1.Tuhan selalu mencermati keadaan umat pilihan-Nya. Searah dengan keadaan itu, Tuhan mengutus hambaNya menyampaikan FirmanNya untuk dijadikan pegangan menjawab situasi itu. Jika umatNya mengingkari Isi Perjanjiannya dengan Tuhan, maka Tuhan mengutus hambaNya untuk mengingatkan dan bila perlu mengancam bahkan menghukum mereka. Jika umat-Nya menderita maka hamba-Nya diutus untuk menguatkan dan menghibur, supaya tabah dan tekun. Inilah benang merah pengutusan Tuhan kepada para hambaNya sepanjang masa.
2.Para hamba yang diutus Tuhan itu, saat melaksanakan tugas pengutusan, bukan tanpa resiko. Mereka yang diutus terhadap situasi “buruk” dari perilaku bangsa pilihan Allah itu berada dalam posisi terancam. Tidak disukai, dibenci bahkan diperlakukan semena-mena; tidak sedikit yang dianiaya atau dibunuh. Pada umumnya para hamba Tuhan berada di posisi seperti itu. Itu pulalah sebabnya, tidak sedikit dari para hamba Tuhan yang diutus itu, yang diberi predikat hamba yang jahat, yang menyelewengkan Firman Tuhan yang diterimanya. Kualitas memang teruji saat tantangan menghadang. Dedikasi terancam, saat bahaya mengancam.
3.Para hamba Tuhan yang diutus itu, pada dasarnya terlebih dahulu dipersiapkan Tuhan. Mereka berasal dari aneka latar belakang kehidupan. Ada yang dibesarkan di lingkungan istana, di Bait Suci, dari keluarga petani, nelayan, dll. Ada yang bertugas menetap, ada pula yang diutus secara temporer. Semuanya diutus untuk satu tujuan : menyampaikan Firman Tuhan kepada manusia, sesuai dengan keadaan. Firman Tuhan yang disampaikan relevan dengan keadaan umat.
4.Nabi Yesaya, setelah terlebih dahulu dipersiapkan dengan mengetahui kondisi nyata dari umat Israel yang sudah menyimpang dari isi Perjanjiannya dengan Tuhan, menerima pertanyaan dari Tuhan : “Siapakah yang akan Kuutus?” Semuanya sudah terkontaminasi. Semuanya sudah menyeleweng. Tuhan menginginkan bangsa yang menyeleweng itu bertobat. Oleh karena itu diperlukan seorang utusan untuk memberitahu sikap Tuhan terhadap keadaan itu, sekaligus mengingatkan jika tidak bertobat juga, maka hukuman akan dijalankan. Keadilan Tuhan tidak memandang muka. Kekudusan Tuhan, tidak boleh diremehkan.
Menyadari keadaan, ke mana Nabi Yesaya diutus, dia mencoba mengelak dengan membuat alasan yang masuk akal, seperti masih muda, tidak mahir berbicara meyakinkan orang. Menjawab penolakan Yesaya, Tuhan menyatakan bahwa kesulitan yang disebutnya itu dapat teratasi, jika dia mau, karena Tuhan sendiri akan memperlengkapinya, sehingga berwibawa. Wibawa hamba Tuhan, jangan dilihat dari usia, atau dari kemahiran berbicara melainkan dari Firman Tuhan yang disampaikannya; konsekwen dan konsisten. Namun perlu pula diyakini bahwa cara kita menyampaikan Firman Tuhan dengan apa adanya; suara yang tidak perlu direkayasa. Oleh karena itu, hati yang rela dan patuh atas suruhan Tuhan merupakan titik moral pengutusan Tuhan kepada hambaNya.
5.Simon Petrus, yang sebelum dipanggil menjadi murid Tuhan Yesus, bekerja sebagai nelayan. Sikapnya yang sering meledak-ledak, dan mau menyelinap itu, mendapat tugas untuk menggembalakan domba-domba Tuhan. Tugas tersebut diterimanya, setelah menerima tiga kali pertanyaan yang isinya sama : “Apakah engkau mengasihi Aku?” Hal lain yang patut dicermati adalah, ketika Tuhan Yesus menanyai murid-murid-Nya tentang siapakah Yesus dalam pandangan masyarakat luas dan dalam pandangan para murid. Informasi yang mereka dengar beraneka. Ada yang berkata bahwa Yesus adalah Yohanes Pembaptis, ada yang berkata, Elia atau Yeremia. Ketika pertanyaan itu diajukan kepada para murid, hanya Petrus yang memberi jawab yang spontan, tegas dan jelas: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup “(Mat. 16 : 16). Dari jawaban ini ada sementara pihak yang menganggap bahwa dalam diri Petruslah terletak otoritas pemimpin gereja. Menurut penulis, bukan di dalam dirinya melainkan di dalam Pengakuan itu sendiri. Dengan demikian setiap orang percaya yang mengaku dan menerima Yesus, adalah Mesias, di atas pengakuan inilah terletak wibawa Persekutuan orang percaya.
6.“Kulihat Kulayani” inilah tema kita. Melalui tema ini kepada kita diingatkan untuk pertama-tama melihat sesuatu yang dialami oleh orang lain. Dan dari yang kita lihat itulah, kita berupaya melakukan sesuatu yang bermakna bagi yang kita layani itu. Saya ingin tambahkan isi tema ini dengan “Kudengar, Kulihat dan Kulayani”. Penambahan ini bertujuan mengingatkan kita akan keterbatasan mata, hati dan pikiran kita. Batas penglihatan kita, bisa saja menjadikan fokus perhatian kita hanya untuk di sekitar kita. Jika kita tambahkan dengan “Kudengar”, hemat saya, ada dua keuntungan, yaitu : a) yang kita warisi dari nenek moyang kita telah kita dengar dan b) yang kita dengar dari informasi yang sampai kepada kita.
7.Apa yang “Kudengar”, yang kulihat dan yang kulakukan?” Terhadap pertanyaan ini, baiknya kita mengarahkan perhatian kepada :
a. Yang kita warisi dari pendahulu kita
b. Yang kita lihat dari keadaan di sekitar kita.
c. Yang kita lakukan mewujudkan tugas panggilan kita.
7.1.Warisan dari pendahulu kita.
Kita sulit membantah bahwa apa yang dilakukan oleh para pendahulu kita, dari sanalah kita meletakkan dasar-dasar pelayanan kita, seperti : tata gereja, bahasa dan sistem pelayanan. Perkembangan keadaan memang kita sesuaikan dengan tata gereja, bahasa dan sistem pelayanan kita. Akan tetapi tak jarang kita menemui kesulitan saat bermaksud melakukan perombakan atau perubahan. Anehnya, jika ada benturan antara warisan dengan rencana perubahan, maka orang lebih suka menoleh ke belakang, yang menjelaskan rencana perobahan itu akan menjauhkan gereja dari keadaan yang lama. Kata-kata seperti : itu belum pernah; kita belum terbiasa; terungkap saat-saat kita dengan meyakinkan menjelaskan perlunya perobahan itu. Terhadap situasi seperti itu, tak jarang mengakibatkan para majelis, mengambil jalan aman. Menunda upaya perubahan, sampai perubahan itu sudah menjadi kecenderungan. Akibatnya, gereja lebih sering terlambat dalam mengantisipasi “keadaan” warga jemaat.
7.2.Yang kita lihat dari keadaan sekitar
Kita berdomisili dan melayani di Ibukota, bukan di Tanah Batak. Oleh sebab itu, kita harus sadar bahwa warga jemaat yang kita layani terdiri dari a) yang lahir dan dibesarkan di Tanah Batak. Mereka telah menikmati gaya pelayanan dari kampung, sehingga kendatipun telah berdomisili di ibukota, prinsip-prinsip bergereja yang dianutnya adalah yang dari kampung. Mereka hidup di daerah yang masyarakatnya majemuk tetapi gaya berinteraksinya tidak berobah, seperti yang di kampung. Orang yang tidak dikenal atau yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan dia, dinyatakan sebagai musuh atau orang yang tidak perlu diperhatikan. b) Generasi yang lahir dan dibesarkan di ibukota. Mereka tidak menganggap masalah perbedaan Tata gereja; mereka lebih terbuka kepada perobahan-perobahan. Yang menarik perhatian, malah cenderung tidak mempermasalahkan kekhasan gereja di mana dia terdaftar.
Di dalam kedua keadaan tersebut lah kita melayani: yang tradisional, terikat, cenderung tertutup dan yang modern, bebas, cenderung tanpa batas. Keduanya tarik menarik, sampai salah satu kadaluwarsa.
7.3.Apa yang kita lakukan?
Kita sering terjebak ke dalam sikap pasrah, nerimo, kompromi tanpa berusaha memahami latar belakang warga yang kita layani itu. Jadilah pelayanan kita monoton dan membosankan. Kita ingin merobah, tetapi kita tidak punya keberanian untuk berobah. Kaki kita yang satu kita letakkan di posisi tradisonal dan kaki yang satu lagi di posisi modern. Apa yang terjadi, jika jarak keduanya makin melebar? Pelayan yang bingung, itulah yang terlihat. Yang tradisonal tak pernah merasa puas, dan yang modern mengomel tak hentinya. Para pelayan menjadi alamat cemohan, bukan lagi menjadi panutan. Kebanggaan atas gereja sendiri pelan-pelan memudar dan “gereja alternatif” menjadi pilihan. Nama besar, tetapi tidak berpengaruh, apalagi dalam mempengaruhi perilaku. Para pelayan bukan lagi tempat bertanya melainkan beralih menjadi dipertanyakan. Itu sebabnya keputusan yang kita tetapkan, sering digugat. Warga jemaat meragukan itikad baik kita di dalam mengambil keputusan. Jadilah kita bertindak hanya pelayan mimbar tanpa perduli pergumulan warga jemaat, tanpa memusingkan diri apakah pelayanan kita diterima atau tidak.
8.Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jawaban Yesaya atas pertanyaan Tuhan dalam Yesaya 6 : 8 patut kita renungkan : “Inilah aku, utuslah aku.” Dengan sadar kita mengetahui kepada siapa kita hendak diutus. Kita menyadari bahwa posisi kita, termasuk wibawa kita sebagai hamba Tuhan tengah dipertanyakan.” Benarkah kita hamba Tuhan yang dipercayaiNya itu?” Selanjutnya pertanyaan Yesus kepada Simon Petrus, sampai tiga kali, hendaknya mengingatkan kita, apakah kita memiliki kategori teruji dan terpuji dalam menjalankan tugas pelayanan kita. Nasihat Rasul Paulus kepada Timotius dalam memperbaiki dan membaharui tekad kita melayani, sangat tepat untuk kita jadikan sebagai penunjuk arah kepada kita :
Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau pada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. ( 2 Timotius 3 : 14 – 17 )
Beberapa hal yang perlu kita catat antara lain :
1.Otoritas Alkitab yang menunjuk kepada Kristus. Oleh karena itu kita harus rajin membaca Alkitab dan memperdalam pemahaman kita kepadanya. Biarkan Alkitab yang berbicara kepadamu.
2.Hamba Tuhan harus selalu bersedia dan rela diuji dedikasinya dalam melaksanakan tugas panggilannya oleh Firman Tuhan, karena hamba Tuhan gadungan makin pintar memasuki kawanan domba Allah.
3.Memperlengkapi setiap orang yang melakukan perbuatan baik, itulah tugas pokok kita.
4.Keteladanan yang kita tunjukkan akan lebih menjanjikan ke arah yang lebih baik daripada kata-kata indah yang hanya mengenakkan telinga.
(Penulis adalah Pdt. Ramlan Hutahaean, M.Th. –Sekretaris Jenderal HKBP-, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2008)
2.Para hamba yang diutus Tuhan itu, saat melaksanakan tugas pengutusan, bukan tanpa resiko. Mereka yang diutus terhadap situasi “buruk” dari perilaku bangsa pilihan Allah itu berada dalam posisi terancam. Tidak disukai, dibenci bahkan diperlakukan semena-mena; tidak sedikit yang dianiaya atau dibunuh. Pada umumnya para hamba Tuhan berada di posisi seperti itu. Itu pulalah sebabnya, tidak sedikit dari para hamba Tuhan yang diutus itu, yang diberi predikat hamba yang jahat, yang menyelewengkan Firman Tuhan yang diterimanya. Kualitas memang teruji saat tantangan menghadang. Dedikasi terancam, saat bahaya mengancam.
3.Para hamba Tuhan yang diutus itu, pada dasarnya terlebih dahulu dipersiapkan Tuhan. Mereka berasal dari aneka latar belakang kehidupan. Ada yang dibesarkan di lingkungan istana, di Bait Suci, dari keluarga petani, nelayan, dll. Ada yang bertugas menetap, ada pula yang diutus secara temporer. Semuanya diutus untuk satu tujuan : menyampaikan Firman Tuhan kepada manusia, sesuai dengan keadaan. Firman Tuhan yang disampaikan relevan dengan keadaan umat.
4.Nabi Yesaya, setelah terlebih dahulu dipersiapkan dengan mengetahui kondisi nyata dari umat Israel yang sudah menyimpang dari isi Perjanjiannya dengan Tuhan, menerima pertanyaan dari Tuhan : “Siapakah yang akan Kuutus?” Semuanya sudah terkontaminasi. Semuanya sudah menyeleweng. Tuhan menginginkan bangsa yang menyeleweng itu bertobat. Oleh karena itu diperlukan seorang utusan untuk memberitahu sikap Tuhan terhadap keadaan itu, sekaligus mengingatkan jika tidak bertobat juga, maka hukuman akan dijalankan. Keadilan Tuhan tidak memandang muka. Kekudusan Tuhan, tidak boleh diremehkan.
Menyadari keadaan, ke mana Nabi Yesaya diutus, dia mencoba mengelak dengan membuat alasan yang masuk akal, seperti masih muda, tidak mahir berbicara meyakinkan orang. Menjawab penolakan Yesaya, Tuhan menyatakan bahwa kesulitan yang disebutnya itu dapat teratasi, jika dia mau, karena Tuhan sendiri akan memperlengkapinya, sehingga berwibawa. Wibawa hamba Tuhan, jangan dilihat dari usia, atau dari kemahiran berbicara melainkan dari Firman Tuhan yang disampaikannya; konsekwen dan konsisten. Namun perlu pula diyakini bahwa cara kita menyampaikan Firman Tuhan dengan apa adanya; suara yang tidak perlu direkayasa. Oleh karena itu, hati yang rela dan patuh atas suruhan Tuhan merupakan titik moral pengutusan Tuhan kepada hambaNya.
5.Simon Petrus, yang sebelum dipanggil menjadi murid Tuhan Yesus, bekerja sebagai nelayan. Sikapnya yang sering meledak-ledak, dan mau menyelinap itu, mendapat tugas untuk menggembalakan domba-domba Tuhan. Tugas tersebut diterimanya, setelah menerima tiga kali pertanyaan yang isinya sama : “Apakah engkau mengasihi Aku?” Hal lain yang patut dicermati adalah, ketika Tuhan Yesus menanyai murid-murid-Nya tentang siapakah Yesus dalam pandangan masyarakat luas dan dalam pandangan para murid. Informasi yang mereka dengar beraneka. Ada yang berkata bahwa Yesus adalah Yohanes Pembaptis, ada yang berkata, Elia atau Yeremia. Ketika pertanyaan itu diajukan kepada para murid, hanya Petrus yang memberi jawab yang spontan, tegas dan jelas: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup “(Mat. 16 : 16). Dari jawaban ini ada sementara pihak yang menganggap bahwa dalam diri Petruslah terletak otoritas pemimpin gereja. Menurut penulis, bukan di dalam dirinya melainkan di dalam Pengakuan itu sendiri. Dengan demikian setiap orang percaya yang mengaku dan menerima Yesus, adalah Mesias, di atas pengakuan inilah terletak wibawa Persekutuan orang percaya.
6.“Kulihat Kulayani” inilah tema kita. Melalui tema ini kepada kita diingatkan untuk pertama-tama melihat sesuatu yang dialami oleh orang lain. Dan dari yang kita lihat itulah, kita berupaya melakukan sesuatu yang bermakna bagi yang kita layani itu. Saya ingin tambahkan isi tema ini dengan “Kudengar, Kulihat dan Kulayani”. Penambahan ini bertujuan mengingatkan kita akan keterbatasan mata, hati dan pikiran kita. Batas penglihatan kita, bisa saja menjadikan fokus perhatian kita hanya untuk di sekitar kita. Jika kita tambahkan dengan “Kudengar”, hemat saya, ada dua keuntungan, yaitu : a) yang kita warisi dari nenek moyang kita telah kita dengar dan b) yang kita dengar dari informasi yang sampai kepada kita.
7.Apa yang “Kudengar”, yang kulihat dan yang kulakukan?” Terhadap pertanyaan ini, baiknya kita mengarahkan perhatian kepada :
a. Yang kita warisi dari pendahulu kita
b. Yang kita lihat dari keadaan di sekitar kita.
c. Yang kita lakukan mewujudkan tugas panggilan kita.
7.1.Warisan dari pendahulu kita.
Kita sulit membantah bahwa apa yang dilakukan oleh para pendahulu kita, dari sanalah kita meletakkan dasar-dasar pelayanan kita, seperti : tata gereja, bahasa dan sistem pelayanan. Perkembangan keadaan memang kita sesuaikan dengan tata gereja, bahasa dan sistem pelayanan kita. Akan tetapi tak jarang kita menemui kesulitan saat bermaksud melakukan perombakan atau perubahan. Anehnya, jika ada benturan antara warisan dengan rencana perubahan, maka orang lebih suka menoleh ke belakang, yang menjelaskan rencana perobahan itu akan menjauhkan gereja dari keadaan yang lama. Kata-kata seperti : itu belum pernah; kita belum terbiasa; terungkap saat-saat kita dengan meyakinkan menjelaskan perlunya perobahan itu. Terhadap situasi seperti itu, tak jarang mengakibatkan para majelis, mengambil jalan aman. Menunda upaya perubahan, sampai perubahan itu sudah menjadi kecenderungan. Akibatnya, gereja lebih sering terlambat dalam mengantisipasi “keadaan” warga jemaat.
7.2.Yang kita lihat dari keadaan sekitar
Kita berdomisili dan melayani di Ibukota, bukan di Tanah Batak. Oleh sebab itu, kita harus sadar bahwa warga jemaat yang kita layani terdiri dari a) yang lahir dan dibesarkan di Tanah Batak. Mereka telah menikmati gaya pelayanan dari kampung, sehingga kendatipun telah berdomisili di ibukota, prinsip-prinsip bergereja yang dianutnya adalah yang dari kampung. Mereka hidup di daerah yang masyarakatnya majemuk tetapi gaya berinteraksinya tidak berobah, seperti yang di kampung. Orang yang tidak dikenal atau yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan dia, dinyatakan sebagai musuh atau orang yang tidak perlu diperhatikan. b) Generasi yang lahir dan dibesarkan di ibukota. Mereka tidak menganggap masalah perbedaan Tata gereja; mereka lebih terbuka kepada perobahan-perobahan. Yang menarik perhatian, malah cenderung tidak mempermasalahkan kekhasan gereja di mana dia terdaftar.
Di dalam kedua keadaan tersebut lah kita melayani: yang tradisional, terikat, cenderung tertutup dan yang modern, bebas, cenderung tanpa batas. Keduanya tarik menarik, sampai salah satu kadaluwarsa.
7.3.Apa yang kita lakukan?
Kita sering terjebak ke dalam sikap pasrah, nerimo, kompromi tanpa berusaha memahami latar belakang warga yang kita layani itu. Jadilah pelayanan kita monoton dan membosankan. Kita ingin merobah, tetapi kita tidak punya keberanian untuk berobah. Kaki kita yang satu kita letakkan di posisi tradisonal dan kaki yang satu lagi di posisi modern. Apa yang terjadi, jika jarak keduanya makin melebar? Pelayan yang bingung, itulah yang terlihat. Yang tradisonal tak pernah merasa puas, dan yang modern mengomel tak hentinya. Para pelayan menjadi alamat cemohan, bukan lagi menjadi panutan. Kebanggaan atas gereja sendiri pelan-pelan memudar dan “gereja alternatif” menjadi pilihan. Nama besar, tetapi tidak berpengaruh, apalagi dalam mempengaruhi perilaku. Para pelayan bukan lagi tempat bertanya melainkan beralih menjadi dipertanyakan. Itu sebabnya keputusan yang kita tetapkan, sering digugat. Warga jemaat meragukan itikad baik kita di dalam mengambil keputusan. Jadilah kita bertindak hanya pelayan mimbar tanpa perduli pergumulan warga jemaat, tanpa memusingkan diri apakah pelayanan kita diterima atau tidak.
8.Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jawaban Yesaya atas pertanyaan Tuhan dalam Yesaya 6 : 8 patut kita renungkan : “Inilah aku, utuslah aku.” Dengan sadar kita mengetahui kepada siapa kita hendak diutus. Kita menyadari bahwa posisi kita, termasuk wibawa kita sebagai hamba Tuhan tengah dipertanyakan.” Benarkah kita hamba Tuhan yang dipercayaiNya itu?” Selanjutnya pertanyaan Yesus kepada Simon Petrus, sampai tiga kali, hendaknya mengingatkan kita, apakah kita memiliki kategori teruji dan terpuji dalam menjalankan tugas pelayanan kita. Nasihat Rasul Paulus kepada Timotius dalam memperbaiki dan membaharui tekad kita melayani, sangat tepat untuk kita jadikan sebagai penunjuk arah kepada kita :
Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau pada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. ( 2 Timotius 3 : 14 – 17 )
Beberapa hal yang perlu kita catat antara lain :
1.Otoritas Alkitab yang menunjuk kepada Kristus. Oleh karena itu kita harus rajin membaca Alkitab dan memperdalam pemahaman kita kepadanya. Biarkan Alkitab yang berbicara kepadamu.
2.Hamba Tuhan harus selalu bersedia dan rela diuji dedikasinya dalam melaksanakan tugas panggilannya oleh Firman Tuhan, karena hamba Tuhan gadungan makin pintar memasuki kawanan domba Allah.
3.Memperlengkapi setiap orang yang melakukan perbuatan baik, itulah tugas pokok kita.
4.Keteladanan yang kita tunjukkan akan lebih menjanjikan ke arah yang lebih baik daripada kata-kata indah yang hanya mengenakkan telinga.
(Penulis adalah Pdt. Ramlan Hutahaean, M.Th. –Sekretaris Jenderal HKBP-, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar