Memiliki anak yang berprestasi tentu menjadi impian setiap orangtua. Orangtua mana yang tidak bangga jika anak mereka menjadi juara disekolahnya, apalagi kalau sampai menjadi juara olimpiade fisika, wah…bisa-bisa pesta tujuh hari tujuh malam. Harkat dan martabat keluargapun menjadi terangkat karenanya. Oleh karena itu, banyak orangtua yang mati-matian mencarikan sekolah favorit buat anaknya, belum lagi ditambah les ini dan itu bagi yang mampu secara ekonomi. Semuanya itu tentu sah-sah saja, namun sayangnya banyak orangtua yang kurang menyadari bahwa mendidik anak bukan hanya agar mereka menjadi cerdas secara kognisi (intelektual), namun juga cerdas secara emosi dan spiritual (rohani). Banyak anak yang meskipun cerdas, namun kurang bisa berelasi dengan baik dengan teman-teman dan lingkungannya. Mereka menjadi anak yang egois, kurang peduli sesama, kurang sopan santun, sulit berempati, dan sebagainya. Bukan hanya itu, banyak anak-anak yang sebetulnya mempunyai potensi yang baik namun tidak berkembang, bahkan terjerumus kedalam kenakalan remaja, akibat tidak terpenuhinya kebutuhan emosi dari orangtua mereka. Mereka merasa orangtuanya hanya bisa menuntut, memerintah, memarahi, menyalahkan, tanpa pernah mau mendengar, memahami, mengerti, mendukung, apalagi memberikan solusi. Mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi tanpa identitas yang jelas (krisis jatidiri). Mengapa? Karena para pakar menyebutkan bahwa salah satu pembentuk identitas bagi remaja adalah sikap atau pola asuh orangtua. Selanjutnya para pakar tersebut juga mengatakan bahwa akibat krisis identitas tersebut, banyak remaja yang terjerat kedalam perbagai masalah yang serius, antara lain narkoba, seks bebas, kriminalitas, dan sebagainya. Sebagai contoh, khusus di DKI Jakarta, 20% dari 4 juta pemakai narkoba adalah remaja (BKKBN, 2003); 15 % remaja pernah melakukan hubungan seks pranikah (BKKBN, 2006); setiap tahun, 15 juta remaja usia 15-19 tahun melahirkan (BKKBN, 2006); sekitar 2,3 juta kasus aborsi pertahun, 20% nya dilakukan oleh remaja (BKKBN, 2006), jumlah pengidap HIV/AIDS
(15 tahun keatas) diperkirakan 170.000 orang (UNAIDS: Report on The Global AIDS Epidemic, 2006). Sudah barang tentu data tersebut tidak semuanya disebabkan oleh banyak faktor, namun salah satu faktor penyebabnya adalah krisis identitas.
Apakah itu Krisis Identitas?
Krisis identitas adalah pertanyaan-pertanyaan remaja tentang dirinya sendiri: Who am I ? … Siapakah aku ini ? Apakah aku seorang yang berharga? Mau jadi apa aku nanti setelah dewasa? Jika remaja tidak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut maka kemungkinan besar mereka akan tumbuh menjadi suatu pribadi yang senantiasa gelisah, merasa dunianya tidak aman, dibayangi rasa bersalah, rendah diri, kesepian, dan merasa tidak ada yang menginginkan kehadirannya. Menurut Gary Collins, ada empat cara yang biasanya dilakukan oleh remaja jika mereka mengalami hal-hal yang demikian:
1. Memendam Masalah
Remaja dengan tipe seperti ini berusaha mengatasi sendiri masalah yang dihadapinya dengan cara memendam sendiri masalah yang dihadapinya dibandingkan mencari solusinya. Ciri-ciri remaja yang demikian adalah mereka sering terlihat kesepian, melamun, suka menarik diri dari pergaulan, apatis, gelisah, pelajaran terganggu, timbulnya gangguan emosi seperti mudah marah, dan sebagainya.
2. Menghadapi Masalah Dengan Cara Yang Salah
Remaja dengan tipe seperti ini menghadapi masalahnya dengan perilaku yang merusak seperti mabuk-mabukan, narkoba, kriminalitas, tawuran, sikap memberontak terhadap orangtua dan guru, bahkan sampai melibatkan diri dalam seks bebas
3. Lari Dari Masalah
Remaja dengan tipe seperti ini berusaha untuk lari dari permasalahan yang dihadapinya. Berbagai macam cara dapat dilakukan, mulai dari lari dari rumah oleh karena sering bertentangan dengan orangtuanya, mencari kompensasi kepada obat-obatan terlarang dan alkohol, sampai kepada lari dari dunia ini alias bunuh diri.
4. Menghadapi Masalah Dengan Cara Yang Benar
Remaja dengan tipe seperti ini berusaha menghadapi masalah yang dihadapinya dengan cara-cara yang benar. Mereka mencari orang lain seperti orangtua, teman, atau seseorang yang dewasa dan dapat dipercaya untuk dimintai pendapatnya. Mereka juga tidak pantang menyerah dengan masalah-masalah yang ada, melainkan belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuatnya.
Bagaimana Peranan Orangtua?
Peran orangtua terhadap perkembangan remaja dimulai sejak kecil, terbagi atas fase-fase sbb : (Stages of Development by Erik Erikson)
FASE PERCAYA ><><><><>< style="font-weight: bold;">
Perspektif Alkitab Tentang Mendidik Anak
Luk 15:11-24 : “Perumpamaan Tentang Anak yang Hilang”
• Allah dipandang sebagai orangtua yang penuh kasih
• Allah menunjukkan kasihNya tidak dengan cara yang kaku dan otoriter, tapi dengan cara yang hangat & intim
Ibrani 12:6 : “…Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya.”
• Allah dipandang sebagai orangtua yang menuntut kedisiplinan
• Disiplin tersebut bukan tanda benci, tapi tanda kasihNya (Ams 13:24)
Inti Mendidik Anak dalam Alkitab
1. Discipleship (pemuridan): “Melayani, bukan Menguasai”
2. A commitment to discover
Orangtua harus terus menggali dan menemukan apa yang tersimpan dalam hati anaknya (Amsal 20:5), melalui : komunikasi, empati, mendengarkan, pengertian, tidak menghakimi, dsb
3. A willingness to get involved
Orangtua harus terlibat dalam segala aspek kehidupan anaknya, agar dapat menolong si anak bertumbuh. “Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya.” (Amsal 27:17)
Penutup
Setiap anak dilahirkan secara unik. Tiap anak memiliki kemampuan yang dianugerahkan secara berbeda-beda oleh Sang Pencipta. Tugas utama setiap orangtua adalah membantu si anak agar dapat menemukan keunikan potensi diri mereka masing-masing, lalu mengarahkannya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Jangan paksakan mereka untuk mengikuti “agenda” pribadi orangtua sendiri. Selain itu, orangtua juga jangan hanya terpaku untuk membuat anaknya cerdas secara intelektual, namun mengabaikan kebutuhan emosinya. Jadikan anak kita berkembang menjadi sebuah pribadi yang utuh: intelektual, emosi, sosial, moral, dan rohani.
(Penulis adalah Novel Priyatna, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Maret 2007)
(15 tahun keatas) diperkirakan 170.000 orang (UNAIDS: Report on The Global AIDS Epidemic, 2006). Sudah barang tentu data tersebut tidak semuanya disebabkan oleh banyak faktor, namun salah satu faktor penyebabnya adalah krisis identitas.
Apakah itu Krisis Identitas?
Krisis identitas adalah pertanyaan-pertanyaan remaja tentang dirinya sendiri: Who am I ? … Siapakah aku ini ? Apakah aku seorang yang berharga? Mau jadi apa aku nanti setelah dewasa? Jika remaja tidak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut maka kemungkinan besar mereka akan tumbuh menjadi suatu pribadi yang senantiasa gelisah, merasa dunianya tidak aman, dibayangi rasa bersalah, rendah diri, kesepian, dan merasa tidak ada yang menginginkan kehadirannya. Menurut Gary Collins, ada empat cara yang biasanya dilakukan oleh remaja jika mereka mengalami hal-hal yang demikian:
1. Memendam Masalah
Remaja dengan tipe seperti ini berusaha mengatasi sendiri masalah yang dihadapinya dengan cara memendam sendiri masalah yang dihadapinya dibandingkan mencari solusinya. Ciri-ciri remaja yang demikian adalah mereka sering terlihat kesepian, melamun, suka menarik diri dari pergaulan, apatis, gelisah, pelajaran terganggu, timbulnya gangguan emosi seperti mudah marah, dan sebagainya.
2. Menghadapi Masalah Dengan Cara Yang Salah
Remaja dengan tipe seperti ini menghadapi masalahnya dengan perilaku yang merusak seperti mabuk-mabukan, narkoba, kriminalitas, tawuran, sikap memberontak terhadap orangtua dan guru, bahkan sampai melibatkan diri dalam seks bebas
3. Lari Dari Masalah
Remaja dengan tipe seperti ini berusaha untuk lari dari permasalahan yang dihadapinya. Berbagai macam cara dapat dilakukan, mulai dari lari dari rumah oleh karena sering bertentangan dengan orangtuanya, mencari kompensasi kepada obat-obatan terlarang dan alkohol, sampai kepada lari dari dunia ini alias bunuh diri.
4. Menghadapi Masalah Dengan Cara Yang Benar
Remaja dengan tipe seperti ini berusaha menghadapi masalah yang dihadapinya dengan cara-cara yang benar. Mereka mencari orang lain seperti orangtua, teman, atau seseorang yang dewasa dan dapat dipercaya untuk dimintai pendapatnya. Mereka juga tidak pantang menyerah dengan masalah-masalah yang ada, melainkan belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuatnya.
Bagaimana Peranan Orangtua?
Peran orangtua terhadap perkembangan remaja dimulai sejak kecil, terbagi atas fase-fase sbb : (Stages of Development by Erik Erikson)
FASE PERCAYA ><><><><>< style="font-weight: bold;">
Perspektif Alkitab Tentang Mendidik Anak
Luk 15:11-24 : “Perumpamaan Tentang Anak yang Hilang”
• Allah dipandang sebagai orangtua yang penuh kasih
• Allah menunjukkan kasihNya tidak dengan cara yang kaku dan otoriter, tapi dengan cara yang hangat & intim
Ibrani 12:6 : “…Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya.”
• Allah dipandang sebagai orangtua yang menuntut kedisiplinan
• Disiplin tersebut bukan tanda benci, tapi tanda kasihNya (Ams 13:24)
Inti Mendidik Anak dalam Alkitab
1. Discipleship (pemuridan): “Melayani, bukan Menguasai”
2. A commitment to discover
Orangtua harus terus menggali dan menemukan apa yang tersimpan dalam hati anaknya (Amsal 20:5), melalui : komunikasi, empati, mendengarkan, pengertian, tidak menghakimi, dsb
3. A willingness to get involved
Orangtua harus terlibat dalam segala aspek kehidupan anaknya, agar dapat menolong si anak bertumbuh. “Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya.” (Amsal 27:17)
Penutup
Setiap anak dilahirkan secara unik. Tiap anak memiliki kemampuan yang dianugerahkan secara berbeda-beda oleh Sang Pencipta. Tugas utama setiap orangtua adalah membantu si anak agar dapat menemukan keunikan potensi diri mereka masing-masing, lalu mengarahkannya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Jangan paksakan mereka untuk mengikuti “agenda” pribadi orangtua sendiri. Selain itu, orangtua juga jangan hanya terpaku untuk membuat anaknya cerdas secara intelektual, namun mengabaikan kebutuhan emosinya. Jadikan anak kita berkembang menjadi sebuah pribadi yang utuh: intelektual, emosi, sosial, moral, dan rohani.
(Penulis adalah Novel Priyatna, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Maret 2007)
1 komentar:
Mo kasih informasi berkenaan dengan kenakalan anak dalam keluarga dan tips dalam membangun kualitas anak.
Bahwa Nanny Stella bintang dari Nanny 911, akan datang ke Indonesia memberikan seminar berjudul : Helping families achieve their full potential
Seminar cukup besar karena diadakan di JITEC Mangga Dua Square Jakarta pada tanggal 5 Desember 2009
Untuk info lengkap bisa kontak ke : 021 - 5695 6060 atau klik aja : http://my-ticketstation.com
Posting Komentar