Pengantar
Sinode Godang HKBP di Seminarium Sipoholon tanggal 1-7 September 2008 telah berhasil memilih pimpinan pusat HKBP. Mulai dari Ephorus, para kepala departemen, sekretaris jenderal, dan juga para praeses. Namun Sinode Godang sebagai lembaga pengambil kebijakan dan keputusan tertinggi di gereja HKBP telah menyuarakan agar semua pendeta, semua huria-huria pagaran dan sabungan harus memikirkan secara integral dan holistik untuk menyempurnai Aturan dan Peraturan tahun 2002 yang kita miliki saat ini. Kita tidak bias memasung diri dan menutup rapat-rapat pancaindera terhadap kecenderungan perubahan untuk elatisitas dan jawaban teologis HKBP kepada tantangan jaman yang masih terabaikan. Demikian juga hasil Rapat Pendeta Sedunia HKBP yang baru-baru dilaksanakan di tempat yang sama, benar-benar memberikan harapan dan cuara yang cerah bagi sepak terjang HKBP ke masa depan.
Ditinjau dari aspek antropologis telah diketahui semua orang Batak adanya Dalihan na Tolu, di mana ketiga piranti dan elemen di dalamnya memiliki porsi, tanggung jawab, dan posisi berbeda-beda, namun saling melengkapi dan saling mengisi sehingga suatu hajatan atau pesta dapat berlangsung apik serta elegan. Kita membutuhkan hal demikian. Yang satu melengkapi yang lain, yang lain mengontrol yang satu, dan seterusnya sehingga HKBP dapat bertumbuh dan berkembang di tengah tantangan jaman menjadi besar, kembali kepada fitrah di era 1980-an,”HKBP na bolon i”. Karena itu saat ini kita sangat membutuhkan nilai profetis dan suara kenabian, bukan suara denting uang, untuk mengoperasi pelbagai “tetanus” yang menggerogoti dari dalam yang akan melumpuhkan di masa depan. Pekikan Martin Luther yang menyatakan “No way for money, Yes for Savior” menjadi parallel dengan dengungan suara yang didendangkan Lutheran World Federation di Amerika Latin bahwa gereja harus menjadi tantangan jaman. Jika tidak maka gereja akan menjadi candu, dan itu otomatis membuktikan kesahihan dalil Marx.
Orientasi Arah dan Strategi HKBP
Tidak semua warga jemaat mendapat AP Baru HKBP bahkan ada juga pendeta yang tidak mendapatkan AP tersebut dan otomatis menyulitkan warga jemaat untuk memahami langkah-langkah strategis penatalayanan HKBP. Sulitnya AP baru HKBP tidak dapat diketahui penyebabnya, yang jelas bagi kita adalah HKBP dengan visi dan misi baru mau melangkah untuk memasuki jaman baru. Mengapa disebut jaman baru? Pertama visi dan misi HKBP dapat dikatakan baru. Kedua, HKBP telah melakukan restrukturalisasi dengan kembali ke dalam tripanji pelayanan gereja yakni koinonia (persekutuan), diakonia (pelayanan), dan marturia (kesaksian). Semua departemen dari pusat sampai tingkat huria harus mengacu ke sana sehingga mereka berfusi. Orietasi HKBP tentang strategi penatalayanan dapat dilihat dalam AP baru. Dalam AP baru ditulis visi sebagai “HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka, serta mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus, bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global, terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang mahakuasa”. Sedang misi ditulis, ”HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan abad 21”. Pemakaian istilah “terbuka”, “inklusif”, dan “dialogis” dalam visi tersebut merupakan sesuatu yang baru dan perlu mendapat perhatian. Visi tersebut akan terlihat dalam serangkaan tema dalam Sinode Godang. Misal tema Sinode Godang tahun 2002 adalah “Menjadi kesembuhan bagi bangsa-bangsa” (Wahyu 22:2) dan dalam Sinode Godang tahun 2004 mengambil tema, “TUHAN Allah memberangkatkan dengan damai dan sukacita” (Yesaya 55:12). Dengan itu istilah “terbuka” dapat ditafsirkan bahwa gereja HKBP membuka pintu bagi semua bangsa tanpa diskriminasi untuk menjadi pengikut Kristus dan semakin meninggalkan corak identitas kentalnya yang terkait dengan adat Batak Toba. Itu artinya HKBP sudah terbuka dan dapat menerima semua manusia lintas budaya, padahal tumpuan kekuatan HKBP justru terletak pada identitas khas yang di jaman globalisasi justru sangat diperlukan.
Pandangan terbuka demikian harus segera mendapat penjelasan dan menjadi program penatalayanan penting HKBP untuk dapat melayani para penderita ketergantungan narkoba, penderita HIV AIDS, para korban penggusuran, melakukan pembelaan kepada kaum tani dan nelayan, dan semua korban dari proses pembangunan dan dampak globalisasi sesuai rujukan istilah “global” dalam visi dan misi HKBP. Sebab visi dan misi HKBP tersebut berarti menempatkan posisi gereja HKBP dalam kancah globalisasi. Pertarungan globalisasi saat ini bukan hanya mengambil titik berat pada mutu atau kualitas sebagaimana disebut dalam misi HKBP atau semangat kompetitif, namun juga bertarung dalam hegemoni global. Pemikiran demikian akan membawa kita kepada suatu pertanyaan logis dan relevan, “Seberapa besar pengaruh HKBP dalam konteks lokal (skop propinsi Sumatera Utara), nasional (skop negara Indonesia), dan global (skop dunia internasional)? Pertanyaan ini sangat relevan untuk memikirkan posisi peranan dan pengaruh yang tepat bagi HKBP dalam ke tiga tingkatan di atas. Faktor penentu kekuatan dominan HKBP justru terletak pada kekayaan budaya Batak Toba sebagai aset terbuka HKBP untuk melakukan hegemoni dunia. Karena itu setelah penetapan AP baru HKBP seharusnya diikuti dengan tindakan formulasi lanjutan yang memuat tentang orientasi langkah, dan strategi HKBP menghadapi tantangan dalam abad ke 21. Bagian ini tentu menjadi tanggung jawab bersama, antara pimpinan dan warga HKBP untuk memberikan kontribusi peranan dan pengaruh bagaimana yang bisa dimainkan gereja HKBP. Nah, tentu perlu kajian-kajian strategis dalam wujud seminar- seminar, pembentukan tim pakar, dan perancangan program-program realitis dalam menerjemahkan AP baru tersebut.
Pertanyaan bagi kita adalah apa makna “dialogis” dan “inklusif”? Apakah dialogis dapat diartikan bahwa HKBP siap membuka dialog dan bersedia menjadi fasilitasi dialog bila diperlukan warga Batak Toba atau sukubangsa lain? Ataukah pengartian dialogis dimaksud sebagai penyeimbangan aspirasi warga gereja dan pimpinan dalam hal-hal yang menyinggung tentang teologi praktis. Bila hal itu dimaksud maka warga perlu memberi masukan-masukan kepada pimpinan gereja tentang realitas kebutuhan dan harapan masing-masing warga HKBP. Bagian ini kemudian dirumuskan sehingga menghasilkan penatalayanan yang dialogis. Penatalayanan dialogis menjadi kekuatan penting mengimbangi pola inklusif. Tapi kita juga belum paham maksud dari istilah “inklusif”, apakah itu terkait dengan sikap gereja berdasar teologi inklusif untuk tidak mengambil bentuk pluralistik? Kesenjangan pemikiran dari AP baru kepada realitas penatalayanan inilah menjadi pemikiran penting bagi kontemplatif kita saat ini sehingga kita bias berpacu dengan waktu untuk mengelaborasi dan menentukan jawaban-jawaban teolgis yang memadai terhadap jeritan-jeritan jemaat, dan kecenderungan terhadap perubahan jaman, termasuk pergeseran dan pertarungan ideologis yang akan terjadi.
Yesus Kristus mengajak semua jemaat HKBP untuk melakukan pembelajaran sehingga suatu saat dapat mencapai taraf aktualisasi diri di mana HKBP dapat menyatakan “YA, dan atau TIDAK” terhadap realitas sosialnya. Belajar dari Yesus yang selalu berani untuk mengubah strategi dan orientasi dalam memberi jawaban teologis terhadap elemen-elemen masyarakat Yahudi pada jamanNya; kepada kaum Tora, Eseni, Saduki, Zealot, para imam Sanhendrin, serta rakyat jelata yang benar-benar terbangun kehidupannya. Yesus menyebut Herodes Antipas IV sebagai serigala berbulu domba, sangat berbahaya dan merusak harmonisasi kehidupan. Yesus juga banyak mengritisi pola kehidupan dan keberimanan para imam. Yesus juga memberi solusi terhadap kemelaratan hidup, dan degrasi sosial yang dihadapi umatNya pada jamanNya. Namun saya sependapat dengan teolog John Dominic Crossan yang menyatakan ada 2 teknis strategi yang diterapkanNya di dalam penatalayananNya. Pertama Dia selalu rendah hati dan lembut sehingga mau bersantap makan bersama masyarakat marjinal (orang miskin, yang tertindas, tertawan, yang terbuang, yang sakit AIDS, busung lapar, dst). Pola ini disebut Crossan sebagai “open commensality”,”duduk satu meja untuk makan bersama”. Artinya kita harus bias dan mau duduk bersama, berdialog dan berkata-kata untuk mencari solusi dalam ruang pelayanan. Seringkali hal ini jarang dilakukan bahkan mulai tak digubris. Kedua Yesus melulu dengan kuasa mumpuni melakukan upaya-upaya penyehatan dan penyembuhan (free healing). Dalam konteks jaman kita, hal ini dapat kita lakukan dengan menerima serta memanusiakan orang-orang yang selama ini dianggap sampah masyarakat. Misal menerima orang-orang pengidap AIDS, menghibur orang-orang terkena PHK sehingga dapat fungsional di masyarakat.
Tantangan HKBP: Dunia dan Jaman Baru
Dunia modern sebagai akselerasi kekuatan industrialisasi, kapitalisasi, dan rasionalitas telah mendorong kelahiran globalisasi. Ketiga kekuatan itu melihat faktor sekat berupa teritorial sebagai batas negara dan menjadi penghalang utama suatu tindakan ekonomi. Karena itu perlu suatu wadah yang disebut globalisasi. Globalisasi menentukan peranan dan pengaruh satu pihak terhadap pihak lain berdasar perdagangan dan teknologi informasi. Globalisasi tidak hanya menghilangkan sekat batas (borderness) dengan membentuk suatu “kampung dunia” (global village) walau bersandar pada prinsip persaingan sehat dan mutu unggulan, namun bisa menjadi ancaman berupa terjadinya “penjarahan global” (global pillage) terhadap sumber daya alam yang masih dimiliki negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kasus-kasus illegal logging (penebangan hutan secara liar), impor sembako secara besar-besaran seperti kasus impor gula sekarang, sampai ke bentuk pinjaman hutang berjangka dapat dilihat sebagai wujud penjarahan global. Persaingan saat ini tidak hanya berdasarkan pada kekuatan rasionalitas, dalam arti kecerdikan dan kelihaian, namun harus juga didukung oleh perangkat infrastruktur seperti kekuatan modal uang dan kebijakan-kebijakan berupan aturan hukum yang jelas dan adil. Karena itu rasanya tidak logis bila ada pihak menyatakan persaingan sehat. Negara-negara maju telah memiliki itu sehingga tidak terjadi hal yang merugikan warganya, misal adanya subsidi bagi kalangan petani sedang di negara kita belum kuat rasa kepedulian baik secara kolektif maupun individu. Perlindungan terhadap semua produk dalam negeri dan hak-hak warga negara menjadi sangat relevan untuk tetap mempertahankan identitas diri. Dampak globalisasi dapat merusak citra identitas diri tanpa terkecuali, termasuk warga gereja HKBP. Karena itu kajian terhadap dampak globalisasi sudah perlu mendapat perhatian HKBP untuk dapat mengambil langkah konstruktif dan strategis bagi warganya sebagai agenda penting pasca-sinode godang 2004 ini agar HKBP tetap terpelihara menjadi HKBP. Pencitraan kekuatan HKBP harus mulai dilakukan dengan serangkaian perlindungan, advokasi, penguatan rakyat desa, dan pembentukan jaringan kota-desa. Bagian ini akan sejalan dengan UU No 22 dan No 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Citra gereja sebagai pengayom dan moral force sangat dibutuhkan warga arus bawah. Dalam era globalisasi, kekuatan pencitraan juga dibutuhkan agar gereja tetap terbuka bagi semua umat yang membutuhkan perlindungan baik secara sosial, budaya, maupun politik. Transisi internal HKBP sejak sinode rekonsiliasi tahun 1998 dengan tetap mengayomi seluruh warga gereja HKBP telah menyibukkan HKBP sehingga transisi dari masa silam dengan 2 AP yang dipakai kepada tiba-tiba muncul napas pembaharuan rasanya menjadi pergumulan aktual HKBP. HKBP cukup konkret membaca situasi lokal, nasional dan global dengan merumuskannya menjadi visi, namun hendaknya visi dan misi itu dapat diejawantahkan ke dalam kenyataan penatalayanan gereja HKBP. Namun kita harus menyadari sungguh-sungguh bahwa AP baru HKBP memberi kekuatan baru dan membawa warga gereja menuju jaman baru. Dalam rangka memasuki jaman baru itulah warga dan pimpinan HKBP harus mempersiapkan menghadapi era perubahan dan persiapan menghadapi tantangan dari jaman ini, yakni dampak globalisasi. Tumpuan pelayanan pada tiap keluarga dan tiap individu warga HKBP merupakan titik sentral penguatan partisipasi warga, sebagaimana diisyaratkan dalam makna tema Sinode Godang tahun ini. “TUHAN Allah memberangkatkan dengan damai dan sukacita” memberi kekuatan unggulan sebagai berkat dan diharapkan warga HKBP mampu membawa serta menjadi berkat bagi orang lain. Makna ungkapan itu senada dengan ungkapan Tuhan Yesus yang selalu memberi amanat untuk pergi dan pergi. Misal dalam Matius 10:7, ”Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat”, juga dalam amanat agung di Markus 16:15, “Lalu Ia berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk”. Corak pelayanan Tuhan Yesus adalah corak bekerja dan talenta bekerja dalam melayani DIA ada pada semua warga gereja, bukan dengan hanya berkata-kata. Selamat bersinode-godang HKBP.
(Penulis adalah Pdt. Melvin Simanjuntak, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Oktober 2009)
Sinode Godang HKBP di Seminarium Sipoholon tanggal 1-7 September 2008 telah berhasil memilih pimpinan pusat HKBP. Mulai dari Ephorus, para kepala departemen, sekretaris jenderal, dan juga para praeses. Namun Sinode Godang sebagai lembaga pengambil kebijakan dan keputusan tertinggi di gereja HKBP telah menyuarakan agar semua pendeta, semua huria-huria pagaran dan sabungan harus memikirkan secara integral dan holistik untuk menyempurnai Aturan dan Peraturan tahun 2002 yang kita miliki saat ini. Kita tidak bias memasung diri dan menutup rapat-rapat pancaindera terhadap kecenderungan perubahan untuk elatisitas dan jawaban teologis HKBP kepada tantangan jaman yang masih terabaikan. Demikian juga hasil Rapat Pendeta Sedunia HKBP yang baru-baru dilaksanakan di tempat yang sama, benar-benar memberikan harapan dan cuara yang cerah bagi sepak terjang HKBP ke masa depan.
Ditinjau dari aspek antropologis telah diketahui semua orang Batak adanya Dalihan na Tolu, di mana ketiga piranti dan elemen di dalamnya memiliki porsi, tanggung jawab, dan posisi berbeda-beda, namun saling melengkapi dan saling mengisi sehingga suatu hajatan atau pesta dapat berlangsung apik serta elegan. Kita membutuhkan hal demikian. Yang satu melengkapi yang lain, yang lain mengontrol yang satu, dan seterusnya sehingga HKBP dapat bertumbuh dan berkembang di tengah tantangan jaman menjadi besar, kembali kepada fitrah di era 1980-an,”HKBP na bolon i”. Karena itu saat ini kita sangat membutuhkan nilai profetis dan suara kenabian, bukan suara denting uang, untuk mengoperasi pelbagai “tetanus” yang menggerogoti dari dalam yang akan melumpuhkan di masa depan. Pekikan Martin Luther yang menyatakan “No way for money, Yes for Savior” menjadi parallel dengan dengungan suara yang didendangkan Lutheran World Federation di Amerika Latin bahwa gereja harus menjadi tantangan jaman. Jika tidak maka gereja akan menjadi candu, dan itu otomatis membuktikan kesahihan dalil Marx.
Orientasi Arah dan Strategi HKBP
Tidak semua warga jemaat mendapat AP Baru HKBP bahkan ada juga pendeta yang tidak mendapatkan AP tersebut dan otomatis menyulitkan warga jemaat untuk memahami langkah-langkah strategis penatalayanan HKBP. Sulitnya AP baru HKBP tidak dapat diketahui penyebabnya, yang jelas bagi kita adalah HKBP dengan visi dan misi baru mau melangkah untuk memasuki jaman baru. Mengapa disebut jaman baru? Pertama visi dan misi HKBP dapat dikatakan baru. Kedua, HKBP telah melakukan restrukturalisasi dengan kembali ke dalam tripanji pelayanan gereja yakni koinonia (persekutuan), diakonia (pelayanan), dan marturia (kesaksian). Semua departemen dari pusat sampai tingkat huria harus mengacu ke sana sehingga mereka berfusi. Orietasi HKBP tentang strategi penatalayanan dapat dilihat dalam AP baru. Dalam AP baru ditulis visi sebagai “HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka, serta mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus, bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global, terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang mahakuasa”. Sedang misi ditulis, ”HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan abad 21”. Pemakaian istilah “terbuka”, “inklusif”, dan “dialogis” dalam visi tersebut merupakan sesuatu yang baru dan perlu mendapat perhatian. Visi tersebut akan terlihat dalam serangkaan tema dalam Sinode Godang. Misal tema Sinode Godang tahun 2002 adalah “Menjadi kesembuhan bagi bangsa-bangsa” (Wahyu 22:2) dan dalam Sinode Godang tahun 2004 mengambil tema, “TUHAN Allah memberangkatkan dengan damai dan sukacita” (Yesaya 55:12). Dengan itu istilah “terbuka” dapat ditafsirkan bahwa gereja HKBP membuka pintu bagi semua bangsa tanpa diskriminasi untuk menjadi pengikut Kristus dan semakin meninggalkan corak identitas kentalnya yang terkait dengan adat Batak Toba. Itu artinya HKBP sudah terbuka dan dapat menerima semua manusia lintas budaya, padahal tumpuan kekuatan HKBP justru terletak pada identitas khas yang di jaman globalisasi justru sangat diperlukan.
Pandangan terbuka demikian harus segera mendapat penjelasan dan menjadi program penatalayanan penting HKBP untuk dapat melayani para penderita ketergantungan narkoba, penderita HIV AIDS, para korban penggusuran, melakukan pembelaan kepada kaum tani dan nelayan, dan semua korban dari proses pembangunan dan dampak globalisasi sesuai rujukan istilah “global” dalam visi dan misi HKBP. Sebab visi dan misi HKBP tersebut berarti menempatkan posisi gereja HKBP dalam kancah globalisasi. Pertarungan globalisasi saat ini bukan hanya mengambil titik berat pada mutu atau kualitas sebagaimana disebut dalam misi HKBP atau semangat kompetitif, namun juga bertarung dalam hegemoni global. Pemikiran demikian akan membawa kita kepada suatu pertanyaan logis dan relevan, “Seberapa besar pengaruh HKBP dalam konteks lokal (skop propinsi Sumatera Utara), nasional (skop negara Indonesia), dan global (skop dunia internasional)? Pertanyaan ini sangat relevan untuk memikirkan posisi peranan dan pengaruh yang tepat bagi HKBP dalam ke tiga tingkatan di atas. Faktor penentu kekuatan dominan HKBP justru terletak pada kekayaan budaya Batak Toba sebagai aset terbuka HKBP untuk melakukan hegemoni dunia. Karena itu setelah penetapan AP baru HKBP seharusnya diikuti dengan tindakan formulasi lanjutan yang memuat tentang orientasi langkah, dan strategi HKBP menghadapi tantangan dalam abad ke 21. Bagian ini tentu menjadi tanggung jawab bersama, antara pimpinan dan warga HKBP untuk memberikan kontribusi peranan dan pengaruh bagaimana yang bisa dimainkan gereja HKBP. Nah, tentu perlu kajian-kajian strategis dalam wujud seminar- seminar, pembentukan tim pakar, dan perancangan program-program realitis dalam menerjemahkan AP baru tersebut.
Pertanyaan bagi kita adalah apa makna “dialogis” dan “inklusif”? Apakah dialogis dapat diartikan bahwa HKBP siap membuka dialog dan bersedia menjadi fasilitasi dialog bila diperlukan warga Batak Toba atau sukubangsa lain? Ataukah pengartian dialogis dimaksud sebagai penyeimbangan aspirasi warga gereja dan pimpinan dalam hal-hal yang menyinggung tentang teologi praktis. Bila hal itu dimaksud maka warga perlu memberi masukan-masukan kepada pimpinan gereja tentang realitas kebutuhan dan harapan masing-masing warga HKBP. Bagian ini kemudian dirumuskan sehingga menghasilkan penatalayanan yang dialogis. Penatalayanan dialogis menjadi kekuatan penting mengimbangi pola inklusif. Tapi kita juga belum paham maksud dari istilah “inklusif”, apakah itu terkait dengan sikap gereja berdasar teologi inklusif untuk tidak mengambil bentuk pluralistik? Kesenjangan pemikiran dari AP baru kepada realitas penatalayanan inilah menjadi pemikiran penting bagi kontemplatif kita saat ini sehingga kita bias berpacu dengan waktu untuk mengelaborasi dan menentukan jawaban-jawaban teolgis yang memadai terhadap jeritan-jeritan jemaat, dan kecenderungan terhadap perubahan jaman, termasuk pergeseran dan pertarungan ideologis yang akan terjadi.
Yesus Kristus mengajak semua jemaat HKBP untuk melakukan pembelajaran sehingga suatu saat dapat mencapai taraf aktualisasi diri di mana HKBP dapat menyatakan “YA, dan atau TIDAK” terhadap realitas sosialnya. Belajar dari Yesus yang selalu berani untuk mengubah strategi dan orientasi dalam memberi jawaban teologis terhadap elemen-elemen masyarakat Yahudi pada jamanNya; kepada kaum Tora, Eseni, Saduki, Zealot, para imam Sanhendrin, serta rakyat jelata yang benar-benar terbangun kehidupannya. Yesus menyebut Herodes Antipas IV sebagai serigala berbulu domba, sangat berbahaya dan merusak harmonisasi kehidupan. Yesus juga banyak mengritisi pola kehidupan dan keberimanan para imam. Yesus juga memberi solusi terhadap kemelaratan hidup, dan degrasi sosial yang dihadapi umatNya pada jamanNya. Namun saya sependapat dengan teolog John Dominic Crossan yang menyatakan ada 2 teknis strategi yang diterapkanNya di dalam penatalayananNya. Pertama Dia selalu rendah hati dan lembut sehingga mau bersantap makan bersama masyarakat marjinal (orang miskin, yang tertindas, tertawan, yang terbuang, yang sakit AIDS, busung lapar, dst). Pola ini disebut Crossan sebagai “open commensality”,”duduk satu meja untuk makan bersama”. Artinya kita harus bias dan mau duduk bersama, berdialog dan berkata-kata untuk mencari solusi dalam ruang pelayanan. Seringkali hal ini jarang dilakukan bahkan mulai tak digubris. Kedua Yesus melulu dengan kuasa mumpuni melakukan upaya-upaya penyehatan dan penyembuhan (free healing). Dalam konteks jaman kita, hal ini dapat kita lakukan dengan menerima serta memanusiakan orang-orang yang selama ini dianggap sampah masyarakat. Misal menerima orang-orang pengidap AIDS, menghibur orang-orang terkena PHK sehingga dapat fungsional di masyarakat.
Tantangan HKBP: Dunia dan Jaman Baru
Dunia modern sebagai akselerasi kekuatan industrialisasi, kapitalisasi, dan rasionalitas telah mendorong kelahiran globalisasi. Ketiga kekuatan itu melihat faktor sekat berupa teritorial sebagai batas negara dan menjadi penghalang utama suatu tindakan ekonomi. Karena itu perlu suatu wadah yang disebut globalisasi. Globalisasi menentukan peranan dan pengaruh satu pihak terhadap pihak lain berdasar perdagangan dan teknologi informasi. Globalisasi tidak hanya menghilangkan sekat batas (borderness) dengan membentuk suatu “kampung dunia” (global village) walau bersandar pada prinsip persaingan sehat dan mutu unggulan, namun bisa menjadi ancaman berupa terjadinya “penjarahan global” (global pillage) terhadap sumber daya alam yang masih dimiliki negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kasus-kasus illegal logging (penebangan hutan secara liar), impor sembako secara besar-besaran seperti kasus impor gula sekarang, sampai ke bentuk pinjaman hutang berjangka dapat dilihat sebagai wujud penjarahan global. Persaingan saat ini tidak hanya berdasarkan pada kekuatan rasionalitas, dalam arti kecerdikan dan kelihaian, namun harus juga didukung oleh perangkat infrastruktur seperti kekuatan modal uang dan kebijakan-kebijakan berupan aturan hukum yang jelas dan adil. Karena itu rasanya tidak logis bila ada pihak menyatakan persaingan sehat. Negara-negara maju telah memiliki itu sehingga tidak terjadi hal yang merugikan warganya, misal adanya subsidi bagi kalangan petani sedang di negara kita belum kuat rasa kepedulian baik secara kolektif maupun individu. Perlindungan terhadap semua produk dalam negeri dan hak-hak warga negara menjadi sangat relevan untuk tetap mempertahankan identitas diri. Dampak globalisasi dapat merusak citra identitas diri tanpa terkecuali, termasuk warga gereja HKBP. Karena itu kajian terhadap dampak globalisasi sudah perlu mendapat perhatian HKBP untuk dapat mengambil langkah konstruktif dan strategis bagi warganya sebagai agenda penting pasca-sinode godang 2004 ini agar HKBP tetap terpelihara menjadi HKBP. Pencitraan kekuatan HKBP harus mulai dilakukan dengan serangkaian perlindungan, advokasi, penguatan rakyat desa, dan pembentukan jaringan kota-desa. Bagian ini akan sejalan dengan UU No 22 dan No 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Citra gereja sebagai pengayom dan moral force sangat dibutuhkan warga arus bawah. Dalam era globalisasi, kekuatan pencitraan juga dibutuhkan agar gereja tetap terbuka bagi semua umat yang membutuhkan perlindungan baik secara sosial, budaya, maupun politik. Transisi internal HKBP sejak sinode rekonsiliasi tahun 1998 dengan tetap mengayomi seluruh warga gereja HKBP telah menyibukkan HKBP sehingga transisi dari masa silam dengan 2 AP yang dipakai kepada tiba-tiba muncul napas pembaharuan rasanya menjadi pergumulan aktual HKBP. HKBP cukup konkret membaca situasi lokal, nasional dan global dengan merumuskannya menjadi visi, namun hendaknya visi dan misi itu dapat diejawantahkan ke dalam kenyataan penatalayanan gereja HKBP. Namun kita harus menyadari sungguh-sungguh bahwa AP baru HKBP memberi kekuatan baru dan membawa warga gereja menuju jaman baru. Dalam rangka memasuki jaman baru itulah warga dan pimpinan HKBP harus mempersiapkan menghadapi era perubahan dan persiapan menghadapi tantangan dari jaman ini, yakni dampak globalisasi. Tumpuan pelayanan pada tiap keluarga dan tiap individu warga HKBP merupakan titik sentral penguatan partisipasi warga, sebagaimana diisyaratkan dalam makna tema Sinode Godang tahun ini. “TUHAN Allah memberangkatkan dengan damai dan sukacita” memberi kekuatan unggulan sebagai berkat dan diharapkan warga HKBP mampu membawa serta menjadi berkat bagi orang lain. Makna ungkapan itu senada dengan ungkapan Tuhan Yesus yang selalu memberi amanat untuk pergi dan pergi. Misal dalam Matius 10:7, ”Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat”, juga dalam amanat agung di Markus 16:15, “Lalu Ia berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk”. Corak pelayanan Tuhan Yesus adalah corak bekerja dan talenta bekerja dalam melayani DIA ada pada semua warga gereja, bukan dengan hanya berkata-kata. Selamat bersinode-godang HKBP.
(Penulis adalah Pdt. Melvin Simanjuntak, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Oktober 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar