Latar Belakang
Salah satu trend ekspresif zaman post modern adalah ditandainya pergolakan sosial yang cepat. Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, kecanggihan teknologi post industri abad ini. Di sisi lain, kita dihadapkan seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, alienasi, depresi, stres, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit psikologis lainnya. Justru, jenis penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis. Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, sampai pembunuhan yang menghiasi keseharian hidup kita.
Di Barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No !. Ada penolakan terhadap agama formal yang memiliki gejala umumnya sama saja: eksklusif dan dogmatis, sambil menengok ke arah spiritualitas baru lintas agama, yang menurut Majalah Newsweek (28 November 1994), jumlahnya fantastis: 58 persen responden dalam suatu survei, menunjukkan kegairahannya pada kebutuhan spiritualitas baru. Inilah model generasi baru yang gandrung pada Spiritualitas New Age. Russel Chandler, mantan jurnalis agama pada Los Angeles Times, mengklaim, 40 persen orang Amerika percaya pada panteisme (kepercayaan yang berprinsip pada all is God and God is all), 36 persen percaya pada astrologi sebagai scientific, tepatnya percaya pada astrologi sebagai metode peramalan masa depan (a method of foretelling the future), dan 25 persen percaya pada reinkarnasi (lih. Chadler, Understanding the New Age, 1988, hlm 20, 130-33).
Nah, fenomena keagamaan inilah yang menarik dipotret. Apa itu gerakan New Age berikut ciri khasnya? Bagaimana model praktik spiritual New Age di tengah eksistensi agama-agama besar selama ini? Benarkah spiritualitas New Age tampil sebagai pluralisme dewasa ini ?
Fenomena New Age
New age movement, mulai menjadi diskursus (bahan pembicaraan) publik selama dasawarsa 80-an dan terus berlanjut sampai 90-an. Maraknya wacana ini merupakan puncak dari kesinambungan sejarah. Dulu, pada akhir dasawarsa 60-an dan memasuki awal tahun 70-an, sudah lahir benih baru New Age yang secara populer diekspresikan dalam bentuk “gerakan sadar diri” (self-conscious movement).
Secara literal, New Age Movement adalah gerakan zaman baru, yang oleh Rederic dan Mery Ann Brussat disebut sebagai “zaman pencerahan spiritual”. Ada semacam arus besar kebangkitan spiritual yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika, Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Ekspresinya beragam; mulai dari cult, sect, New Thought, New Religious Movement, Human Potentials Movement, The Holistic Health Movement, sampai New Age Movement. Namun, benang merahnya hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati. Hasrat spiritual inilah yang menjadi ciri khas New Agers (istilah New Agers ini relatif lebih lazim dipakai dalam konteks gerakan New Age, dibanding misalnya istilah New Age Adherents maupun New Age Believers). Sebagai a new revivalist religious impulse directed toward the esoteric/metaphysical/spiritualism…, hasrat spiritual New Agers yang secara praktis adalah a free-flowing spiritual movement, terartikulasi ke berbagai manuskrip metafisika-spiritualitas (Manuskrip Celestine, baik The Celestine Prophecy maupun The Celestine Vision, Sophia Perennis yang menjadi filsafatnya New Agers, paradigma The Tao of… yang sangat ekspresif menjadi trend penerbitan judul buku-buku ilmiah dan populer, The Aquarian Conspiracy yang menjadi buku pegangan New Agers, hingga merambah ke “pendidikan spiritual” dan bahkan klinik-klinik spiritual dengan beragam variasinya.
Sebagaimana disinggung sepintas oleh Naisbitt dalam Megatrend 2000,
In turbulent times, in times of great change, people head for the two extremes: fundamentalism and personal, spiritual experience… With no membership lists of even a coherent philosophy or dogma, it is difficult to define or measure the unorganized New Age movement. But in every major U.S. and European city, thousands who seek insight and personal growth cluster around a metaphysical bookstore, a spiritual teacher, or and education center.
Oleh karena itu, seperti sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan adalah adanya gerakan masif (besar-besaran, raksasa) dari generasi New Age yang selalu menyebut-nyebut dirinya sebagai flower generations (generasi bunga), berkiblat pada mainstream spiritualitas, mulai dari kegemaran menyelami Manuskrip Celestine sampai mengalami apa yang menjadi tradisi spiritual New Agers sebagai spiritual gathering dengan berbagai variasi mistik-spiritualnya.
Gerakan yang dimulai di Inggris tahun 1960-an ini, antara lain dipelopori Light Groups, Findhorm Community, Wrekin Trust. Ia menjadi sangat cepat mendunia berskala internasional, terutama setelah diselenggarakan seminar New Age oleh Association for Research and Enlightenment di Amerika Utara, dan diterbitkannya East West Journal tahun 1971 yang dikenal luas sebagai jurnalnya New Agers. Yang agak sensasional dari gerakan New Age ini adalah setelah disiarkan via televisi secara miniseri Shirley MacLaine Out on a Limb, bulan Januari 1987.
Spritulitas New Agers
Ekspansi New Age menjadi populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai protes keras atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan. Pertama, di lingkungan gereja Kristen, misalnya, sulit menghapus ingatan masa lalu saat Gereja menerapkan doktrin extra ecclesiam nulla salus. No salvation outside the Church! Tidak ada keselamatan di luar Gereja. Bukankah ini cermin watak Gereja yang sarat claim of salvation? Bukankah claim of salvation tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius terhadap konflik atas nama agama dan Tuhan. Karena itu, “keselamatan” itu tidaklah penting di kalangan New Age. Sebab, New Agers lebih percaya prinsip Enlightenment, di mana muncul kesadaran spiritualitas di kalangan New Age bahwa manusia dapat tercerahkan, menjadi sacred self, karena pada kenyataannya manusia adalah divine secara intrinsik (persis konsep fithrah dalam Islam). Paham inilah yang akhirnya menjadikan “pantheisme” begitu fenomenal di kalangan New Age. Kedua, protes New Agers atas hilangnya kesadaran etis untuk menatap masa depan. Oleh karena itu, salah satu manuskrip terpenting yang menjadi wawasan etis New Agers dalam menatap masa depan adalah The Art of Happiness, New Ethic for the Millenium karya Dalai Lama.
Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan, maka New Agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. Kita tahu, betapa New Agers begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.
Oleh karena itu, New Agers sangat menghayati betul arti pentingnya monisme (segala sesuatu yang ada, merupakan derivasi (penjabaran) dari sumber tunggal, divine energy), pantheisme (all is God and God is all, menekankan kesucian individu, dan karenanya proses pencarian Tuhan tidaklah melalui Teks Suci, tetapi justru melalui diri sendiri, karena God within our self), reinkarnasi (setelah kematian, manusia terlahirkan kembali, dan hidup dalam alam kehidupan lain sebagai manusia yang mirip dengan konsep transmigration of the soul dalam Hindu), dan seterusnya, seperti astrologi, channeling, panentheisme (Allah yang bipolar:abstrak dan riil), tradisi Hinduisme, tradisi Gnostis, Neo-Paganisme, theosopi, karma, crystal, meditasi, dan seterusnya.
Tradisi spiritual New Agers lintas agama ini, menurut mereka, tidak saja dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, tetapi juga memberi muara kepada New Ages ke arah terwujudnya Universal Religion. Agama Universal, di mana ada proses awal kesadaran akan all is God and God is all yang menjadi sandaran doktrin Pantheisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas New Age yang meyakini bahwa “hanya ada Satu Realitas yang eksis”. Semua agama, begitu keyakinan New Agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada Satu Realitas yang menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-agama). Satu Realitas yang menjadi ultimate reality itu adalah Tuhan.
Kesimpulan
Dari apa yang telah kita pelajari berkaitan dengan New Age Movement, kita dapat memahami bahwa :
1) Paham/ideologi inti dari gerakan ini adalah “pantheisme” : “God is all and all is god.” Paham ini tidak sama dengan apa yang tertulis dalam Ef 4:6, bahkan sangat bertentangan sama sekali.
2) Pada hakekatnya, gerakan zaman baru menganut pandangan : tidak ada kebenaran yang absolut karena semua agama tak lebih dari sekadar jalan menuju Tuhan (pluralisme). Pandangan ini sangat bertentangan dengan Kesaksian Alkitab dalam Yoh 14:6 dam Kis 4:12 yang menyatakan bahwa KESELAMATAN HANYA DI DALAM DAN MELALUI TUHAN YESUS KRISTUS.
3) Gerakan ini tidak menganggap “keselamatan” sebagai sesuatu yang penting. Yang terpenting adalah manusia mencapai/mengalami kesadaran tertinggi (kecerdasan spiritualawareness enlightment) yang diperoleh dari pencarian di dalam batin.
4) Seperti ketika Paulus di Athena, kita harus terlebih dahulu menolong orang-orang penganut gerakan Zaman Baru untuk mengerti bahwa mereka tergantung kepada pencipta yang transenden dan berpribadi, bertanggung jawab kepadaNya dan berdosa di hadapanNya. Hanya dengan demikian kita baru dapat memanggil mereka untuk bertobat dari dosa-dosa mereka, percaya kepada Injil, dan beriman kepada Yesus Kristus, TUHAN satu-satunya yang telah dibangkitkan oleh ALLAH dari kematian (Kis 17:16-40).
Sumber :
1. Sukidi, NEW AGE, Wisata Spiritual Lintas Agama, PT. GRAMEDIA, Jakarta 2001
2. Douglas R. Groothius, Membuka Topeng Gerakan Zaman Baru, MOMENTUM, September 2000
(Penulis adalah Joni W. Simatupang,S.T., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2005)
Salah satu trend ekspresif zaman post modern adalah ditandainya pergolakan sosial yang cepat. Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, kecanggihan teknologi post industri abad ini. Di sisi lain, kita dihadapkan seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, alienasi, depresi, stres, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit psikologis lainnya. Justru, jenis penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis. Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, sampai pembunuhan yang menghiasi keseharian hidup kita.
Di Barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No !. Ada penolakan terhadap agama formal yang memiliki gejala umumnya sama saja: eksklusif dan dogmatis, sambil menengok ke arah spiritualitas baru lintas agama, yang menurut Majalah Newsweek (28 November 1994), jumlahnya fantastis: 58 persen responden dalam suatu survei, menunjukkan kegairahannya pada kebutuhan spiritualitas baru. Inilah model generasi baru yang gandrung pada Spiritualitas New Age. Russel Chandler, mantan jurnalis agama pada Los Angeles Times, mengklaim, 40 persen orang Amerika percaya pada panteisme (kepercayaan yang berprinsip pada all is God and God is all), 36 persen percaya pada astrologi sebagai scientific, tepatnya percaya pada astrologi sebagai metode peramalan masa depan (a method of foretelling the future), dan 25 persen percaya pada reinkarnasi (lih. Chadler, Understanding the New Age, 1988, hlm 20, 130-33).
Nah, fenomena keagamaan inilah yang menarik dipotret. Apa itu gerakan New Age berikut ciri khasnya? Bagaimana model praktik spiritual New Age di tengah eksistensi agama-agama besar selama ini? Benarkah spiritualitas New Age tampil sebagai pluralisme dewasa ini ?
Fenomena New Age
New age movement, mulai menjadi diskursus (bahan pembicaraan) publik selama dasawarsa 80-an dan terus berlanjut sampai 90-an. Maraknya wacana ini merupakan puncak dari kesinambungan sejarah. Dulu, pada akhir dasawarsa 60-an dan memasuki awal tahun 70-an, sudah lahir benih baru New Age yang secara populer diekspresikan dalam bentuk “gerakan sadar diri” (self-conscious movement).
Secara literal, New Age Movement adalah gerakan zaman baru, yang oleh Rederic dan Mery Ann Brussat disebut sebagai “zaman pencerahan spiritual”. Ada semacam arus besar kebangkitan spiritual yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika, Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Ekspresinya beragam; mulai dari cult, sect, New Thought, New Religious Movement, Human Potentials Movement, The Holistic Health Movement, sampai New Age Movement. Namun, benang merahnya hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati. Hasrat spiritual inilah yang menjadi ciri khas New Agers (istilah New Agers ini relatif lebih lazim dipakai dalam konteks gerakan New Age, dibanding misalnya istilah New Age Adherents maupun New Age Believers). Sebagai a new revivalist religious impulse directed toward the esoteric/metaphysical/spiritualism…, hasrat spiritual New Agers yang secara praktis adalah a free-flowing spiritual movement, terartikulasi ke berbagai manuskrip metafisika-spiritualitas (Manuskrip Celestine, baik The Celestine Prophecy maupun The Celestine Vision, Sophia Perennis yang menjadi filsafatnya New Agers, paradigma The Tao of… yang sangat ekspresif menjadi trend penerbitan judul buku-buku ilmiah dan populer, The Aquarian Conspiracy yang menjadi buku pegangan New Agers, hingga merambah ke “pendidikan spiritual” dan bahkan klinik-klinik spiritual dengan beragam variasinya.
Sebagaimana disinggung sepintas oleh Naisbitt dalam Megatrend 2000,
In turbulent times, in times of great change, people head for the two extremes: fundamentalism and personal, spiritual experience… With no membership lists of even a coherent philosophy or dogma, it is difficult to define or measure the unorganized New Age movement. But in every major U.S. and European city, thousands who seek insight and personal growth cluster around a metaphysical bookstore, a spiritual teacher, or and education center.
Oleh karena itu, seperti sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan adalah adanya gerakan masif (besar-besaran, raksasa) dari generasi New Age yang selalu menyebut-nyebut dirinya sebagai flower generations (generasi bunga), berkiblat pada mainstream spiritualitas, mulai dari kegemaran menyelami Manuskrip Celestine sampai mengalami apa yang menjadi tradisi spiritual New Agers sebagai spiritual gathering dengan berbagai variasi mistik-spiritualnya.
Gerakan yang dimulai di Inggris tahun 1960-an ini, antara lain dipelopori Light Groups, Findhorm Community, Wrekin Trust. Ia menjadi sangat cepat mendunia berskala internasional, terutama setelah diselenggarakan seminar New Age oleh Association for Research and Enlightenment di Amerika Utara, dan diterbitkannya East West Journal tahun 1971 yang dikenal luas sebagai jurnalnya New Agers. Yang agak sensasional dari gerakan New Age ini adalah setelah disiarkan via televisi secara miniseri Shirley MacLaine Out on a Limb, bulan Januari 1987.
Spritulitas New Agers
Ekspansi New Age menjadi populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai protes keras atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan. Pertama, di lingkungan gereja Kristen, misalnya, sulit menghapus ingatan masa lalu saat Gereja menerapkan doktrin extra ecclesiam nulla salus. No salvation outside the Church! Tidak ada keselamatan di luar Gereja. Bukankah ini cermin watak Gereja yang sarat claim of salvation? Bukankah claim of salvation tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius terhadap konflik atas nama agama dan Tuhan. Karena itu, “keselamatan” itu tidaklah penting di kalangan New Age. Sebab, New Agers lebih percaya prinsip Enlightenment, di mana muncul kesadaran spiritualitas di kalangan New Age bahwa manusia dapat tercerahkan, menjadi sacred self, karena pada kenyataannya manusia adalah divine secara intrinsik (persis konsep fithrah dalam Islam). Paham inilah yang akhirnya menjadikan “pantheisme” begitu fenomenal di kalangan New Age. Kedua, protes New Agers atas hilangnya kesadaran etis untuk menatap masa depan. Oleh karena itu, salah satu manuskrip terpenting yang menjadi wawasan etis New Agers dalam menatap masa depan adalah The Art of Happiness, New Ethic for the Millenium karya Dalai Lama.
Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan, maka New Agers menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. Kita tahu, betapa New Agers begitu kuat berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.
Oleh karena itu, New Agers sangat menghayati betul arti pentingnya monisme (segala sesuatu yang ada, merupakan derivasi (penjabaran) dari sumber tunggal, divine energy), pantheisme (all is God and God is all, menekankan kesucian individu, dan karenanya proses pencarian Tuhan tidaklah melalui Teks Suci, tetapi justru melalui diri sendiri, karena God within our self), reinkarnasi (setelah kematian, manusia terlahirkan kembali, dan hidup dalam alam kehidupan lain sebagai manusia yang mirip dengan konsep transmigration of the soul dalam Hindu), dan seterusnya, seperti astrologi, channeling, panentheisme (Allah yang bipolar:abstrak dan riil), tradisi Hinduisme, tradisi Gnostis, Neo-Paganisme, theosopi, karma, crystal, meditasi, dan seterusnya.
Tradisi spiritual New Agers lintas agama ini, menurut mereka, tidak saja dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, tetapi juga memberi muara kepada New Ages ke arah terwujudnya Universal Religion. Agama Universal, di mana ada proses awal kesadaran akan all is God and God is all yang menjadi sandaran doktrin Pantheisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas New Age yang meyakini bahwa “hanya ada Satu Realitas yang eksis”. Semua agama, begitu keyakinan New Agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada Satu Realitas yang menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-agama). Satu Realitas yang menjadi ultimate reality itu adalah Tuhan.
Kesimpulan
Dari apa yang telah kita pelajari berkaitan dengan New Age Movement, kita dapat memahami bahwa :
1) Paham/ideologi inti dari gerakan ini adalah “pantheisme” : “God is all and all is god.” Paham ini tidak sama dengan apa yang tertulis dalam Ef 4:6, bahkan sangat bertentangan sama sekali.
2) Pada hakekatnya, gerakan zaman baru menganut pandangan : tidak ada kebenaran yang absolut karena semua agama tak lebih dari sekadar jalan menuju Tuhan (pluralisme). Pandangan ini sangat bertentangan dengan Kesaksian Alkitab dalam Yoh 14:6 dam Kis 4:12 yang menyatakan bahwa KESELAMATAN HANYA DI DALAM DAN MELALUI TUHAN YESUS KRISTUS.
3) Gerakan ini tidak menganggap “keselamatan” sebagai sesuatu yang penting. Yang terpenting adalah manusia mencapai/mengalami kesadaran tertinggi (kecerdasan spiritualawareness enlightment) yang diperoleh dari pencarian di dalam batin.
4) Seperti ketika Paulus di Athena, kita harus terlebih dahulu menolong orang-orang penganut gerakan Zaman Baru untuk mengerti bahwa mereka tergantung kepada pencipta yang transenden dan berpribadi, bertanggung jawab kepadaNya dan berdosa di hadapanNya. Hanya dengan demikian kita baru dapat memanggil mereka untuk bertobat dari dosa-dosa mereka, percaya kepada Injil, dan beriman kepada Yesus Kristus, TUHAN satu-satunya yang telah dibangkitkan oleh ALLAH dari kematian (Kis 17:16-40).
Sumber :
1. Sukidi, NEW AGE, Wisata Spiritual Lintas Agama, PT. GRAMEDIA, Jakarta 2001
2. Douglas R. Groothius, Membuka Topeng Gerakan Zaman Baru, MOMENTUM, September 2000
(Penulis adalah Joni W. Simatupang,S.T., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar