Ketika saya masih berusia 5 tahun dan tinggal di Lorong Roma, Kampung Sidorame, nun di kota Medan sana, maka ada satu permainan yang sering saya lakukan bersama adik saya Elisabeth. Permainan tersebut adalah hasil kreasi kami sendiri, dan hanya kami yang mengetahui operasionalnya. Permainan tersebut kami namakan, “Melihat Tuhan Yesus.”
Pagi-pagi benar, sehabis bangun tidur, kami akan duduk di tangga rumah dan mengarahkan pandangan ke langit biru. Bila kami mengarahkan pandangan sedemikian rupa dan dalam waktu yang cukup lama ke langit, maka akan tampaklah sosok-sosok transparan yang menyerupai bumerang, sabit atau sayap capung yang bergerak perlahan-lahan; dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah atau dari sudut yang satu ke sudut yang lain. Kemudian sampai pada satu titik tertentu, sosok tersebut akan hilang dari pandangan.
“Kau lihatkah Tuhan Yesus-nya, dik?”
“Lihat, bang.”
“Ada berapa Tuhan Yesus yang kau lihat?”
“Dua. Abang lihat berapa?”
“Satu. Nah, nah ini dia…Ehh, sudah hilang.”
Begitulah, hampir setiap pagi kami betah duduk di tangga; menghitung “Tuhan Yesus” yang bergerak-gerak di langit dan yang kemudian, pada satu titik tertentu akan menghilang, lalu disusul oleh “Tuhan Yesus” yang berikut.
Di kemudian hari, setelah saya bertambah besar, maka sadarlah saya bahwa yang kami lihat sebagai Tuhan Yesus itu ternyata hanyalah debu atau kotoran yang menempel di bola mata. Lalu, karena lendir yang ada di mata yang belum dibasuh, maka kotoran atau debu itu akan bergerak-gerak. Dan bila mata di arahkan ke langit, maka tentu saja ia akan kelihatan seperti sabit, bumerang atau sayap capung. Tapi ketika itu, tentu saja saya dan adik saya percaya benar bahwa yang kami lihat itu memang Tuhan Yesus. Dan sebagaimana layaknya orang dewasa, kesadaran melihat Tuhan Yesus ternyata juga memberikan suasana damai dan sukacita kepada kami. (Setidak-tidaknya, selama 1 jam kami tidak perlu berkelahi sebagaimana biasanya yang dilakukan oleh dua kakak-beradik. Dan ibu bisa melakukan
pekerjaannya dengan tenang…).
Lelaki Berjenggot dan Berjambang
Ketika saya masuk sekolah maka mulailah saya mengenal citra yang lain dari Tuhan Yesus. (Saya bersekolah biasa di SD Kristen Immanuel dan bersekolah minggu di HKBP Sidorame).
Saya rasa, citra Tuhan Yesus yang diperkenalkan kepada saya adalah juga citra yang diperkenalkan kepada semua anak di muka bumi ini, yaitu potret seorang lelaki berambut panjang, berkumis-berjanggut- berjambang dan memakai jubah putih.
Potret ini ada di buku cerita-cerita Alkitab, ada di kartu dan ada pula di lembar peraga. Kadang-kadang lelaki itu diperlihatkan duduk di tengah kerumunan anak-anak. Kadang-kadang ia diperlihatkan berdiri di tengah sekawanan domba. Kadang-kadang ia diperlihatkan sedang berdoa dengan tangan yang terkatup dan mata memandang ke langit.
Begitu meresapnya potret Yesus itu ke dalam pemahaman saya, sehingga wajah itu jugalah yang muncul setiap kali saya berdoa memohon sesuatu kepadaNya. (Dan sebagaimana halnya anak-anak, maka doa permohonan saya tentu hanya berkisar di seputar bagaimana agar hasil ulangan mendapat nilai tinggi, bagaimana agar saya tidak “dikompas” oleh anak-anak di ujung jalan sana atau bagaimana agar ibu jangan cepat mati).
Kadang-kadang ada saja kawan yang “berani” dan memberi tambahan gambar kacamata di atas potret wajah itu. Tapi bagi saya perbuatan kawan tersebut sungguh merupakan sebuah dosa besar. Dan saya yakin ia pasti akan masuk ke neraka…
Sedemikian yakinnya saya akan wajah Yesus, sehingga ketika masih duduk di bangku SD itu juga, “iman” saya pernah guncang karena fenomena seorang gila yang sering menyelonong ke halaman sekolah kami.
Pada waktu itu, di tahun 60-an, di kota Medan ada seorang lelaki yang sering berkeluyuran di seantero kota sambil komat-kamit dan membawa Alkitab. Ia berambut panjang, berkumis-berjanggut, memakai jubah putih dan selalu mengenakan sepatu sandal. Kami menamainya “Si
Panggabean Gila Agama”.
Bila ada kerumunan orang, maka “Si Panggabean” akan menyeruak masuk dan mulai berkhotbah. Saya tidak tahu benar apa yang dikhotbahkannya, tapi dalam khotbahnya ia selalu berulang-ulang meneriakkan, “Bertobatlah karena tiga hari lagi dunia akan kiamat…”
Begitulah, kalau pada jam keluar main pintu pagar tidak tertutup maka “Si Panggabean” akan menyelonong masuk. Mulailah ia berkhotbah di bawah tiang bendera dan dalam waktu sekejap saja semua anak sudah berkerumun di sekitarnya. Ada yang hanya tertawa-tawa, ada yang
mengulang-ulang perkataannya, ada yang menarik-narik jubahnya dan ada pula yang melemparinya dengan batu kecil. Tapi “Si Panggabean” tidak pernah marah. Ia hanya tersenyum dan terus saja berceloteh.
Dan sementara menonton “Si Panggabean” berkhotbah saya bergumul dalam hati, “Bagaimana kalau dia memang benar adalah Tuhan Yesus? Anak-anak yang mengganggunya itu pasti akan masuk neraka…” Karena itu saya tidak pernah berani mengusik “Si Panggabean”. Kadang-kadang saya beranikan juga diri saya untuk menyentuh jubahnya yang putih itu. Tapi niat saya bukan untuk mengganggu. Seperti yang dilakukan oleh perempuan yang menderita perdarahan dalam cerita Alkitab itu; saya berharap ada kuasa yang mengalir dari jubah itu ke diri saya.
The Beatles dan Che Guevara
Ketika saya beranjak remaja maka potret Kristus yang saya bawa sedari masa kanak-kanak itu mulai kabur. Saya tidak tahu, apakah potret itu kabur karena saya sudah jarang memandangnya ataukah karena ia telah di-”imposed” oleh potret-potret “nabi” lain yang tidak kalah memukaunya.
Zaman ketika saya remaja adalah zaman yang gegap gempita oleh kehadiran “The Beatles”, “The Rolling Stones” dan “The Cats”. Semua personil-personil grup musik populer itu berambut panjang dan berkumis-berjanggut-berjambang. Dan potret “orang-orang besar” itulah yang lebih mendominasi halaman buku tulis, pintu lemari pakaian atau dinding kamar tidur kami, para remaja waktu itu. Saya rasa hanya anak-anak yang “kuper” sajalah yang masih memajang potret orang Nazaret yang menggendong domba itu di halaman buku tulisnya.
Satu pahlawan lagi yang tak kalah romantisnya pada waktu itu adalah Che Guevara. Gambar pria Argentina yang berjuang untuk Kuba dan mati tertembak di Bolivia ini juga menjadi pujaan orang muda di mana-mana. Sedemikan kagumnya saya dengan Che Guevara, sehingga–walaupun tidak mengerti bahasa Inggeris–saya selalu membawa-bawa sebuah buku saku karangannya, “The Guerilla Warfare”, kemana-mana.
Begitulah, semaja remaja, kalau saya berdoa (sesekali), maka saya tidak tahu wajah siapa yang ada di benak saya. Kadang-kadang saya melihat Kristus, kadang-kadang saya melihat Che Guevara dan kadang-kadang saya melihat John Lennon. (Dan bagi saya pada waktu
itu, lagu “Imagine” tentu saja jauh lebih hebat dari “Khotbah Di Bukit”).
Para Waria Yang Dikejar Tramtib
Begitulah, sejalan dengan perubahan usia, berubah pula citra atau potret Kristus yang saya persepsikan di dalam diri saya. Dalam satu titik perjalanan hidup, tiba-tiba saya menyadari, bahwa kalau saya berdoa atau berpikir tentang Kristus maka citra yang muncul lebih
banyak berupa suasana atau pemandangan.
Kadang-kadang saya mempersepsikan Kristus sebagai sebuah taman. Kadang-kadang saya mempersepsikan-Nnya sebagai sebuah sungai yang jernih dan tenang. Kadang-kadang sebagai sebuah jalan yang lurus, sebagai sebuah pohon, seberkas sinar, sepotong laut, atau apa saja. (Tadi pagi saya berdoa memohon perlindungan Kristus terhadap orang-orang yang saya kasihi yang ada di Medan, Bandung, Jakarta, Mataram dan Ambon. Lalu tiba-tiba saya melihat Kristus seperti seekor induk ayam yang besar, yang merentangkan kedua sayapnya untuk melindungi anak-anaknya dari intaian elang yang sedang melayang-layang di
langit).
Saya tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan di dalam diri saya dalam mempersepsikan Kristus. Kalau saya pikir-pikir lebih jauh; mungkin hal ini disebabkan karena saya terlalu banyak membaca sajak dan novel.
Ketika hal ini saya diskusikan dengan seorang sahabat dia hanya menatap saya dan berkata, “Akh, gila, lu!” Tapi saya rasa saya tidak gila. Saya tahu para penulis Alkitab juga sering mempersepsikan Kristus sebagai pohon anggur, jalan, terang, mempelai pria, kumpulan orang-orang (gereja), benteng, gunung batu dan apa saja.
Krisis yang berkepanjangan dan melanda negeri ini tentu saja sangat merasuki pikiran saya. Karena itu, kadang-kadang Kristus saya persepsikan pula sebagai kerumunan orang-orang Batak “yang tak berketentuan” di perempatan Cawang–Jakarta Timur sana, bayi-bayi korban deman berdarah “dengue” yang berdesak-desak di kamar rumah sakit, wajah anak-anak yang ceria ketika jam bubaran sekolah, iring- iringan tahanan kelas teri yang terpincang-pincang (karena kakinya ditembak) di depan kantor Polres atau banci yang tunggang-langgang dikejar tim Tramtib. Kristus juga bisa mewujud dalam paduan suara para janda yang dengan suara sederhana tapi sungguh-sungguh menyanyi pada jam kebaktian di gereja. Dua hari yang lalu, di sebuah apotik di bilangan Cempaka Putih–Jakarta Timur ada seorang bapak yang turun tertatih-tatih dari “bajaj” dan menyodorkan resepnya di loket. Ketika petugas menyebut harga obat tersebut, si bapak terdiam. Lalu dengan suara lirih dia bertanya, “Bolehkah saya tebus sepertiga dulu…?” (Kalau obat tersebut adalah antibiotika, maka cilakalah si bapak). Saya rasa bapak itu adalah Kristus.
Karaoke
Sejak dahulu Holywood selalu berupaya untuk membuat filem sejarah kehidupan Kristus. Dan tidak dapat dipungkiri, filem-filem seperti ini selalu mendapat sambutan yang meriah. Gereja-gereja pun senang memutar filem seperti ini dan percaya bahwa inilah salah satu sarana kesaksian dan pemeliharaan iman jemaat yang sebenarnya sudah tidak terhitung kanak-kanak lagi. Tapi pengembaraan (atau petualangan) rohani saya membuat saya sudah tidak tertarik lagi terhadap hal-hal seperti ini. Bagi saya filem- filem ini ibarat karaoke. Dan saya selalu terusik dengan karaoke (alat yang membantu orang bernyanyi dengan kursor yang berlari-lari di atas teks, ilustrasi musik dan sebuah tayangan visual yang oleh pembuatnya dianggap bisa menggambarkan suasana lagu tersebut). Atas lagu-lagu tertentu yang saya senangi, saya membangun visualisasi sendiri. Atas lagu “Sepanjang Jalan Kenangan” misalnya, maka saya membayangkan sebuah jalanan yang di kiri kanannya ada pohon kenari dan yang berjalan di tengahnya adalah saya sendiri dengan seorang perempuan yang sosoknya hanya saya sendiri yang tahu. Karena itu, kalau yang muncul di karaoke adalah seorang pria yang berambut cepak dan ganteng serta seorang wanita Hongkong yang berambut keriting; imajinasi saya menjadi terganggu…
Mata Rohani
Saya senang dengan berbagai imajinasi yang saya bangun tentang citra atau “potret” Kristus, dan saya ingin tetap memelihara kebebasan membangun imajinasi tersebut.
Di karya-karya sastra–misalnya di karya Leo Tolstoy–ada banyak citra Kristus. Tapi di karya-karya non-fiksi pun saya acapkali menemukannya. Belum lama berselang, saya membaca sebuah memoar dari mantan tahanan politik G30S-PKI. Si penulis menceritakan kepahitan hidup yang dialaminya selama tahanan Salemba–Tangerang– Nusakambangan–dan Pulau Buru. Aha, ternyata Kristus juga saya temukan di sana.
Agama saya–Kristen Protestan–memang tidak melarang visualisasi Tuhan dan para nabi. Bagi kami adalah hal yang wajar-wajar saja untuk menampilkan potret Kristus dalam rupa apa saja–apalagi rupa manusia. Bagaimana pun ia adalah Tuhan Yang Menjadi Manusia dan Tuhan Yang Mensejarah, tokh?
Tapi saya khawatir kalau filem-filem Hollywood itu membuat mata rohani saya menjadi kurang peka dan melihat Yesus hanya sampai sebatas sosok manusia James Caviezel, yang notabene “tak jauh-jauh amat” dengan sosok John Lenon, Che Guevara, dan yang lain
sebagainya. Dan saya tidak ingin menjadi bagian dari orang-orang yang pada akhir zaman nanti akan bertanya, “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?” (Matius 25:44).
(Penulis adalah Mula Harahap, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2004)
Pagi-pagi benar, sehabis bangun tidur, kami akan duduk di tangga rumah dan mengarahkan pandangan ke langit biru. Bila kami mengarahkan pandangan sedemikian rupa dan dalam waktu yang cukup lama ke langit, maka akan tampaklah sosok-sosok transparan yang menyerupai bumerang, sabit atau sayap capung yang bergerak perlahan-lahan; dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah atau dari sudut yang satu ke sudut yang lain. Kemudian sampai pada satu titik tertentu, sosok tersebut akan hilang dari pandangan.
“Kau lihatkah Tuhan Yesus-nya, dik?”
“Lihat, bang.”
“Ada berapa Tuhan Yesus yang kau lihat?”
“Dua. Abang lihat berapa?”
“Satu. Nah, nah ini dia…Ehh, sudah hilang.”
Begitulah, hampir setiap pagi kami betah duduk di tangga; menghitung “Tuhan Yesus” yang bergerak-gerak di langit dan yang kemudian, pada satu titik tertentu akan menghilang, lalu disusul oleh “Tuhan Yesus” yang berikut.
Di kemudian hari, setelah saya bertambah besar, maka sadarlah saya bahwa yang kami lihat sebagai Tuhan Yesus itu ternyata hanyalah debu atau kotoran yang menempel di bola mata. Lalu, karena lendir yang ada di mata yang belum dibasuh, maka kotoran atau debu itu akan bergerak-gerak. Dan bila mata di arahkan ke langit, maka tentu saja ia akan kelihatan seperti sabit, bumerang atau sayap capung. Tapi ketika itu, tentu saja saya dan adik saya percaya benar bahwa yang kami lihat itu memang Tuhan Yesus. Dan sebagaimana layaknya orang dewasa, kesadaran melihat Tuhan Yesus ternyata juga memberikan suasana damai dan sukacita kepada kami. (Setidak-tidaknya, selama 1 jam kami tidak perlu berkelahi sebagaimana biasanya yang dilakukan oleh dua kakak-beradik. Dan ibu bisa melakukan
pekerjaannya dengan tenang…).
Lelaki Berjenggot dan Berjambang
Ketika saya masuk sekolah maka mulailah saya mengenal citra yang lain dari Tuhan Yesus. (Saya bersekolah biasa di SD Kristen Immanuel dan bersekolah minggu di HKBP Sidorame).
Saya rasa, citra Tuhan Yesus yang diperkenalkan kepada saya adalah juga citra yang diperkenalkan kepada semua anak di muka bumi ini, yaitu potret seorang lelaki berambut panjang, berkumis-berjanggut- berjambang dan memakai jubah putih.
Potret ini ada di buku cerita-cerita Alkitab, ada di kartu dan ada pula di lembar peraga. Kadang-kadang lelaki itu diperlihatkan duduk di tengah kerumunan anak-anak. Kadang-kadang ia diperlihatkan berdiri di tengah sekawanan domba. Kadang-kadang ia diperlihatkan sedang berdoa dengan tangan yang terkatup dan mata memandang ke langit.
Begitu meresapnya potret Yesus itu ke dalam pemahaman saya, sehingga wajah itu jugalah yang muncul setiap kali saya berdoa memohon sesuatu kepadaNya. (Dan sebagaimana halnya anak-anak, maka doa permohonan saya tentu hanya berkisar di seputar bagaimana agar hasil ulangan mendapat nilai tinggi, bagaimana agar saya tidak “dikompas” oleh anak-anak di ujung jalan sana atau bagaimana agar ibu jangan cepat mati).
Kadang-kadang ada saja kawan yang “berani” dan memberi tambahan gambar kacamata di atas potret wajah itu. Tapi bagi saya perbuatan kawan tersebut sungguh merupakan sebuah dosa besar. Dan saya yakin ia pasti akan masuk ke neraka…
Sedemikian yakinnya saya akan wajah Yesus, sehingga ketika masih duduk di bangku SD itu juga, “iman” saya pernah guncang karena fenomena seorang gila yang sering menyelonong ke halaman sekolah kami.
Pada waktu itu, di tahun 60-an, di kota Medan ada seorang lelaki yang sering berkeluyuran di seantero kota sambil komat-kamit dan membawa Alkitab. Ia berambut panjang, berkumis-berjanggut, memakai jubah putih dan selalu mengenakan sepatu sandal. Kami menamainya “Si
Panggabean Gila Agama”.
Bila ada kerumunan orang, maka “Si Panggabean” akan menyeruak masuk dan mulai berkhotbah. Saya tidak tahu benar apa yang dikhotbahkannya, tapi dalam khotbahnya ia selalu berulang-ulang meneriakkan, “Bertobatlah karena tiga hari lagi dunia akan kiamat…”
Begitulah, kalau pada jam keluar main pintu pagar tidak tertutup maka “Si Panggabean” akan menyelonong masuk. Mulailah ia berkhotbah di bawah tiang bendera dan dalam waktu sekejap saja semua anak sudah berkerumun di sekitarnya. Ada yang hanya tertawa-tawa, ada yang
mengulang-ulang perkataannya, ada yang menarik-narik jubahnya dan ada pula yang melemparinya dengan batu kecil. Tapi “Si Panggabean” tidak pernah marah. Ia hanya tersenyum dan terus saja berceloteh.
Dan sementara menonton “Si Panggabean” berkhotbah saya bergumul dalam hati, “Bagaimana kalau dia memang benar adalah Tuhan Yesus? Anak-anak yang mengganggunya itu pasti akan masuk neraka…” Karena itu saya tidak pernah berani mengusik “Si Panggabean”. Kadang-kadang saya beranikan juga diri saya untuk menyentuh jubahnya yang putih itu. Tapi niat saya bukan untuk mengganggu. Seperti yang dilakukan oleh perempuan yang menderita perdarahan dalam cerita Alkitab itu; saya berharap ada kuasa yang mengalir dari jubah itu ke diri saya.
The Beatles dan Che Guevara
Ketika saya beranjak remaja maka potret Kristus yang saya bawa sedari masa kanak-kanak itu mulai kabur. Saya tidak tahu, apakah potret itu kabur karena saya sudah jarang memandangnya ataukah karena ia telah di-”imposed” oleh potret-potret “nabi” lain yang tidak kalah memukaunya.
Zaman ketika saya remaja adalah zaman yang gegap gempita oleh kehadiran “The Beatles”, “The Rolling Stones” dan “The Cats”. Semua personil-personil grup musik populer itu berambut panjang dan berkumis-berjanggut-berjambang. Dan potret “orang-orang besar” itulah yang lebih mendominasi halaman buku tulis, pintu lemari pakaian atau dinding kamar tidur kami, para remaja waktu itu. Saya rasa hanya anak-anak yang “kuper” sajalah yang masih memajang potret orang Nazaret yang menggendong domba itu di halaman buku tulisnya.
Satu pahlawan lagi yang tak kalah romantisnya pada waktu itu adalah Che Guevara. Gambar pria Argentina yang berjuang untuk Kuba dan mati tertembak di Bolivia ini juga menjadi pujaan orang muda di mana-mana. Sedemikan kagumnya saya dengan Che Guevara, sehingga–walaupun tidak mengerti bahasa Inggeris–saya selalu membawa-bawa sebuah buku saku karangannya, “The Guerilla Warfare”, kemana-mana.
Begitulah, semaja remaja, kalau saya berdoa (sesekali), maka saya tidak tahu wajah siapa yang ada di benak saya. Kadang-kadang saya melihat Kristus, kadang-kadang saya melihat Che Guevara dan kadang-kadang saya melihat John Lennon. (Dan bagi saya pada waktu
itu, lagu “Imagine” tentu saja jauh lebih hebat dari “Khotbah Di Bukit”).
Para Waria Yang Dikejar Tramtib
Begitulah, sejalan dengan perubahan usia, berubah pula citra atau potret Kristus yang saya persepsikan di dalam diri saya. Dalam satu titik perjalanan hidup, tiba-tiba saya menyadari, bahwa kalau saya berdoa atau berpikir tentang Kristus maka citra yang muncul lebih
banyak berupa suasana atau pemandangan.
Kadang-kadang saya mempersepsikan Kristus sebagai sebuah taman. Kadang-kadang saya mempersepsikan-Nnya sebagai sebuah sungai yang jernih dan tenang. Kadang-kadang sebagai sebuah jalan yang lurus, sebagai sebuah pohon, seberkas sinar, sepotong laut, atau apa saja. (Tadi pagi saya berdoa memohon perlindungan Kristus terhadap orang-orang yang saya kasihi yang ada di Medan, Bandung, Jakarta, Mataram dan Ambon. Lalu tiba-tiba saya melihat Kristus seperti seekor induk ayam yang besar, yang merentangkan kedua sayapnya untuk melindungi anak-anaknya dari intaian elang yang sedang melayang-layang di
langit).
Saya tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan di dalam diri saya dalam mempersepsikan Kristus. Kalau saya pikir-pikir lebih jauh; mungkin hal ini disebabkan karena saya terlalu banyak membaca sajak dan novel.
Ketika hal ini saya diskusikan dengan seorang sahabat dia hanya menatap saya dan berkata, “Akh, gila, lu!” Tapi saya rasa saya tidak gila. Saya tahu para penulis Alkitab juga sering mempersepsikan Kristus sebagai pohon anggur, jalan, terang, mempelai pria, kumpulan orang-orang (gereja), benteng, gunung batu dan apa saja.
Krisis yang berkepanjangan dan melanda negeri ini tentu saja sangat merasuki pikiran saya. Karena itu, kadang-kadang Kristus saya persepsikan pula sebagai kerumunan orang-orang Batak “yang tak berketentuan” di perempatan Cawang–Jakarta Timur sana, bayi-bayi korban deman berdarah “dengue” yang berdesak-desak di kamar rumah sakit, wajah anak-anak yang ceria ketika jam bubaran sekolah, iring- iringan tahanan kelas teri yang terpincang-pincang (karena kakinya ditembak) di depan kantor Polres atau banci yang tunggang-langgang dikejar tim Tramtib. Kristus juga bisa mewujud dalam paduan suara para janda yang dengan suara sederhana tapi sungguh-sungguh menyanyi pada jam kebaktian di gereja. Dua hari yang lalu, di sebuah apotik di bilangan Cempaka Putih–Jakarta Timur ada seorang bapak yang turun tertatih-tatih dari “bajaj” dan menyodorkan resepnya di loket. Ketika petugas menyebut harga obat tersebut, si bapak terdiam. Lalu dengan suara lirih dia bertanya, “Bolehkah saya tebus sepertiga dulu…?” (Kalau obat tersebut adalah antibiotika, maka cilakalah si bapak). Saya rasa bapak itu adalah Kristus.
Karaoke
Sejak dahulu Holywood selalu berupaya untuk membuat filem sejarah kehidupan Kristus. Dan tidak dapat dipungkiri, filem-filem seperti ini selalu mendapat sambutan yang meriah. Gereja-gereja pun senang memutar filem seperti ini dan percaya bahwa inilah salah satu sarana kesaksian dan pemeliharaan iman jemaat yang sebenarnya sudah tidak terhitung kanak-kanak lagi. Tapi pengembaraan (atau petualangan) rohani saya membuat saya sudah tidak tertarik lagi terhadap hal-hal seperti ini. Bagi saya filem- filem ini ibarat karaoke. Dan saya selalu terusik dengan karaoke (alat yang membantu orang bernyanyi dengan kursor yang berlari-lari di atas teks, ilustrasi musik dan sebuah tayangan visual yang oleh pembuatnya dianggap bisa menggambarkan suasana lagu tersebut). Atas lagu-lagu tertentu yang saya senangi, saya membangun visualisasi sendiri. Atas lagu “Sepanjang Jalan Kenangan” misalnya, maka saya membayangkan sebuah jalanan yang di kiri kanannya ada pohon kenari dan yang berjalan di tengahnya adalah saya sendiri dengan seorang perempuan yang sosoknya hanya saya sendiri yang tahu. Karena itu, kalau yang muncul di karaoke adalah seorang pria yang berambut cepak dan ganteng serta seorang wanita Hongkong yang berambut keriting; imajinasi saya menjadi terganggu…
Mata Rohani
Saya senang dengan berbagai imajinasi yang saya bangun tentang citra atau “potret” Kristus, dan saya ingin tetap memelihara kebebasan membangun imajinasi tersebut.
Di karya-karya sastra–misalnya di karya Leo Tolstoy–ada banyak citra Kristus. Tapi di karya-karya non-fiksi pun saya acapkali menemukannya. Belum lama berselang, saya membaca sebuah memoar dari mantan tahanan politik G30S-PKI. Si penulis menceritakan kepahitan hidup yang dialaminya selama tahanan Salemba–Tangerang– Nusakambangan–dan Pulau Buru. Aha, ternyata Kristus juga saya temukan di sana.
Agama saya–Kristen Protestan–memang tidak melarang visualisasi Tuhan dan para nabi. Bagi kami adalah hal yang wajar-wajar saja untuk menampilkan potret Kristus dalam rupa apa saja–apalagi rupa manusia. Bagaimana pun ia adalah Tuhan Yang Menjadi Manusia dan Tuhan Yang Mensejarah, tokh?
Tapi saya khawatir kalau filem-filem Hollywood itu membuat mata rohani saya menjadi kurang peka dan melihat Yesus hanya sampai sebatas sosok manusia James Caviezel, yang notabene “tak jauh-jauh amat” dengan sosok John Lenon, Che Guevara, dan yang lain
sebagainya. Dan saya tidak ingin menjadi bagian dari orang-orang yang pada akhir zaman nanti akan bertanya, “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?” (Matius 25:44).
(Penulis adalah Mula Harahap, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar