapi masih relevan untuk diterapkan dalam kepemimpinan masa kini. Setiap hari mempunyai masalah sendiri untuk itu sesuai dengan pesan pada Buku Tulis tahun 1950 an tertulis sebagai berikut : Don’t wait till tomorrow what you can do today.Tuhan tetap bersama kita semuanya, Amin dan Horas.

(Penulis adalah Kamaruli Pohan Siahaan, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Januari 2010)

Sabtu, 16 Januari 2010

ARTIKEL: MENGAJAR ANAK BERDOA

Doa adalah suatu hak istimewa kita yang sebenarnya Tuhan berikan untuk setiap anak-anakNya. Allah menghendaki adanya hubungan yang erat dengan anak-anakNya. Dan satu cara yang Allah inginkan untuk membangun hubungan tersebut adalah DOA.
Doa bukan saja menjadi salah satu cara untuk berkomunikasi dengan Allah, melainkan juga merupakan wujud kebergantungan kita kepada Allah. Oleh karena itu, para guru Sekolah Minggu, orang tua dan para pelayan anak perlu mengajarkan prinsip-prinsip doa yang benar kepada anak-anak agar mereka dapat mengalami pertumbuhan rohani yang sehat pula dalam doa. Beberapa hal berikut ini merupakan hal-hal yang dapat kita sampaikan mengenai doa kepada anak-anak, dan kita dapat mengembangkannya sendiri menurut kebutuhan dalam pelayanan kita.
a. Allah mengasihimu—tanpa syarat; Dia ingin mendengar dan menjawab doamu.
Anak-anak harus diyakinkan bahwa Allah selalu mendengarkan doa mereka, bahkan jika mereka baru saja melakukan hal-hal yang tidak disenangiNya, Allah akan mengampuni mereka. Allah selalu tahu apa yang ada di dalam hati kita. Sangat penting untuk selalu jujur dan benar, terutama di hadapan Allah.

b. Apakah doa itu?
1. Sangat penting untuk mengajarkan kepada anak bahwa doa kita bukanlah sekedar permohonan untuk mendapatkan segala sesuatu yang kita mau dari Tuhan. Doa adalah cara yang Tuhan pakai untuk menyatakan kehendakNya di dunia ini. Caranya adalah dengan berkomunikasi dengan umatNya. Doa dapat mencakup seluruh dunia dan seakan-akan menyatukan dunia dengan surga.
2. Doa menyatakan dengan bebas apa yang ada di dalam hati kita kepada Tuhan. Komunikasi ini berkembang sesuai dengan semakin intimnya hubungan kita dengan Tuhan. Doa adalah menceritakan kepada Tuhan segala ketakutan, kekuatiran, dan perhatian kita. Hal tersebut berarti kita bercerita kepada Tuhan tentang masalah, kebutuhan, atau hal-hal yang tidak kita mengerti. Dengan doa, kita juga mengucap syukur kepada Tuhan. Doa adalah percakapan kita dengan Tuhan. Kita dapat berbicara kepadaNya seperti kita berbicara kepada teman kita.

c. Apakah Tuhan selalu menjawab doa kita?
Ya, Tuhan selalu menjawabnya, tetapi jawabanNya tidak selalu sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Dia dapat berkata: ‘Ya’. ‘Tidak’, atau ‘tunggu’. Tuhan menjawab doa kita untuk memberikan apa yang benar-benar kita butuhkan dan diberikanNya di waktu yang tepat. Kadang waktunya tidak sesuai dengan waktu kita, tetapi Tuhan tahu bahwa penting bagi kita untuk menunggu. Dia selalu tahu apa yang kita inginkan dan kita dapat mempercayai bahwa Dia akan melakukan apa yang terbaik untuk kita.

d. Bagaimana seharusnya kita berdoa?
1. Di dalam nama Tuhan Yesus.
Hal yang paling penting dalam mengajarkan doa kepada anak-anak adalah bahwa doa harus selalu dilakukan dalam nama Tuhan Yesus. “dan apa juga yang kamu minta dalam namaKu, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak. Jika kamu meminta sesuatu kepadaKu dalam namaKu, Aku akan melakukannya” (Yohanes 14:13-14).
2. Bagian-bagian dalam doa
Tidak ada suatu aturan/pola tertentu mengenai doa, tetapi hal tersebut dapat menolong anak-anak. Beberapa orang dewasa membagi doa ke dalam beberapa bagian yaitu doa penyembahan (adoration), pengakuan dosa (confession), ucapan syukur (thanksgiving), atau permohonan (supplication). Untuk anak-anak, kita dapat menyampaikannya dengan kata-kata yang lebih sederhana untuk membagi doa, misalnya memuji dan menyembah Tuhan, mengakui dosa-dosa kita, berterima kasih kepada Tuhan, berdoa untuk kebutuhan orang lain, dan berdoa untuk kebutuhan pribadi kita.

e. Kapan seharusnya kita berdoa?
Beberapa anak tahu dan memiliki waktu-waktu tertentu untuk berdoa, sebelum makan dan tidur di malam hari. Saat mereka telah menyadari bahwa Allah selalu mendengarkan mereka dan Dia tidak pernah berlibur atau tertidur, itu berarti anak sudah siap untuk menerima pengajaran bahwa kita dapat berbicara dengan Tuhan di waktu-waktu tertentu, atau sesering mungkin. Penting bagi anak untuk mengetahui bahwa mereka dapat berbicara kepada Tuhan kapan saja mereka membutuhkan atau kapan saja mereka ingin menyatakan sukacita atau ucapan syukur mereka. Penting pula bagi mereka untuk tahu bahwa ada waktu-waktu khusus yang bisa ditetapkan untuk berdoa secara pribadi dan ada waktu lain dimana kita perlu berdoa bersama-sama dengan orang lain.
Satu cara yang baik untuk memberikan ilustrasi bahwa doa pribadi dapat dilakukan setiap saat adalah dengan menyatakan teladan Yesus, yang memiliki waktu yang berbeda-beda untuk berdoa. Beberapa diantaranya adalah doa pagi (Mrk 1:35), doa sore (Mrk 6:46-47), dan doa malam (Luk 6:12).

f. Apakah cara kita berdoa itu penting?
Ya, kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh, dengan diam-diam, dan dengan penuh hormat.
Berdoa secara sungguh-sungguh berarti berdoa dengan kata-kata yang jelas, di mana kita hanya mengatakan apa yang akan kita maksudkan untuk kita ucapkan. Ini juga berarti kita tidak mencoba untuk menggunakan bahasa yang berpura-pura atau kata-kata yang lucu. Kita menceritakan apa pun yang ada dalam pikiran kita dalam kata-kata yang biasanya kita gunakan karena Dia mengasihi dan mengenal kita, serta berkeinginan untuk memperhatikan kita.
Berdoa secara diam-diam berarti melakukan sikap berdoa sendirian. (Beberapa orang menyebutnya dengan ‘SaatTeduh’.) Hal tersebut berarti setiap hari kita meluangkan waktu untuk berbicara dengan Tuhan, semuanya dari diri kita sendiri. Kita berdoa tidak terbatas hanya pada saat berada di gereja, makan, atau menjelang tidur bersama ibu dan ayah.
Berdoa dengan penuh hormat berarti menempatkan Allah sebagai Allah. Hal itu berarti kita tidak menjelaskan doa kita atau bertindak seolah-olah kita bodoh. Kita berbicara kepada Tuhan, Pencipta semuanya, Tuhan atas jagad raya, dan Tuhan atas segala tuan sehingga kita harus menunjukkan rasa hormat kepadaNya.

Mengajar anak berdoa
Berdoa atau mendidik anak untuk bisa berdoa dengan baik adalah sangat penting, karena kita sendiri juga sudah merasakan manfaatnya. Tetapi masalahnya kapan mau dimulai atau bagaimana caranya kita memulai itu yang kadang-kadang banyak orang tua cukup kesulitan. Sebenarnya bagaimana mengajar anak untuk bisa berdoa sendiri? Semua itu tentu perlu bertahap. Anak perlu dibiasakan berdoa sejak kecil, kalau menunggu mereka remaja baru diajarkan berdoa mungkin ada rasa malu atau rasa segan bagi anak-anak tersebut. Karena itu perlu mengajarkan anak berdoa sejak dini, sejak kecil.
Bagaimana mengajar anak berdoa, untuk berbicara pada sesuatu yang dia sendiri tidak lihat? Pertama-tama yang perlu kita perhatikan adalah contoh dari orang tua lebih dulu, meskipun anak-anak ini mengerti berdoa, berkata-kata kepada sesuatu pribadi yang tidak kelihatan langsung, tetapi sikap berdoa itu mungkin yang perlu kita ajarkan dan kita contohkan terlebih dulu. Bukan yang terutama orang tua menjelaskan dulu kepada siapa kita berdoa dan sebagainya, karena itu tidak relevan dan tidak akan dimengerti oleh anak, tetapi justru akan menimbulkan berbagai pertanyaan yang kurang perlu. Jadi, pertama-tama adalah kita mengajarkan kebiasaan berdoa lebih dulu.
Perihal berdoa ini sebenarnya kita bisa ajarkan kepada anak sejak anak itu masih bayi, saat dia belum mengerti apa-apa. Misalnya waktu kita menggendong anak-anak, kita mengajak mereka bercakap-cakap, kadang-kadang di dalam percakapan ini kita tanya sendiri, kita jawab sendiri dan di antara itu kita selipkan doa-doa kita. Dengan demikian anak-anak ini meskipun belum mengerti, tapi mereka menghayati suasana doa dan kemudian ketika anak tersebut semakin besar, ketika mereka sudah bisa diajak berkomunikasi meskipun mereka belum bisa berbahasa atau berbicara dengan bahasa yang kita gunakan, mereka kita ajak untuk misalnya melipat tangan, menutup mata dalam sikap berdoa dan kita sendiri yang berkata-kata. Peran ibu sangatlah besar karena anak lebih banyak waktunya dengan ibu. Ayah juga penting. Kelihatannya memang ayah tidak sering, mungkin tidak sering merawat bayi seperti ibunya, tetapi ayah juga perlu mendoakan anaknya, terutama waktu malam anak mau tidur, ayah bisa mengajak anaknya untuk berdoa.
Pada waktu anak-anak masih sangat muda dan mulai bisa berkata-kata, sesuai pola pikir anak yang sederhana, kita bisa mengajarkan misalnya Terima kasih Tuhan atau Terima kasih Bapa, amin! Ketika anak bertambah besar dan dia semakin banyak perbendaharaan katanya kita boleh tambahkan lebih panjang lagi.
Yang penting disini adalah kita menanamkan sikap berdoa dulu waktu kecil dan ada baiknya ketika anak-anak sudah mulai berkata-kata, anak diajak untuk menghafal doa. Demikianlah perkembangannya, jadi anak-anak mendoakan temannya, mendoakan kakaknya atau adiknya, mendoakan ayah ibunya.
Biasanya sekalipun anak sudah terbiasa memimpin doa di rumahnya sendiri,kadang-kadang bila ada temannya atau saudaranya yang menginap di rumah, anak menjadi enggan berdoa. Dalam hal ini, mungkin kita bisa berikan contoh lebih dulu, kita katakan bahwa setiap orang di sini memimpin doa secara bergiliran. Jadi ayahnya berdoa lebih dulu dengan kata-kata yang pendek, singkat, supaya anak tidak minder, kemudian ibunya juga berdoa dan kemudian giliran anak dan kemudian tamunya. Jadi dengan cara ini, anak-anak lebih tertolong dari rasa malunya. Kalau cara demikian tidak bias dijalankan orang tua dapat memimpin doa, “OK, mungkin kamu masih malu ya”, kita berdoa sama-sama, jadi ayah atau ibu yang memimpin doa kemudian diikuti oleh anak-anak.
Sikap doa yang perlu kita ajarkan pada anak-anak adalah ketika sering kali anak-anak ini kerena mereka suka bermain, sehingga mereka tidak bersikap hormat. Kita harus ajarkan kepada mereka bahwa sikap hormat waktu berdoa sangat penting dan kemudian juga kita harus ajarkan tentang kerendahan hati dan kekudusan waktu kita berdoa di hadapan Tuhan. Kita ingat saja waktu Yesus memberi perumpamaan tentang membandingkan kehidupan doa orang Farisi dengan pemungut cukai, di sana mengajarkan tentang kerendahan hati seorang pemukut cukai yang doanya diterima oleh Tuhan. Demikian juga tentang kekudusan, ketika ada dosa di dalam diri kita, kita tidak bisa berdoa dengan baik di hadapan Tuhan.
Anak-anak mempunyai daya ingat yang cukup kuat. Tuhan Yesus mengajarkan sebuah doa yang cukup panjang mungkin bagi anak-anak, yaitu Doa Bapa Kami. Pada sekolah Kristen/katolik anak diajar menghafalkan sebuah doa. Hal ini memang perlu dilakukan. Contoh Doa Bapa Kami memberitahukan bagaimana seharusnya kita berdoa. Paling sedikit di sana banyak prinsip-prinsip yang kita bisa pegang dengan demikian kita juga akan lebih mudah mengajarkan anak-anak bagaimana seharusnya berdoa dan apa saja yang perlu ada di dalam suatu doa.
Untuk menghindari dampak anak sudah hafal doa lalu diucapkan seperti otomatis, kita juga harus membiasakan anak juga untuk berdoa secara bebas. Jadi kita berusaha melatih mereka untuk berdoa mengucapkan apa saja kepada Tuhan. Kita katakan kepada mereka bahwa Tuhan itu adalah selain Dia itu Raja di atas segala raja yang kita harus betul-betul hormati, kita harus hidup kudus di hadapanNya sebelum kita berdoa, tetapi dia juga sayang kepada anak-anak. Dia juga dekat kepada anak-anak dan Dia juga mengasihi kita semua, Dia adalah seorang Bapak yang penuh kasih. Kita sebagai anak Tuhan boleh meminta apa saja dan boleh berkata-kata apa saja sama seperti anak-anak berkata-kata kepada ayah ibunya sendiri. Dan kemudian kita juga perlu tegaskan kepada anak-anak bahwa Yesus itu sangat menghargai anak-anak. Dengan demikian anak-anak yang polos, yang selalu berdoa dengan kejujuran hatinya ini merasa dikuatkan dan mereka akan lebih berani untuk mengucapkan doa, meskipun dengan kesalahan-kesalahan kita harus maklumi itu. Seorang anak memimpin doa makan, tetapi ada juga saudara-saudaranya di situ. Ditengah-tengah doanya mungkin dia kehabisan kata-kata, lalu terdiam, tidak bias melanjutkan doanya. Saudara-saudaranya mentertawakan. Sikap orang tua sangat penting dalam hal ini. Bila anak belum ditertawakan oleh saudaranya, begitu anak ini terdiam, kemudian ditunggu sementara waktu, orang tua boleh membantu dengan melanjutkannya kemudian langsung diakhiri. Bila dia sudah ditertawakan saudaranya, orang tua wajib untuk mendidik, mengatakan kepada anak-anak yang lain, jangan ditertawakan karena kita semua tidak ada yang berdoa dengan sempurna dan Alkitab mengatakan Roh Kudus sering kali membantu kita berdoa dalam kata-kata yang kita sendiri tidak bisa ucapkan. Kita katakan bahwa kita harus betul-betul hormat di hadapan Tuhan dan bahwa Tuhan menghargai apapun doa kita, meskipun itu dengan ada kesalahan-kesalahan seperti itu. Kita juga harus memuji anak ini bahwa bagaimanapun juga kamu sudah berusaha dengan baik dan Tuhan menghargai doa kamu, tidak sempurna tidak apa-apa. Seperti kamu belajar di sekolah, semua harus ada tahap demi tahap pembelajaran.
Dengan berdoa, anak ini akan selalu merasa dia harus hidup di hadapan Tuhan dan tidak bisa lari dari hadirat Tuhan. Dan ketika dia dewasa ada kemungkinan dia akan mengingat masa-masa indah ini dimana dia berdoa bersama keluarganya, dia diajarkan untuk berdoa. Kita tidak selalu bisa mengawasi anak-anak kita, tetapi kalau anak-anak kita terbiasa hidup di dalam doa dia akan hidup di hadapan Tuhan dan Tuhan sendiri yang akan mengawasi dia pada saat kita tidak bisa mengawasi kehidupan mereka.
Apa yang dilakukan anak dalam doanya di masa kecil mempunyai dampak di masa depannya. Pasti ada kenangan yang indah ketika anak ini berdoa, misalnya suatu ketika mereka meragukan apakah doa saya didengar, mungkin juga ketika tumbuh remaja mereka berpikir apakah Tuhan sungguh-sungguh ada, dsb. Tetapi kenangan-kenangan ini akan mengingatkan mereka, ada doa-doa yang pernah dijawab, ada doa yang membuat kita semua merasa terharu dan itu yang diharapkan akan menjadikan anak-anak kita itu selalu ingat untuk hidup di dalam doa.
Pada waktu anak meminta sesuatu mainan atau lainnya, ingin mendapatkan sesuatu, orang tuanya berkata agar anak berdoa kepada Tuhan. Namun kita tidak boleh menjanjikan pada anak bahwa apa yang didoakan itu pasti akan terkabul. Kita semua harus belajar pada doa Tuhan Yesus di Getsemani, dimana Dia berdoa agar Dia tidak usah minum cawan pahit itu, tetapi biar kehendak Tuhan yang terjadi. Jadi ketika anak-anak sering kali mengajukan keinginan kekanak-kanakannya akan suatu mainan, kita katakan bahwa kalau misalnya sesuatu itu mungkin berbahaya, mungkin tidak berguna atau kadang-kadang Tuhan memikirkan sesuatu yang lebih dari itu, maka ada kemungkinan permintaan itu tidak dipenuhi. Dan dalam situasi demikian kita bisa mengajar kepada anak-anak untuk lebih berpikir secara dewasa, untuk menahan diri, dan berdoa tidak hanya sekedar memuaskan hawa nafsu seperti yang dikatakan oleh Alkitab.
Sebaliknya, bila doa anak ini sudah terkabul, kita bisa katakan bahwa kita harus mengucap syukur. Karena sering kali kita mengajar anak untuk berdoa waktu dia sakit dan kita sering kali lupa ketika anak itu sudah sembuh kita minta anak untuk mengucap syukur. Disinilah kita mengingatkan bahwa ketika anak sudah sembuh kita Tuhan sudah menjawab doa, meskipun itu misalnya lewat dokter dsb, tetapi yang jelas bahwa Tuhan memberikan kekuatan untuk sembuh, karena banyak orang juga tidak bisa sembuh. Dan kemudian kita mengajak anak itu berdoa dan mengucap syukur dengan demikian anak ini tahu bahwa doanya sudah dikabulkan.
I Samuel 1:27-28, “Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang ku minta daripadaNya. Maka akupun menyerahkannya kepada Tuhan; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan, lalu sujudlah mereka di sana menyembah kepada Tuhan’. Ayat ini mengisahkan tentang Hana yang mendapat anak yaitu Samuel dan dia mengucap syukur. Sikap Hana tersebut penting bagi orang tua yaitu bagaimana orang tua ini menyerahkan anak-anaknya kepada Tuhan. Di dalam doanya orang tua mengatakan demikian, seumur hidup terserah anak saya mau dipakai Tuhan seperti apa. Sikap demikian penting sekali.
Sekarang kita lebih mengerti sangat pentingnya kehidupan doa dan kita semua juga akan memulai bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun beratnya, tetapi itulah panggilan yang Tuhan berikan kepada kita, Saat Ini!
Selamat menjalani kehidupan doa bersama keluarga!

(Penulis adalah Monalita Hutabarat, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Mei 2009)

Rabu, 13 Januari 2010

ARTIKEL: SELUK BELUK TES PSIKOLOGI

Entah kenapa, kata Tes Psikologi (yang lebih sering disingkat menjadi Psikotes), terutama bagi kebanyakan orang, kerap merupakan momok yang cukup menakutkan. Kenapa begitu? Bisa jadi karena cerita dari mulut ke mulut mengenai sulitnya menghadapi psikotes. Bahkan saya seringkali dihinggapi pertanyaan dari teman-teman atau saudara seputar psikotes, “Ta, gimana sih caranya biar lulus psikotes?” atau ”Ta, kasi gw kisi – kisi soal psikotes yg dari kampus lo dong..” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Dalam penggunaannya, umumnya psikotes berkembang terus secara meluas, namun khusus di Indonesia psikotes sepertinya tidak berkembang melesat. Hal ini bisa kita lihat dari jenis-jenis psikotes yang digunakan oleh beberapa pihak, seperti perusahaan ataupun sekolah. Memang harus kita akui bahwa psikotes kita masih berorientasi pada psikotes – psikotes yang ada di luar negeri, seperti Amerika, Eropa, dan Australia sehingga sebenarnya ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan sebelum kita menggunakan psikotes tersebut di Indonesia, seperti tes tersebut merupakan sampel tingkah laku yang representatif dari domain / ranah tingkah laku yang diukur, standarisasi tes, obyektivitas tes, reliabilitas tes, validitas tes, dan norma tes. Oleh karena itu, melalui artikel ini, saya akan mencoba menjelaskan mengenai psikotes, mulai dari pengertian psikotes sampai dengan bagaimana cara kita mempersiapkan diri sebelum mengikuti psikotes tersebut.

Pengertian Psikotes
Menurut Anastasi, psikotes adalah pengukuran yang standar dan obyektif dari suatu sampel tingkah laku. Hal ini juga didukung oleh Kaplan & Saccuzzo yang menyatakan bahwa psikotes adalah seperangkat item – dimana item adalah stimulus spesifik yang dapat memancing tingkah laku yang tampak agar dapat diukur / dinilai / diberi skor. Dari dua pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa psikotes adalah penyelidikan suatu tingkah laku dengan menggunakan beberapa pertolongan berupa pertanyaan dan tugas-tugas khusus yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran suatu sifat seseorang / dibandingkan dengan orang lain.

Penggunaan Psikotes
Ada tiga bidang utama dimana psikotes mempunyai peran besar, yaitu penggunaan tes di bidang pendidikan, pekerjaan, dan psikologi klinis dan konseling. Namun, saat ini saya hanya menitikberatkan penggunaan psikotes pada bidang pendidikan dan pekerjaan.
1. Psikotes di bidang Pendidikan
Hampir semua jenis tes digunakan di lingkungan sekolah, seperti tes intelegensi, tes bakat, tes kepribadian. Semuanya diperlukan sebagai materi kerja dari konselor pendidikan dan psikolog sekolah. Ada jenis-jenis tertentu yang khusus diciptakan dengan keperluan peramalan dan klasifikasi dalam kegiatan pendidikan. Adapun contoh-contoh tes pendidikan, seperti;
Tes prestatif, dimana dirancang untuk mengukur hasil dari sebuah program belajar dan pelatihan, sehingga umumnya hanya menggambarkan bagaimana keberhasilan seseorang setelah mengikuti pelatihan tertentu. Oleh karena itu, penggunaan tes ini biasanya untuk penerimaan siswa atau mahasiswa baru.
Tes bakat, dimana dirancang untuk menggambarkan pengaruh kumulatif daari berbagai pengalaman kehidupan sehari-hari sehingga tes ini dapat memperkirakan kualitas prestasi dalam situasi baru. Oleh karena itu, penggunaan tes ini biasanya untuk mengetahui peminatan / penjurusan siswa.
2. Psikotes di bidang Pekerjaan
Psikotes merupakan bagian dari rangkaian seleksi sebuah lowongan kerja, yang kerap memiliki arti penting. Psikotes, percaya atau tidak, merupakan perangkat untuk menangkap kecenderungan para pelamar, yang meliputi kemampuan intelektual atau kepribadian. Dua hal ini tentunya akan disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan yang tersedia. Oleh karena itu, psikotes banyak digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan, baik untuk kepentingan konseling individual maupun dalam hal yang berkaitan dengan tujuan seleksi, penempatan, dan evaluasi kerja. Hal terpenting dalam memilih dan menempatkan seseorang pada sebuah jabatan / pekerjaan adalah adanya kesesuaian antara ciri-ciri orang tersebut dengan persyaratan jabatan / pekerjaan yang ada. Itu sebabnya validitas psikotes untuk bidang pekerjaan menjadi sangat penting. Tes harus mampu mengukur ciri yang dipersyaratkan oleh jabatan atau mampu meramalkan keberhasilan seseorang dalam menjalankan suaut pekerjaan tertentu.
Model psikotes yang dilakukan biasanya akan dipengaruhi oleh kualifikasi terhadap posisi yang dibutuhkan perusahaan yang bersangkutan. Untuk posisi tinggi semisal CEO atau tingkat managerial, akan dibutuhkan proses yang relatif lebih rumit dan perangkat tes yang lebih beragam.
Biasanya terdapat 3 aspek pokok yang diungkap dalam psikotes. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan integritas yang tidak bisa dipisahkan secara segmentatif. Hasil dari ketiga aspek ini, nantinya akan menentukan "kualitas" seseorang.
Aspek Pertama, aspek kecerdasan umum atau intelegensi yang untuk mendeteksinya, dibutuhkan sebuah alat tes yang memancing kemampuan intelegensi umum dan kemampuan khusus. Alat tes yang biasa digunakan bisa berupa tes verbal, non-verbal dan performance.
Aspek kedua, karakteristik/perilaku kerja. Hal ini meliputi berbagai unsur: kecepatan, ketelitian, perencanaan dan semacamnya, biasanya disesuaikan dengan kebutuhan khusus pekerjaan.
Aspek ketiga adalah aspek kepribadian. Hal ini biasanya mencerminkan sisi-sisi unik seseorang. Untuk menggali aspek ini, dibutuhkan ketajaman dan kepekaan psikolog. Untuk menghindari hal-hal yang subyektif seperti marah atau tersinggung, dibutuhkan pengalaman yang memadai.
Persiapan Mengikuti Psikotes
Kalau Anda merasa cukup normal dan tidak pernah mengalami gangguan kecemasan yang berlebihan, cobalah untuk tenang dalam mengikuti psikotes. Proses seleksi adalah kegiatan yang lumrah dilakukan untuk mendapatkan calon terbaik dari sejumlah calon yang tersedia. Proses itu diadakan justru untuk memberi kesempatan pada para pelamar untuk menunjukkan kualitasnya agar bisa diketahui mana yang sesuai dengan harapan. Jadi, psikotes dalam proses seleksi adalahajang dimana Anda diberi kesempatan untuk menunjukkan potensi kemampuan Anda semaksimal mungkin. Oleh karena itu, fokuslah pada hal-hal yang akan membuat Anda nanti cukup nyaman, tenang untuk mengerjakan tugas serta dapat berpikir jernih. Jangan membebani diri dengan berbagai kecemasan.
Hal-hal berikut ini mungkin tampak sepele, tapi beginilah seharusnya tindakan yang tepat untuk mengikuti psikotes:
1. Memahami apa itu psikotes dan proses yang akan anda lalui
Dengan membaca artikel ini dari awal, cobalah Anda mengerti tentang psikotes sehingga Anda akan mendapat gambaran tentang apa itu psikotes. Jika belum memadai, carilah informasi tambahan dari sumber yang bisa dipercaya (literatur, referensi dari internet, kenalan psikolog). Proses psikotes memang bisa saja berbeda dari satu tempat dengan tempat lain, tapi biasanya ada sesuatu yang berlaku umum. Pemahaman ini akan membuat Anda tidak mengembangkan imajinasi sendiri yang keliru sehingga psikotes terasa lebih mencemaskan dari yang sebenarnya.
2. Mencari informasi yang memadai tentang penyelenggaraan psikotes
Biasanya penjelasan tentang penyelenggaraan psikotes sudah disertakan dalam pengumuman atau surat panggilan. Pastikan Anda mendapat informasi yang tepat tentang hari dan waktu. Tanyakan pada penyelenggara. Sedapat mungkin cari juga informasi tentang durasi penyelenggaraan psikotes, apakah 2-3 jam saja, atau hingga sehari penuh. Pastikan pula apakah Anda harus hadir jauh lebih awal karena ada proses registrasi. Anda pun harus mengetahui dimana lokasi penyelenggaraan secara jelas. Kemudian pastikan Anda paham kelengkapan apa yang harus dibawa. Alat tulis apa saja? Apakah tersedia meja tes atau Anda harus membawa clipboard (papan kecil alas menulis)? Jika diberikan kesempatan, tanyakan juga pada panitia penyelenggara, hal-hal lain yang Anda anggap perlu diketahui. Kelengkapan informasi ini juga untuk mengurangi kecemasan Anda.
3. Menyiapkan kondisi fisik dan penampilan
Psikotes menghendaki Anda bekerja seoptimal mungkin, oleh karena itu minimalkan hal-hal yang bisa mengganggu. Pastikan kondisi fisik Anda cukup prima, cukupkan tidur pada hari-hari menjelang psikotes. Pilih pakaian yang rapi tapi cukup nyaman untuk bekerja dalam waktu panjang. Selain itu, kadang-kadang ruang tes ber-AC dingin, atau mungkin tempat duduk Anda tepat pada sasaran hembusan AC. Antisipasi dengan membawa blazer atau jaket yang cukup rapi. Jika tidak digunakan, Anda bisa meletakkannya di punggung kursi. Kalaupun diijinkan menggunakan pakaian bebas, sebaiknya tetap gunakan pakaian rapi.
4. Menyiapkan perangkat yang diperlukan
Jangan sampai Anda mendapat masalah karena perlengkapan yang Anda bawa kurang lengkap. Sudah pasti Anda harus membawa tanda identitas. Bawa KTP asli, dan bawa juga seluruh dokumen terkait. Begitu pula alat tulis yang diperlukan, bolpen, penghapus tinta, pensil, karet penghapus, dan serutan pensil. Perhatikan pensil apa yang diminta, apakah 2B atau HB, atau jenis lain. Siapkan perangkat cadangan, jangan sampai Anda kebingungan ketika bolpen Anda tiba-tiba macet atau pensil Anda patah. Biasanya kecepatan kerja sangat diperlukan sehingga ketika macet atau patah. Lebih baik Anda sudah siap dengan cadangan dan tidak membuang waktu untuk mengganti isi bolpen atau menyerut pensil.
5. Hadir lebih awal
Selain untuk memastikan Anda tidak terlambat, hadir lebih awal juga membuat Anda sempat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Setidaknya ini akan mengurangi ketegangan. Jika Anda hendak membawa kendaraan sendiri, pastikan dulu beberapa hari sebelumnya apakah cukup mudah mencari tempat parkir di sana.
6. Mengikuti proses registrasi dengan baik
Kadang-kadang sebelum psikotes ada proses registrasi dahulu. Perhatikan penjelasan yang diberikan, mungkin Anda diminta mengantri dan menyiapkan sesuatu (misalnya KTP, surat panggilan, atau kartu peserta). Siapkan selagi Anda mengantri, sehingga di meja registrasi Anda tidak sibuk mencari-cari dari tas dan kebingungan ketika yang dicari terselip di antara barang-barang lain. Jangan keliru memberi data pada petugas registrasi dan perhatikan dimana ruang tes Anda, jangan sampai keliru masuk ruangan.
7. Duduk dengan nyaman, rapikan barang bawaan
Ikuti petunjuk dimana Anda harus duduk. Kadang sudah diberi nomor, kadang sekedar berurut, atau bebas memilih. Duduklah dengan nyaman, matikan fungsi dering alat komunikasi dan rapikan barang bawaan Anda. Biasanya instruktur tes tidak menghendaki ada banyak benda di meja Anda karena akan merepotkan Anda sendiri ketika mengerjakan tes. Jika tas Anda diletakkan di bawah, upayakan tidak mengganggu jalan. Kalau sekiranya tempat duduk Anda benar-benar akan mengganggu proses kerja Anda, misalnya kaki kursinya timpang sekali, Anda sedang flu dan tidak tahan hembusan AC, Anda tidak bisa mendengar instruksi atau melihat papan tulis (atau layar proyektor) dengan jelas, atau hal-hal lain yang mengganggu, mintalah ijin dengan sopan pada instruktur untuk pindah tempat duduk sebelum tes dimulai.
8. Dengarkan uraian pembukaan dengan baik
Pada intinya, Anda harus mendengarkan dengan seksama semua informasi yang diberikan instruktur atau panitia penyelenggara. Catat hal-hal yang penting seperti tanggal pengumuman hasil, tempat pengumuman, dan sebagainya. Jangan hanya mengandalkan ingatan. Catat di tempat yang akan dapat tersimpan baik. Jangan hanya dicatat dibalik karcis tol misalnya. Kalau ada yang tidak jelas atau ada informasi tambahan yang Anda butuhkan, jangan ragu untuk bertanya. Jangan menunda hingga tes berakhir, bisa saja Anda lupa, atau instruktur sudah sibuk menata berkas-berkas yang terkumpul. Biasanya peserta akan diberi kesempatan bertanya, gunakanlah sebaik-baiknya.
9. Dengarkan petunjuk umum psikotes
Menjelang pelaksanaan psikotes, biasanya dijelaskan dulu secara umum seperti apa kegiatan yang akan dilakukan, alat tulis apa yang akan digunakan, dan “aturan main” yang akan digunakan. Perhatikan baik-baik. Ingat bahwa dalam psikotes, semua peserta diusahakan dapat bekerja optimal, oleh karena itulah dibuat beberapa “aturan main” yang intinya untuk menjadikan proses kerja berjalan baik. Misalnya saja, bagaimana cara materi tes dibagikan dan dikumpulkan, bagaimana cara mengganti jawaban yang salah, dan sebagainya. Jangan berasumsi ada aturan-aturan yang sengaja dibuat-buat sehingga tidak ada salahnya jika dilanggar. Sekali lagi, ingat bahwa proses ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kualitas Anda, bukan hanya kemampuan intelektual tapi juga sikap kerja.
10. Dengarkan instruksi tes hingga paham betul
Psikotes biasanya terdiri dari serangkaian tugas yang masing-masing diawali dengan penjelasan cara mengerjakannya. Selalu dengarkan baik-baik dan pahami betul apa yang dikehendaki. Meskipun Anda barangkali sudah pernah berkali-kali menghadapi tes serupa, jangan pernah berasumsi Anda sudah tahu dan tidak perlu lagi mendengarkan. Tetap dengarkan petunjuknya, mungkin saja ada sedikit perbedaan. Jika ada yang belum jelas, jangan ragu atau malu untuk bertanya. Anda harus bekerja optimal, sehingga sudah pasti Anda harus tahu dulu apa yang mesti dilakukan. Tugas-tugas dalam psikotes kadang ada yang waktunya dibatasi (sehingga mungkin saja tidak semua peserta bisa menyelesaikan seluruh soal), ada yang harus dikerjakan hingga tuntas. Jika tidak diberi penjelasan, Anda bisa menanyakannya. Tidak perlu harus sampai diperoleh jawaban rinci hingga berapa menit waktu yang diberikan, yang penting Anda bisa mendapat gambaran bagaimana Anda nanti harus bekerja. Tapi informasi alokasi waktu ini jangan justru membuat Anda cemas dan bekerja ngebut tidak karuan.
11. Mulai dan akhiri bekerja sesuai waktu yang ditentukan
Biasanya kapan dimulai dan berakhirnya tes didahului aba-aba dari instruktur. Jangan mencuri start, dan jangan mengulur-ulur waktu menyerahkan hasil kerja untuk bisa meneruskan soal yang belum selesai dikerjakan. Pertama, mencuri waktu adalah sebuah pelanggaran dan tentu bukan perilaku yang diharapkan dari peserta tes. Di dalam psikotes, instruktur dan pengawas biasanya juga membuat catatan observasi. Kalaupun Anda tidak ditegur, mungkin saja perilaku Anda sudah masuk dalam catatan mereka. Kedua, jika jumlah pesertanya banyak, biasanya berkas dikumpulkan dengan cara estafet. Jika Anda masih mencuri-curi waktu untuk bekerja, jalannya estafet akan terhambat dan Anda memperlambat keseluruhan proses. Ketiga, Anda akan menjadi terburu-buru, gugup, dan tidak sempat memanfaatkan jeda waktu untuk menjernihkan pikiran guna mengikuti tugas berikutnya. Keempat, belum tentu “curian kerja” Anda memberi nilai tambah. Kadang-kadang ada tugas yang memang rata-rata orang tidak bisa menyelesaikannya hingga tuntas. Jadi, buat apa ambil risiko kalau konsekuensi negatifnya lebih banyak. Bekerja saja sesuai petunjuk yang diberikan, Anda akan merasa lebih nyaman. Dan jangan terganggu dengan sekitar, Anda tidak perlu tergoda untuk “mengintip” hasil kerja peserta lain, kita tidak tahu jawaban siapa yang benar dan siapa yang salah. Curi-curi “mengintip” juga akan menyita waktu. Hal lain lagi, jika Anda tidak melakukan pelanggaran, jangan cemas jika pengawas melintas atau memperhatikan Anda bekerja. Biasanya mereka hanya sedang memastikan bahwa setiap peserta sudah bekerja dengan benar.
12. Dengarkan uraian penutup dengan baik
Meskipun kegiatan sudah selesai, dengarkan baik-baik uraian penutup yang diberikan instruktur. Biasanya instruktur akan mengingatkan kembali sejumlah informasi yang penting, Anda bisa memeriksa kembali catatan Anda. Jika tidak diinformasikan, jangan lupa tanyakan tindak lanjut dari kegiatan ini supaya Anda tidak melewatkan hal-hal penting, atau pulang masih dengan tanda tanya.
Kesimpulan
Kadang begitu cemasnya orang kalau diminta mengikuti psikotes. Ada yang jauh-jauh hari membeli buku “soal-soal psikotes” dan menghafalkannya. Ada yang berhari-hari mencoba berlatih menggambar orang dan pohon supaya nanti gambarnya bagus seperti karya pelukis profesional. Ada yang menghubungi teman-teman yang sudah pernah “lulus” psikotes dan minta kiat cara mengerjakan soal (kemudian muncullah saran-saran yang belum tentu benar!). Ada juga yang kesana kemari mencari layanan “latihan tes” ke berbagai biro layanan psikologis, berharap bisa mendapat bekal kunci jawaban. Psikotes sudah seperti musuh besar, Anda mencari hal-hal yang Anda pikir akan bisa menaklukkannya.
Inilah yang menjadi persoalan, sebenarnya, hasil sebuah psikotes tidak mengenal adanya dikotomi lulus dan tidak lulus. Hal ini sering menimbulkan kesalahpahaman. Seolah orang yang tidak bisa melewati tahap psikotes, seolah dianggap mempunyai sisi kekurangsempurnaan diri yang membuatnya tidak bisa bekerja.
Psikotes itu sendiri berupaya menangkap sisi kepribadian seseorang, sehingga dibutuhkan spontanitas dan orisinalitas respon/jawaban. Hal tersebut dibutuhkan agar hasil yang diperoleh bisa mendekati akurasi kepribadian yang sebenarnya.
Cukup sederhana bukan? Tapi justru hal-hal sederhana inilah yang acapkali diabaikan peserta sehingga mereka justru menjadikan proses psikotes berjalan kurang lancar. Tunjukkan sikap kooperatif Anda di keseluruhan penyelenggaraan psikotes.
Jadi, perlukah kita “latihan tes”? Biasanya psikotes tidak membutuhkan latihan. Soal-soalnya hanya mengandalkan logika saja. Tugas-tugas seperti menggambar cukup dikerjakan semampu Anda bisa karena bukan untuk melihat ketrampilan menggambar. Tugas-tugas memilih ciri pribadi cukup Anda jawab sesuai keadaan sebenarnya. Jadi, dengan menjadi diri sendiri sudah cukup untuk modal mengikuti psikotes.
Nah, jangan cemas lagi. Psikotes itu hal lumrah dalam proses seleksi, seperti halnya tes bahasa Inggris atau tes kesehatan. Jangan menjadikan psikotes sebagai musuh, tapi hadapi saja dengan bersahabat karena disitulah kesempatan Anda menunjukkan kualitas yang sebenarnya.

-Disadur dari berbagai sumber-

(Penulis adalah Brigitta Rajagukguk, S.Psi., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2009)

Sabtu, 09 Januari 2010

RENUNGAN: ANEKA PRAKARSA DAN BANYAK DOA

“TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku;
Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri;
Engkau mengerti pikiranku dari jauh.

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku,
Ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;
Lihatlah, apakah jalanku sderong,
Dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!”
(Mazmur 139:1-24)

Pendahuluan
Setelah Paskah, yang merupakan perayaan kristiani terbesar, pada bulan Mei ini kita menoleh pada perayaan Hari Kenaikan Yesus yang tampil biasa-biasa saja. Namun kesan lahiriah yang adem tetap menyimpan berita yang hangat dan…tetap mengandung pesan praktis. Itulah antara lain yang hendak kita gali lewat kolom ini.
Tahun Diakonia masih merupakan agenda kita pada bulan-bulan ini. Kita telah membagikan buku Seri Doa Keluarga yang sedianya merupakan konsumsi masa Passion. Menyongsong Hari Kenaikan, kita perlu mengupayakan bentuk-bentuk kegiatan diakonal yang berarti.
Meja redaksi Narhasem mengangkat tema doa. Hal itu tetap relevan mengingat keberlanjutan dari misi Yesus dan penyertaanNya – dengan cara yang baru - yang tetap pada masa penantian gereja akan kedatanganNya kedua kali.

Siklus Hari Raya Gerejawi
Ibarat rites des passages (ritual kehidupan: lahir, masa kanak-kanak, pancaroba, dewasa, menikah dan meninggal) demikianlah gereja kita memusatkan siklus Hari Raya Gerejawi pada peristiwa Kristus (Natal, PelayananNya, PenderitaanNya dan Kebangkitannya). Rangkaian peristiwa yang dimaksud diawali dengan peristiwa kelahiranNya dan memuncak pada peristiwa kematian dan KebangkitanNya. Rangkaian kejadian tentang Kristus dari lahir sampai bangkit yang disebut sebagai peristiwa Kristus ini amat penting bagi perwujudan misi penyelamatan dunia yang telah ditentukan Allah sejak awal.
Namun demikian peristiwa Kebangkitan Kristus tidak mengakhiri ritual gereja. Peristiwa Kristus bukan merupakan rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri. I tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Turunnya Roh Kudus untuk melanjutkan apa yang telah dimulai oleh Yesus. Oleh sebab itu ibadah umat kristiani tidak berhenti pada peristiwa Kristus.
Semula, pada awal abad ke-4 perayaan Hari Kenaikan digabung dengan perayaan Turunnya Roh Kudus. Namun kemudian, pada akhir abad ke-4, Kenaikan Yesus dimajukan sepuluh harisebelum perayaan Tuirunnya Roh Kudus. Perayaan Hari Kenaikan Yesus jatuh pada hari ke-40 setelah Kebangkitan dan aperayaana Turunnya Roh Kudus jatuh pada hari ke-50 sesudah Kebangkitan Yesus. Itu sebabnya disebut juga sebagai hari Pentakosta.
Penamaan Hari Turunnya Roh Kudus sebagai Hari Pentakosta (yang secara hurufiah berarti “lima puluh”) bukan sesuatu yang kebetulan. Hal itu terkait dengan perkembangan awal Kekristenan sebagai kelanjutan (atau lebih tepat pembaharuan) dari Keyahudian. Sebagaimana pada awalnya (pada masa peralihan) orang Kristen beribadah dua kali seminggu (yaitu sekaligus pada hari Sabtu/Sabbat dan pada hari Minggu) maka demikianlah pada awalnya orang Kristen mengadopsi dua Hari Raya besar dalam Keyahudian yaitu: Hari Paskah dan Hari Pentakosta. Hari Paskah, yang dalam Keyahudian dirayakan sebagai perayaan mengenang pembebasan umat Israel dari Mesir melalui Musa, oleh Kekristenan diadopsi dan dirayakan dengan makna baru sebagai peristiwa penebusan umat manusia dari kematian, dosa dan Iblis oleh Yesus (Paskah Kristen dulunya jatuh pada hari Jumat/Kematian, tapi kini lebih ditekankan pada hari Kebangkitan Yesus. Hal itu tidak mengapa oleh karena peristiwa KebangkitanYesus tidak dapat dipisahkan dari KematianNya).
Demikianlah selanjutnya, Hari Pentakosta yang oleh Keyahudian dirayakan sebagai hari panen yang selalu jatuh pada hari ke-50 sesudah Paskah Yahudi (yang digabung dengan Hari Raya Roti Tidak Beragi), oleh Kekristenan diganti sebagai perayaan Hari Turunnya Roh Kudus. Tentang ini D.G. Dix berkata:
“Jika Paskah didramatisasikan sebagai penebusan abadi dari Allah, maka Pentakosta didramatisasikan sebagai penetapan orang Kristen sebagai milik Allah oleh Roh Kudus. Dengan demikian karya penebusan dari Allah itu menjadi efektif.” (R. Rachman, 2003: hl. 89).
Dengan demikian siklus Hari Raya Gerejawi kristiani bukanlah sebuah rangkaian tata perayaan tahunan yang sekali jadi. Ada proses selama berabad-abad sebelum menjadi sistem yang baku. Rangkaian perayaan tahunan ini selanjutnya tidak menyangkal perjalanan dan perkembangan gereja sebagai organisme yang hidup dan berada di tengah-tengah dunia nyata dengan persoalannya yang khas pula. Dengan tema peristiwa Kristus dan kesinambungan kehadiran serta misiNya, umat kristiani merayakan kehadirannya (lewat ritual maupun lewat pelayanannya) di tengah-tengtah dunia ini sebagai umat yang telah melihat peristiwa Kristus yang ajaib dan akan memberitakan peristiwa itu kepada dunia ini.

Pesan Kenaikan Yesus
Setidaknya ada dua hal yang hendak ditekankan dari perayaan Kenaikan Yesus yaitu: Yesus akan datang kembali dan Yesus tetap hadir dalam persekutuan kristiani. Aspek yang pertama memang menebarkan suasana haru yang amat dirasakan kesebelas murid Yesus ketika itu. Mereka tidak bias merasakan lagi pendampingan sebagaimana layaknya dulu: muka dengan muka. Tidak ada lagi yang menampakkan diri di tengah-tengah amereka. Tidak ada lagi Yesus yang memecah roti dan menjenguk mereka ketika kesulitan menjala ikan di danau. Namun demikian suasana haru segera diganti dengan penghiburan dan harapan akan kedatangan Tuhan kedua kali. Bagi Allah tidak ada janji yang tidak terpenuhi. Kedatangan Yesus kedua kali sama pastinya dengan kedatangan matahari pagi. Tidak ada tempat untuk ragu-ragu. Tidak ada waktu untuk bersedih. Ganti keharuan, saatnya untuk menatap masa depan yang sedang menjelang. Sejarah Kerajaan Allah terus melangkah maju. Naiknya Yesus ke surga tidak menghentikan misiNya. Tugas-tugas kerajaan akan dilanjutkan. Dari sini kita masuk kepada aspek yang kedua.
Yang lebih penting lagi adalah bahwa Yesus ternyata tetap hadir dalam perwujudan dan gerak perkembangan Kerajaan Allah. Ia hadir dalam cara berada yang baru di tengah-tengah persekutuan. Meski tanpa visualisasi tubuh yang sudah bangkit namun kuat kuasanya terasakan. Para murid tidak apernah merasa ditinggal sendiri. Tetap ada yang mendampingi. Tetap ada yang menghibur dan menolong. Tetap ada penguatan dan malahan…keajaiban. Tiap-tiap hari adalah pemberitaan Kerajaan Allah yang bergerak pasti serta pendapat dukungan dan penyertaan Allah.
Yesus telah naik, berarti Yesus tidak menampakkan diri lagi kepada kesebelas murid seperti yang Ia lakukan pada pasca kebangkitan. Yang lebih ajaib lagi adalah bahwa Yesus telah naik maka para murid dan orang-orang percaya akan mendapat penyertaan yang amat penting. Di mana Injil diberitakan di sana Yesus hadir. Di mana ada pelayanan di dalam nama Yesus – sekecil apapun itu – maka di sana akan ada penyertaan dan kuat kuasaNya! Siapa takut?

HKBP Semper Merayakan Hari Kenaikan
Menurut tencana, pencangan Tahun Diakonia Distrik 21 Jakarta 3 akan dilaksanakan pada Hari Kenaikan Yesus. Pada saat itu pula gereja kita (HKBP Semper) akan mengadakan penanaman pohon. Dengan itu perayaan Hari Kenaikan Yesus kali ini memberi suasana yang lebih khas yaitu berkaitan dengan agenda pelayanan diakonal yang diharapkan menggema di seluruh jemaat-jemaat HKBP di dalam dan luar negeri. Bagaimana gemanya di HKBP Semper?
Kita merencanakan untuk meluncurkan Tahun Diakonia di jemaat kita bersamaan dengana peluncurannya di tingkat distrik. Kita berharap dapat melakukan penanaman pohon pada Hari H tersebut. Kalau boleh pada waktu yang sama akan digiatkan Poti Parasian kita. Semua peserta ibadah dihimbau untuk memasukkan lembaran seribu ke Poti Parasian mulai pada hari Kenaikan Yesus. Hari H ini diharapkan dapat membakal semangat diakonal gereja kita untuk kemudian membuahkan karya-karya diakonal secara berkesinambungan.
Ada lima prioritas karya diakonal yand ddengungkan di distrik kita yaitu: penanaman pohon, membentuk koperasi, membentuk komisi beasiswa, mendirikan TK dan membuat pos kesehatan (setidaknya membuat pengobatan gratis atau melaksanakan hari donor darah). Dari percakapan yang pernah dilakukan, yang paling mendesak di gereja kita adalah membentuk koperasi dan mendirikan komisi beasiswa. Kita akan menantikan kemungkinan realisasinya.

Inspirasi dari Doa Pemazmur
Di manakah peranan doa gereja dalam tugas-tugas diakonalnya maupun di dalam kehadirannya yang utuh sebagai pengikut Tuhan yang sudah naik ke surga?
Praktek doa memiliki banyak aspek yang tidak mudah untuk diselesaikan dalam satu artikel saja. Tulisan ini juga tidak bermaksud sampai ke sana. Untuk kebutuhan renungan kita akan disoroti hal-hal yang amat menggelitik dari praktek doa Pemazmur (utamanya dengan melihat pasal 139!)
Dari Mazmur pasal 139 kita menangkap sikap si pendoa berhadapan dengan Allah. Dia tidak dapat melupakan begitu saja apa yang telah Allah perbuat baginya. Malahan dia justru berlama-lama dengan uraian rasa takjubnya (sampai 18 ayat: ayat 1-18) sebelum menyampaikan permohonannya (dalam ayat 19-24). Kita melihat bagaimana si pendoa tidak dapat menyembunyikan perasaan dan pengalamannya, dengan kata lain: sikap rohnya dalam mengingat-ingat apa yang selama ini dia alami bersama Allah. Rasa takjub, sikap hormat, suasana hati yang amat tergantung, harapan yang kuat tertuang dalam kata-kata yang meluncur lancar. Si pendoa berkeyakinan: tidak ada bagian dari tubuhnya dan bagian dari jiwanya yang luput dari perhatian dan pengasihan Allah. Tidak ada rentang waktu yang luput, bahkan sejak dalam kandungan. Tidak ada hal yang mencemaskan, bahkan keberadaan di dalam rahim, tempat jika ada masalah tidak ada yang bias kita ketahui dan perbuat oleh karena tempatnya di dalam sana, bahkan di situpun Allah turut mengetahui dan berbuat. Bahkan sampai di dunia orang mati! Si pendoa memperlihatkan bagaimana praktek doa tidak dapat dipisahkan dari hubungan timbal balik antara si pendoa dengan Allahnya. Hampir tidak mungkin untuk menyampaikan permohonan tanpa adanya hubungan yang hidup denganNya.

Penutup
Gereja pasca Kenaikan Yesus hadir menjadi saksi-saksi iman. Gereja tidak tidak hanya menjadi saksi tapi juga menjadi pelaku yang ambil bagian dalam misi mulia penyelamatan dunia secaara utuh. Dunia diciptakan Allah. Allah mengiuti dan memasuki sejarah dunia serta memprakarsai upaya pemulihan dunia melalui perwujudan misi Yesus. Misi Yesus telah mulai dan tidak berhenti oleh karena kenaikanNya. Yesus tetap menyertai misi. Yesus bahkan yang melaksanakana melalui gerejaNya.
Perjalanan gereja pasca Kenaikan Yesus adalah hari-hari yang amat penting oleh karena pada saat itu gereja terpanggil untuk bersaksi, bersekutu dan melayani. Gereja hendak melayani dunia ini sebagai Yesus melayani. Gereja bersaksi kepada dunia ini sebagaimana Yesus bersaksi. Gereja tetap bersekutu dengan Yesus, tapi kali ini dengan cara berada Yesus yang baru.

(Penulis adalah Pdt. Maurixon Silitonga, M.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Mei 2009)

Rabu, 06 Januari 2010

ARTIKEL: ARTI DAN MAKNA KEMATIAN DITINJAU DARI SUDUT AGAMA-AGAMA DAN TEOLOGIS

I. Pendahuluan
Mungkin semua orang tahu, bahwasanya semua makhluk dimuka bumi ini akan mengalami namanya ‘Kematian’. Namun banyak orang-orang yang tak sadar bahwa mereka hidup di dunia ini hanya sesaat, mereka hanya menikmati hidup ini terus menerus serasa mereka akan hidup selamanya. Namun yang perlu diketahui semua perbuatan dimuka bumi ini akan dipertanggung jawabkan. Banyak orang meninggal tiba-tiba. Umur manusia itu tidak ada yang tahu. Kalau sudah waktunya, mau tak mau harus menghadapi hal yang namanya kematian. Cara menghadapi kematian masing-masing orang berbeda-beda. Namun intinya mereka akan tetap menghadapi kematian pada akhirnya.
Kematian itu sendiri, kita tahu, sudah menjadi bagian integral dalam diri manusia. Seperti sajak Soebagio Sastrowardojo “kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa”. Dia begitu intim, begitu dekat, bahkan mungkin melekat. Tapi dia tak seperti sajak-sajak yang menganggap kematian sesuatu yang pasti……tapi nanti! Dan nanti itu bisa berarti sebuah jarak, sesuatu yang belum sampai untuk digapai. “Mati adalah kebalikan dari hidup”. Jadi selama arti mati adalah kebalikan dari hidup, maka tanda-tanda kematian berarti merupakan kebalikan dari tanda-tanda kehidupan, yang nampak dengan hilangnya kesadaran dan kehendak, tiadanya penginderaan, gerak, dan pernapasan, serta berhentinya pertumbuhan dan kebutuhan akan makanan.
Kematian adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya mati secara permanen, baik dari penyebab alami seperti penyakit atau dari penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan. Semua orang tidak akan tahu apa itu kematian, bagaimana rasa kematian, dll. Sampai orang itu merasakan kematian. Bisa saja kematian itu adalah hal yang menyenangkan, atau bisa saja itu hal yang paling mengerikan yang ada didunia.
Ada pepatah seperti ini "when life ends, the mistery of life begins". Jadi, orang-orang akan memulai hidup setelah kematian. Hidup baru setelah habis kematian itu masih misteri, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Yang mengetahuinya hanyalah orang-orang yang sudah merasakan kematian. Andai saja orang-orang yang meninggal itu dapat berbicara. Pasti mereka sudah bercerita apa itu kematian. Namun tidak ada orang yang dapat berbicara setelah meninggal. Kematian itu misteri yang tak akan terpecahkan. Yang dapat kita lakukan sekarang hanyalah berbuat kebaikan, agar mendapatkan kehidupan yang layak di kehidupan yang akan datang. Yaitu kehidupan setelah kematian.

II. Terminologi
Apa definisi ‘kematian’? Suatu pertanyaan sederhana yang kedengarannya sangat gampang untuk dijawab. Kalau seseorang tahu apa definisi ‘kehidupan’, secara
otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, definisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi kehidupan itu sendiri.
Kematian dalam PL berasal dari kata ‘Muth’, bentuk kata kerja yang artinya mematikan, memusnahkan. Dan dalam bentuk kata benda disebut dengan ‘Maweth’, yang dipergunakan dalam arti kematian, yang mati, yang musnah. Kata ini menunjukkan akhir keberadaan segala sesuatu ciptaan Allah sehingga tidak bergerak dan terjadi dalam proses waktu yang singkat.[1] Sedangkan dalam PB, kematian berasal dari kata ‘Teleute’ yang artinya mati (Mat. 2:15). Namun yang sering dipakai adalah kata ‘thanatos’ yang artinya kematian atau proses kematian, atau juga dapat diartikan sebagai pemisah dari jiwa, yang dengan demikian merupakan akhir dari kehidupan, baik yang mati secara alamiah maupun secara kekerasan (Yoh. 11:13 ; Kis. 2:24). Dan dalam arti ini, kata tersebut dihubungkan dengan tempat atau lokasi orang mati di dunia bawah yang diselubungi oleh kegelapan, kebodohan, dan kegelapan dosa (Band. Mat. 4:16). Tetapi juga dipakai kata ‘apothneskein’, infinitif dari tethneka yang artinya adalah kematian (Band. Flp 1:21).[2] Dari beberapa istilah-istilah yang dipakai untuk maut atau kematian dalam Alkitab nampaknya agak berbeda, namun secara umum diakui bahwa maut adalah yang mengerikan dan membinasakan hidup. Hanya Allah saja yang dikecualikan dari maut (1 Tim. 6:16 ; 1 Kor. 15:53-54), maut itu ditakuti manusia dan tidak disukai oleh karena berbahaya bagi hidup.[3] Tetapi Kristus memberikan jaminan bagi manusia (orang percaya) yaitu kehidupan setelah kematian melalui kemenangan untuk menaklukkan maut dengan kebangkitanNya.
Ada beberapa penyebab mengapa orang itu mengalami kematian, yaitu:[4]
- Seiring penuaan usia makhluk hidup, tubuh mereka akan perlahan-lahan mulai berhenti bekerja.
- Jika tubuh tidak mampu melawan penyakit, atau tidak diobati.
- Kecelakaan seperti tenggelam, tertabrak, dan terjatuh dari ketinggian.
- Lingkungan dengan suhu yang sangat dingin atau yang terlalu panas.
- Pendarahan yang diakibatkan luka yang parah.
- Kekurangan makanan, air, udara dan perlindungan.
- Diserang dan dimakan (pembunuhan).
- Infeksi dari gigitan hewan berbisa maupun hewan yang terinfeksi virus berbahaya.
- Kematian disaat tidak terbangun dari tidur.
- Kematian sebelum lahir, karena perawatan janin yang tidak benar.

III. Kematian Menurut Ajaran Agama-Agama
1. Agama Kristen
Kitab Suci memandang kematian sebagai hal yang alami (Maz. 49:11-12) dan sebagai akibat dosa (Kej. 3:19). Kematian adalah musuh terakhir yang harus dikalahkan (1 Kor. 15:26).[5] Kematian ialah perpisahan antara tubuh dan roh. Jiwa atau kesadaran tubuh yang tidak memiliki roh (Yoh. 2:2). Tubuh bersifat sementara atau fana (Rom. 6:12), sedangkan jiwa atau roh kekal (Mat. 10:28). Karena itu, kematian bukan merupakan akhir dari kisah kehidupan manusia. Ketika manusia mati, tubuh insanilah yang berakhir atau lenyap, sedangkan jiwa atau roh manusia tetap hidup. Tidak dapat dikatakan bahwa dengan kematian segalanya hilang tidak berbekas. Sebab pandangan itu memaksa kita juga beranggapan bahwa segala bagian kemanusiaan, entah bagian jasmaniah, entah bagian psikologi atau segala perbuatan dan hasil usaha manusia itu hanya akan menuju kehancuran belaka.[6]
Jiwa orang-orang yang berada di dalam Kristus akan menerima keselamatan roh pergi ke sorga (1 Kor. 5:5), sedangkan jiwa-jiwa yang menolak Yesus akan masuk ke dalam siksaan api neraka (1 Ptr. 3:20). Sesudah itu mereka dihukum untuk selama-lamanya kelautan api kekal (Why 20:15).[7] Katolik Roma, percaya bahwa setelah kematian, jiwa orang yang meninggal berada di tempat penantian, dan jiwa itu dibersihkan sebelum masuk ke dalam ssorga. Protestan, mempercayai bahwa seseorang Kristen akan mati dan jiwanya langsung pergi bertemu Allah di sorga. Jiwa itu menantikan saat dibangkitkan dan kerajaan Kristus akan didirikan di dunia.
Ajaran kitab suci mengenai masalah kematian tidak seragam, melainkan cukup bervariasi, sesuai dengan perubahan pemahaman serta keyakinan bangsa Israel, umat Yahudi dan jemaat Kristen seiring dengan perkembangan dan pengetahuan dan kepercayaan manusia sepanjang sejarah kitab suci. Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas 5 ( lima ) ajaran pokok kitab suci mengenai masalah kematian, yaitu:
- Kematian sebagai akhir kehidupan
Menurut pandangan ini, kematian merupakan akhir yang normal dari kehidupan manusia. Sebagai suatu makhluk hidup yang fana, pada akhirnya manusia memang harus mati (Kej. 3:19). Allah memberikan nafas hidup kepada manusia (Kej. 2:7), supaya mereka dapat hidup untuk jangka waktu tertentu, tetapi tidak untuk selama-lamanya (Kej. 3:22), jikalau sudah sampai pada batas akhir hidupnya, maka manusia akan mati dan pergi “.....menempuh jalan segala yang fana” (Yos. 23:14 ; 1 Raj. 2:2).
- Kematian sebagai lawan kehidupan
Menurut pandangan ini, kehidupan itu selalu ditandai dengan kebaradaan nafas, sedangkan kematian ditandai dengan ketiadaan nafas. Selama suatu makhluk masih bernafas, ia dapat bergerak dan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk lain. Tetapi apabila ia sudah tidak bernafas lagi, maka ia sama sekali tidak dapat lagi bergerak dan berkomunikasi dengan pihak lain. Dalam pandangan bangsa Israel , hidup berarti bernafas (Kej. 2:7), sementara mati berarti tidak bernafas lagi (Kej. 35:18).
- Kematian sebagai perusak kehidupan
Menurut pandangan ini, kematian merupakan suatu kekuatan perusak kehidupan manusia. Mazmur menggambarkan kematian sebagai suatu kekuatan perusak dalam bentuk ‘banjir’ yang setiap saat mengancam seperti ‘musuh’ yang menyerbu masuk melalui jendela untuk membinasakan manusia (Yer. 9:21-22). Hosea melukiskan kematian sebagai ‘binatang buas’ yang mengintip dan siap menerkam mangsanya (Hos. 13:7-8). Kadang pula kematian digambarkan sebagai malaikat pemusnah, hantu malam, senjata serangga yang mempunyai sengat: berupa dosa, sehingga dapat menyebabkan kebinasaan bagi manusia.
ü Kematian sebagai tidur lelap
Menurut pandangan ini, kematian merupakan suatu tidur lelap dan tak pernah bangun lagi. Yeremia juga melukiskan kematian manusia sebagai “jatuh tertidur untuk selama-lamanya, tidak akan bangun-bangun lagi” (Yer. 51:39-57). Anggapan ini juga dianut dalam kitab-kitab lainnya.[8]

2. Agama Islam
Maut atau mati adalah terpisahnya “roh dari zat, jiwa dari badan atau keluarnya roh dari badan atau jasmani. Pada akhirnya, maut adalah akhir dari kehidupan dan sekaligus awal kehidupan (yang baru). Jadi maut bukan kesudahan, kehancuran atau kemusnahan. Maut adalah suatu peralihan dari suatu dunia ke dunia lainnya. Maut dialami manusia hanya sekali. Hal ini digambarkan dalam firman-Nya yang artinya mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya (surga), kecuali mati di dunia (QS.44-56)”.[9] Umat manusia hidup di dunia ini sangat terbatas dan tidak bertahan lama. Setiap manusia mesti mengalami akhir kehidupan itu, yang sering disebut dengan kematian. Hal ini dinyatakan secara tegas Al-Quranul Karim pada S. Ali ‘Imran: 185; “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan baru pada hari kiamatlah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia beruntung. Kehidupan ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.
Kematian itu sesuatu yang mesti terjadi pada seseorang, walaupun ia berusaha menghindari kematian atau berusaha bersembunyi dan berlindung di tempat yang dikira aman. Seseorang tidak dapat lari dan menjauhi kematian. Kematian merupakan awal atau pintu gerbang menuju kehidupan. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa sesungguhnya kematian itu sebenarnya kehidupan. Artinya, jika seseorang ingin hidup terus menerus, maka ia harus mengalami kematian terlebih dahulu. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan abadi. Atau dalam istilah Al-Qur;an, orang yang mati disebutkan “kembali kepada sang pencipta”. Manusia terbagi atas dua unsur yaitu roh/jiwa dan tubuh (jasad) adalah unsur tanah/bumi. Roh atau nyawa manusia adalah zat halus, yang pada waktu mati meninggalkan tubuhnya yang kasar itu. Surat Al-Zumar ayat 47 menggambarkan bahwa kematian sama dengan tidur. Lebih lanjut hadis nabi Muhammad saw, mengatakan: “tidur adalah saudara mati”. Di surga tiada mati, sehingga tiada pula tidur.[10]
Menurut agama Islam, kematian itu adalah perpisahan antara roh dan jasad (tubuh) dan selanjutnya dikubur, tidak lama kemudian akan rusak dan hancur menjadi tanah. Setiap orang pasti takut untuk mati karena akan berpisah dari segala yang disayanginya. Mati berarti pergantian hidup jasad (tubuh) dengan hidup di akhirat, sebagaimana halnya lahir adalah pergantian hidup dalam kandungan ibu dengan hidup di alam bebas. Merasakan mati berarti perasaan bercerai badan dengan rohnya. Imam An-Nasabuni mengatakan bahwa diri (jiwa) seseorang itu selamanya tetap dan yang berubah-ubah itu hanyalah badannya yang kasar. Seseorang itu sejak kecilnya sampai masa tuanya akan mendapati jiwanya yang muda itu juga sampai tua.[11] Dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa jika ajal seseorang sudah datang, maka tidak ada seorang pun yang dapat mengatur atau memajukannya.[12]

3. Agama Budha
Sang Budha bersabda “Kehidupan tidak pasti, namun kematian itu pasti”. Kematian pasti akan datang dan merupakan suatu hal yang wajar, serta harus dihadapi oleh setiap makhluk. Definisi kematian menurut agama Budha tidak hanya sekedar ditentukan oleh unsur-unsur jasmaniah, entah itu paru-paru, jantung ataupun otak. Ketakberfungsian ketiga organ itu hanya merupakan gejala ‘akibat’ atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian itu sendiri. Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih berfungsi sebagaimana layaknya secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan medis. Seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam. Pada unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup.
Ada 3 (tiga) jenis kematian dalam agama Budha:
- Khanika Marana : Yaitu kematian atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan jasmaniah pada tiap-tiap akhir (bhanga). Kematian ini biasanya disebabkan oleh habisnya usia (ayukkhaya), karena habisnya akibat perbuatan pendukung (kammakkhaya) yaitu kematian yang disebabkan oleh habisnya tenaga karma yang telah membuat terjadinya kelahiran dari makhluk yang meninggal tersebut, karena habisnya usia serta akibat perbuatan pendukung (ubhayakkhaya), dan karena terputus oleh kecelakaan, bencana atau malapetaka (upacchedaka). Keempat macam ini bisa diumpamakan seperti empat sebab kepadaman pelita, yaitu karena habisnya sumbu, habisnya bahan bakar, habisnya sumbu serta bahan bakar, dan karena tertiup angin.
- Sammuti Marana : Kematian makhluk hidup berdasarkan persepakatan umum yang dipakai oleh masyarakat dunia.
- Samuccheda Marana : Kematian mutlak yang merupakan keterputusan daur penderitaan para Arahanta.
Kematian menurut definisi yang terdapat dalam kitab suci agama Budha adalah hancurnya Khanda. Khanda adalah lima kelompok yang terdiri dari pencerapan, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, kesadaran dan tubuh jasmani manusia atau materi. Keempat kelompok pertama merupakan kelompok batin atau ‘nama’ yang membentuk suatu kesatuan kesadaran. Sedangkan kelompok kelima yaitu jasmani manusia atau materi merupakan ‘rupa’, yakni kelompok fisik atau materi. Gabungan batin dan jasmani inilah yang disebut individu, pribadi atau ego.
Sang Budha menjelaskan bahwa kelompok ini bukan suatu pribadi lagi, melainkan suatu serial dari proses fisik dan mental yang tidak akan diam tetapi akan terus mengalir. Maka kelompok-kelompok ini akan muncul dan lenyap secara berturut-turut hanya dalam waktu yang sekejap. Masa berlangsungnya kelompok-kelompok mental ini sangat singkat sedemikian rupa, sehingga selama satu kaitan cahaya halilintar telah terjadi beribu-ribu bentuk pikiran atau saat berpikir yang berturutan dalam pikiran kita.
Peranan kematian adalah untuk menyadarkan setiap manusia akan akhir kehidupannya, bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun bantuan teknologi atau ilmu kedokteran yang dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama yaitu di dalam kubur atau menjadi segenggam debu. Tetapi ini bukanlah akhir dari kehidupan dan kematian, karena proses kelahiran dan kematian akan terus berlangsung hingga kita mencapai kesempurnaan batin. Kematian itu selalu diikuti oleh peleburan dalam kematian itu, atau jika orang dapat melakukan tumimbal lahir ke dalam kehidupan (alam) yang ia ingini, maka tidak ada orang takut kepada kematian. Bahkan mungkin keinginan untuk mati bila seseorang makhluk telah merasa bosan hidup dalam suatu kehidupan, lalu ingin memasuki kehidupan baru.[13] Kata Anitya berarti kekal. Doktrin ini mengajarkan bahwa di dalam dunia tiada sesuatu yang kekal, semuanya adalah fana.[14]

4. Agama Hindu
Menurut agama Hindu, kematian itu merupakan saat yang sangat penting, bahkan saat menentukan arti kehidupan seseorang. Kematian akan memberikan arti pada segala usaha dan kemeriahan yang kita dapatkan selama mungkin 20-an tahun kita hidup, mungkin 40-an tahun kita hidup, mungkin 60-an tahun kita hidup, atau mungkin hanya beberapa kerlipan mata kita hidup di dunia ini. Oleh karena itulah dianjurkan agar orang segera mengingat Tuhan Yang Maha Esa pada saat meninggal.
Agama Hindu mempunyai keyakinan bahwa dengan mengingat dan bersujud pada Tuhan disaat meninggalkan badan kasar adalah sangat menentukan tempat yang akan dituju di alam sana . Kesempatan untuk ingat Tuhan pada detik-detik kematian bukanlah hadiah atas tidak melakukan apa-apa. Ia merupakan hasil dari pembiasaan menyebut, memanggil, memuja dan menyembah, mengingat, meneriakkan dan menyerahkan diri menyeluruh kepada Tuhan. Tidak perlu berbangga diri jika memiliki ketenangan menyambut kematian, tanpa harus membiasakan diri membawa kesadaran kepada-Nya setiap hari. Hanya dengan membiasakan kesadaran ingat Tuhan pada saat meninggal akan terjadi, dan ia akan mampu mengantarkan kita ke tempat yang indah dalam spiritual.
Sesungguhnya kematian dan kehidupan secara fundamental bukanlah pengalaman-pengalaman yang tersendiri, yang terisolasi dari yang lain. Manakala ingatan masih bertahan, ini kita sebut tidur. Bila ingatan hilang sama sekali, disebut mati.[15] Setiap orang Hindu mengharapkan agar mati di dekat sungai Gangga supaya tulang-tulang dan abu mereka dapat tenggelam di dalam air. Sehingga mereka dapat mengakhiri lingkaran kehidupan kembali.[16]

5. Agama Suku Batak
- Konsep Kematian Menurut Budaya Batak: Agama leluhur mengajarkan bahwa manusia memiliki tubuh dan roh. Kehidupan dari diri seseorang itu sangat ditentukan oleh kondisi rohnya. Artinya, selama roh itu berdiam dalam dirinya maka orang tersebut akan hidup. Roh yang dimaksud dalam hal ini adalah ‘tondi’. Apabila tondi (roh) tersebut meninggalkan tubuh dari manusia itu maka manusia tersebut akan mati, inilah yang disebut dengan kematian. Karena itu, orang Batak sangat mementingkan urusan pemeliharaan kondisi tondinya (rohnya).[17] Dalam budaya Batak juga ada pemahaman bahwa orang yang meninggal itu dikatakan dengan “Na dialap ompungna do i”. Dengan anggapan ini, maka orang Batak mengatakan “martondi na mangolu, marbegu na mate” (yang masih hidup memiliki roh dan yang telah mati menjadi hantu). Hal inilah dijelaskan karena orang Batak percaya bahwa jika seseorang telah meninggal, maka “daging gabe tano, hosa gabe alogo, tondi gabe begu” (daging jadi tanah, nafas jadi angin, roh jadi hantu).[18]
- Hubungan Orang Hidup dengan Orang Mati Menurut Budaya Batak: Dalam hal ini akan dijelaskan, apakah ada hubungan antara orang yang sudah mati dengan orang yang masih hidup. Budaya Batak meyakini bahwa jelas ada hubungan antara orang mati dengan orang hidup. Bagaimana orang yang masih hidup itu meyakini masih adanya hubungan yang masih terjalin melalui roh orang mati tersebut. Hal ini dapat dikatakan dengan adanya pemahaman Batak bahwa roh tersebut dapat hadir ke dalam kehidupan orang yang masih hidup. Kehadiran roh menurut kepercayaan lama terlihat dengan adanya pembuatan patung-patung leluhur di atas tugu atau makamnya. Hal ini memiliki bukti bahwa hingga sampai sekarang ini masih ada diantar orang Kristen Batak yang melaksanakan ritus-ritus di kuburan sebagai tanda bahwa masih melekat pemahaman akan hubungannya dengan orang mati. Dengan memberi makanan di atas makamnya atau di atas lemari supaya dimakan roh tersebut. Selain itu juga, dengan berziarah ke kuburan dan mencuci muka (marsuap) dikuburan tersebut. Serta tindakan berziarah atau membangun tugu sering didorong setelah adanya mimpi yang dialami oleh seorang anggota keluarga, di mana dalam mimpi itu diingatkan atau ditegur ataupun diperintahkan oleh roh tersebut untuk membangun kuburan/tugu yang baik bagi roh itu. Hubungan itu tercermin di dalam berbagai upacara adat yang dilakukan terhadap orang-orang yang akan dan telah mati.[19]
- Keberadaan Orang Mati Menurut Budaya Batak: Kematian merupakan perpindahan hidup dari dunia fisik ke dalam dunia kematian. Pada masa peralihan ini, maka roh orang mati itu harus dijaga keselamatannya dari segala gangguan roh-roh jahat. Kebahagiaan roh orang mati ditentukan dari penghormatan yang akan diterimanya di dalam dunia orang mati, penghormatan ini didasarkan apakah dia dikuburkan secara adat dengan baik atau tidak. Apabila dikuburkan secara adat dengan baik, maka kematiannya akan diberangkatkan dengan baik oleh masyarakat adat yang hidup di dunia. Kalau dia mendapatkan penghormatan yang baik dari masyarakat adat yang hidup, maka dia juga akan diterima dengan penghormatan di dunia orang mati. Sebaliknya, kalau dia tidak diberangkatkan dengan baik oleh orang yang masih di dunia, maka roh orang itu juga tidak akan diterima baik di dunia orang mati.[20]

IV. Pandangan Teologis
Jika kita hanya mengejar hal-hal duniawi maka kita telah melepaskan diri kita dari sumber kehidupan. Untuk menghadapi kematian, kita harus sadar bahwa kita hidup sebagai orang berdosa dalam kematian. Dalam PL , kematian berarti akhir kesudahan dari keberadaan seseorang (2 Sam. 12:15 ; 14:14). Manusia diciptakan dari tanah dan mereka akan kembali menjadi debu (Kej. 3:19). Jiwa diartikan sebagai sheol (hades)[21] yang tidak ada lagi kehidupan di luar daripadanya. Manusia yang mati pergi ke hades (ruang antara kematian dan penghakiman akhir). Maka sangat bertentangan dan ditolak kalau ada yang mengatakan masih ada hubungan antara orang mati dengan orang hidup.[22]
Apakah penyebab kematian? Paulus berkata bahwa upah dosa adalah maut/kematian (Rom. 6:23). Dasar pandangan tersebut yaitu iblis merupakan penguasa kematian (Ibr. 2:14), walaupun sebenarnya Allah sendirilah yang mampu menghancurkan tubuh dan jiwa dalam dunia kematian (Mat. 10:28 ; Why 2:23). Dalam PB, penyebab kematian merupakan hal yang teologis. Kematian itu universal dan hal tersebut merupakan keuniversalan kesalahan manusia dan jalan manusia untuk pengampunan,
Dari pembahasan-pembahasan di atas, tergambar bahwa kematian dalam PB bukanlah sebagai proses yang alamiah, tetapi sebagai peristiwa sejarah yang mengakibatkan manusia masuk ke dalam keberdosaannya. Pernyataan tentang kematian Kristus di kayu salib merupakan cerita keselamatan dan selalu berhubungan dengan kebangkitan dan kemenangan atau hidup baru bagi orang-orang percaya. Intinya adalah bahwa Allah sendiri merendahkan diri dan menanggalkan kemuliaanNya dalam kematian, yang justru dalam kematian itu, Ia menunjukkan diri sebagai Tuhan dan Allah yang hidup.[23] Kematian Kristus adalah keuntungan bagi manusia (1 Tes. 5:10 ; Ibr. 2:9-10), kematian Kristus adalah bagi Hukum Taurat ( Rom. 7:4), bagi dosa (2 Kor. 5:21), dan bagi kematian kita (2 Tim. 1:10). Kematian Allah berarti final dari segala keberadaan keilahian yang dipahami di dalam sistem metafisik kuno dunia.[24]
Kematian bagi orang percaya adalah kekuatan dalam hidup persekutuan dengan Tuhan bukan hanya sebagai satu hal akhir dari hidup. Kematian adalah pintu menuju hidup kekal yaitu kelepasan dari segala dosa menuju hidup kepada kehidupan bersama Allah.[25] Untuk itu, maka kematian menurut pandangan Kristen harus didasarkan pada ciri:
- Kematian adalah suatu hal yang alamiah yaitu manusia mengambil bagian dalam struktur kehidupan keseluruhan yang kompleks.
- Kematian adalah suatu hukuman, hukuman untuk dosa (Rom. 6:21-ff).
- Kematian adalah panggilan untuk pulang kepada manusia. Bukan hanya sebagai hukuman tapi juga kabar sukacita, bukan hanya sebagai pengadilan tapi juga penebusan (Flp. 1:23).
Ada juga ”kematian jasmani” yang bertitik tolak pada Kej. 3:19, kembali lagi menjadi debu/tanah. Roh dan nafas Allah ditarik kembali; debu kembali menjadi tanah atau tubuh dan roh kembali kepada Allah (Pengk. 12:7).[26] Orang yang mati di dalam Tuhan dikatakan orang yang berbahagia (Why. 14:13). Kematiannya sementara karena akan disusul dengan kebangkitan. Percaya dalam kebangkitan adalah sangat sederhana dan justru sama seperti hidup dari salib sebagai peristiwa keselamatan, salib merupakan simbol bukti sejarah kebangkitan melalui kenaikkan Kristus dari kematian. Melalui peristiwa keselamatan ini, maka Allah ditinggikan karena Anak-Nya yang tunggal telah mati demi keselamatan manusia.[27]

V. Kesimpulan
Semua manusia harus menyadari suatu fakta bahwa semua manusia akan mengalami kematian. Musuh yang sangat ditakuti dan selalu dihindari oleh manusia adalah kematian. Kematian adalah masa yang terjadi kepada setiap orang. Tidak ada orang yang dapat menyangkal adanya kematian, sebab kehidupan dan kematian adalah milik Allah. Kematian membuat perceraian antara daging dan roh, sehingga hubungan dengan Allah terpisahkan karena dosa dan kematian. Agama Kristen dan Islam tidak mempercayai akan adanya re-inkarnasi sesudah kematian, tetapi agama Hindu dan Budha mempercayainya. Kematian itu merupakan awal dan pintu gerbang menuju kehidupan. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan abadi.
Sebagai orang Kristen kita percaya, dan kita tahu, bahwa kematian bukan akhir dari suatu keberadaan atau kehidupan, namun hal itu tetap merupakan suatu perpisahan dari orang-orang disekitar kita pada masa hidup. Itu adalah akhir dari suatu hubungan yang mempunyai arti istimewa bagi kita dalam kenidupan ini. Langkah pertama dalam memperoleh perspektif yang tepat ialah dengan mengakui bahwa Allah berdaulat dalam semua masalah kehidupan dan kematian, karena Dia telah menunjukkan karya-karya keselamatan untuk menaklukan maut dan kematian. Keyakinan adanya kehidupan setelah kematian merupakan suatu sumber rasa aman, optimisme, dan pemulihan rohani bagi seseorang (1 Yohanes 3:2). Tidak ada suatu pun yang menawarkan lebih banyak kekuatan dan dorongan dari pada keyakinan bahwa ada suatu kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang menggunakan masa sekarang untuk mempersiapkan hidup dalam kekekalan.
Bila Anda yakin pada bukti adanya kehidupan setelah kematian, ingatlah Alkitab berkata bahwa Kristus mati untuk melunasi hutang-hutang dosa kita, dan bahwa semua orang yang percaya kepadaNya akan menerima karunia pengampunan dan kehidupan kekal. Keselamatan yang ditawarkan kristus bukanlah upah untuk usaha kita, tetapi suatu anugerah bagi mereka yang melalui bukti-bukti tersebut, percaya kepadaNya.

Catatan Kaki:
[1] J.H. Bavinc, The International Standard Bible Encyclopedia Vol. III, hlm. 811
[2] G. Kittel, Theological Dictionary of The New Testament Vol. III, (WB Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1977), hlm. 14
[3] K. Riedel, Kamus Istilah Teologi Perjanjian Baru, (Jakarta : BPK-GM, 1951), hlm. 126
[4] Dosen UIN Malang http://puspek-averroes.org/2008/08/03/pluralisme-dan-dialog-antarumat-beragama/22 September 2009
[5] Gerald O’Colins,SJ & Edward G. Farrugia,SJ, terj. Suharyo,Pr, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 137
[6] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, ( Yogyakarta : Kanisius, 2006), hlm. 141
[7] Eugene H.Merrill, Numbers, The Bible Knowledge Commentary, (Wheaton: Victor Books, 1985), hlm.235
[8] P.Hendrik Njiolah,Pr, Misteri Kematian Manusia, ( Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama, 2003) hlm.16-33
[9] Ensiklopedia Islam 3, ( Jakarta : PT. Ichtisar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 211-212
[10] http://www.2.bp.blogspot.com
[11] KH.ABD.Muthilb Mohyiddin, Tahap-tahap Kehidupan Manusia Menurut Pandangan Islam, ( Jakarta : Gunung Jati), hlm. 73
[12] Muhammadin AS , Tata cara Merawat Jenazah, ( Yogyakarta : PT.Pustaka Insan Madani, 2007) hlm.1-2
[13] Upasika Pandita Abhayahema, Viija-Dhamma (Jakarta: Yayasan Sekta Jaya Abadi, 1991), hlm. 131
[14] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha, ( Jakarta : BPK-GM, 2005), hlm. 73
[15] http://www. Anatta gotama [SMTP: anattagotama@yahoo.com]
[16] Michael Keene, Op-Cit, hlm. 29
[17] Hanry James Silalahi, Pandangan Injil Terhadap Upacara Adat Batak, ( Medan : Kawasan Missi Kristus, 2000), hlm. 65
[18] E. M. Tambunan, Sekelum: Mengenai Masyarakat Toba dan Sekitarnya, (Bandung: Tarsito, 1982), hlm. 71
[19] Ibid, hlm. 146
[20] Ibid, hlm. 150-153
[21] C. Barth, Teologi Perjanjian Lama 1, ( Jakarta : BPK-GM, 2006), hlm. 79
[22] Andar Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, (Jakarta: BPK-GM, 1996), hlm.548
[23] Chifford Green (peny.), Karl Barth: Teolog Kemerdekaan (Kumpulan Cuplikan Karya Karl Barth), (Jakarta: BPK-GM, 1998), hlm. 124
[24] Walter J. Bildstein, Secularization The Theology of Jhon A. T. Robinson, A Radical Response, (Romae: Pontificiam Universitatem S. Thomae De Urbe, 1972), hlm. 48
[25] Walter A. Alwell, Evangelical Dictionary of Theology, (Michigan: Baker Book House, 1986) hlm.198
[26] H. Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 1982), hlm. 245
[27] Francis Pieper, Christian Dogmatis Vol. I, (Missouri: Concordia Publishing Hous Saint Louis, 1950), hlm. 548-549

(Penulis adalah Pdt. F.H.B. Siregar, S.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi November 2009)

Minggu, 03 Januari 2010

ARTIKEL: PERAN GEREJA HKBP DITENGAH MASYARAKAT DAN NEGARA INDONESIA

I. Pengantar
Sejak tahun 1998 gereja HKBP dan Negara Republik Indonesia mengalami suatu perkembangan yang sangat dasyat dan monumental. Negara Republik Indonesia mengalami suatu tonggak pembaharuan yang dikenal dengan gaung reformasi yang sangat mendasar. Negara kita berubah dari pemerintahan yang otoriter menjadi Negara yang demokratis. Perubahan itu begitu essensial, sehingga agaknya seluruh elemen bangsa dipengaruhi oleh kejadian yang radikal tersebut hingga sekarang,termasuk HKBP.
Itu sebabnya gereja HKBP selain mengalami pengaruh perubahan bangsa ini, juga secara internal mengalami suatu perubahan yang luar biasa, dengan terjadinya dan paska Sinode Rekonsiliatif. Sejak tahun 1998, HKBP mangalami suatu proses perubahan kehidupan bergereja, antara lain mulai terjadi pembenahan diri dan konsolidasi internal, bahkan telah mampu melakukan loncatan yang mendasar. Kita mencatat bahwa HKBP telah sukses mengahiri konflik internalnya berkepanjangan yang sudah laten terjadi sejak paska Jubileum 100 tahun HKBP. Pemaknaan ini dilanjutkan pula dengan adanya perubahan Aturan Peraturan 2002 yang mana kita berhasil merumuskan visi yang inklusif dan missi menterjemahkan tugas panggilan gereja di semua aras, dari basis jemaat, memperkokoh landasan Sinode Distrik dan Peran kepemimpinan yang flat di aras Pusat. Kemudian secara berkelanjutan telah dilakukan perubahan memahami dan menghayati agar momen tahun Koinonia 2007, tahun marturia 2008 dan tahun 2009 ini tahun Diakonia.
Rangkaian tersebut digiatkan agar HKBP melakukan revitalisasi dirinya sebagai gereja yang sudah holistic dan transformatif (tema sentral perayaan Jubileum 50 tahun), sebagai gereja yang sudah mandiri baik dalam hal pengadaan sumber daya manusia, management, dana dan teologi/confessi (tema utama perayaan Jubileum 100 tahun, HKBP Manjujung Baringin na). Kini gereja HKBP sedang diperhadapkan untuk mempersiapkan diri memaknai Jubileum 150 tahun, 2011 yang akan datang. Sesuai visi HKBP, maka mestinya kita harus melakukan segala daya, upaya dan teologi untuk merumuskan peran gereja HKBP yang inklusif, dialogis dan transparan serta bermutu ditengah dunia, local, regional, nasional dan internasional dan ditengah kehidupan manusia yang semakin menjungjung tinggi nilai-nilai dan pemerintahan yang demokratis dan penegakan HAM.
Karena itu mulai tahun diakonia ini dan jika mungkin tentu dalam dua tahun ke depan ini kita harus memperkokoh penguatan kehadiran gereja HKBP secara monumental dan integral dalam konteks inklusif ditengah kehidupan masyarakat yang pluralis dan demokratis serta mendunia.
Upaya menuju Jubileum 150 tahun tersebut mestinya mendorong Rapat Pendeta kita kali ini mampu mempersiapkan kajian teologis agar kita menjadi gereja yang berdiakonia sebagaimana diharapkan thema kita, “murah hatilah karena BapaMu murah hati ( Lk 6.36 ). Dengan demikian dalam sub-thema Rapat Pendeta ini, saya ingin untuk memberi masukan kritis bagaimana gereja HKBP dapat merespon berbagai masalah kehidupan kita bergereja, bermasyarakat dan berbangsa. Sehingga gereja kita menjadi gereja yang aktip mensejahterakan, mengusahakan keadilan dan sukacita ditengah masyarakat, bangsa dan Negara sesuai dengan thema tahun Diakonia,”usahakan dan doakan kesejahteraan kota/bangsa dimana kamu Aku buang, karena kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu (Jeremia 29.7 dan bandingkan dengan Roma 14.17 ). Ini sekaligus dalam upaya kita mempersiapankan dan memperlengkapi diri memenuhi tuntutan tahun Yobel, tahun pembebasan, merayakan tahun rahmat Tuhan telah tiba. Konsekuensinya mengarahkan kita pada upaya merespon berbagai masalah kemiskinan, ketidakadilan, perusakan alam dsb ( Imamat 25 dan Lukas 4.18-19 ).

II. Memahami masalah sosial
Untuk memahami adanya perubahan mendasar atau sering disebut bertumbuhnya reformasi di Negara kita ini, kini kita dapat menganalisis apakah perubahan-perubahan terjadi sesuai dengan tuntutan yang demokratis dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Menurut kajian Bapak Dr Singgih, minimal ada 4 perkembangan yang mestinya kita perhatikan dalam upaya memahami reformasi yang sedang terjadi, antara lain , agar:
• Perekonomian Indonesia menjadi kuat secara fundamental
• Kemiskinan dan penderitaan rakyat ditangani secara langsung
• Kehidupan berdemokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat ditegakkan di dalam lingkup dunia politik
• Kehidupan beragama di antara umat beragama berjalan secara rukun, wajar dan dialogis.
Tentunya selain ke 4 hal diatas masih banyak daftar perubahan substansial yang perlu dikritisi dan dianalisis lebih dimensional dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat terlebih dalam upaya mensejahterahkan seluruh masyarakat, penegakan keadilan dan hak-hak azasi manusia serta terjadinya jaminan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia. Daftar masalah tersebut walaupun disana sini ada yang sudah seperti sudah dirumuskan diatas, namun dibawah ini kembali terlihat dari hasil survey Metro yang mencatat minimal ada 10 masalah terbesar yang mengancam kehidupan demokrasi kita, yakni : Ekonomi, korupsi, kemiskinan, pengelolaan BBM,buruknya sistem pendidikan, pengangguran, tingginya harga pangan, bencana alam, kelaparan dan krisis pangan dan krisis kepemimpinan.
Kemudian menarik juga untuk kita simak menilai sejauh mana demokrasi di Indonesia sudah sesuai dengan legal yuridis konsep demokrasi Pancasila. Hal ini semakin mencuat belakangan karena nampaknya ada sinyal adanya gerakan yang ingin mengutak-ngatik Pancasila sebagai azas satu-satunya di negeri ini bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moedjanto mencatat ada 9 ciri-ciri demokrasi terkandung dalam UUD 1945, yakni :
• Ketentuan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, termasuk cara pengambilan keputusan MPR.
• Prinsip Negara Hukum
• Prinsip Negara kesejahteraan
• Paham Negara yang integralistik, bukan trias politika
• Lembaga-lembaga negara, kedudukan dan wewenangnya.
• MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan penjelamaan seluruh rakyat
• Presiden adalah mandataris MPR yang memegang concentration of power upon the President dengan tenggang waktu jabatan 5 tahun.
• Kedudukan dan hak warganegara
• Hubungan antara warga negara dan pemerintah
Berdasarkan pendekatan Legal Yuridis itu disimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, demokrasi yang dipinpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan sebagaimana disebutkan oleh sila ke 5 dari Pancasila. Hal itu kemudian menjadikan kenapa di pemerintahan Orde baru tahun 80-an, semua organisasi masyarakat, dan lembaga agama serta semua elemen bangsa didesak untuk menerima Pancasila sudah final dan satu-satunya azas berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Kini masalahnya sejauhmana kita memahami dan mengartikulasi prinsip demokrasi itu dalam ruang gerak gereja kita sebagai gereja tua dan memiliki tanggungjawab . Sebab gereja kita memang sudah diberi Tuhan menjadi gereja yang besar.
Untuk sekedar membantu kita memahami konteks saat ini, baik pula jika kita memperhatikan hasil study dari Prof. Dr. Paulus Wirutomo, Guru Besar Sosiologi UI, yang mengambarkan situasi dan kondisi perkembangan sosial di Indonesia dan dampaknya pada pelayanan umat Kristen menyampaikan adanya beberapa fenomena yang sedang terjadi belakangan ini di Indonesia. Ia menyebutkan :
• Adanya deformasi yakni kerusakan pada keteraturan sosial, sehingga tidak terjadi reformasi yang berkelanjutan.
• Adanya fenomena sekedar demokrasi kerukunan, akibatnya solidaritas terhadap sesama tertunda.
• Semakin nyata terjadi pembiaran bertumbuhnya sekat socio-cultural-animosity, yakni kebencian sosial yang tersembunyi
• Adanya perkembangan kekuasaan yang terpusat tetap pada sekelompok kecil elite.
• Merebaknya budaya santai dan konsumtip mengantikan budaya kerja keras.
• Terjadinya krisis mental dan moral bangsa.
• Pada hal dalam tingkat dan kualitas kesadaran berbangsa dan bermasyarakat cendrung berkembang keprihatinan. Ada 3 peta golongan masyarakat saat ini.
• Golongan rasional yakni golongan masyarakat yang hanya menekankan kehidupan dari segi perhitungan untung rugi, jumlahnya tidak banyak tetapi kini secara signifikan cendrung bertambah terus.
• Golongan kedua, yakni golongan idealis yang mendasarkan kehidupannya pada nilai-nilai yang dijungjung tinggi seperti nasionalisme, kesatuan, demokrasi, kemandirian, patriotisme. Jumlahnya agak banyak tetapi cendrung menurun seiring beralihnya generasi.
• Golongan ketiga, yakni golongan tradisionalis yang menganggap integrasi, perubahan, kemajuan berjalan secara otomatis, tidak perlu dilakukan peran aktip lagi. Golongan ini berjumlah besar mungkin lebih dari 80%.
Dalam kaitannya dengan realita kondisional umat Kristiani di Indonesia dikatakan bahwa :
• Orang Kristen memahami nilai agama terlalu steril atau mantap menghadapi segala terpaan apa pun, sehingga kurang berpikir kontekstual dengan kondisi sosiologis masyarakat. Dalam kesadaran orang Kristen di Indonesia terjadi kesenjangan antara nilai ideal dan aktual.
• Mekanisme sosialisasi nilai-nilai Kristiani kurang efektip dilakukan. Itu terjadi karena gereja-gereja kurang berperan dalam kehidupan jemaat sehari-hari, sehingga nilai-nilai kekeristenan tidak lagi melekat. Komunitas basis masih sangat lemah.
• Masih ada kecendrungan ekskulsif dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun ormas. Sehingga kehidupan gereja belum bermental menggarami.
• Gereja juga masih mengalami ”minority syndrom”, sehingga dalam kesadarannya masih mengutamakan jumlah ketimbang kualitas.
Bertolak dari berbagai masalah, perkembangan dan kecendrungan diatas, kini kita dapat sama-sama merefleksikan, sejauhmana HKBP berkiprah, kita berada dimana, apakah gereja kita turut terlibat melakukan respon dan solusi pembaharuan yang demokratis, transformatif, mandiri dan inklusif ? Atau gereja kita justru terkesan escapis, pasif atau pessimistik. Sehingga kita tidak siapa-siapa, tidak bagian dari masalah, tapi juga tidak bagian dari solusi masalah yang terjadi di masyarakat. Dari segi peran diakonia, kita sudah mengadopsi adanya satu bidang tambahan penting peran HKBP, yakni adanya dewan, biro merespon masalah-masalah kemasyarakatan. Merespon berarti kita tidak cukup sekedar bertindak secara reaktip. Melainkan kita perlu berperan aktip dalam melakukan perubahan supaya perubahan tersebut diwarnai dan digarami dari visi, missi dan keunikan pelayanan gereja HKBP, juga sesuai dengan keyakinan/ confessi dan strategi pelayanan kita ke depan. Hal ini juga menjadi sangat urgen, karena dari segi kalender gereja HKBP sedang memasuki perayaan Jubileum 150 tahun, yang sarat dengan tuntutan ” pembebasan ” manusia dan alam dari berbagai belenggu, dari lilitan hutang, dari kerusakan alam, pembebasan orang miskin, orang buta dan kaum tertindas serta memberitakan tahun rahmat Tuhan sudah tiba.

III. Metodologi Merespon Masalah
Dari segi praktis boleh saja memang tidak begitu sulit bagi gereja kita untuk berpartisipasi aktip, kritis dan dinamis ditengah masyarakat, bangsa dan negara. Tetapi kenapa sampai sekarang kita masih merasa enggan dan ahirnya tidak lebih giat untuk meujudkan kekritisan sosial gereja kita bermasyarakat, bebangsa dan bernegara.
Untuk itu barangkali perlu dianalisis dimana hambatannya. Hal yang mendasar tentunya pertama bersumber dari metodologi kajian dan implementasi doktrin atau tradisi teologi yang kita anut. Apakah ada relevansi teologi kita terhadap kondisi kehidupan di sekitar kita atau sama sekali kita belum menyentuh akar masalah teologis ini. Ini juga bisa mungkin karena selama ini terlalu sibuk dalam perangkap konflik, sehingga kita lebih memusatkan perhatian pada kondisi situasional yang memaksakan gereja kita bertindak seperti itu, atau bisa juga karena kealpaan berpikir kritis gereja memahami sejarah keselamatan Tuhan yang sudah terjadi dalam kehidupan gereja HKBP sejak era missionar sampai sekarang. HKBP mestinya sudah diperkaya dengan pengalaman empirisnya berteologia ditengah konteks dunia dimana kita berada di semua umat manusia, dan terhadap alam semesta.
Kesulitan metodologis ini bagi kita di Indonesia terletak misalnya dalam upaya kita memahami posisi doktrin aliran gereja kita dikaitkan dengan konteks Negara kesatuan Republik Indonesia. Dr Mangisi Simorangkir dalam disertasi Doktornya menyatakan bahwa ” berbicara tentang hubungan gereja dan negara di Indonesia dalam kaitannya dengan teologi ajaran dua kerajaan Marthin Luther, tidak terlepas dari pembahasan kelima sila Pancasila sebagai falsafah Negara. Tapi juga akan tiba pada analisis konsep agama tentang bentuk negara, dalam hal ini pandangan agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.. Dalam sejarah Indonesia, ancaman disintegrasi sudah terjadi sejak awal. Persoalan dimasukkannya atau tidak dimasukkannya syariat Islam dalam piagam Jakarta. Ini membuktikan, bahwa Islam menganut paham teokratis dan bahwa Islam identik dengan kebangsaan. Ini tidak dilakukan dengan setengah hati, sebab bukan saja mereka menginginkan agar negara diatur oleh hukum Islam, bahkan Islam tampak juga dalam simbol-simbol kenegaraan dalam bentuk busana, produk makanan, restoran, pendidikan, perbankan, dll.
Dengan kata lain juga menjadi jelas bahwa membicarakan hubungan gereja dan negara juga tidak terlepas dari pemahaman tentang politik dan sistem pemerintahan Indonesia yang berazaskan Pancasila, UUD 1945 dan demokrasi modern yang berpijak pada pemisahan 3 kekuasaan, eksekutip, legislatif dan judikatif. Sehingga halnya mesti diukur. Pertama, sejauhmana hubungan gereja dan warga gereja( dalam hal ini Lutheran) dengan pusat proses pengambilan keputusan politis. Dengan kata lain bagaimana hubungan gereja dan warga gereja dengan DPR/MPR sebagai pusat pengambilan keputusan politik di Indonesia (kelompok legislatif). Kedua, bagaimana hubungan gereja dan warga gereja dengan pemerintah sebagai pelaksana keputusan politik ( kelompok eksekutif ), dan ketiga, bagaimana hubungan gereja dan warga gereja dengan pengadilan di Indonesia (kelompok Judikatif ). Hubungan-hubungan itu terjadi dalam dua arus, lewat warga jemaat secara pribadi dan sebagai warga negara, dan lewat gereja sebagai sebuah organisasi agama. Tugas ini tidak mudah, sebab ketiga kekuasaan di Indonesia tidaklah terpisah dengan tegas sebagaimana sistem demokrasi modern yang menginginkannya.
Dari uraian diatas menjadi jelas, bahwa hubungan gereja dan negara di Indonesia tidak diatur oleh suatu idiologi kelopok agama, dalam hal ini Islam sebagai mayoritas, melainkan diatur berdasarkan prinsip demokrasi yang mengedepankan kepentingan rakyat secara keseluruhan tanpa membedakan hak-hak kelompok mayoritas dan minoritas. Jika demikian halnya maka tugas gereja menjadi lebih ringan, walaupun ancaman itu tidak bisa dilepas begitu saja, tanpa kekritisan. Disinilah tugas gereja menjadi sangat urgent untuk mendoakan Negara sekaligus juga untuk melakukan pelibatan aktip gereja merespon dampak dan realitas perkembangan politik di Indonesia. Sebab Indonesia bukan negara agama, melainkan negara demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian untuk membantu kita, selain dari konteks kita memahami peran kritis kita sebagai bagian integral bernegara kita juga perlu memahami sudut pandang gereja kita sebagai bagian integral melakukan peran kemasyarakatan merespon kemiskinan, mengkritisi masalah ketidakadilan, serta masalah lainnya. Sejauhmana gereja kita dapat merefleksikan keterlibatan kita dengan dan bersama orang-orang yang miskin, tertindas dan terabaikan.
Leonardo Boff, dalam buku the Way of The Cross Way of Justice, menjelaskan bahwa teologi berusaha membicarakan iman secara rasional dan sistematis. Kriteria menentukan kebenaran setiap teologi adalah apakah teologi itu menyuburkan kehidupan iman, harapan dan cinta. Teologi itu benar sejauh diterjemahkan ke dalam meditasi, doa, tobat, mengikuti Kristus, dan perhatian serta keterlibatan pada sesama manusia. Jika teologi tidak mengambil langkah-langkah itu, maka bisa dipastikan teologi itu adalah teologi istana, artinya melayani orang besar dan kekuasaan orang-orang yang didewakan di dunia ini. Teologi seperti itu tidak melayani Allah.
Padahal mestinya teologi itu bersifat,”ante et retro occulata ” artinya bermata dua, mempunyai dua sudut pandang. Mata yang satu memandang ke masa lampau, ketika penyelamatan telah terjadi. Mata yang lain melihat masakini, ketika keselamatan menjadi kenyataan sekarang dan disini. Jika teologi hanya memandang satu sudut saja, maka teologi itu menderita myopi ( berpandangan kabur dan dangkal).. Karena itu mestinya teologi gereja di satu satu mesti terpusat pada Yesus historis, kehidupannya, penyiksaannya, kematian dan kebangkitannya ( Jalan salib ). Sebab sengsara Kristus adalah konsekuensi dari kesetian-Nya kepada BapaNya dan kepada manusia. Kendatipun ditolak manusia, Bapa tetap menghendaki agar kerajaaNya dibangun sekarang di dunia ini. Yesus mati karena dosa dunia. Berkat korban Kristus, kerajaan Allah menang dan tetap berjaya. Sedangkan di sisi yang lain sengsara Kristus merupakan jalan keadilan yang terpusat pada Kristus yang diimani, yang melanjutkan penderitaan Kristus dewasa ini dalam diri saudara dan saudariNya yan dihukum, dibelenggu dan dibunuh karena masalah keadilan. Sebab dewasa ini penderitaan Kristus sepertinya terulang kembali dalam hidup mereka yang menjadi korban karena masalah ketidakadilan. Sebagaimana Yesus, banyak orang yang menderita, bahkan dibunuh karena mempertahankan hak-hak orang kecil dan keadilan bagi orang miskin. Kebangkitan Yesus yang tersalib membuktikan perjuangan meujudkan keadilan tidak percuma. Maknanya adalah mereka mengambil bagian dalam kepenuhan hidup dan kemenangan mutlak dari keadilan.
Dari kedua uraian tadi, maka mestinya gereja kita harus setia pada perannya terlibat tidak hanya berkotbah tentang Tuhan yang kaya menjadi miskin agar kita menjadi kaya ( 2 Kor 8. 9, melainkan mestinya gereja kita harus aktip untuk memberdayakan orang miskin, yang menderita dan tertindas, bukan karena tujuan kekuasaan politis, melainkan karena pengutusan Kristus kita ke dunia ini.
Mengikuti alur metodologis ini mestinya kita juga sudah senantiasa bercermin dan melakukan rekonstruksi sejarah, bagaimana plus minus misi pelayanan HKBP sejak era missionar. Di era missionar, kita bisa mencatat beberapa hal yang sangat menarik, bagaimana mereka membangun peran gereja yang transformatip, holistik dan agresif.
Hingga sekarang kita harus mengakui masih relevanya pemulihan peran pargodungan merespon berbagai masalah sosial ekonomi, budaya dan bahkan mungkin politik, baik di wilayah pedesaan, transisi maupun perkotaan. Walaupun tentunya disana sini perlu dimodifikasi dan perlu mengadopsi berbagai hal sesuai konteks. Sebab gagasan pargodungan dirancang tidak sekedar dipakai sebagai percontohan, melainkan lebih dari itu digunakan untuk mengusung aneka perubahan yang holistik dan transformatip. Itu sebabnya selain di pargodungan ditata pembangunan gereja sebagai pusat kontemplatip, rumah doa dan persekutuan. Juga di pekarangan pargodungan dibangun rumah sakit atau klinik, didirikan sekolah, dibangun percontohan pertanian terpadu dan organik, ditata pohon2 produktip di sepanjang parik. Sehingga kehidupan di wilayah gereja nyata dialami doa Bapak kami, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga. Model ini mestinya mejadi ikon peran HKBP sepanjang zaman.
Pdt Betz dalam obsessi pelayanannya dari sejak awal menyadari bagaimana pentingnya segera dilakukan transformasi yang generatip. Itu sebabnya ia telah mengkader sejak dini para pelayan Batak (pribumi) untuk kemudian mengemban tugas generatip melanjutkan penginjilan yang lebih inkulturatip terhadap masyarakat Batak. Dalam buku yang ditulis oleh Drs PTD.Sihombing,Msc, Benih yang disemai dan buah yang menyebar, dicatat bagaimana Gr Samuel Siregar telah dibawa untuk belajar di Belanda dan kemudian melanjutkan studi keguruan di seminari di Barmen. Ia berangkat ke Belanda bersama Pdt Betz tahun 1869 dan kembali ke Indonesia tahun 1874. Ia kemudian kawin dengan Maria br Silitonga yang juga tahun 1872 sudah berada di Jerman. Dalam sejarah pelayanannya Dr IL Nommensen mendorong Samuel melamar jabatan yang lowong pada kantor kontroleur Toba Holbung, yang baru dibuka pemerintah Kolonial pada tahun 1883 di Laguboti. Nommensen dengan sengaja mendorong melakukan alih-professi. Keputusan itu dilakukan Nommensen, walaupun mendapat tantangan yang hebat dari para missionar, namun haruslah difahami bahwa Nommensen sendiri mempunyai motivasi bersifat strategis. Karena Nommensen kwatir tentang kemungkinan akan terkedalanya kepentingan lanjutan penginjilan zending di Tanah Holbung Utara. Dan memang sebagaimana diantisipasi, Gr Samuel dan kemudian sesudah perkawinannya yang kedua dengan Saudari dari Sisingamagaraja ke 12, Rosianna br Sinambela tahun 1884, maka gerakan penginjilan menjadi terbuka lebar diterima seluruh Toba Holbung.. Dengan demikian sebenarnya dalam upaya kita meujudkan visi dan obsessi gereja kita yang inklusif, maka berbagai upaya strategis, termasuk di dalamnya mendorong kader pelayan atau ketengah pelayanan di pemerintahan atau ruang publik lainnya mestinya tidak kita anggap sebagai hal yang tabu atau desersi. Kajian teologis seperti Ester mungkin juga perlu mendapat perhatian kita.
Dari segi konstitusional gereja HKBP sebenarnya juga sudah mereformasi dirinya, terlebih karena visinya yang inklusif . Mestinya Visi HKBP yang inklusif itu harus menjadi landasan dan persiapan kita merayakan Jubileum 150 tahun dan menjadi kata kunci kita untuk mempersiapkan rencana program jangka Panjang paskah Jubileum 150 tahun, yakni apa program kita 50 tahun ke depan hingga Jubileum 200 tahun, 2061. Mungkinkah gereja kita bisa tidak sekedar ada, tetapi menjadi eksis sebab gereja kita sudah menjalankan visi yang inklusif memasuki kehidupan jemaat dan masyarakat 52 tahun ke depan.
Jika di era missionar simbol pargodungan mampu menampilkan peran gereja HKBP yang transformatif. Sehingga dimana ada gereja HKBP, disana ada sekolah yang mencerdaskan masyarakat. Dimana ada gereja disana ada rumah sakit atau klinik yang menyembuhkan. Dimana ada gereja disana ada parik yang ditanami pepohonon yang produktip dan dapat dinikmati oleh masyarakat terlebih anak-anak dan remaja. Dimana ada gereja disana ada percontohan pertanian selaras alam dan percontohan ekonomi , sinur napinahan gabe naniula. HKBP waktu itu menjadi ikon yang mensejahterakan dan meujudkan paradeiso di bumi seperti di sorga.
Jika di era Jubileum 100 tahun, walaupun gereja kita dalam kondisi perang dunia kedua dan akibatnya gereja kita kehilangan pemimpin, karena para missionar diinternir dan dipulangkan ke negerinya. Namun gereja kita masih mampu merumuskan dan menjalankan visi gereja yang mandiri ( manjujung baringin na ) baik di bidang daya, teologi dan dana. Gereja HKBP dalam keterbatasannya mampu membangkitkan peran penatua/awam secara maksimal. Gereja HKBP mampu merumuskan Konfessinya yang mandiri dan cendrung ke Lutheran. Salah satu teologi yang menarik dari confessi kita tentang hubungannya dengan negara, ditekankan. Pertama, kita menolak pemahaman bahwa gereja kita bukan gereja negara ( Huria Negara ), karena berbeda kewajiban negara dari panggilan gereja. Juga menarik untuk memahami bahwa bukan rapat, dan bukan jemaat yang menentukan kekuasaan di dalam gereja. Karena itu bukan demokrasi yang mengatur gereja, tetapi Kristokrasi ( Ndang demokrasi na mangarajai huria, alai Kristokrasi do ). Secara monumental di dalam kerangka Jubileum 100 tahun HKBP juga telah mampu mengembangkan sendiri pelayanan missi ke Mentawai dan Enggano tanpa bantuan dari Barmen, membangun uiversitas Nomensen secara monumental, mengembangkan pelayanan diakonia sosial di Elim, merevitalisasi pendidikan dengan didirikan sekolah Teknik menengah di Siantar, FKIP, Fakultas Teologi di Siantar, dsb. Bahkan HKBP telah turut aktip mendirikan dewan gereja-gereja di Indonesia, mendirikan STT di Jakarta dan mengutus rektor pertama, Dr Muller Kruger di sekolah tersebut, menjadi tuan rumah mendirikan gereja-gereja di Parapat, dsb.
Kini kita sedang diperhadapkan pada pra dan paskah Jubileum 150 tahun. Apakah gereja HKBP sekaligus dapat mereviltaslisasi peran sosialnya seperti sudah digagas pada era missionar dan era kemandirian. Sehingga gereja kita kembali merelevansikan fungsi pargodungan dan fungsi kemandiriannya di berbagai bidang peran sosial, budaya, ekonomi dan politik. Bagaimana kita mengaktualisasikan agar dimana ada HKBP, disitu terjadi pencerahan, terjadi kesembuhan, terjadi pemihakan terhadap orang miskin, marginal. Bagaimana kita agar turut menjadi kesembuhan bagi bangsa-bangsa dan alam, bagaimana kita menyadarkan warga agar menghindari kekerasan di dalam keluarga ( overcoming violence istimewa alam domestic violence ). Bagaimana kita berpartisipasi dalam proyek meujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan jemaat ( JPIC ). Bagaimana gereja kita mampu mengadvokasi kebijakan negara yang menjungjung tinggi kebebasan beribadah, hak-hak azasi manusia, hak-hak gender dan terlihat meujudkan kegiatan melepaskan masyarakat dari berbagai belenggu yang menindas mereka. Dalam buku Panduan tahun diakonia 2009 secara terinci sudah dituliskan, namun sejauhamana hal itu dapat difahami, diujudkan dan diorganisasi dalam kerangka peran pembebasan dan peran sosial ekonomi, politik ditengah masyarakat dimana kita melayani. Mungkinkah lembaga keuangan mikro dapat didukung agar terujud secara nasional, yang mana warga jemaat yang memperoleh banyak dan yang sedikit dapat saling membutuhkan dan saling melengkapi?. Mungkinkah gereja HKBP dapat meujudkan program ansuransi kesehatan bagi seluruh warganya?
Dari segi kepemimpinan, kita melihat bahwa di gereja kita telah mengadopsi peran kepemimpinan yang memberdayakan dengan adanya kepemimpinan yang flat, sehingga pengaturan pendelegesaian mestinya sudah harus terjadi (delegation of authority ). Sehingga sebenarnya mobilisasi pelayanan kita di ketiga tugas panggilan gereja sudah menjadi kebutuhan, karena jemaat dan masyarakat sudah merasakannya. Barangkali yang belum cocok hanya ketulusan pendelegasian dan bagi peran, atau bisa saja karena belum adanya sebutan yang pas untuk masing-masing pimpinan, sehingga tidak tercermin adanya pembangian peran yang sesuai dengan Aturan dan peraturan. Sebab dari segi AP jika kita memakai istilah orang kedua dalam kepemimpinan saat ini, pasti dipegang oleh Kepala Departemen Koinonia, tetapi karena hanya kepala bukan wakil Ephorus, lalu peran itu tetap difahami seperti pradigma lama. Demikian seterusnya jika sungguh-sungguh difahami, maka tugas Kepala departemen diakonia harus difahami dalam kerangka wakil ephorus mengkordinasi dan menjalankan pelayanan diakonia sosial, koordinasi pendidikan, kesehatan, pengembangan masyarakat dan merespon masalah-masalah masyarakat. Demikian peran yang lain, jika ini dijalankan maka sebenarnya diharapkan bisa terjadi juga di aras distrik hingga ke pelayanan berbasis jemaat. Makanya peningkatan status distrik menjadi Sinode mestinya harus diikuti dengan perubahan pradigma baru pelayanan dan kepemimpinan yang semakin meujudkan koinonia yang bermarturia dan berdiakonia, marturia yang koinonis dan diakonis dan diakonia yang koinonis dan bermaturia. Bahkan seperti kita ketahui, AP juga secara signifikan sudah memberi arah, jika dibutuhkan demi kelancaran dan pengembangan pelayanan perlu dimobilisasi peran warga jemaat ( jemaat bisa sebagai bendahara di gereja kita ) dan pembentukan kelembagaan yang berkelanjutan, seperti Yayasan, dsb.
Dari segi strategi monumental kehadiran inklusif ditengah bangsa dan Negara, mestinya HKBP sudah harus mempersiapkan kapasitas kelembagaan dan kapasitas pengelola peran HKBP di semua aspek kehidupan. Untuk tujuan itu mungkin perlu dipikirkan kelembagaan yang berkelanjutan yang dapat dirasakan kehadirannya ditengah masyarakat, bangsa dan Negara. Lebih konkrit Juileum 150 tahun sudah harus melakukan karya monumental. Mungkin sudah tiba saatnya memikirkan Kantor besar sebagai kerangka berbangsa dan bernegara di Pusat kekuasaan di Negeri ini, agar akses HKBP lebih dekat ke pusat pengambilan keputusan. Ini juga perlu dilengkapi dengan strategi pengembangan pelayanan peran sosial, ekonomi dan politik kehadiran HKBP di aras Propinsi ( tidak lagi cukup di aras distrik ). Kemudian demi pelayanan itu, maka program rekruitmen kepemimpinan sudah membutuhkan pembinaan yang bertaraf nasional dan internasional. Sehingga kapasitas rekruitmen kepemimpinan di HKBP berada di semua aras, baik lokal, regional, nasional dan internasional. Pengorganisasian Pastoral yang rapih tersusun yang berbeda dengan pengorganisasian lembaga sekuler dan dunia juga perlu semakin jelas.
Kini terpulang kepada kita sejauhmana para Pendeta meujudkan program diakonia yang koinonis dan bermarturia di semua aspek kehidupan dan dalam kerangkanya mendinamiser AP termasuk mengamendemen atau menyempurnakan AP agar menganut orientasi pelayanan bukan kekuasaan. Serta bagaimana kita dalam waktu yang relatif cepat masih berupaya keras untuk mempersiapkan program monumental menyambut Jubileum 150 tahun di semua aras pelayanan. Untuk itu apa yang ditargetkan dalam program diakonia diharapkan dapat menjadi monumen yang mungkin diujudkan dan kemudian menjadi program yang dapat dirayakan.

IV. Penutup
Rumusan peran sosial, ekonomi dan politik HKBP ditengah bangsa, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sudah jelas dan cukup sempurna sebagaimana bisa dibaca dan dikaji dari sejarah gereja HKBP, dari Konfessi dan maupun secara operasional dari AP 2002. Kini sejauhmana kita bisa mengaktualisasikan dan mengoperasionalkannya dalam pelayanan di semua aras struktural gereja kita.
Kini kerelaan yang visioner, keberanian membagi tugas dan membagi peran pelayan dan jemaat, bagaimana kapasitas ketenagaan dan kapasitas kelembagaan serta komitmen meningkatkan hal-hal tersebut secara terus menerus dapat dilakukan. Hal ini penting dilakukan agar tugas mendasar lainnya seperti peran profetis dan advokatip dalam bernegara secara integral menjadi kekhasan pelayanan gereja kita juga. Demikian pula agar gereja kita dapat menghayati dan mengamalkan motto tahun diakonia dalam konteks kita berjemaat dan bermasyarakat, sebab jika sejahtera jemaat sejahtera pelayan, jika masyarakat sejahtera, sejahtera gereja dan negara.
Mari kita ujudkan gereja yang mencari dan dicari semua orang, terlebih mereka yang paling membutuhkan. Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadaMu ( Mat 11.28 ). Gereja yang seperti itu hanya terujud, jika gereja kita dapat melakukan seperti apa yang dikatakan Tuhan Yesus, sesungguhnya segala sesuat yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina dina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku ( Matius 25.40 ). Melayani orang miskin, yang hina dina adalah ibadah kita kepada Tuhan. Kita murah hati, karena memang Bapak kita juga murah hati ( Lukas 6.36 ). Mestinya inilah missi baru kita yang inklusif, gereja yang melakukan pengorganisasian segala daya, dana dan teologi memberdayakan masyarakat miskin dan menderita di sekita kita.
Kemudian juga barangkali penting agar kita sebagai pelayan tidak turut membuat banyak warga jemaat dan masyarakat berada dalam ke bingungan. Sebab sikap kita yang barangkali enggan mengkritisi perkembangan masyarakat yang semakin demokratis dan dinamis sekarang ini. Walaupun paradoksi kita tetap waspada menghadapi realitas sosial, ekonomi dan politik yang oleh Alkitab kadang digambarkan sebagai domba menghadapi serigala, Mat 10.16. Namun untuk itu sebagai gereja kita tidak harus memilih sikap yang neutral atau pro pada kekuasaan yang menindas, atau kekuasaan yang otoriter. Melainkan gereja senantiasa harus berdoa agar diberi Tuhan bijak seperti ular dan tulus seperti merpati.
Saat ini dikuatirkan tidak hanya oleh gereja, tetapi terlebih kaum Islam ( NU, dan Muhammadiah ) yang berbasis budaya kearifan keaneka ragaman bangsa Indonesia, yang melihat adanya kekuatan intervesi Islam transnasional ketengah negara ini. Serigala pencuri domba, serigala memangsa sesamanya bisa menjadi realitas sosial ekonomi dan politik ke depan di negeri ini.
Karena itu jika kita sebagai gereja memilih konsep yang bijak dan tulus, maka mestinya kita kritis dan konstruktip untuk memilih mana yang terbaik dari berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik sepanjang sejarah di Indonesia ini. Jika perlu kita harus menyuarakan suara profetis kita bahwa kita lebih taat kepada Allah daripada manusia ( Kisah 5.29). Marilah kita menguji kekuatan politik yang berkembang saat ini secara arif. Kita cari Tuhan yang mengajar kita memilih pemimpin yang mensejahterakan, yang berani menjamin adanya keadilan bagi semua dan setia pada komitmen menjaga kedaulatan rakyat di Indonesia. Sambil, selagi hari masih siang, berbuat baik kepada semua orang, dalam berperan aktip memajukan peradaban manusia, melakukan kegiatan pencerdasan, penyembuhan, aksi sosial dan perduli terhadap upaya selaras alam, perjuangan penegakan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.

(Penulis adalah Pdt. Nelson Siregar -Kadep Diakonia HKBP-, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Oktober 2009)