9.Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. 19.Kita mengasihi, karena Allah telah lebih dahulu mengasihi kita. 20.Jikalau seorang berkata : “Aku mengasihi Allah” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, kaarena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi llah yang tidak dilihatnya. 21.Dan perintah ini kita terima dari Dia: “Barangsiapa mengasihi Allah, ia juga harus mengasihi saudaranya.”
15.Setiap orang yang membenci saudaranya adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu banwa tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal di dalam dirinya. 16.Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, bahwa Ia telah menyerahkan njyawa-Nya untuk kita ; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. 18.Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.
(I Yoh. 4:9,19-21; 3:15-16,18)
Rekan-rekanku yang terkasih, berbicara mengenai pengorbanan Kristus di kayu salib pasti tidaklah terlepas dari kasih sebagai salah satu unsur utama yang melandasi peristiwa ini, sebagaimana yang telah sering kita dengar dan dengungkan melalui Firman-Nya, di dalam Yohanes 3:16. Tanpa kasih maka tidak akan ada pengorbanan, demikian pula Yesus Kristus: Kristus telah mau berkorban dan mati untuk kita semata-mata dilakukan karena kasih-Nya yang begitu besar, panjang, lebar, dalam, dan tinggi untuk kita semua; orang-orang berdosa ! Oleh pengorbanan dan darah-Nyalah, maka dosa-dosa kita semua dibasuh dan dibersihkan-Nya Kita semua yang telah “sakit” ini, oleh karena pengorbanan-Nya yang penuh dengan penderitaan dan rasa sakit itu, justru telah beroleh pemulihan, kesembuhan, dan hidup yang kekal! Sungguh luar biasa pengorbanan Kristus yang telah membawa dampak yang begitu besar dan menyeluruh dalam kehidupan dan perjalanan sejarah seluruh umat manusia. Adakah pengorbanan seperti pengorbanan Kristus, atau adakah kasih seperti kasih Kristus?
Rekan-rekanku yang dikasihi Tuhan, kehidupan yang kita jalani kini adalah kehidupan yang baru sebagai umat manusia tebusan Allah. Pertanyaan yang timbul sekarang adalah : Bagaimana kita menyikapi dengan benar akan kasih dan pengorbanan yang telah Kristus lakukan? Sudahkah kita sungguh-sungguh memahami dan memaknainya dalam kehidupan kita? Sudahkah kasih itu terwujud-nyatakan secara benar dalam hubungan kita dengan Allah (secara vertikal) dan sesama (secara horisontal)? Pernyataan kasih ini (vertikal dan horisontal) harus berjalan dengan baik, seimbang, dan dalam pengertian yang benar berdasarkan Firman Tuhan. Mengapa? Karena yang terjadi sekarang ini adalah begitu banyak manusia (khususnya dari kita sendiri orang-orang Kristen) yang seringkali dengan mudahnya mengatakan “Aku mengasihi Tuhan”, namun kenyataannya dia tidak mampu mewujud-nyatakan kasih itu kepada orang lain atau saudaranya sendiri. Perkataannya seringkali terasa pedas menyinggung perasaan orang lain, arah pembicaraannya tidak pernah jauh-jauh dari seputar membicarakan kejelekan orang lain, hatinya begitu “bersukacita” ketika keburukan orang lain terungkap, memiliki segudang alasan ketika dimintai bantuan dan pertolongannya, namun ketika menyangkut dirinya sendiri, maka dia tidak pernah segan untuk meminta bantuan orang lain, dan masih banyak hal lain yang mungkin masih menjadi kebiasaan/karakter kita, dimana sesungguhnya hal-hal itu sedang membawa kita pada suatu kondisi: bahwa kita sedang tidak membuktikan kasih kita kepada Allah, bahwa perkataan kita tidak sejalan dengan perbuatan kita, dan bahwa kita tanpa kita sadari sedang “membohongi” Allah dengan mengatakan bahwa “Aku mengasihi Tuhan”.
Rekanku yang terkasih, pandangan yang benar adalah bahwa kita memang harus terlebih dahulu mengasihi Tuhan baru kita dapat sungguh-sungguh mengasihi sesama, dan bukan sebaliknya. Jika kita sudah sungguh-sungguh mengasihi Allah (dalam artian perkataan dan perbuatan sejalan), maka kasih itupun akan bisa dan secara langsung dirasakan oleh sesama dan saudara kita; karena bukan kita yang sesungguhnya telah mengasihi Allah, tetapi Allah-lah yang telah mengasihi kita, dan kasih itulah yang kemudian menggerakkan dan mengendalikan kita manusia yang lemah ini dalam menjalin hubungan/relasi yang baik dan harmonis dengan sesama/saudara kita; dan dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan!
Pada bagian awal artikel ini, telah dikatakan bahwa pengorbanan tidak dapat terlepas dari unsur kasih, demikian pula sebaliknya bahwa kasih juga tidak mungkin terlepas dari suatu pengorbanan; dengan demikian tidak ada pengorbanan yang tidak disebabkan/didasari oleh karena kasih, dan tidak ada kasih yang tidak akan melahirkan suatu pengorbanan! Lalu saudaraku, bagaimanakah kita menterjemahkan akan pengorbanan Kristus di kayu salib dalam kehidupan kita, atau bagaimana kita menterjemahkan Firman Tuhan pada bagian ini yang menyatakan: . . . bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita (I Yoh.3:16). Kita sebagai orang percaya yang telah diberikan hikmat dan pengetahuan janganlah lalu menterjemahkan kebenaran ini secara total harfiah, bahwa kemudian kita semua harus mati demi sesama/saudara kita tanpa didasari oleh pemahaman dan pengertian yang benar akan Firman Tuhan, sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang sejati. Sebagai contoh, kita bisa melihat pada jaman Perjanjian Baru, dimana begitu banyak rasul-rasul yang harus mati (sebagai martir ) demi mempertahankan iman Kekristenannya terhadap Kristus. Sebut saja: rasul Stefanus yang harus mati diseret ke luar kota dan dirajam dengan batu oleh penduduk kota (Kis 6:11-15; 7:51-60), rasul Yakobus yang harus mati dibunuh raja Herodes yang saat itu sedang melancarkan penganiayaan terhadap jemaat (Kis 12:1-2), Yohanes Pembaptis yang juga mati dibunuh oleh raja Herodes dengan cara dipenggal kepalanya, karena keberaniannya menegor raja Herodes di hadapan orang banyak (Matius 14:3-4 dan 8-10), dan masih banyak rasul-rasul lainnya. Namun, bukankah kita semua pada saat ini sedang tidak berada pada jaman dan kondisi yang sama dengan mereka (rasul-rasul PB), dimana Kekristenan benar-benar ditentang dan diserang habis-habisan oleh orang-orang yang tidak percaya? Bukankah kepada kita saat ini diberikan kelonggaran dan kebebasan yang “lebih” di dalam menjalankan kehidupan kita sebagai umat beragama? Menurut saya, pengorbanan yang dimaksud disini harus kita pandang secara lebih luas, bukan dalam artian sempit (tanpa didasari oleh pemahaman yang benar akan Firman Tuhan), bahwa pengorbanan adalah sama dengan kematian dan penderitaan secara fisik atau jasmani saja. Pengorbanan dengan jenis atau konsep ini, kalau kita lihat juga dimiliki oleh banyak sekali orang. Lihat saja pada contoh yang paling sederhana: bagaimana segerombolan anak pelajar yang berkumpul dengan membawa seperangkat senjata tajam untuk berhadapan dengan anak pelajar dari sekolah lain, dan itu berarti bahwa mereka telah siap untuk menjadi korban (termasuk meninggal sekalipun) demi mempertahankan sesuatu yang tidak jelas, apakah itu nama baik, gengsi, atau sekedar kebanggaan yang semu; dan pengorbanan inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah solider! Atau lihat juga pada beberapa sekte keagamaan yang mengajarkan para pengikutnya untuk mati (membunuh diri) bersama-sama demi mempertahankan suatu keyakinan yang salah menurut Alkitab, tetapi benar menurut mereka; yaitu bahwa dengan cara seperti itu mereka akan mendapat kehidupan yang kekal (di sorga). Sekte di Jepang dengan menggunakan gas sarin, di AS dengan membakar rumah tempat mereka berkumpul, dan baru-baru ini di Indonesia yang hampir saja terjadi, yaitu sekte di bawah pimpinan Mangapin Sibuea yang mengakui dirinya sebagai rasul Paulus II. Apakah ini yang dimaksud dengan pengorbanan yang benar dan sejati di hadapan Allah? Jawabannya adalah tidak!! Pengorbanan yang sejati adalah mempersembahkan seluruh hidup kita di hadapan Allah sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya (Roma 12:1), dan itu berarti termasuk di dalamnya memberikan segenap kemampuan, talenta, kekuatan, waktu, tenaga, materi, dan apa yang ada pada kita untuk Tuhan dan jug untuk sesama/saudara yang ada di sekeliling kita. Bukankah hal-hal ini seringkali lebih sulit untuk kita lakukan ketimbang sekedar memberikan/mengorbankan nyawa kita?
Rekan-rekanku yang terkasih, marilah kita mulai mengaplikasikan kasih kita secara konkret kepada sesama atau saudara yang ada di sekeliling kita sebagai wujud nyata kasih kita kepada Allah, dari hal-hal yang sederhana. Misalkan:
- di rumah : sudahkah engkau mau mendengarkan dan menuruti nasehat orangtua, abang, atau kakakmu? sudahkah engkau rela mengorbankan sedikit waktu bermainmu dengan mau menjadi seorang pelayan yang baik dengan mengerjakan sesuatu yang bisa engkau kerjakan, seperti menyapu, mengepel, atau hal-hal lainnya?
- di lingkungan sekolah : sudahkah engkau mendengar dan memperhatikan dengan seksama guru yang sedang mengajar? sudahkah engkau berani menegur dengan dilandasi kasih, setiap kecurangan yang dilakukan teman-temanmu (mencontek, menitip absen, membolos) atau mungkin engkau sendiri terlibat dan ikut melakukan segala kecurangan itu? Ingat bahwa kasih itu tidak berarti membiarkan apapun yang terjadi, namun juga harus berani menegur setiap kesalahan dan kecurangan yang terjadi; ada kesabaran dan ketegasan di dalamnya.
- di lingkungan gereja : sudahkah engkau memberikan segenap kemampuan dan talentamu untuk Tuhan; seperti mengunjungi orang sakit, membantu teman yang sedang kesulitan, musik, menulis artikel, puisi, suara, tarian, dan masih banyak hal lain? sudahkah engkau rela mengorbankan sedikit waktu dan tenagamu untuk ikut mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Tuhan, dalam kepengurusan atau kepanitiaan misalkan? Ingat bahwa waktu, tenaga, dan materi yang kita miliki ini semuanya adalah pemberian Tuhan, dan terlalu kecil untuk kita bandingkan dengan pengorbanan Kristus; jadi janganlah pernah terbersit dalam pikiran kita “Kalau ada terluang waktu dan tenagaku, barulah aku bisa mengerjakan pelayanan ini.”, seolah-olah kitalah orang yang paling cape’ dan yang telah begitu banyak berkorban untuk Tuhan. Kalau demikian adanya, kapan kita bisa tahu bagaimana sulitnya mengatur waktu dan mungkin akan sulit bagi kita untuk mengalami pembentukan dan kedewasaan menjadi orang-orang yang taft atau tangguh di jaman yang mobile ini, yang terus bergerak dan mengalami perubahan dengan cepat.
- di pekerjaan : sudahkah engkau dapat menahan lidahmu untuk tidak mmbicarakan kejelekan-kejelekan orang lain dan berusaha memilih untuk menjadi pendengar yang baik di antara teman-teman sekerjamu? sudahkah engkau rela berkorban memberikan waktu dan tenagamu untuk mengambil jam lembur, bukan demi sekedar mencari dan mendapatkan uang lembur, tetapi karena di hatimu ada keinginan untuk memuliakan Allah lewat prestasi yang engkau tunjukkan di antara teman-teman sekerjamu? sudahkah engkau berani menegur hal-hal yang tidak benar yang terjadi di kantormu atau engkau mungkin justru terlibat di dalamnya dan menjadi seorang pekerja yang berprinsip “Yes Boss” demi mencari aman dan “suksesnya” saja.
Inilah rekanku sekalian, pengorbanan dalam artian yang lebih luas yang saya maksudkan di sini, dan pasti masih banyak aspek-aspek lain yang belum disebutkan di sini, yang ternyata mencakup hampir seluruh aspek kehidupan kita, dimanapun dan kapanpun kita berada!
Kasih Allah yang kekal dan tak terbatas telah diwujudnyatakan melalui pengorbanan Kristus. Pengorbanan Kristus telah mengangkat dan menebus kita semua, kembali menjadi milik kepunyaan Allah. Kita yang sudah milik kepunyaan Allah ini, berarti bukan lagi hidup untuk diri kita sendiri, tetapi hidup untuk Allah, hidup untuk sesama; hidup seturut kehendak dan kemauan Allah. Itu berarti segenap hidup kita kini adalah pelayanan kepada Allah. Pelayanan yang sejati pasti menuntut adanya suatu pengorbanan, dan pengorbanan itu hanya dapat terwujud bila di dalamnya ada kasih yang memancarkan keberanian dan kerelaan. Amin, kiranya Tuhan Yesus Kristus menyertai kita sekalian sampai Maranatha!
(Penulis adalah Riyan Nainggolan -Mantan Ketua NHKBP Semper periode 2002-2004-, tulisan ini dimuat di Buletin Narhasem Edisi April 2004)
15.Setiap orang yang membenci saudaranya adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu banwa tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal di dalam dirinya. 16.Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, bahwa Ia telah menyerahkan njyawa-Nya untuk kita ; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita. 18.Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.
(I Yoh. 4:9,19-21; 3:15-16,18)
Rekan-rekanku yang terkasih, berbicara mengenai pengorbanan Kristus di kayu salib pasti tidaklah terlepas dari kasih sebagai salah satu unsur utama yang melandasi peristiwa ini, sebagaimana yang telah sering kita dengar dan dengungkan melalui Firman-Nya, di dalam Yohanes 3:16. Tanpa kasih maka tidak akan ada pengorbanan, demikian pula Yesus Kristus: Kristus telah mau berkorban dan mati untuk kita semata-mata dilakukan karena kasih-Nya yang begitu besar, panjang, lebar, dalam, dan tinggi untuk kita semua; orang-orang berdosa ! Oleh pengorbanan dan darah-Nyalah, maka dosa-dosa kita semua dibasuh dan dibersihkan-Nya Kita semua yang telah “sakit” ini, oleh karena pengorbanan-Nya yang penuh dengan penderitaan dan rasa sakit itu, justru telah beroleh pemulihan, kesembuhan, dan hidup yang kekal! Sungguh luar biasa pengorbanan Kristus yang telah membawa dampak yang begitu besar dan menyeluruh dalam kehidupan dan perjalanan sejarah seluruh umat manusia. Adakah pengorbanan seperti pengorbanan Kristus, atau adakah kasih seperti kasih Kristus?
Rekan-rekanku yang dikasihi Tuhan, kehidupan yang kita jalani kini adalah kehidupan yang baru sebagai umat manusia tebusan Allah. Pertanyaan yang timbul sekarang adalah : Bagaimana kita menyikapi dengan benar akan kasih dan pengorbanan yang telah Kristus lakukan? Sudahkah kita sungguh-sungguh memahami dan memaknainya dalam kehidupan kita? Sudahkah kasih itu terwujud-nyatakan secara benar dalam hubungan kita dengan Allah (secara vertikal) dan sesama (secara horisontal)? Pernyataan kasih ini (vertikal dan horisontal) harus berjalan dengan baik, seimbang, dan dalam pengertian yang benar berdasarkan Firman Tuhan. Mengapa? Karena yang terjadi sekarang ini adalah begitu banyak manusia (khususnya dari kita sendiri orang-orang Kristen) yang seringkali dengan mudahnya mengatakan “Aku mengasihi Tuhan”, namun kenyataannya dia tidak mampu mewujud-nyatakan kasih itu kepada orang lain atau saudaranya sendiri. Perkataannya seringkali terasa pedas menyinggung perasaan orang lain, arah pembicaraannya tidak pernah jauh-jauh dari seputar membicarakan kejelekan orang lain, hatinya begitu “bersukacita” ketika keburukan orang lain terungkap, memiliki segudang alasan ketika dimintai bantuan dan pertolongannya, namun ketika menyangkut dirinya sendiri, maka dia tidak pernah segan untuk meminta bantuan orang lain, dan masih banyak hal lain yang mungkin masih menjadi kebiasaan/karakter kita, dimana sesungguhnya hal-hal itu sedang membawa kita pada suatu kondisi: bahwa kita sedang tidak membuktikan kasih kita kepada Allah, bahwa perkataan kita tidak sejalan dengan perbuatan kita, dan bahwa kita tanpa kita sadari sedang “membohongi” Allah dengan mengatakan bahwa “Aku mengasihi Tuhan”.
Rekanku yang terkasih, pandangan yang benar adalah bahwa kita memang harus terlebih dahulu mengasihi Tuhan baru kita dapat sungguh-sungguh mengasihi sesama, dan bukan sebaliknya. Jika kita sudah sungguh-sungguh mengasihi Allah (dalam artian perkataan dan perbuatan sejalan), maka kasih itupun akan bisa dan secara langsung dirasakan oleh sesama dan saudara kita; karena bukan kita yang sesungguhnya telah mengasihi Allah, tetapi Allah-lah yang telah mengasihi kita, dan kasih itulah yang kemudian menggerakkan dan mengendalikan kita manusia yang lemah ini dalam menjalin hubungan/relasi yang baik dan harmonis dengan sesama/saudara kita; dan dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan!
Pada bagian awal artikel ini, telah dikatakan bahwa pengorbanan tidak dapat terlepas dari unsur kasih, demikian pula sebaliknya bahwa kasih juga tidak mungkin terlepas dari suatu pengorbanan; dengan demikian tidak ada pengorbanan yang tidak disebabkan/didasari oleh karena kasih, dan tidak ada kasih yang tidak akan melahirkan suatu pengorbanan! Lalu saudaraku, bagaimanakah kita menterjemahkan akan pengorbanan Kristus di kayu salib dalam kehidupan kita, atau bagaimana kita menterjemahkan Firman Tuhan pada bagian ini yang menyatakan: . . . bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita (I Yoh.3:16). Kita sebagai orang percaya yang telah diberikan hikmat dan pengetahuan janganlah lalu menterjemahkan kebenaran ini secara total harfiah, bahwa kemudian kita semua harus mati demi sesama/saudara kita tanpa didasari oleh pemahaman dan pengertian yang benar akan Firman Tuhan, sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang sejati. Sebagai contoh, kita bisa melihat pada jaman Perjanjian Baru, dimana begitu banyak rasul-rasul yang harus mati (sebagai martir ) demi mempertahankan iman Kekristenannya terhadap Kristus. Sebut saja: rasul Stefanus yang harus mati diseret ke luar kota dan dirajam dengan batu oleh penduduk kota (Kis 6:11-15; 7:51-60), rasul Yakobus yang harus mati dibunuh raja Herodes yang saat itu sedang melancarkan penganiayaan terhadap jemaat (Kis 12:1-2), Yohanes Pembaptis yang juga mati dibunuh oleh raja Herodes dengan cara dipenggal kepalanya, karena keberaniannya menegor raja Herodes di hadapan orang banyak (Matius 14:3-4 dan 8-10), dan masih banyak rasul-rasul lainnya. Namun, bukankah kita semua pada saat ini sedang tidak berada pada jaman dan kondisi yang sama dengan mereka (rasul-rasul PB), dimana Kekristenan benar-benar ditentang dan diserang habis-habisan oleh orang-orang yang tidak percaya? Bukankah kepada kita saat ini diberikan kelonggaran dan kebebasan yang “lebih” di dalam menjalankan kehidupan kita sebagai umat beragama? Menurut saya, pengorbanan yang dimaksud disini harus kita pandang secara lebih luas, bukan dalam artian sempit (tanpa didasari oleh pemahaman yang benar akan Firman Tuhan), bahwa pengorbanan adalah sama dengan kematian dan penderitaan secara fisik atau jasmani saja. Pengorbanan dengan jenis atau konsep ini, kalau kita lihat juga dimiliki oleh banyak sekali orang. Lihat saja pada contoh yang paling sederhana: bagaimana segerombolan anak pelajar yang berkumpul dengan membawa seperangkat senjata tajam untuk berhadapan dengan anak pelajar dari sekolah lain, dan itu berarti bahwa mereka telah siap untuk menjadi korban (termasuk meninggal sekalipun) demi mempertahankan sesuatu yang tidak jelas, apakah itu nama baik, gengsi, atau sekedar kebanggaan yang semu; dan pengorbanan inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah solider! Atau lihat juga pada beberapa sekte keagamaan yang mengajarkan para pengikutnya untuk mati (membunuh diri) bersama-sama demi mempertahankan suatu keyakinan yang salah menurut Alkitab, tetapi benar menurut mereka; yaitu bahwa dengan cara seperti itu mereka akan mendapat kehidupan yang kekal (di sorga). Sekte di Jepang dengan menggunakan gas sarin, di AS dengan membakar rumah tempat mereka berkumpul, dan baru-baru ini di Indonesia yang hampir saja terjadi, yaitu sekte di bawah pimpinan Mangapin Sibuea yang mengakui dirinya sebagai rasul Paulus II. Apakah ini yang dimaksud dengan pengorbanan yang benar dan sejati di hadapan Allah? Jawabannya adalah tidak!! Pengorbanan yang sejati adalah mempersembahkan seluruh hidup kita di hadapan Allah sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya (Roma 12:1), dan itu berarti termasuk di dalamnya memberikan segenap kemampuan, talenta, kekuatan, waktu, tenaga, materi, dan apa yang ada pada kita untuk Tuhan dan jug untuk sesama/saudara yang ada di sekeliling kita. Bukankah hal-hal ini seringkali lebih sulit untuk kita lakukan ketimbang sekedar memberikan/mengorbankan nyawa kita?
Rekan-rekanku yang terkasih, marilah kita mulai mengaplikasikan kasih kita secara konkret kepada sesama atau saudara yang ada di sekeliling kita sebagai wujud nyata kasih kita kepada Allah, dari hal-hal yang sederhana. Misalkan:
- di rumah : sudahkah engkau mau mendengarkan dan menuruti nasehat orangtua, abang, atau kakakmu? sudahkah engkau rela mengorbankan sedikit waktu bermainmu dengan mau menjadi seorang pelayan yang baik dengan mengerjakan sesuatu yang bisa engkau kerjakan, seperti menyapu, mengepel, atau hal-hal lainnya?
- di lingkungan sekolah : sudahkah engkau mendengar dan memperhatikan dengan seksama guru yang sedang mengajar? sudahkah engkau berani menegur dengan dilandasi kasih, setiap kecurangan yang dilakukan teman-temanmu (mencontek, menitip absen, membolos) atau mungkin engkau sendiri terlibat dan ikut melakukan segala kecurangan itu? Ingat bahwa kasih itu tidak berarti membiarkan apapun yang terjadi, namun juga harus berani menegur setiap kesalahan dan kecurangan yang terjadi; ada kesabaran dan ketegasan di dalamnya.
- di lingkungan gereja : sudahkah engkau memberikan segenap kemampuan dan talentamu untuk Tuhan; seperti mengunjungi orang sakit, membantu teman yang sedang kesulitan, musik, menulis artikel, puisi, suara, tarian, dan masih banyak hal lain? sudahkah engkau rela mengorbankan sedikit waktu dan tenagamu untuk ikut mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Tuhan, dalam kepengurusan atau kepanitiaan misalkan? Ingat bahwa waktu, tenaga, dan materi yang kita miliki ini semuanya adalah pemberian Tuhan, dan terlalu kecil untuk kita bandingkan dengan pengorbanan Kristus; jadi janganlah pernah terbersit dalam pikiran kita “Kalau ada terluang waktu dan tenagaku, barulah aku bisa mengerjakan pelayanan ini.”, seolah-olah kitalah orang yang paling cape’ dan yang telah begitu banyak berkorban untuk Tuhan. Kalau demikian adanya, kapan kita bisa tahu bagaimana sulitnya mengatur waktu dan mungkin akan sulit bagi kita untuk mengalami pembentukan dan kedewasaan menjadi orang-orang yang taft atau tangguh di jaman yang mobile ini, yang terus bergerak dan mengalami perubahan dengan cepat.
- di pekerjaan : sudahkah engkau dapat menahan lidahmu untuk tidak mmbicarakan kejelekan-kejelekan orang lain dan berusaha memilih untuk menjadi pendengar yang baik di antara teman-teman sekerjamu? sudahkah engkau rela berkorban memberikan waktu dan tenagamu untuk mengambil jam lembur, bukan demi sekedar mencari dan mendapatkan uang lembur, tetapi karena di hatimu ada keinginan untuk memuliakan Allah lewat prestasi yang engkau tunjukkan di antara teman-teman sekerjamu? sudahkah engkau berani menegur hal-hal yang tidak benar yang terjadi di kantormu atau engkau mungkin justru terlibat di dalamnya dan menjadi seorang pekerja yang berprinsip “Yes Boss” demi mencari aman dan “suksesnya” saja.
Inilah rekanku sekalian, pengorbanan dalam artian yang lebih luas yang saya maksudkan di sini, dan pasti masih banyak aspek-aspek lain yang belum disebutkan di sini, yang ternyata mencakup hampir seluruh aspek kehidupan kita, dimanapun dan kapanpun kita berada!
Kasih Allah yang kekal dan tak terbatas telah diwujudnyatakan melalui pengorbanan Kristus. Pengorbanan Kristus telah mengangkat dan menebus kita semua, kembali menjadi milik kepunyaan Allah. Kita yang sudah milik kepunyaan Allah ini, berarti bukan lagi hidup untuk diri kita sendiri, tetapi hidup untuk Allah, hidup untuk sesama; hidup seturut kehendak dan kemauan Allah. Itu berarti segenap hidup kita kini adalah pelayanan kepada Allah. Pelayanan yang sejati pasti menuntut adanya suatu pengorbanan, dan pengorbanan itu hanya dapat terwujud bila di dalamnya ada kasih yang memancarkan keberanian dan kerelaan. Amin, kiranya Tuhan Yesus Kristus menyertai kita sekalian sampai Maranatha!
(Penulis adalah Riyan Nainggolan -Mantan Ketua NHKBP Semper periode 2002-2004-, tulisan ini dimuat di Buletin Narhasem Edisi April 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar