I.Pendahuluan
Bagi seluruh makhluk hidup yang ada di dunia ini, baik yang kaya maupun yang miskin, raja maupun rakyat jelata, cantik maupun jelek, baik dan jahat, ada satu peristiwa yang pasti akan dijalani yaitu kematian. Bagi kebanyakan orang, mendengar kata kematian saja tentu sudah memunculkan kengerian dalam perasaan. Kenapa hal itu bisa terjadi? Tentunya bermacam alasan orang untuk merasa takut menghadapi kematian, antara lain: sampai saat ini tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan apa yang terjadi di balik kematian itu(bagaimana pemahaman Alkitab mengenai kematian akan kita bahas pada pejelasan di bawah), selanjutnya dikarenakan ketidakrelaan kehilangan kehidupan dunia ini. Bagaimana dengan saudara?
Seperti yang telah disinggung di atas, kematian dapat juga dikatakan sebagai ”kehilangan”. Bagi yang mengalami kematian berarti dia kehilangan kesempatan, harta benda, sanak-saudara yang dimiliki di dunia ini. Di sisi lain yang masih hidup tentu juga merasa kehilangan orang yang dikasihi sehingga menimbulkan rasa duka yang sangat mendalam. Hal inilah yang sekarang menjadi pokok bahasan kita. Bagaimanakah memulihkan hati yang berduka akibat kematian?
II. ”Kematian” Dari Perspektif Alkitab
Sehubungan dengan tema kita pada saat ini adalah seputar kematian maka ada baiknya kita bahas sepintas mengenai kematian dalam tulisan ini. Berikut kita akan melihat bagaimana pandangan Alkitab seputar kematian.
Jika kita meneliti Alkitab secara khusus hal-hal yang berkaitan dengan kematian tubuh sering disamaartikan dengan istilah tidur, berarti kematian bukanlah pembinasaan yang sempurna sifatnya melainkan hanyalah sementara. Kitab Perjanjian Lama melukiskan Daud, Salomo dan raja-raja Israel lainnya begitu pula dengan Yehuda sebagai sedang tidur dengan leluhur mereka (1 Raj. 2:10; 11:43; 14:20; 31; 15:8; II Taw. 21:1; 26:33, dsb. ). Ayub menyebut maut itu sebagai tidur (Ayb. 14:10-12), sebagaimana halnya Daud (Mzm. 13:4), Yeremia (Yer. 51:39), dan Daniel (Dan. 12:2). Kitab Perjanjian Baru juga menggunakan istilah yang sama untuk mengartikan maut atau kematian. Dalam pelukisan keadaaan putri Yairus, yang telah mati itu, Yesus mengatakan bahwa anaknya itu tidak mati melainkan tidur (Mat. 9:24; Mrk. 5:39), demikian juga halnya dengan Lazarus (Yoh. 11:11-14). Dari terjemahan Alkitab berbahasa Inggris, stefanus yang mati syahid diartikan dengan ”ia jatuh tidur” (Kis. 7:60). Paulus maupun Petrus juga mengatakan bahwa mati itu hanyalah tidur (I kor. 15:51, 52; I Tes. 4:13-17; II Ptr. 3:4).
Jika demikian pemahaman Alkitab mengenai kematian, selanjutnya timbul pertanyaan: bagaimana dengan tubuh dan roh kita setelah kematian? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita perhatikan beberapa situasi atau pun gambaran keadaan mati oleh Alkitab yang keseluruhannya sejajar dengan pengertian tidur secara harafiah, antara lain: 1. Orang yang tidak sadar (Pkh. 9:5 ”Tetapi orang yang mati tidak tahu apa-apa”). 2. Waktu orang tidur, ia berhenti berpikir (Mzm. 146:4 ”Apabila nyawanya melayang, pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya”). 3. Tidur menghentikan segala kegiatan sehari-hari (Pkh. 9:10 ”karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau pergi?”). 4. Tidur memisahkan kita dari orang-orang yang bangun, dan juga dari segala kegiatan mereka (Pkh. 9: 6 ”Untuk selama-lamanya tak ada lagi kebahagiaan mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah Matahari). 5. Tidur membuat emosi tidak aktif (Pkh. 9:6 ”baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang”). 7. Tidur mengandaikan adanya kebangkitan (Yoh. 5:28-29 ”saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suaraNya dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit”).
Manusia diciptakan dari debu tanah yang dipadukan dengan nafas kehidupan dari Allah yang menghasilkan makhluk atau jiwa yang hidup. Pada waktu mati maka debu dari tanah minus nafas hidup menjadikan seseorang mati atau jiwa yang mati tanpa memiliki kesadaran apapun (Mzm. 146:4). Unsur-unsur yang menjadikan tubuh itu kembali ke tanah tempat asalnya (Kej. 3:19). Jiwa tidak memiliki kesadaran bila terpisah dari tubuh, dan tidak ada ayat di dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa pada waktu mati maka jiwa tetap hidup sebagai suatu wujud yang memiliki kesadaran.
Menurut Perjanjian Lama tempat tinggal orang yang telah mati ialah sheol (dalam bahasa Ibrani), sedangkan dalam Perjanjian Baru disebut hades (dalam bahasa Yunani). Di dalam Alkitab, kata sheol paling sering digunakan untuk pengertian kubur, demikian juga dengan hades. Semua orang mati masuk ke dalam tempat seperti ini (Mzm. 89:49), baik orang benar maupun orang jahat. Dalam Kej. 37:35 Yakub berkata ”Aku akan berkabung, sampai aku turun mendapatkan anakku, ke dalam dunia orang mati (sheol)!". Sheol menerima seluruh pribadi pada waktu mati. Ketika Yesus mati, Ia dimasukan ke dalam kubur (hades) akan tetapi waktu kebangkitan jiwaNya meninggalkan kubur (hades, Kis. 2:27, 31, atau sheol, Mzm. 16:10). Kubur bukanlah tempat adanya kesadaran. Karena seperti yang dijelaskan di atas mati merupakan tidur, maka orang yang mati tetap pada keadaan tidak memiliki kesadaran di dalam kubur sampai tiba hari kebangkitan, saat kubur (hades) menyerahkan orang mati (Why. 20:13).
Satu hal lagi yang perlu diingat adalah kalau tubuh kembali ke asalnya menjadi debu tanah, maka demikian jugalah halnya dengan roh. Roh kembali kepada Allah yang memberikannya. Dalam Pengkhotbah 12:7 dikatakan bahwa pada waktu mati ”roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya”, tidak terkecuali roh orang yang benar ataupun yang jahat sebab semuanya adalah berasal dari Allah. Dalam Alkitab berbahasa Ibrani maupun Yunani istilah untuk roh (ruach dan pneuma) tidaklah menunjuk kepada adanya wujud yang berakal yang memiliki kesadaran terpisah dari tubuh. Justru sebaliknya, istilah-istilah ini digunakan untuk menyatakan ”nafas”, percikan yang esensial bagi eksistensi kehidupan. Pernyataan Pengkhotbah yang menyataka bahwa roh (ruach) kembali kepada Allah yang memberikannya menunjukkan bahwa apa yang kembali kepada Allah ialah sebuah prinsip kehidupan yang telah diberikanNya. Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa ruach yang dimaksudkan di sini dapatlah disamakan dengan ”nafas hidup” yang dihembuskan Tuhan kepada makhluk manusia yang pertama yang menghidupkan tubuh yang tidak bernyawa (bnd. Kej. 2:7).
III. Memulihkan Hati Yang Berduka Akibat Kematian
Setiap peristiwa kematian pasti akan menimbulkan rasa duka yang sangat mendalam, terlebih jika yang meninggal tersebut adalah orang yang sangat kita kasihi. Begitu hebatnya rasa duka akibat kehilangan orang yang sangat dikasihi dapat mengakibatkan perubahan watak dan kepribadian seseorang, yang tadinya periang menjadi pendiam atau bahkan menjadi pemarah, yang sebelumnya memiliki tujuan hidup yang jelas menjadi gamang dan kehilangan arah.
Kematian seseorang selalu merupakan kejutan bagi orang-orang yang mengasihinya. sekalipun kita tahu bahwa penyakit yang dideritanya membawa kematian, orang tetap merasa sukar untuk percaya bahwa orang itu telah benar-benar tiada.Tidak diduga-duga sebelumnya, tidak ada tanda-tanda peringatan lebih dulu, tidak ada persiapan yang benar-benar bisa memperingan goncangan, goncangan dan ketidakpercayaan merupakan reaksi-reaksi yang wajar terhadap kehilangan seseorang yang dikasihi.
Apakah berduka dan bersedih salah? Tidak, Yesus sendiri digambarkan mengalami kesedihan yang sangat mendalam ketika mendengar kabar sahabatnya Lazarus telah meninggal, sampai-sampai dia rela berputar haluan dari perjalanannya walaupun dengan resiko akan mendapat hambatan bahkan kekerasan dari orang-orang Yahudi yang ada di Betania (Yoh. 11: 1-44). Dari peristiwa ini dapat kita simpulkan bahwa bersedih dan seolah-olah tidak terima terhadap kenyataan yang terjadi adalah hal yang wajar terjadi. Namun yang tidak baik adalah terus larut di dalam kesedihan dan duka. Dalam kitab pengkhotbah dikatakan bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk tertawa ada waktu untuk menangis, dst. (Pkh. 3:1-8).
Bagi orang percaya yang telah dibaptis di dalam nama Allah Bapa, anakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus janganlah menganggap kematian sebagai suatu hal yang sangat menakutkan dan menyeramkan bahkan akhir dari segala-galanya. Rasul Paulus justru mengatakan kematian itu adalah sebagai suatu keuntungan (Flp. 1:21). Paulus mampu mengatakan demikian karena sebagai pengikut Kristus dia meyakini bahwa setiap orang percaya adalah orang-orang yang telah mati dan bangkit bersama Kristus melalui baptisan kudus (Rom. 6:3-4). Kematian bukanlah akhir dari segala-galanya, kematian adalah sebuah proses yang memang harus dilalui oleh setiap yang hidup untuk memberikan kesempatan kepada yang lain untuk hidup. Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa kematian adalah juga untuk hidup. Dari pemahaman di atas cukup menjadi alasan bagi setiap orang percaya untuk tidak terlarut di dalam kesedihan dan duka yang berkepanjangan.
IV. Penutup
Dimanapun kematian akan meninggalkan rasa duka bagi orang yang masih hidup, apalagi kematian orang yang kita kasihi tentu akan mengakibatkan rasa duka yang sangat mendalam, namun Allah tidak menginginkan kita larut di dalam kesedihan dan duka sebab kematian orang percaya hanyalah kematian tubuh saja {”Hanya tubuh yang tunduk pada kematian” (pasal2 smalkalden hl. 387)} menunggu anugerah hidup yang kekal.
Yesus sendiri mengatakan ”Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Pertanyaan itu juga ditujukan kepada kita sekalian sekarang, ”percayakah engkau akan hal itu?” kalau kita percaya maka marilah kita bangkit dan meninggalkakn rasa duka yang berkepanjangan untuk kembali berkarya melakukan missi Allah yang mencipta kita.
(Penulis adalah Pdt. Morrys S. Marpaung, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi November 2009)
Bagi seluruh makhluk hidup yang ada di dunia ini, baik yang kaya maupun yang miskin, raja maupun rakyat jelata, cantik maupun jelek, baik dan jahat, ada satu peristiwa yang pasti akan dijalani yaitu kematian. Bagi kebanyakan orang, mendengar kata kematian saja tentu sudah memunculkan kengerian dalam perasaan. Kenapa hal itu bisa terjadi? Tentunya bermacam alasan orang untuk merasa takut menghadapi kematian, antara lain: sampai saat ini tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan apa yang terjadi di balik kematian itu(bagaimana pemahaman Alkitab mengenai kematian akan kita bahas pada pejelasan di bawah), selanjutnya dikarenakan ketidakrelaan kehilangan kehidupan dunia ini. Bagaimana dengan saudara?
Seperti yang telah disinggung di atas, kematian dapat juga dikatakan sebagai ”kehilangan”. Bagi yang mengalami kematian berarti dia kehilangan kesempatan, harta benda, sanak-saudara yang dimiliki di dunia ini. Di sisi lain yang masih hidup tentu juga merasa kehilangan orang yang dikasihi sehingga menimbulkan rasa duka yang sangat mendalam. Hal inilah yang sekarang menjadi pokok bahasan kita. Bagaimanakah memulihkan hati yang berduka akibat kematian?
II. ”Kematian” Dari Perspektif Alkitab
Sehubungan dengan tema kita pada saat ini adalah seputar kematian maka ada baiknya kita bahas sepintas mengenai kematian dalam tulisan ini. Berikut kita akan melihat bagaimana pandangan Alkitab seputar kematian.
Jika kita meneliti Alkitab secara khusus hal-hal yang berkaitan dengan kematian tubuh sering disamaartikan dengan istilah tidur, berarti kematian bukanlah pembinasaan yang sempurna sifatnya melainkan hanyalah sementara. Kitab Perjanjian Lama melukiskan Daud, Salomo dan raja-raja Israel lainnya begitu pula dengan Yehuda sebagai sedang tidur dengan leluhur mereka (1 Raj. 2:10; 11:43; 14:20; 31; 15:8; II Taw. 21:1; 26:33, dsb. ). Ayub menyebut maut itu sebagai tidur (Ayb. 14:10-12), sebagaimana halnya Daud (Mzm. 13:4), Yeremia (Yer. 51:39), dan Daniel (Dan. 12:2). Kitab Perjanjian Baru juga menggunakan istilah yang sama untuk mengartikan maut atau kematian. Dalam pelukisan keadaaan putri Yairus, yang telah mati itu, Yesus mengatakan bahwa anaknya itu tidak mati melainkan tidur (Mat. 9:24; Mrk. 5:39), demikian juga halnya dengan Lazarus (Yoh. 11:11-14). Dari terjemahan Alkitab berbahasa Inggris, stefanus yang mati syahid diartikan dengan ”ia jatuh tidur” (Kis. 7:60). Paulus maupun Petrus juga mengatakan bahwa mati itu hanyalah tidur (I kor. 15:51, 52; I Tes. 4:13-17; II Ptr. 3:4).
Jika demikian pemahaman Alkitab mengenai kematian, selanjutnya timbul pertanyaan: bagaimana dengan tubuh dan roh kita setelah kematian? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita perhatikan beberapa situasi atau pun gambaran keadaan mati oleh Alkitab yang keseluruhannya sejajar dengan pengertian tidur secara harafiah, antara lain: 1. Orang yang tidak sadar (Pkh. 9:5 ”Tetapi orang yang mati tidak tahu apa-apa”). 2. Waktu orang tidur, ia berhenti berpikir (Mzm. 146:4 ”Apabila nyawanya melayang, pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya”). 3. Tidur menghentikan segala kegiatan sehari-hari (Pkh. 9:10 ”karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau pergi?”). 4. Tidur memisahkan kita dari orang-orang yang bangun, dan juga dari segala kegiatan mereka (Pkh. 9: 6 ”Untuk selama-lamanya tak ada lagi kebahagiaan mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah Matahari). 5. Tidur membuat emosi tidak aktif (Pkh. 9:6 ”baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang”). 7. Tidur mengandaikan adanya kebangkitan (Yoh. 5:28-29 ”saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suaraNya dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit”).
Manusia diciptakan dari debu tanah yang dipadukan dengan nafas kehidupan dari Allah yang menghasilkan makhluk atau jiwa yang hidup. Pada waktu mati maka debu dari tanah minus nafas hidup menjadikan seseorang mati atau jiwa yang mati tanpa memiliki kesadaran apapun (Mzm. 146:4). Unsur-unsur yang menjadikan tubuh itu kembali ke tanah tempat asalnya (Kej. 3:19). Jiwa tidak memiliki kesadaran bila terpisah dari tubuh, dan tidak ada ayat di dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa pada waktu mati maka jiwa tetap hidup sebagai suatu wujud yang memiliki kesadaran.
Menurut Perjanjian Lama tempat tinggal orang yang telah mati ialah sheol (dalam bahasa Ibrani), sedangkan dalam Perjanjian Baru disebut hades (dalam bahasa Yunani). Di dalam Alkitab, kata sheol paling sering digunakan untuk pengertian kubur, demikian juga dengan hades. Semua orang mati masuk ke dalam tempat seperti ini (Mzm. 89:49), baik orang benar maupun orang jahat. Dalam Kej. 37:35 Yakub berkata ”Aku akan berkabung, sampai aku turun mendapatkan anakku, ke dalam dunia orang mati (sheol)!". Sheol menerima seluruh pribadi pada waktu mati. Ketika Yesus mati, Ia dimasukan ke dalam kubur (hades) akan tetapi waktu kebangkitan jiwaNya meninggalkan kubur (hades, Kis. 2:27, 31, atau sheol, Mzm. 16:10). Kubur bukanlah tempat adanya kesadaran. Karena seperti yang dijelaskan di atas mati merupakan tidur, maka orang yang mati tetap pada keadaan tidak memiliki kesadaran di dalam kubur sampai tiba hari kebangkitan, saat kubur (hades) menyerahkan orang mati (Why. 20:13).
Satu hal lagi yang perlu diingat adalah kalau tubuh kembali ke asalnya menjadi debu tanah, maka demikian jugalah halnya dengan roh. Roh kembali kepada Allah yang memberikannya. Dalam Pengkhotbah 12:7 dikatakan bahwa pada waktu mati ”roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya”, tidak terkecuali roh orang yang benar ataupun yang jahat sebab semuanya adalah berasal dari Allah. Dalam Alkitab berbahasa Ibrani maupun Yunani istilah untuk roh (ruach dan pneuma) tidaklah menunjuk kepada adanya wujud yang berakal yang memiliki kesadaran terpisah dari tubuh. Justru sebaliknya, istilah-istilah ini digunakan untuk menyatakan ”nafas”, percikan yang esensial bagi eksistensi kehidupan. Pernyataan Pengkhotbah yang menyataka bahwa roh (ruach) kembali kepada Allah yang memberikannya menunjukkan bahwa apa yang kembali kepada Allah ialah sebuah prinsip kehidupan yang telah diberikanNya. Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa ruach yang dimaksudkan di sini dapatlah disamakan dengan ”nafas hidup” yang dihembuskan Tuhan kepada makhluk manusia yang pertama yang menghidupkan tubuh yang tidak bernyawa (bnd. Kej. 2:7).
III. Memulihkan Hati Yang Berduka Akibat Kematian
Setiap peristiwa kematian pasti akan menimbulkan rasa duka yang sangat mendalam, terlebih jika yang meninggal tersebut adalah orang yang sangat kita kasihi. Begitu hebatnya rasa duka akibat kehilangan orang yang sangat dikasihi dapat mengakibatkan perubahan watak dan kepribadian seseorang, yang tadinya periang menjadi pendiam atau bahkan menjadi pemarah, yang sebelumnya memiliki tujuan hidup yang jelas menjadi gamang dan kehilangan arah.
Kematian seseorang selalu merupakan kejutan bagi orang-orang yang mengasihinya. sekalipun kita tahu bahwa penyakit yang dideritanya membawa kematian, orang tetap merasa sukar untuk percaya bahwa orang itu telah benar-benar tiada.Tidak diduga-duga sebelumnya, tidak ada tanda-tanda peringatan lebih dulu, tidak ada persiapan yang benar-benar bisa memperingan goncangan, goncangan dan ketidakpercayaan merupakan reaksi-reaksi yang wajar terhadap kehilangan seseorang yang dikasihi.
Apakah berduka dan bersedih salah? Tidak, Yesus sendiri digambarkan mengalami kesedihan yang sangat mendalam ketika mendengar kabar sahabatnya Lazarus telah meninggal, sampai-sampai dia rela berputar haluan dari perjalanannya walaupun dengan resiko akan mendapat hambatan bahkan kekerasan dari orang-orang Yahudi yang ada di Betania (Yoh. 11: 1-44). Dari peristiwa ini dapat kita simpulkan bahwa bersedih dan seolah-olah tidak terima terhadap kenyataan yang terjadi adalah hal yang wajar terjadi. Namun yang tidak baik adalah terus larut di dalam kesedihan dan duka. Dalam kitab pengkhotbah dikatakan bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk tertawa ada waktu untuk menangis, dst. (Pkh. 3:1-8).
Bagi orang percaya yang telah dibaptis di dalam nama Allah Bapa, anakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus janganlah menganggap kematian sebagai suatu hal yang sangat menakutkan dan menyeramkan bahkan akhir dari segala-galanya. Rasul Paulus justru mengatakan kematian itu adalah sebagai suatu keuntungan (Flp. 1:21). Paulus mampu mengatakan demikian karena sebagai pengikut Kristus dia meyakini bahwa setiap orang percaya adalah orang-orang yang telah mati dan bangkit bersama Kristus melalui baptisan kudus (Rom. 6:3-4). Kematian bukanlah akhir dari segala-galanya, kematian adalah sebuah proses yang memang harus dilalui oleh setiap yang hidup untuk memberikan kesempatan kepada yang lain untuk hidup. Dengan kata lain dapat kita katakan bahwa kematian adalah juga untuk hidup. Dari pemahaman di atas cukup menjadi alasan bagi setiap orang percaya untuk tidak terlarut di dalam kesedihan dan duka yang berkepanjangan.
IV. Penutup
Dimanapun kematian akan meninggalkan rasa duka bagi orang yang masih hidup, apalagi kematian orang yang kita kasihi tentu akan mengakibatkan rasa duka yang sangat mendalam, namun Allah tidak menginginkan kita larut di dalam kesedihan dan duka sebab kematian orang percaya hanyalah kematian tubuh saja {”Hanya tubuh yang tunduk pada kematian” (pasal2 smalkalden hl. 387)} menunggu anugerah hidup yang kekal.
Yesus sendiri mengatakan ”Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?" Pertanyaan itu juga ditujukan kepada kita sekalian sekarang, ”percayakah engkau akan hal itu?” kalau kita percaya maka marilah kita bangkit dan meninggalkakn rasa duka yang berkepanjangan untuk kembali berkarya melakukan missi Allah yang mencipta kita.
(Penulis adalah Pdt. Morrys S. Marpaung, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi November 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar