Latar belakang dalam menulis artikel singkat ini adalah dari suatu sharing terhadap seorang teman, yang aktif dalam pelayanan di gereja. Ketika itu ia bercerita bahwa sedang kesal dengan seseorang, hal tersebut tentunya membuat dia tidak diam saja dan membalasnya dengan bersikap jutek pula bahkan tidak lagi menganggap teman. Tentu saja saya terkejut dengan pernyataan sikapnya, ditambah lagi dia tidak sendirian, bahkan mampu memberi pengaruh pada temannya yang lainnya (peer group). Pernahkah teman-teman menemukan hal serupa dan apa respon kita? Entah hal tersebut benar atau tidak, kiranya kita semua bisa menilai dari satu contoh kasus tersebut dan penulis merasa bahwa ini merupakan hal yang sangat penting saat buah dari pelayanan tidak mampu dirasakan lagi.
Apakah alienasi itu? Bagi mereka mahasiswa ilmu sosial pasti pernah mendengarnya. Suatu konsep yang dikemukakan Friedrich Hegel (1770-1831) seorang filsuf dan Karl Marx (1818-1883) seorang pemikir sosial dalam bukunya Das Kapital. Tentu saja konsep tersebut masih sangat relevan dalam berbagai fenomena sosial saat ini khususnya dalam bidang ekonomi dan industri, banyak masyarakat menganggap Alienasi hanya sebatas keterasingan saja, padahal banyak yang bisa dimaknai pada konsep tersebut. Suatu contoh dari keterasingan pada masyarakat Indonesia adalah para buruh kerja sepatu ternama, industri manufaktur yang sifat pekerjaannya rutin dan reguler, membuat proses alienasi antara pekerja dengan pekerjaannya. Buruh bekerja seperti robot, terus memproduksi tanpa mengetahui makna dari pekerjaanya. Proses dehumanisasi ini terjadi akibat sifat pekerjaan mereka dan menjadi teralienasi, yang pertama para pekerja dialienasikan dari kegiatan kerja produktif mereka, bekerja untuk bertahan hidup menjadikan mereka bergantung dari pekerjaan ini. Kedua para pekerja dialieanasikan dari hasil komoditas yang mereka hasilkan, para pekerja tersebut tidak mengetahui berapa harga pasti dari produk yang dihasilkan di pasaran, mereka juga tidak tahu siapa saja yang membeli hasil produksi mereka, siapa pemakainya kapan dan dimana dibelinya? Ketiga ialah sifat pekerjaan yang seharusnya kooperatif dirusak, terjadi keterasingan antar sesama buruh. Para buruh bersaing untuk mendapat gaji yang tidak sama, persaingan ini menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan terkadang saling menjatuhkan antar sesama buruh. Dan yang keempat ialah buruh teralienasi dari potensi diri sendiri, mereka bekerja sesuai dengan prosedur yang ada dan mengakibatkan mereka tidak bisa mengaktualisasikan diri mereka dengan kreatif dan ketidak mampuan melakukan apa yang meraka inginkan sesuai dengan kapasitas potensi yang mereka miliki. Disatu sisi mereka dibayar tidak lebih dari 5 kali atau kalau beruntung 6 kali harga pasang sepatu dalam sebulan dan itupun masih ada yang pegawai kontrak, apakah mereka mau tahu? Jawabannya tidak. Hal yang sepele memang tapi mampu berkembang akan keterasingan dan ketidak berdayaan pekerja menghadapi tuntutan yang ada. Itulah beberapa catatan kecil akan alienasi sebelum membahas alienasi dalam pelayanan. Ketika kita sebagai pekerja Tuhan yang melayani-Nya terhadap perbuatan nyata terhadap sesama menjadi tidak maksimal dan menjalaninya sebagai rutinitas.
Sebelum para filsuf besar menemukan konsep tersebut, Tuhan Yesus sendiri telah menjadikan hal tersebut sebagai ajarannya saat bertemu Marta dan Maria (Lukas 10:38-42). Disebutkan bahwa Marta sibuk bekerja dan melayani Yesus, berbeda dengan Maria yang duduk dekat kaki Yesus dan mendengarkan perkataan-Nya dengan baik. Bahkan Marta sempat mengeluh terhadap Yesus karena membiarkan Maria kakaknya hanya duduk diam saja, padahal Maria telah memilih bagian yang terbaik dan Marta hanya sibuk dalam mempersiapkan tanpa bisa memaknai pelayanannya. Inilah yang menjadi persoalan bagi kita bersama, banyak jenis pelayanan yang diambil oleh remaja dan pemuda bahkan para orang tua sekalipun di gereja tapi tidak mampu menunjukan buah pelayanan dan hanya menjadi rutinitas bergereja.
Alienasi di Sekolah dan di Pekerjaan
Para remaja dan pemuda yang aktif dalam pelayanan gereja seringkali memiliki banyak aktivitas baik untuk studi di Sekolah ataupun pekerjaan mereka. Sangat baik bagi mereka yang mampu membagi waktu dan mampu berbuat banyak diluar pelayanannya di gereja. Istilah menjadi terang atau garam dunia (Matius 5:13-16) pasti sering terdengar saat Pendeta berkhotbah, maksudnya apa? Kita diharapkan menjadi garam yang memberi rasa, memberi pengaruh bagi teman-teman. Mereka yang kehadirannya dirindukan oleh teman-teman atau bahkan tanpa kehadirannya tongkrongan menjadi garing bisa saja dianggap menjadi garam, tapi kita masih harus melihat apakah pengaruh yang diberikan positif bagi teman dan tentunya bagi Tuhan. Apakah diri kita sebagai anak Tuhan sudah menjadi trend center atau terus saja menjadi followers dalam kehidupan sehari-hari? Sudah saatnya kita terlebih lagi mereka yang melayani memberikan pengaruh yang positif dimanapun kita berada.
Bagi mereka yang pelajar, penulis pernah memiliki pengalaman dalam hal do the Best and God will take the rest. Seorang teman dari daerah pernah bercerita pada saya bahwa memberikan yang terbaik bukan hanya pada saat “itu” saja tapi seharusnya baik untuk masa depan. Maksudnya ialah kejujuran pada saat ujian sekolah apapun tidak berarti tanpa kita pernah belajar dalam mempersiapkan ujian tersebut, itu artinya yang terbaik untuk diberikan pada Tuhan tidak sebatas pada waktunya ujian berlangsung kita mengerahkan kemampuan kita dengan sebaik mungkin tanpa mencontek tapi juga sebaiknya mempersiapkannya dengan tekun belajar. Hasil tidak terlalu penting dalam nilai, tapi proses yang dijalani dengan jujur pasti akan berbuah baik dan akan memberikan pelajaran yang berharga. Memang banyak orang yang menilai keberhasilan dari pelayanan seorang pelajar ialah nilai yang dihasilkan, dengan begitu buah pelayanan seakan-akan turut hadir dalam studi.
Mereka yang tidak memperhatikan studi inilah yang teralienasi dalam pelayanannya. Begitu semangat dalam melayani di gereja atau di sekolah tapi melupakan kewajiban lainnya sebagai pelajar. Tuhan memang menghendaki kita untuk melayani tapi tidak berarti menjadikan studi sebagi nomor kesekian dalam perhatian kita. Dengan belajar yang baik kita mampu menyenangkan hati orang tua, menjadi tutor sebaya bagi teman, mampu membawa prestasi individu atau sekolah, hal yang jauh lebih berguna dibandingkan pelayanan kita yang kadang semangatnya naik-turun dan bahkan tidak melayani ”mereka” yang seharusnya dilayani.
Alienasi di Keluarga dan Masyarakat
Bagi mereka remaja dan pemuda yang ambil bagian dalam pelayanan di gereja, seberapa terasingnya kah kita dalam masyarakat tepat kita tinggal? Setelah pulang sekolah atau kerja kita langsung berangkat ke gereja dengan membawa nama ”pelayanan”. Pelayanan menjadi fetish, selalu didahulukan dan tidak pernah mau ketinggalan untuk ambil bagian atau mendewakan pelayanan. Jadi siapa sebenarnya yang utama, Pelayanan itu sendiri atau sasaran dari Pelayanan tersebut?(Yohanes 13:16-17). Ditengah keluarga pun ada saja mereka yang belum mampu menjadi teladan sebagai prototype seorang pelayan. Padahal sasaran dari pelayanan ini adalah untuk mereka semua diluar sana dan kita dipersiapkan dalam berbagai kegiatan di gereja, bila kita masih menutup diri maka kita tidak lebih dari koster gereja. Yang dibangun bukan lagi nama Gereja atau nama pelayanan itu sendiri tapi biarlah Tuhan yang dipuji oleh setiap orang yang nyata melihat anugerah pelayanan tersebut. Mereka yang dipilih untuk melayani adalah mereka yang lemah dan tidak mampu, maka Tuhan mempersiapkan dan memakai kita sebagai alat-Nya, jadi bukan atas dasar kuat kita maka kita dapat memilih pelayanan sebagai bentuk kegiatan di gereja. Sudah seharusnya kita menyadari ini dan mau terus belajar, bertumbuh dalam pengenalan akan pribadi Kristus bersama teman yang lain dalam kegiatan bergereja. Bergeraklah dan berbuatlah, hal sekecil apapun yang berguna bagi keluarga dan masyarakat sekitar kenapa tidak bisa kita perbuat?
Dalam menjawab contoh kasus diawal, kita sebaiknya tidak teralienasi oleh pelayanan yang kita jalani. Bukan maksud penulis lebih baik dari lainnya, tapi mencoba menggambarkan keadaan yang terjadi dan kita mampu belajar bersama-sama. Dengan menanamkan nilai pada setiap proses kegiatan pelayanan bergereja, nilai kasih Kristus sebaiknya menjadi acuan dalam menjalaninya. Diharapkan pelayanan yang dijalani dapat menjadi berkat terlebih dahulu kepada kita yang mempersiapkan sebelum kita membagikannya kepada orang lain. Terlebih lagi dalam suasana natal kemarin setiap mereka yang mempersiapkan acara natal tersebut, diharapkan mampu memaknai dan berbagi kasih natal kepada mereka yang terlibat, sudah saatnya kita memberi dan tidak sekedar berharap menerima. Bayangkan saja saat kelahiran Yesus, Allah kita telah memberikan Anak Tunggal-Nya (Yohanes 3:16) demi keselamatan manusia, kenapa kita tidak mampu melakukan hal yang serupa. Ingatlah bahwa kelahiran Tuhan Yesus yang ditetapkan pada tanggal 25 desember , bukan lagi ulang tahun seorang bayi mungil nan lucu (Lukas 2:40,52), tapi dia sudah menjadi sangat bijak dan menjadi Penolong kita, pribadi yang sangat luar biasa. Semoga damai natal tidak hanya ada pada masa Advent saja, tapi kita mampu melahirkan Kasih Kristus dalam diri kita masing-masing terhadap sesama kita setiap saat.
Semoga kita tetap giat dalam melayani dan mampu merasakan sukacita pelayanan itu sendiri, sehingga lirik lagu ini benar adanya dan kiranya mampu menjadi penyemangat kita dalam melayani Dia. Akhirnya, Selamat menjalani Tahun 2010 dengan berbagai harapan dan mimpi serta tetap mengandalkan Tuhan. S’mangat!! Tuhan memberkati.
tiada lebih indah ku melayani Yesus,
walaupun sukar dan berat jalannya
tak’kan aku mundur sebelum berakhir hidupku
karena aku tau apa arti hidup ku.
terindah dalam hidup telah aku tinggalkan
terkasih dalam ku telah ku lepaskan
asal hati Yesus merasa senang selamanya
karena aku tau apa arti hidup ku.
ku melayani Yesus, itu terlebih dari semua….
ku melayani Yesus, itu terlebih indah.
Sumber :
George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi. Kreasi Wacana.
Giddens, Anthony. 1986. Capitalism and Modern Social Theory: an Analysis of writing of Marx, Durkheim dan Max Weber. Penerjemah : Soeheba Kramadibrata. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
(Penulis adalah Donny Mason Sitompul, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Februari 2010)
Apakah alienasi itu? Bagi mereka mahasiswa ilmu sosial pasti pernah mendengarnya. Suatu konsep yang dikemukakan Friedrich Hegel (1770-1831) seorang filsuf dan Karl Marx (1818-1883) seorang pemikir sosial dalam bukunya Das Kapital. Tentu saja konsep tersebut masih sangat relevan dalam berbagai fenomena sosial saat ini khususnya dalam bidang ekonomi dan industri, banyak masyarakat menganggap Alienasi hanya sebatas keterasingan saja, padahal banyak yang bisa dimaknai pada konsep tersebut. Suatu contoh dari keterasingan pada masyarakat Indonesia adalah para buruh kerja sepatu ternama, industri manufaktur yang sifat pekerjaannya rutin dan reguler, membuat proses alienasi antara pekerja dengan pekerjaannya. Buruh bekerja seperti robot, terus memproduksi tanpa mengetahui makna dari pekerjaanya. Proses dehumanisasi ini terjadi akibat sifat pekerjaan mereka dan menjadi teralienasi, yang pertama para pekerja dialienasikan dari kegiatan kerja produktif mereka, bekerja untuk bertahan hidup menjadikan mereka bergantung dari pekerjaan ini. Kedua para pekerja dialieanasikan dari hasil komoditas yang mereka hasilkan, para pekerja tersebut tidak mengetahui berapa harga pasti dari produk yang dihasilkan di pasaran, mereka juga tidak tahu siapa saja yang membeli hasil produksi mereka, siapa pemakainya kapan dan dimana dibelinya? Ketiga ialah sifat pekerjaan yang seharusnya kooperatif dirusak, terjadi keterasingan antar sesama buruh. Para buruh bersaing untuk mendapat gaji yang tidak sama, persaingan ini menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan terkadang saling menjatuhkan antar sesama buruh. Dan yang keempat ialah buruh teralienasi dari potensi diri sendiri, mereka bekerja sesuai dengan prosedur yang ada dan mengakibatkan mereka tidak bisa mengaktualisasikan diri mereka dengan kreatif dan ketidak mampuan melakukan apa yang meraka inginkan sesuai dengan kapasitas potensi yang mereka miliki. Disatu sisi mereka dibayar tidak lebih dari 5 kali atau kalau beruntung 6 kali harga pasang sepatu dalam sebulan dan itupun masih ada yang pegawai kontrak, apakah mereka mau tahu? Jawabannya tidak. Hal yang sepele memang tapi mampu berkembang akan keterasingan dan ketidak berdayaan pekerja menghadapi tuntutan yang ada. Itulah beberapa catatan kecil akan alienasi sebelum membahas alienasi dalam pelayanan. Ketika kita sebagai pekerja Tuhan yang melayani-Nya terhadap perbuatan nyata terhadap sesama menjadi tidak maksimal dan menjalaninya sebagai rutinitas.
Sebelum para filsuf besar menemukan konsep tersebut, Tuhan Yesus sendiri telah menjadikan hal tersebut sebagai ajarannya saat bertemu Marta dan Maria (Lukas 10:38-42). Disebutkan bahwa Marta sibuk bekerja dan melayani Yesus, berbeda dengan Maria yang duduk dekat kaki Yesus dan mendengarkan perkataan-Nya dengan baik. Bahkan Marta sempat mengeluh terhadap Yesus karena membiarkan Maria kakaknya hanya duduk diam saja, padahal Maria telah memilih bagian yang terbaik dan Marta hanya sibuk dalam mempersiapkan tanpa bisa memaknai pelayanannya. Inilah yang menjadi persoalan bagi kita bersama, banyak jenis pelayanan yang diambil oleh remaja dan pemuda bahkan para orang tua sekalipun di gereja tapi tidak mampu menunjukan buah pelayanan dan hanya menjadi rutinitas bergereja.
Alienasi di Sekolah dan di Pekerjaan
Para remaja dan pemuda yang aktif dalam pelayanan gereja seringkali memiliki banyak aktivitas baik untuk studi di Sekolah ataupun pekerjaan mereka. Sangat baik bagi mereka yang mampu membagi waktu dan mampu berbuat banyak diluar pelayanannya di gereja. Istilah menjadi terang atau garam dunia (Matius 5:13-16) pasti sering terdengar saat Pendeta berkhotbah, maksudnya apa? Kita diharapkan menjadi garam yang memberi rasa, memberi pengaruh bagi teman-teman. Mereka yang kehadirannya dirindukan oleh teman-teman atau bahkan tanpa kehadirannya tongkrongan menjadi garing bisa saja dianggap menjadi garam, tapi kita masih harus melihat apakah pengaruh yang diberikan positif bagi teman dan tentunya bagi Tuhan. Apakah diri kita sebagai anak Tuhan sudah menjadi trend center atau terus saja menjadi followers dalam kehidupan sehari-hari? Sudah saatnya kita terlebih lagi mereka yang melayani memberikan pengaruh yang positif dimanapun kita berada.
Bagi mereka yang pelajar, penulis pernah memiliki pengalaman dalam hal do the Best and God will take the rest. Seorang teman dari daerah pernah bercerita pada saya bahwa memberikan yang terbaik bukan hanya pada saat “itu” saja tapi seharusnya baik untuk masa depan. Maksudnya ialah kejujuran pada saat ujian sekolah apapun tidak berarti tanpa kita pernah belajar dalam mempersiapkan ujian tersebut, itu artinya yang terbaik untuk diberikan pada Tuhan tidak sebatas pada waktunya ujian berlangsung kita mengerahkan kemampuan kita dengan sebaik mungkin tanpa mencontek tapi juga sebaiknya mempersiapkannya dengan tekun belajar. Hasil tidak terlalu penting dalam nilai, tapi proses yang dijalani dengan jujur pasti akan berbuah baik dan akan memberikan pelajaran yang berharga. Memang banyak orang yang menilai keberhasilan dari pelayanan seorang pelajar ialah nilai yang dihasilkan, dengan begitu buah pelayanan seakan-akan turut hadir dalam studi.
Mereka yang tidak memperhatikan studi inilah yang teralienasi dalam pelayanannya. Begitu semangat dalam melayani di gereja atau di sekolah tapi melupakan kewajiban lainnya sebagai pelajar. Tuhan memang menghendaki kita untuk melayani tapi tidak berarti menjadikan studi sebagi nomor kesekian dalam perhatian kita. Dengan belajar yang baik kita mampu menyenangkan hati orang tua, menjadi tutor sebaya bagi teman, mampu membawa prestasi individu atau sekolah, hal yang jauh lebih berguna dibandingkan pelayanan kita yang kadang semangatnya naik-turun dan bahkan tidak melayani ”mereka” yang seharusnya dilayani.
Alienasi di Keluarga dan Masyarakat
Bagi mereka remaja dan pemuda yang ambil bagian dalam pelayanan di gereja, seberapa terasingnya kah kita dalam masyarakat tepat kita tinggal? Setelah pulang sekolah atau kerja kita langsung berangkat ke gereja dengan membawa nama ”pelayanan”. Pelayanan menjadi fetish, selalu didahulukan dan tidak pernah mau ketinggalan untuk ambil bagian atau mendewakan pelayanan. Jadi siapa sebenarnya yang utama, Pelayanan itu sendiri atau sasaran dari Pelayanan tersebut?(Yohanes 13:16-17). Ditengah keluarga pun ada saja mereka yang belum mampu menjadi teladan sebagai prototype seorang pelayan. Padahal sasaran dari pelayanan ini adalah untuk mereka semua diluar sana dan kita dipersiapkan dalam berbagai kegiatan di gereja, bila kita masih menutup diri maka kita tidak lebih dari koster gereja. Yang dibangun bukan lagi nama Gereja atau nama pelayanan itu sendiri tapi biarlah Tuhan yang dipuji oleh setiap orang yang nyata melihat anugerah pelayanan tersebut. Mereka yang dipilih untuk melayani adalah mereka yang lemah dan tidak mampu, maka Tuhan mempersiapkan dan memakai kita sebagai alat-Nya, jadi bukan atas dasar kuat kita maka kita dapat memilih pelayanan sebagai bentuk kegiatan di gereja. Sudah seharusnya kita menyadari ini dan mau terus belajar, bertumbuh dalam pengenalan akan pribadi Kristus bersama teman yang lain dalam kegiatan bergereja. Bergeraklah dan berbuatlah, hal sekecil apapun yang berguna bagi keluarga dan masyarakat sekitar kenapa tidak bisa kita perbuat?
Dalam menjawab contoh kasus diawal, kita sebaiknya tidak teralienasi oleh pelayanan yang kita jalani. Bukan maksud penulis lebih baik dari lainnya, tapi mencoba menggambarkan keadaan yang terjadi dan kita mampu belajar bersama-sama. Dengan menanamkan nilai pada setiap proses kegiatan pelayanan bergereja, nilai kasih Kristus sebaiknya menjadi acuan dalam menjalaninya. Diharapkan pelayanan yang dijalani dapat menjadi berkat terlebih dahulu kepada kita yang mempersiapkan sebelum kita membagikannya kepada orang lain. Terlebih lagi dalam suasana natal kemarin setiap mereka yang mempersiapkan acara natal tersebut, diharapkan mampu memaknai dan berbagi kasih natal kepada mereka yang terlibat, sudah saatnya kita memberi dan tidak sekedar berharap menerima. Bayangkan saja saat kelahiran Yesus, Allah kita telah memberikan Anak Tunggal-Nya (Yohanes 3:16) demi keselamatan manusia, kenapa kita tidak mampu melakukan hal yang serupa. Ingatlah bahwa kelahiran Tuhan Yesus yang ditetapkan pada tanggal 25 desember , bukan lagi ulang tahun seorang bayi mungil nan lucu (Lukas 2:40,52), tapi dia sudah menjadi sangat bijak dan menjadi Penolong kita, pribadi yang sangat luar biasa. Semoga damai natal tidak hanya ada pada masa Advent saja, tapi kita mampu melahirkan Kasih Kristus dalam diri kita masing-masing terhadap sesama kita setiap saat.
Semoga kita tetap giat dalam melayani dan mampu merasakan sukacita pelayanan itu sendiri, sehingga lirik lagu ini benar adanya dan kiranya mampu menjadi penyemangat kita dalam melayani Dia. Akhirnya, Selamat menjalani Tahun 2010 dengan berbagai harapan dan mimpi serta tetap mengandalkan Tuhan. S’mangat!! Tuhan memberkati.
tiada lebih indah ku melayani Yesus,
walaupun sukar dan berat jalannya
tak’kan aku mundur sebelum berakhir hidupku
karena aku tau apa arti hidup ku.
terindah dalam hidup telah aku tinggalkan
terkasih dalam ku telah ku lepaskan
asal hati Yesus merasa senang selamanya
karena aku tau apa arti hidup ku.
ku melayani Yesus, itu terlebih dari semua….
ku melayani Yesus, itu terlebih indah.
Sumber :
George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi. Kreasi Wacana.
Giddens, Anthony. 1986. Capitalism and Modern Social Theory: an Analysis of writing of Marx, Durkheim dan Max Weber. Penerjemah : Soeheba Kramadibrata. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
(Penulis adalah Donny Mason Sitompul, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Februari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar