Sabtu, 27 Februari 2010

ARTIKEL: GEREJA PLUS MISI, SEBUAH ILUSI KRISTEN MAKSIMALIS

Introduksi. Panggilan sebagai Jemaat Misioner bukanlah sesuatu hal yang baru. Hakikat utama dari Gereja Visible dan Gereja Invisible adalah terpanggil untuk memberitakan Injil Keselamatan Yesus Kristus. Injil sebagai Kabar Baik tentang TRANSFORMASI (=Pertobatan + Pembaruan) yang diberikan kepada umat manusia; dan tentang Justice, Peace and Integrity of Creation (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) juga Kesejahteraan Jemaat yang dikehendaki TUHAN, yang menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, Missio Dei, di muka bumi ini [cf. Lukas 4:16-18; bnd. Matius 28:18-20; Markus 16; Kisah Para Rasul 1:8].Pernyataan tersebut menjadi panggilan bagi Jemaat Kristen untuk merenungkan dan merumuskan kembali misinya menjadi Kristen Maksimalis di tengah-tengah dunia, khususnya di tengah-tengah bangsa kita Indonesia, yang katanya, sedang mengalami krisis multidimensi.Panggilan menjadi Kristen Maksimalis bukanlah untuk hidup di angkasa atau di awang-awang, menyendiri atau mengisolasi diri dari dunia ini. Sebaliknya, iman orang percaya kepada Yesus Kristus membutuhkan bentuk yang ekspresif, konkret, membumi dan mendunia. Pertanyaan yang tak terjawab oleh “Realitas Semu” pasti ditemukan jawabannya dalam “Realitas Abadi”, yaitu kebersamaan dengan dan dalam nama Allah Bapa, AnakNya Yesus Kristus dan Roh Kudus.

Dekonstruksi Misi.
Umat TUHAN tidak boleh menutup mata dengan mengabaikan bahwa akibat warisan pemahaman teologi dari masa lalu (pietisme), sebagian kita sering enggan untuk proaktif melibatkan diri di tengah-tengah dunia ini. Kita sering tergoda untuk memusatkan diri dan atensi hanya untuk urusan seremonial-spiritual belaka. Bahkan, menjauh serta menutup diri dari solidaritas dan soliditas sosial kenyataan hidup yang dari waktu ke waktu semakin kompleks.
Tidak sedikit dari kita yang menjadi bingung bahkan bengong dengan masalah bagaimana berpartisipasi total dalam Pembangunan Bangsa bersama dengan umat lainnya. Kita kurang berani terbuka dalam menterjemahkan eksistensi yang bertitik tolak dari Yohanes 15:16= “Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap”. Sepertinya, kita perlu lebih banyak menggumuli Injil Yohanes dalam dekonstruksi misi gereja dalam dunia dan kehidupannya sekarang ini. Ke-kini-an Keselamatan atau Hidup Kekal (Realized Eschatology) yang disuarakan Yohanes (teristimewa perkataan “Aku adalah...”) menyadarkan untuk tidak hanya memusatkan pikiran dan pengharapan kepada dunia yang akan datang. Tetapi, sesungguhnya mewujudkan misi memelihara dunia ini, dimana kita hidup sekarang, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari misi kita, kini dan disini, hic et nunc, here and now.
Gereja (yang katanya Inklusif, Dialogis dan Terbuka) ditantang untuk merumuskan kembali cara berteologi terhadap problema sosial sebagai pergumulan rangkap (double-wrestle). Artinya, dalam mengatasi tantangan ini, kita seharusnya lebih kritis dalam menguji pemahaman Injil yang telah diwarisinya dan bertanya apakah pemahaman itu memadai dalam menghadapi perubahan sosial akibat perkembangan tuntutan zaman. Orang-orang percaya harus masuk dalam perjalanan sejarah dan menjadi duta pembaruan. Sejarah harus dipahami dari perspektif Kerajaan Allah, dimana Roh Kudus hadir menyanggupkan anak-anak Allah berperan pro-aktif dalam perjalanan sejarah dunia. Allah adalah Allah atas sejarah, maka umatNya berharap bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan semua perjuangan manusia.
Ada istilah: “Adalah munafik, ketika kita hanya berbicara demi nasib orang-orang miskin, sementara pada saat yang sama, kita mencari perlindungan pada Penguasa (juga Pengusaha) dan mengabaikan masalah ketidakadilan dan penindasan yang masih ada di sekitar kita”. Ingatlah saudaraku, Keselamatan tidak dapat dipahami terpisah dari kehidupan sebagai suatu TOTALITAS.

Kepemimpinan Hamba. Dewasa ini, Jemaat Kristen merindukan kehadiran para pemimpin atau para pelayan yang memiliki kemurnian hati sebagai seorang HAMBA [Filipi 2:7-8]. Urgensi kepemimpinan seperti itu di tengah Jemaat Misioner sungguh menjadi kebutuhan yang mendesak. Ironisnya, banyak suara-suara sumbang ditujukan kepada Pemimpin/Pelayan yang mengalami degradasi moral (istilahnya, “Partohonan/Parhalado Sontoloyo”). Sinyalemen ini boleh jadi ada benarnya juga, tetapi perlu dicari akar permasalahannya. Back to the Basic and Back to the Bible within Back for Good, merupakan solusi konkret untuk meneladani Sang Pelayan Agung, Jesus Christ. Sejatinya, seorang Pemimpin/Pelayan memiliki kesabaran ekstra, seperti apa yang dimiliki Ayub. Mudah-mudahan para pemimpin ataupun para pelayan dapat memenangkan dan mendapatkan kembali supremasi dan kepercayaan Jemaat, yang adalah prasyarat pertama dan utama untuk memahami dengan jelas masalah mereka, dan apa yang mereka butuhkan berkaitan dengan misi pelayanannya. Pelayanan yang menyentuh kebutuhan mendasar (basic needs) Jemaat akan mengembalikan citra positif para pemimpin ataupun para pelayan yang telah tercoreng-moreng. Kontribusi tersebut merupakan ungkapan kepedulian warga gereja terhadap kepemimpinan di dalam gereja dan pola pemberdayaan yang perlu realisasi dan kontekstualisasi secara khusus dan berkelanjutan. Orang yang memiliki POTENSI KEPEMIMPINAN HAMBA, menurut Robbi Candra, adalah “orang-orang yang memiliki visi tajam dan atraktif, energi yang lebih besar dari orang lain, kemampuan berkomunikasi dengan efektif, keinginan belajar yang sangat besar, mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya yang jernih, pengetahuan dan keterampilan yang cocok dengan situasi, dan sensitif atas kebutuhan dan dinamika orang lain, serta mampu menghasilkan suatu perubahan nyata melalui upaya sendiri”. Seiring dengan tuntutan zaman, gereja perlu mentransformasikan, mereformasi sistem dan gaya kepemimpinannya selama ini. Gereja harus lebih memikirkan bentuk pemerintahan gerejawi yang berorientasi ke bawah/basis, yakni Jemaat (bottom-up leadership), bukan berorientasi ke atas (top-down leadership). Gereja kiranya mengupayakan fleksibelitas sistem penempatan para Pendeta (dan Pelayan lainnya) dari Sistem Sending Pastor ke Sistem Calling Pastor. Namun, lebih dari itu, masih ada banyak lagi sebenarnya pikiran dan tugas serta tanggung jawab gereja yang sangat mendesak untuk dikerjakan.

Penyembuhan Bagi Bangsa-Bangsa. Bangsa Indonesia masih saja berkutat pada krisis multidimensi. Keresahan semakin mencekam di tengah-tengah masyarakat yang dinamis dengan beragam kerusuhan, teror bom yang sistemik akibat ulah Pimpro (Pimpinan Provokator). Krisis ini berdampak langsung kepada warga gereja yang adalah warga masyarakat Indonesia. Dimana suara profetik gereja…??? Apa yang dapat dilakukan Gereja sebagai ungkapan dan keberpihakannya dalam misi kepada orang-orang pinggiran, menderita dan teralienasi? Secara khusus, gereja sendiri menghadapi persoalannya sendiri dan tentunya tidak perlu cengeng. Gereja dituntut untuk mewujudnyatakan kehadirannya di tengah-tengah dunia agar pelayanannya lebih aktual dan relevan. Oleh karenanya, gereja harus senantiasa mereposisi dan mengkondisikan diri sehingga misinya tetap kontekstual, kontemporer dan menjadi jawaban atas berbagai pergumulannya. Harus disadari bahwa era gereja sekarang tidak sama dengan gereja pada era para rasul. Gereja sekarang berada pada kondisi yang baru, baik kondisi yang diciptakannya sendiri untuk menghadapi perkembangan zaman maupun yang dikondisikan oleh zaman itu sendiri. Dalam menghadapi tantangan zaman itulah, gereja berusaha tampil dan menghadirkan diri dengan berbagai persekutuan, pelayanan, dan kesaksian sesuai dengan sarana dan prasarana yang diciptakannya. Sejatinya, Gereja (di semua denominasi) harus menyuarakan suara penyembuhan bagi dirinya sendiri, bagi masyarakat, negara dan bangsa dimana ia hadir, bertumbuh, dibesarkan dan melayani sesuai dengan keteladanan Yesus Sang Penyembuh. Konkretnya, semua program pelayanan gereja harus menjadi upaya Kesembuhan CiptaanNya. Upaya penyembuhan ini diharapkan menjadi obat penawar terhadap krisis multidimensi yang sampai kini belum juga terobati. Pernyataan “Menjadi Kesembuhan Bagi Bangsa-bangsa” [Wahyu 22:2b] dapat terealisasi melalui pelayanan gereja sekarang ini, di tempat pelayanan kita, yang kemudian menyebar ke tempat wilayah lain, yang nantinya akan disempurnakan pada masa eskatologis.

Globalisasi = Pluralitas?. Abad 21 ini, katanya, merupakan era yang penuh tantangan sekaligus menjadi ancaman. Nilai-nilai lama akan berbenturan akibat nilai-nilai baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Nilai kekeluargaan akan semakin menipis dan godaan hidup individualis semakin mendominasi hidup bergereja. Dalam era ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan sangat mempengaruhi dan mendominasi segala aspek kehidupan. Juga akan semakin tumbuh kesadaran mengenai pluralitas, karena tidak boleh tidak, pluralitas pasti semakin nyata dalam masyarakat. Pertanyannya sekarang, apa artinya menjadi GEREJA pada Abad 21? Dalam konteks pluralitas agama-agama di Indonesia, Kristen Maksimalis terpanggil untuk mengembangkan penggunaan bahasa yang lebih kontemporer-kontekstual, dalam arti, tidak hanya dalam bahasa konseptual yang berupa rumusan-rumusan dogmatis yang abstrak yang bersifat ontologis-metafisik. Tetapi, dalam bahasa objektif yang bersifat fungsional-relasional, yang lebih cocok untuk mengungkapkan pengalaman iman akan kehadiran Allah di tengah-tengah basis kehidupan orang-orang percaya. Kerangka berpikir para telog sering berbelit dan dituangkan dalam bahasa yang cukup sukar, sehingga tidak dapat dipahami kaum awam juga cendikiawan. Abad 21 sendiri merupakan Era Kaum Perempuan, tetapi tidak berarti mereka dapat berlaku sesuka hati, bersenang-senang dan pada akhirnya merasa dirinya bagaikan seorang putri atau ratu yang harus dilayani. Sebaliknya, dari kaum perempuan dituntut tanggungjawab untuk semakin mau dan mampu memperlihatkan eksistensinya di tengah-tengah kesempatan pelayanan yang terbuka lebar. Apa kabar Kaum Perempuan Kristen…???

Konkretisasi Kristen Maksimalis. Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” [Efesus 4:11-12]. Umat Kristen di akhir zaman adalah mereka yang mendengar dan melakukan Firman Tuhan. Mereka yang tidak mempercayai dan menyuarakan kebenaran tersebut otomatis akan menjadi “bisu” serta tidak memiliki pengaruh bagi masyarakat. Dewasa ini, TUHAN sedang menurunkan urapanNya agar Gereja dan Perangkatnya yang terikat sistem dapat berfungsi sebagai TRANSFORMATOR di tengah-tengah dunia yang sedang sakit. Allah sedang bekerja bagi para hambaNya di dalam urapan apostolik-profetik atas GerejaNya agar benar-benar menjadi garam dunia dan terang dunia [Matius 5:13-16]. Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus sedang serius dengan Indonesia. Tahun 2009 sampai 2010 adalah Tahun Kesejahteraan Gereja dan Transformasi Bagi Indonesia. Akan ada suatu kegerakan yang dahsyat dan luar biasa terjadi, gerakan yang belum pernah terjadi atas Indonesia sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya memang telah pernah dinubuatkan. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, Umat Kristen harus siap mengantisipasi transformasi dan gerakan besar yang akan terjadi di Indonesia ini. Untuk itulah, Allah sedang melakukan PEMULIHAN di Gereja belakangan ini. Gereja yang didasarkan atas pelayanan apostolik-profetik yang sedang dipulihkan TUHAN bercirikan: 1. Satu tuntunan yang jelas dalam pelayanan dimana gereja akan bergerak sesuai tuntunanNya; 2. Pewahyuan yang jelas tentang rencana TUHAN sehingga tidak ada lagi kompetisi yang berakibat permusuhan. Para hamba TUHAN akan melayani sesuai dengan bidang dimana TUHAN menempatkan mereka; 3. Terobosan dalam pelayanan, dimana TUHAN akan melakukannya pada saat dan tempat yang tepat; 4. Pembaruan dalam pengutusan demi memaksimalkan potensi setiap umatNya dalam bangunan tubuh Kristus. Pemulihan akan terjadi bukan hanya pada Gereja sebagai institusi, namun juga Umat TUHAN sebagai elemen dari Gereja itu sendiri. Kristen Maksimalis yang mengalami terobosan dan pemulihan bercirikan: 1. Berpikir dan Bergerak, tidak lagi puas hanya menjadi penonton dalam gereja namun juga menjadi pelayan TUHAN tanpa melihat denominasi gerejanya; 2. Memiliki Mental Mempengaruhi Orang Lain, tidak hanya menjadi Kristen Lot yang hidup bagi diri sendiri, namun menjadi Kristen Abraham yang kehadirannya memberikan pengaruh kepada semua umat manusia; 3. Tampil menjadi Kepala bukan Ekor sesuai janji TUHAN, dan menjadi Kristen Yusuf yang dipakai sebagai Tokoh Pemimpin di segala aspek kehidupan bergereja dan bernegara; 4. Mampu Berada di bawah Tekanan dan Goncangan, sebab goncangan akan mendahului penuaian, tidak mudah goyah sebab tangan TUHAN yang menopang; 5. Berani untuk Hidup Kudus (Holy Boldness) sebagai calon mempelaiNya; 6. Bekerja dan melayani di bawah Otoritas yang ditentukan dimana Pengurapan mengalir dari kepala [Mazmur 133]. Pemulihan dari segala sesuatu dalam Jemaat Misioner ini membuat kesatuan Tubuh Kristus terjadi, sehingga TRANSFORMASI dan KESEJAHTERAAN WARGA GEREJA dapat terwujud serta penuaian jiwa berlaksa-laksa terjadi. Ada sukacita mengetahui sesuatu. TUHAN Yesus Memberkati…

(Penulis adalah Jolly Radjagukguk, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Desember 2009)

Tidak ada komentar: