Peran wanita menjadi pembicaraan yang menarik dibicarakan, karena masih dirasakan sampai sat ini pembedaan peran dan kedudukan yang amat berbau gender (antar jenis kelamin) berdasarkan kodrat masih saja terus hidup. Berbagai kenyataan hidup dalam beberapa pengalaman hidup perempuan memberi bukti bahwa ada semacam konsep yang mempercayai kodrat perempuan adalah sebagai penyambung keturunan, lemah lembut, lebih emosional, dan fisiknya kurang kuat.
Kenyataan umum membuktikan bahwa wanita acap kali menjadi korban system patriarchal. Kaum wanita dipandang rendah nilai martabatnya sebagai manusia. Sementara pria berperan sebagai penguasa segala sesuatu, sedangkan wanita dianggap pasif dan hanya bisa mendengar saja. Karena itu wanita bisa diatur, bahkan dipakai sebagai “pemuas” seksual. Lebih parah lagi, wanita dianggap lebih pantas bekerja di sektor domestik, atau dalam istilah “3 M” (melahirkan, memasak, dan menghias diri)
Dalam kehidupan gereja dewasa ini memang sudah ada perkembangan dalam hal peran wanita menjadi Majelis atau pemangku jabatan gerejawi, namun tidak sebanding dengan jumlah wanita yang sebenarnya memiliki potensi untuk duduk dalam posisi pemimpin (Evang Darmaputra: 1992, 12)
Memperhatikan pokok permasalahan di atas, maka dirasa penting mengadakan tinjauan teologis tentang peran gender. Untuk itu dalam tulisan ini akan ditelusuri dinamika turun naiknya kehidupan kaum wanita di dalam konteks tradisi kitab suci, selanjutnya peran dan fungsi wanita.
2. Selayang Pandang Turun Naiknya Dinamika Kehidupan Kaum Wanita
Pada bagian ini kita akan menelusuri bagaimana pengalaman kaum wanita serta reaksi mereka terhadap realitas kehidupan yang mereka hadapi (Hendrik Bonk: Wanita, 11-13)
a. Meneropong tradisi
Pada hakikatnya wanita memiliki kepribadian yang unik dan utuh, jasmani-rohani. Tradisi penulis kitab Kejadian dengan jelas menunjukkan kebenaran ini dan mereka mengungkapkan bahwa wanita diciptakan menjadi “penolong” bagi pria. Istilah “penolong” merupakan terjemahan dari kata “ezer” artinya penolong. Lebih jelas diterjemahkan dengan “ penolong yang sepadan” (bnd. Kej. 2:18). Dalam pengertian ini peran wanita sebagai penolong sangat menentukan, karena tanpa wanita, pria tidak dapat mewujudkan dirinya sepenuhnya.
Namun realitas sejarah perkembangan kehidupan umat manusia sejak dulu sampai sekarang, realitas hidup wanita berlangsung sungguh memprihatinkan (tragis). Wanita sepertinya disetting sebagai symbol kaum lemah yang tersingkir dalam percaturan kehidupan kaum pria. Dalam konteks masyarakat yang patriarchal, wanita dianggap kaum marginal. Dengan demikian jelas bahwa dalam perkembangannya wanita tidak menjadi korban akibat kekeliruan memenuhi tuntutan kodratnya, melainkan menjadi korban system atau kroban tradisi.
Sebagai contoh, dalam pertemuan-pertemuan, yang memiliki hak bersuara dan kuasa menentukan keputusan hanya berada pada pihak pria. Demikian juga dalam hal makan-minum. Istri harus mendahulukan kepentingan suami dan anak-anaknya, sebab ia harus menjadi pelayan. Dalam tradisi orang Yahudi hal sedemikian juga ditemukan. Wanita dianggap hanya bisa menangani tugas-tugas di seputar dapur saja. Wanita dicap sebagai penyebab dosa dan timbulnya nafsu birahi kaum pria. Hal ini yang kita lihat dalam kontroversi soal undang-undang anti pornografi dan porno aksi akhir-akhir ini di negara kita.
Kenyataan tersebut mengakibatkan hubungan antara pria dan wanita hanya bersifat fungsional atau sebatas relasi subjek-objek, ditempatkan pada posisi yang lemah secara intelektual dan menjadi sumber godaan dan kejahatan.
b. Krisis Jatidiri
Pada dasarnya manusia diciptakan adalah sebagai mahluk yang selalu membutuhkan sesamanya “homo homini socius”. Tetapi manusia juga sering menjadi lawan atau musuh bagi sesamanya “homo homini lupus”. Apa penyebab hal tersebut?
System patriarchal. Sistem ini merupakan salah satu penyebab terjadinya keretakan hubungan antara pria dan wanita. Pria menempatkan diri pada posisi teratas, sementara wanita berada di kelas kedua. Jika dilihat lebih teliti, sesungguhnya wanita bukanlah korban tradisi melainkan korban ketegaran hati kaum pria. Ini yang disebut krisis jatidiri, artinya kaum pria belum mengenal hakikat dirinya sebagai mahluk social. Dengan demikian dapat dikatakan krisis yang terjadi adalah karena sikap hati manusia yang tegar, sikap hati yang tertutup dan terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Sikap ini lebih jauh membawa manusia terperosok semakin dalam pada sebuah ekstrim yang tak terjembatani antara pria dan wanita biloa dibiarkan berlarut-larut.
Ironis memang, kaum pria yang dilindungi wanita selama sembilan bulan dalam kehangatan rahimnya, justru berbalik “menghianati” kasih saying dan kesetiaan yang telah mereka persembahkan. Mereka terjerembab di bawah dominasi kaum pria yang terus memproklamirkan diri sebagai penguasa selama ribuan tahun. Kini wanita terus berjuang dalam suasana tidak pasti untuk memproklamirkan diri sebagai mitra pria.
c. Awal Perjuangan-pelepasan tradisi lama
Ketika berhadapan dengan realita hidup yang terbelenggu, wanita merindukan pembebasan. Bebas dari penindasan structural supaya dapat merebut kembali nilai personanya yang tertindas. Wanita beranggapan bahwa prinsip saling mengobjekkan harus ditiadakan, pria dan wanita saling membutuhkan dalam rangka menyempurnakan dirinya. Pria tidak lagi dipandang sebagai penguasa atas wanita, tetapi sebagai mitra yang sepadan.
Kesadaran akan hakikat eksistensi manusia menjadi titik tolak awal gerakan feminisme. Kata “feminisme” berasal dari kata Latin “femina”artinya wanita. Dalam pengertian ini, feminisme dipahami dalam hubungan dengan tubas dan tanggung jawab kaum wanita. Maka gerakan feminisme adalah usaha kaum wanita untuk melepaskan system patriarchal dan berjuang menegakkan keadilan, persamaan hak dan martabat antara pria dan wanita, termasuk kesempatan kerja.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya gerakan feminisme. Antara lain: pertama, lahirnya revolusi Prancis dan Amerika pada abad 18 dan 19, membukan kesempatan bagi perjuangan persamaan hak dan martabat antara pria dan wanita.Kedua, munculnya gerakan anti perbudakan, di mana kaum wanita merupakan bagian terbesar dari masyarakat tertindas. Ketiga, munculnya figure wanita berkaliber dunia.Mereka adalah kaum terpelajar yang berusaha merumuskan dan berbicara tentang kaumnya. Sehubungan dengan ini ada perjuangan gerakan feminisme antara lain: Gerakan feminis Liberal, memperjuangkan kesamaan hak dan martabat antara pria dan wanita; Gerakan feminis Marxis, memperjuangan keperdulian terhadap otonomi ekonomi dan upah yang adil. Gerakan Feminisme Romantis (termasuk feminisme radikal) berusaha menghancurkan system patriarchal yang mendewakan realitas seksual supaya nilai pesona wanita yang telah jatuh dalam perbudakan direbut kembali.
Gerakan feminisme hingga saat ini telah membuahkan banyak perkembangan dan perubahan baik dalam tata kehidupan wanita sendiri maupun dalam masyarakat dan dunia umumnya. Wanita telah menduduki fungsi social yang melampau fungsinya dalam rumah tangga. Ini nampak dalam bidang politik, ekonomi, social dan agama (gereja), kebudayaan, hokum. Gereja sendiri pada tahun 1988-1998 menjadikan masa ini sebagai suatu decade ekumenis Gereja-gereja dalam solidaritasnya dengan wanita. Menjadi pertanyaan, penetapan decade ini bagi bangsa dan gereja telah sungguh-sungguh menggubris nasib dan masa depan kehidupan kaum wanita. Satu hal yang pasti, perjuangan wanita belum selesai. Kalau demikian, yang harus diperjuangkan terus oleh kaum wanita adalah kekhasan kodratnya sebagai wanita
3. Kekhasan Peran Dan Fungsi Wanita
Pertanyaan yang sering memancing kita untuk berbicara tentang wanita adalah mengapa wanita perlu beremansipasi dalam segala aspek kehidupan?
3.1. Wanita memberi daya hidup bagi siapa dan apa yang telah lahir dari padanya.
Sebetulnya kalau berbicara tentang wanita tidak bisa lepas dari kehidupan, sebab wanita adalah “pemberi daya hidup”, bukan sumber hidup. Sebab kitab Suci menyaksikan bahwa sumber hidup adalah Allah sendiri, tetapi melalui wanita Allah membuka kesempatan bagi manusia mengembangkan dan memelihara kehidupan yang telah Dia berikan. Menurut kodratnya kaum wanita mengandung dan melahirkan, jadi sangat dekat dengan kehidupan itu sendiri. Dalam kitab Kejadian 3:20 disebutkan wanita “pembawa kehidupan”, menunjukkan pengakuan akan peran sentral dari wanita dalam kelanjutan hidup dan kehidupan manusia yang tak tergantikan oleh pria, sebab peran ini berakar pada kuasa Allah sendiri. Jadi peran wanita tidak hanya berhenti pada mengandung dan melahirkan, melainkan juga dalam proses pemeliharaan dan kelanjutan hidup itu sendiri. Artinya wanita dengan cara keterlibatannya bisa memberi daya hidup bagi apa dan siapa yang telah lahir dari padanya.
Bertolak dari konsep pemahaman di atas, jeritan hati dari Elisabeth Schussler Fiorenza seharusnya tidak terjadi lagi: “ yang disebut Gereja atau Bangsa lebih diidentikkan dan dipimpin oleh kaum bapa. Menyebut gereja, maka yang terlihat di depan mata kita adalah Pendeta (pastor), Paus, Uskup, semuanya kaum pria. Wanita hanya dipuji karena rajin menghadiri kebaktian dan perjamuan, tetapi yang memimpin dominan pria” Jadi emansipasi wanita zaman ini tidak lagi terbatas pada perjuangan demi kesamaan, kedudukan dan martabatnya dengan kaum pria. Satu hal yang perlu diperjuangkan dan dikembangkan oleh wanita adalah bagaimana dengan keindahan dan kelembutan hatinya, wanita dapat memberi warna khas atau makna baru dalam segala bidang kehidupan.
3.2. Dengan hati mengabdi untuk membangun kehidupan
Hati merupakan inti kepribadian manusia, yang di dalamnya wanita menghati hakikat peranannya sebagai wanita. Dengan hati, wanita berbicara, berfikir, mencintai, mendekati sesama, mendengar dan terlibat dalam karya pelayanannya. Singkatnya hati manusiamewarnai setiap tindakan, perhatian dan cinta kasihnya. Di sinilah tindakan manusia dipertimbangkan, diputuskan dan dilakukan. Keadaan hati menentukan tindakan seseorang entah baik atau buruk.
Jadi yang terpenting bagi wanita bukan mendirikan struktur organisasi wanita yang hebat, melainkan hubungan antara pribadi; bukan kehormatan melainkan upaya mendewasakan sesama dengan kelembutan hati; bukan sebatas kemampuan membangun proyek besar melainkan kesanggupan memberi makna khas atau daya hidup baru pada seluruh kepentingan manusia konkret. Berdasar pada suasana seperti ini, wanita akan mengalami proses transformasi sehingga mampu mencintai dalam konteks yang lebih luas
Dengan demikian bukan soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wanita, tetapi fungsi keibuan harus meresap ke dalam tugas dan jabatan apa pun yang ditekuninya. Wanita yang presiden, guru, dokter, insiniur, Pendeta atau Sintua, selayaknya memiliki daya untuk memberi makna baru pada bidang fungsinya dengan sifat keibuannya. Dengan kelembutan hatinya, wanita menjalankan fungsinya dan merangkul semua tugas dan jabatan. Bangsa dan gereja memerlukan orang-orang seperti ini untuk menyampaikan warta-Nya, yakni orang yang menyampaikan janji-Nya bukan hanya dengan kata-kata, melainkan dengan seluruh penyerahan dirinya tanpa pamrih.
4. Penutup
Pria dan wanita adalah dua pribadi yang berbeda. Perbedaan itu merupakan satu kapasitas yang memungkinkan keduanya saling melengkapi, dan keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Karena itu keduanya menjalankan peran sesuai dengan kodratnya di dalam pengertian sebagai mitra yang sepadan. Dalam kaitan dengan peran wanita dalam konteks masyarakat dan gereja, harus ditekankan bahwa upaya memperoleh kesetaraan dan kesamaan wanita dengan pria, tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan menikmati kesetaraan entah pendidikan, keberhasilan di bidang politik, social dan ekonomi. Tetapi sejauh mana kemampuan wanita menegakkan kodrat dan citra dirinya.
(Penulis adalah Pdt. Daniel Napitupulu, M.Min., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2006)
Kenyataan umum membuktikan bahwa wanita acap kali menjadi korban system patriarchal. Kaum wanita dipandang rendah nilai martabatnya sebagai manusia. Sementara pria berperan sebagai penguasa segala sesuatu, sedangkan wanita dianggap pasif dan hanya bisa mendengar saja. Karena itu wanita bisa diatur, bahkan dipakai sebagai “pemuas” seksual. Lebih parah lagi, wanita dianggap lebih pantas bekerja di sektor domestik, atau dalam istilah “3 M” (melahirkan, memasak, dan menghias diri)
Dalam kehidupan gereja dewasa ini memang sudah ada perkembangan dalam hal peran wanita menjadi Majelis atau pemangku jabatan gerejawi, namun tidak sebanding dengan jumlah wanita yang sebenarnya memiliki potensi untuk duduk dalam posisi pemimpin (Evang Darmaputra: 1992, 12)
Memperhatikan pokok permasalahan di atas, maka dirasa penting mengadakan tinjauan teologis tentang peran gender. Untuk itu dalam tulisan ini akan ditelusuri dinamika turun naiknya kehidupan kaum wanita di dalam konteks tradisi kitab suci, selanjutnya peran dan fungsi wanita.
2. Selayang Pandang Turun Naiknya Dinamika Kehidupan Kaum Wanita
Pada bagian ini kita akan menelusuri bagaimana pengalaman kaum wanita serta reaksi mereka terhadap realitas kehidupan yang mereka hadapi (Hendrik Bonk: Wanita, 11-13)
a. Meneropong tradisi
Pada hakikatnya wanita memiliki kepribadian yang unik dan utuh, jasmani-rohani. Tradisi penulis kitab Kejadian dengan jelas menunjukkan kebenaran ini dan mereka mengungkapkan bahwa wanita diciptakan menjadi “penolong” bagi pria. Istilah “penolong” merupakan terjemahan dari kata “ezer” artinya penolong. Lebih jelas diterjemahkan dengan “ penolong yang sepadan” (bnd. Kej. 2:18). Dalam pengertian ini peran wanita sebagai penolong sangat menentukan, karena tanpa wanita, pria tidak dapat mewujudkan dirinya sepenuhnya.
Namun realitas sejarah perkembangan kehidupan umat manusia sejak dulu sampai sekarang, realitas hidup wanita berlangsung sungguh memprihatinkan (tragis). Wanita sepertinya disetting sebagai symbol kaum lemah yang tersingkir dalam percaturan kehidupan kaum pria. Dalam konteks masyarakat yang patriarchal, wanita dianggap kaum marginal. Dengan demikian jelas bahwa dalam perkembangannya wanita tidak menjadi korban akibat kekeliruan memenuhi tuntutan kodratnya, melainkan menjadi korban system atau kroban tradisi.
Sebagai contoh, dalam pertemuan-pertemuan, yang memiliki hak bersuara dan kuasa menentukan keputusan hanya berada pada pihak pria. Demikian juga dalam hal makan-minum. Istri harus mendahulukan kepentingan suami dan anak-anaknya, sebab ia harus menjadi pelayan. Dalam tradisi orang Yahudi hal sedemikian juga ditemukan. Wanita dianggap hanya bisa menangani tugas-tugas di seputar dapur saja. Wanita dicap sebagai penyebab dosa dan timbulnya nafsu birahi kaum pria. Hal ini yang kita lihat dalam kontroversi soal undang-undang anti pornografi dan porno aksi akhir-akhir ini di negara kita.
Kenyataan tersebut mengakibatkan hubungan antara pria dan wanita hanya bersifat fungsional atau sebatas relasi subjek-objek, ditempatkan pada posisi yang lemah secara intelektual dan menjadi sumber godaan dan kejahatan.
b. Krisis Jatidiri
Pada dasarnya manusia diciptakan adalah sebagai mahluk yang selalu membutuhkan sesamanya “homo homini socius”. Tetapi manusia juga sering menjadi lawan atau musuh bagi sesamanya “homo homini lupus”. Apa penyebab hal tersebut?
System patriarchal. Sistem ini merupakan salah satu penyebab terjadinya keretakan hubungan antara pria dan wanita. Pria menempatkan diri pada posisi teratas, sementara wanita berada di kelas kedua. Jika dilihat lebih teliti, sesungguhnya wanita bukanlah korban tradisi melainkan korban ketegaran hati kaum pria. Ini yang disebut krisis jatidiri, artinya kaum pria belum mengenal hakikat dirinya sebagai mahluk social. Dengan demikian dapat dikatakan krisis yang terjadi adalah karena sikap hati manusia yang tegar, sikap hati yang tertutup dan terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Sikap ini lebih jauh membawa manusia terperosok semakin dalam pada sebuah ekstrim yang tak terjembatani antara pria dan wanita biloa dibiarkan berlarut-larut.
Ironis memang, kaum pria yang dilindungi wanita selama sembilan bulan dalam kehangatan rahimnya, justru berbalik “menghianati” kasih saying dan kesetiaan yang telah mereka persembahkan. Mereka terjerembab di bawah dominasi kaum pria yang terus memproklamirkan diri sebagai penguasa selama ribuan tahun. Kini wanita terus berjuang dalam suasana tidak pasti untuk memproklamirkan diri sebagai mitra pria.
c. Awal Perjuangan-pelepasan tradisi lama
Ketika berhadapan dengan realita hidup yang terbelenggu, wanita merindukan pembebasan. Bebas dari penindasan structural supaya dapat merebut kembali nilai personanya yang tertindas. Wanita beranggapan bahwa prinsip saling mengobjekkan harus ditiadakan, pria dan wanita saling membutuhkan dalam rangka menyempurnakan dirinya. Pria tidak lagi dipandang sebagai penguasa atas wanita, tetapi sebagai mitra yang sepadan.
Kesadaran akan hakikat eksistensi manusia menjadi titik tolak awal gerakan feminisme. Kata “feminisme” berasal dari kata Latin “femina”artinya wanita. Dalam pengertian ini, feminisme dipahami dalam hubungan dengan tubas dan tanggung jawab kaum wanita. Maka gerakan feminisme adalah usaha kaum wanita untuk melepaskan system patriarchal dan berjuang menegakkan keadilan, persamaan hak dan martabat antara pria dan wanita, termasuk kesempatan kerja.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya gerakan feminisme. Antara lain: pertama, lahirnya revolusi Prancis dan Amerika pada abad 18 dan 19, membukan kesempatan bagi perjuangan persamaan hak dan martabat antara pria dan wanita.Kedua, munculnya gerakan anti perbudakan, di mana kaum wanita merupakan bagian terbesar dari masyarakat tertindas. Ketiga, munculnya figure wanita berkaliber dunia.Mereka adalah kaum terpelajar yang berusaha merumuskan dan berbicara tentang kaumnya. Sehubungan dengan ini ada perjuangan gerakan feminisme antara lain: Gerakan feminis Liberal, memperjuangkan kesamaan hak dan martabat antara pria dan wanita; Gerakan feminis Marxis, memperjuangan keperdulian terhadap otonomi ekonomi dan upah yang adil. Gerakan Feminisme Romantis (termasuk feminisme radikal) berusaha menghancurkan system patriarchal yang mendewakan realitas seksual supaya nilai pesona wanita yang telah jatuh dalam perbudakan direbut kembali.
Gerakan feminisme hingga saat ini telah membuahkan banyak perkembangan dan perubahan baik dalam tata kehidupan wanita sendiri maupun dalam masyarakat dan dunia umumnya. Wanita telah menduduki fungsi social yang melampau fungsinya dalam rumah tangga. Ini nampak dalam bidang politik, ekonomi, social dan agama (gereja), kebudayaan, hokum. Gereja sendiri pada tahun 1988-1998 menjadikan masa ini sebagai suatu decade ekumenis Gereja-gereja dalam solidaritasnya dengan wanita. Menjadi pertanyaan, penetapan decade ini bagi bangsa dan gereja telah sungguh-sungguh menggubris nasib dan masa depan kehidupan kaum wanita. Satu hal yang pasti, perjuangan wanita belum selesai. Kalau demikian, yang harus diperjuangkan terus oleh kaum wanita adalah kekhasan kodratnya sebagai wanita
3. Kekhasan Peran Dan Fungsi Wanita
Pertanyaan yang sering memancing kita untuk berbicara tentang wanita adalah mengapa wanita perlu beremansipasi dalam segala aspek kehidupan?
3.1. Wanita memberi daya hidup bagi siapa dan apa yang telah lahir dari padanya.
Sebetulnya kalau berbicara tentang wanita tidak bisa lepas dari kehidupan, sebab wanita adalah “pemberi daya hidup”, bukan sumber hidup. Sebab kitab Suci menyaksikan bahwa sumber hidup adalah Allah sendiri, tetapi melalui wanita Allah membuka kesempatan bagi manusia mengembangkan dan memelihara kehidupan yang telah Dia berikan. Menurut kodratnya kaum wanita mengandung dan melahirkan, jadi sangat dekat dengan kehidupan itu sendiri. Dalam kitab Kejadian 3:20 disebutkan wanita “pembawa kehidupan”, menunjukkan pengakuan akan peran sentral dari wanita dalam kelanjutan hidup dan kehidupan manusia yang tak tergantikan oleh pria, sebab peran ini berakar pada kuasa Allah sendiri. Jadi peran wanita tidak hanya berhenti pada mengandung dan melahirkan, melainkan juga dalam proses pemeliharaan dan kelanjutan hidup itu sendiri. Artinya wanita dengan cara keterlibatannya bisa memberi daya hidup bagi apa dan siapa yang telah lahir dari padanya.
Bertolak dari konsep pemahaman di atas, jeritan hati dari Elisabeth Schussler Fiorenza seharusnya tidak terjadi lagi: “ yang disebut Gereja atau Bangsa lebih diidentikkan dan dipimpin oleh kaum bapa. Menyebut gereja, maka yang terlihat di depan mata kita adalah Pendeta (pastor), Paus, Uskup, semuanya kaum pria. Wanita hanya dipuji karena rajin menghadiri kebaktian dan perjamuan, tetapi yang memimpin dominan pria” Jadi emansipasi wanita zaman ini tidak lagi terbatas pada perjuangan demi kesamaan, kedudukan dan martabatnya dengan kaum pria. Satu hal yang perlu diperjuangkan dan dikembangkan oleh wanita adalah bagaimana dengan keindahan dan kelembutan hatinya, wanita dapat memberi warna khas atau makna baru dalam segala bidang kehidupan.
3.2. Dengan hati mengabdi untuk membangun kehidupan
Hati merupakan inti kepribadian manusia, yang di dalamnya wanita menghati hakikat peranannya sebagai wanita. Dengan hati, wanita berbicara, berfikir, mencintai, mendekati sesama, mendengar dan terlibat dalam karya pelayanannya. Singkatnya hati manusiamewarnai setiap tindakan, perhatian dan cinta kasihnya. Di sinilah tindakan manusia dipertimbangkan, diputuskan dan dilakukan. Keadaan hati menentukan tindakan seseorang entah baik atau buruk.
Jadi yang terpenting bagi wanita bukan mendirikan struktur organisasi wanita yang hebat, melainkan hubungan antara pribadi; bukan kehormatan melainkan upaya mendewasakan sesama dengan kelembutan hati; bukan sebatas kemampuan membangun proyek besar melainkan kesanggupan memberi makna khas atau daya hidup baru pada seluruh kepentingan manusia konkret. Berdasar pada suasana seperti ini, wanita akan mengalami proses transformasi sehingga mampu mencintai dalam konteks yang lebih luas
Dengan demikian bukan soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wanita, tetapi fungsi keibuan harus meresap ke dalam tugas dan jabatan apa pun yang ditekuninya. Wanita yang presiden, guru, dokter, insiniur, Pendeta atau Sintua, selayaknya memiliki daya untuk memberi makna baru pada bidang fungsinya dengan sifat keibuannya. Dengan kelembutan hatinya, wanita menjalankan fungsinya dan merangkul semua tugas dan jabatan. Bangsa dan gereja memerlukan orang-orang seperti ini untuk menyampaikan warta-Nya, yakni orang yang menyampaikan janji-Nya bukan hanya dengan kata-kata, melainkan dengan seluruh penyerahan dirinya tanpa pamrih.
4. Penutup
Pria dan wanita adalah dua pribadi yang berbeda. Perbedaan itu merupakan satu kapasitas yang memungkinkan keduanya saling melengkapi, dan keduanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Karena itu keduanya menjalankan peran sesuai dengan kodratnya di dalam pengertian sebagai mitra yang sepadan. Dalam kaitan dengan peran wanita dalam konteks masyarakat dan gereja, harus ditekankan bahwa upaya memperoleh kesetaraan dan kesamaan wanita dengan pria, tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan menikmati kesetaraan entah pendidikan, keberhasilan di bidang politik, social dan ekonomi. Tetapi sejauh mana kemampuan wanita menegakkan kodrat dan citra dirinya.
(Penulis adalah Pdt. Daniel Napitupulu, M.Min., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar