Sabtu, 03 Januari 2009

ARTIKEL: PEREMPUAN DALAM ADAT BATAK

Pendahuluan
Senang, sedikit berbangga, pertama kurasakan saat membaca e-mail dari Team Redaksi Buletin NARHASEM yang meminta kesediaanku untuk menulis di buku “Mensyukuri 4 tahun terbitnya Buletin NARHASEM”. Mengapa? Alasannya, karena selama 4 tahun Bulettin terbit, pasti banyak Narasumber yang menjadi kontributor tiap edisi, namun aku terpilih menjadi satu dari kontributor untuk “Buku Syukuran”. Selanjutnya muncul perasaan bingung dan cemas! Mengapa? Alasannya: karena aku ragu tentang apa yang harus kukatakan mengenai “Perempuan dan ke-Batak-an”. Aku memang perempuan Batak yang sangat bangga lahir sebagai orang Batak, sekalipun hingga kini aku masih terus bergumul dengan keberadaan perempuan Batak ditengah-tengah adat – Budaya Batak. Aku dilahirkan bukan lagi ditengah-tengah komunitas yang memegang teguh nilai-nilai ke-Batak-an. Aku bahkan dilahirkan dan dibesarkan, dididik dan berkembang ditengah-tengah kultur dan budaya Cina di Pematangsiantar. Bahasa Indonesia dan bahasa Cina Hokkian adalah bahasa yang kupakai sehari-hari. Bahkan jika boleh jujur, aku baru mulai sungguh-sungguh belajar bahasa Batak setelah menjadi nara-didik di Sekolah Theologia HKBP di Pematangsiantar tahun 1991, meskipun hingga kini bahasa Batak yang kupahami masih marpasirpasir. Namun itupun tidak berperan banyak, karena di STT-HKBP hampir tidak pernah dilaksanakan ritual Adat Batak. Setelah lulus dan ditahbiskan menjadi Pendeta, aku justru tinggal ditengah-tengah komunitas Sunda dan Betawi di Pulau Jawa. Setelahnya aku sempat setahun berada di Tarutung dan kini di Medan. Sejak kembali berada di Sumatera Utara, aku mulai mengamati sekaligus merasakan posisi dan peranan dalam Adat Batak. Sejak itu pula aku mulai mempergumulkan kenyataan yang dihadapi oleh perempuan Batak khususnya. Hasil pergumulan dan pengalamankulah yang kucoba untuk menuliskannya sebagai curahan hatiku di sini…..

Perempuan Riwayatmu
Tidak berlebihan kalau kukatakan bahwa sebenarnya dunia ini adalah “Dunia Perempuan”. Mengapa saya katakan demikian? Karena bumi ini mayoritas dihuni perempuan. Bangku-bangku di Gereja mayoritas diduduki perempuan. Pekerjaan yang dikategorikan “domestik” dianggap sebagai bagian perempuan, “dipaksa” menjadi beban perempuan. Keberadaan perempuan yang mengisi setiap kekosongan nyaris tidak dapat dipungkiri lagi. Namun sayangnya, beban yang harus dipikul seorang perempuan tidak sebanding dengan award yang diterimanya. Perempuan justru lebih sering mengalami kekerasan multi dimensi yang dari hari ke hari peningkatannya makin signifikan. Kondisi ini telah mengkhawatirkan karena ternyata banyak perempuan yang tidak menyadari dan memahami bahwa apa yang dialaminya merupakan tindakan kekerasan.
Dalam segala aspek kehidupan, masyarakat selalu lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan. Apalagi dalam masyarakat adat, perempuan tidak pernah diikutsertakan dalam pengambilan keputusan, peranan perempuan dalam adat Batak lebih cenderung hanyalah sebagai “parhobas” atau pelayan, sedangkan laki-laki adalah “parhata” atau juru bicara. Selain itu adanya stereotip bahwa perempuan itu adalah orang yang emosional atau tidak rasional, tidak mampu memimpin, perempuan itu penggoda laki-laki. Khusus untuk janda, pandangan negatif bukan hanya datang dari laki-laki tapi juga dari perempuan. Janda sering dianggap sebagai perempuan nakal yang kesepian dan suka mengganggu suami orang. Dengan sebagian alasan-alasan di atas, aku yakin akan ada perempuan yang telah menyesali kelahirannya sebagai seorang perempuan. Namun apa daya, tidak kepada seorangpun – yang pada saat masih dalam kandungan – pernah diberi kesempatan untuk memilih akan lahir dengan jenis kelamin apa dirinya kelak. Tetapi, satu hal yang paling penting untuk diingat, rencana Allah pada awal penciptaan tidak akan sempurna jika tidak ada perempuan yang melahirkan bayi-bayi untuk kelanjutan generasi manusia di bumi.

Beberapa Nilai Dalam Adat Dan Budaya Batak
Mayoritas budaya di Indonesia menganut sistem patriarkhi. Sistem Patriarkhi memandang laki-laki lebih utama dan lebih penting serta lebih berharga dibandingkan dengan perempuan. Masyarakat yang patrilinial/ menganut garis keturunan laki-laki sudah pasti patriarhis. Hal demikian juga yang terjadi dalam suku Batak, di mana pengambil keputusan dan garis marga mengikuti garis Bapak. Dalam budaya Batak dikenal banyak sekali “nilai”, sebagian di antaranya adalah:
1. Marga : yaitu hubungan antara lineage yang berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dalam satu Clan (Marga). Akar budaya Batak Toba berawal di sini, yaitu system kekerabatan Patrilineal dan mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan triadik (segitiga) . Dalam berelasi dengan orang Batak lainnya, orang Batak akan menempatkan dirinya dalam susunan Dalihan na tolu.
2. Dalihan Natolu : somba marhulahula, elek marboru, manat mardongan tubu : Dikalangan masyarakat Batak dipegang teguh prinsip Dalihan natolu (tungku nan tiga) : somba marhulahula (Hormat kepada Hulahula), elek marboru (kasih kepada boru / anak perempuan dan kerabatnya) , manat mardongan tubu (berhati-hati / sopan kepada se-Marga). Namun dalam praktek ditengah keluarga, sering lebih ditekankan kepada somba marhulahula yang diartikan sebagai menyembah dan melayani hula-hula seperti melayani raja. Orang Batak selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara sesamanya (dengan martutur / martarombo). Peta Genealogis dan Sejarah orang Batak hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki, sangat jarang dapat ditelusuri dari garis perempuan, karena Istri dan anak perempuan sering tidak tercatat namanya dalam silsilah (tarombo).
3. Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon : Dari sekian banyak nilai dalam Budaya, yang merupakan nilai yang utama, cita-cita tertinggi dalam hidup bagi orang Batak adalah Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (berkat karena keturunan) dan Hasangapon (prestise). Bagi orang Batak, memiliki banyak anak adalah hal yang utama. Dapat dilihat bahwa dalam upacara adat perkawinan selalu terungkap dan diungkapkan harapan agar mempelai segera diberi keturunan. “Maranak sampulu pitu, marboru sampulu ualu…., Anak per iris, boru pe tung torop……, sai tumibu ma hamu marompaompa huhut marabingabing”, adalah beberapa permohonan yang diucapkan berkali-kali oleh para sisolhot dan Hulahula sebagai harapan untuk mempelai. Namun secara kultural, pandangan orang Batak hanya mengacu kepada anak laki-laki, bukan anak perempuan. Seseorang baru dinyatakan Gabe jika telah memiliki anak laki-laki. Dan anak laki-laki tersebutlah yang akan memberikan Hasangapon kepadanya. Ada pula perbedaan pemberian gelar kepada seorang Batak yang telah memiliki cucu. Jika cucu pertama yang dimilikinya diperoleh dari anak perempuan, maka gelarnya akan disebut sebagai : “Ompu ni si…..”, namun bila cucu itu diperoleh dari anak laki-laki, maka gelarnya disebut “Ompu si…..”. Dan setelah bertahun-tahun memakai gelar “Ompu ni si….” Yang diperoleh dari anak perempuannya, akan diganti kemudian menjadi “Ompu si….” (dari cucu sulung yang diperoleh dari anak laki-laki).
4. Warisan : Hak perempuan dalam budaya Batak adalah hak mangihutihut (mengikut) atau manumpang (menumpang). Perempuan dalam budaya Batak tidak berhak memiliki warisan dari orangtuanya. Jikapun perempuan memperoleh sesuatu dari orangtua, itu adalah sebagai silehonlehon (pemberian), bukan sebagai warisan. Perempuan Batak mendapat sesuatu dari orangtuanya karena pemberian, bukan karena berhak memperoleh warisan. Kepada anak perempuan biasanya diberikan pembagian berupa pakaian dan perhiasan, sedangkan anak laki-laki berhak atas tanah dan rumah serta uang. melainkan hanya hak mangihut-ihut (menompang). Pembagian yang dapat diperolehnya dari orangtuanya hanyalah silhon-lehon (pemberian). Ketika orangtuanya meninggal, yang menjadi bahagiannya adalah pakaian, perhiasan dan perabotan Rumah tangga, sedangkan anak laki-laki akan memperoleh tranah, rumah dan uang. Jikapun anak perempuan memperoleh tanah / rumah hak perempuan dalam terbatas pada hak meminta, bukan hak mewarisi. Misalnya dengan meminta indahan arian (makanan sehari-hari) untuk anak sulung yang dilahirkannya (cucu dari pemilik harta / warisan).
5. Sinamot (mas kawin) / Tuhor / boli (beli) : adalah pemberian dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan berupa uang dan/ atau barang. Arti “tuhor” dikemudian hari mengalami perubahan menjadi “membeli”, laki-laki membeli perempuan untuk menjadi istrinya, seolah-olah seperti membeli barang. Dengan demikian perempuan yang menjadi istrinya terkadang dianggap sebagai property yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh suami dan keluarga besar Mertuanya. Jika seorang perempuan mengalami kekerasan dari suaminya, dan kemudian perempuan itu mengadu kepada orangtuanya, maka nasehat yang diterimanya adalah: “bersabarlah! Bagaimanapun dia suamimu. Bahkan sampai matipun engkau harus tetap tinggal di rumahmu, daripada kami menanggung malu jika engkau yang telah kami pahuta harus kembali lagi ke rumah ini”. Hal ini juga berpengaruh kepada perlakuan terhadap perempuan. Ini menyebabkan perempuan sering dianggap “lemah” dan perempuan sendiri merasa lemah dalam menjalankan peranannya.
6. Inanta soripada / parsonduk bolon : memberi nilai dan makna yang sangat besar bagi perempuan baik dalam rumah tangga maupun dalam adat. Para istri sering disebut sebagai sitiop puro (bendahara). Penghasilan suaminya seharusnya dipegang oleh istrinya. Istrilah yang dengan bijaksana harus mengelola dan mengalokasikan dana yang ada untuk mencukupi sebutuhan dalam Rumah tangganya: biaya anak-anak, untuk saudara-saudara, dana sosial, adat, kesehatan, dll. Sebagai parsonduk bolon, seorang perempuan harus menjadi parbahulbahul na bolon, yang mampu menjamu para kerabat yang datang menumpang di rumahnya sehingga tidak mengalami kelaparan/ kekurangan. Sungguh mulia peranan perempuan dalam posisi ini.

Interpretasi Terhadap Adat Dan Budaya Batak
Interpretasi yang berbeda-beda terhadap sekian banyak nilai-nilai Budaya yang dimiliki oleh masyarakat Batak menyebabkan perlakuan berbeda dialami oleh perempuan Batak.
1. Pardijabu : Di kalangan masyarakat Batak telah mengakar persepsi bahwa perempuan itu “pardijabu” (orang rumah) / “orang belakang”, yang bersumber dari sistem patriarkhat dalam masyarakat. Persepsi ini hidup dan terlihat dalam kenyataan sehari-hari, khususnya di rumah tangga. Namun akibatnya juga sangat terasa dan terlihat dalam masyarakat, dimana perempuan sering dianggap lebih rendah dari laki-laki. Bahkan kepada perempuan yang memiliki karir mapan yang lebih gemilang dari suaminya, sering juga diberikan sebutan sebagai “orang rumah”, meski dalam kenyataannya perempuan ini sudah sangat jarang berada di dalam rumah karena kesibukan pekerjaannya. Ini menyebabkan banyak perempuan merasa tidak percaya diri dan kurang berani mempunyai peranan dan posisi.
2. Pentingnya keturunan : Ketika sebuah pasangan menikah, keluarga besar kedua belah pihak berharap mereka segera mendapatkan keturunan (hagabeon). Jika telah berlalu sekian tahun belum juga dikaruniai anak, maka keluarga akan kasak-kusuk mencari cara mendapatkan keturunan, termasuk membawa berobat, berurut (mandampol) bahkan sampai ke dukun. Masalahnya, hingga kini yang sering diperiksa hanya perempuan, seolah-olah hanya perempuan yang bersalah dalam proses reproduksinya. Laki-laki cenderung enggan memeriksakan dirinya. Jika setelah 5 tahun belum juga dikaruniai keturunan, padahal sang istri telah lelah berobat, entah karena memang mandul, atau karena penyakit dan alasan lainnya yang membuat dirinya tidak bisa hamil, maka dia harus merelakan suaminya “mangalului tungkot” supaya ada anak / keturunannya.
3. Ina na mate punu (matu pucuk) : artinya seorang perempuan meninggal di masa tuanya tanpa meninggalkan anak laki-laki, artinya mati dari tarombo. Meski dalam keadaan tersebut sebenarnya yang paling menderita adalah suaminya, karena keturunannya akan hilang dari tarombo. Namun dalam kenyataan lehih sering suami yang meninggal lebih dahulu sehingga saat istri meninggal tidak disebut sebagai “saur matua” karena dianggap “tidak gabe”. Biasanya perempuan yang demikian dikuburkan satu hari setelah kematiannya dan acara adatnyapun dibuat singkat. Apalagi jika perempuan tidak pernah melahirkan anak sama sekali, penguburannya sering dilakukan pada hari yang sama dengan hari kematiannya.
4. Warisan : Bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya tanpa memiliki keturunan, maka harta pusaka peninggalan suaminya tidak bisa berpindah ke tangannya sekalipun benar bahwa dirinya adalah istri yang sah dari suaminya. Harta tersebut akan jatuh ke tangan saudara laki-laki dari suaminya. Apabila perempuan itu hanya memiliki anak perempuan, hak pengelolaan hartanya tetap akan dipercayakan kepada saudara laki-laki ayahnya (Bapatua / Bapaudanya). Dan merekalah yang kelak akan menikahkan keponakan mereka tersebut. Hal ini terjadi karena hak perempuan adalah hak menumpang: kepada orangtuanya atau kepada suaminya.
5. Ketika bayi baru lahir, orang-orang disekitarnya akan bertanya: “songon dia?” (bagaimana?), yang menghunjuk pada jenis kelamin. Bila dijawab “baoa” (laki-laki), maka tanggapan yang diterima adalah: “tabo na i, sai Horas ma!” (Enak sekali, Selamat!). Tapi bila dijawab “boru” (perempuan), maka tanggapan yang diterima adalah: “sai imbur magodang ma asa boi haduan pahutaon tu halak jala manubuhon pomparan di huta na asing” (semoga dia tetap hidup, supaya kelak bisa meneruskan keturunan di kampung lain). Hak perempuan di Rumah orangtuanya adalah menumpang, Rumah / kampungnya adalah mengikut kepada suaminya ketika kelak dia muli (menikah).
6. Perlakuan dan sikap orang tua : karena kecenderungan masyarakat Batak memberi nilai lebih kepada anak laki-laki, maka orangtua juga cenderung memberi perlakuan berbeda kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Tingkat kepuasan orangtua mendapatkan anak pertama laki-laki akan berbeda dengan jika anak pertama itu perempuan. Pasca kelahiran anak pertama akan diadakan “esek-esek” di mana para undangan dan unsur Dalihan na tolu memberikan selamat atas kelahiran anak pertama. Namun bila anak pertama adalah perempuan, biasanya para undangan akan “melampirkan” harapan orangtua sang bayi segera mendapatkan anak laki-laki.
7. Prioritas pendidikan : Prioritas untuk mendapat kesempatan pendidikan yang lebih baik biasanya diberikan kepada anak laki-laki, dengan pertimbangan bahwa kelak ia akan menjadi kepala Rumah tangga yang harus menafkahi istri dan anak-anaknya. Sementara anak perempuan dianggap akan “dijual”/ dipahuta kepada marga lain, akan menjadi kerugian jika disekolahkan tinggi-tinggi, karena yang beruntung adalah keluarga besar suaminya. Atau dengan pemikiran lain bahwa setinggi-tingginya pendidikan seorang perempuan, jatuhnya ke dapur juga.
8. Raja / Boru ni Raja :di kalangan masyarakat Batak berlaku bahwa: laki-laki adalah Raja, perempuan adalah Boru ni Raja. Ini menyatakan bahwa laki-laki berhak mengambil keputusan termasuk mengambil keputusan yang berkenaan dengan boru ni raja. Dalam pesta-pesta adat , laki-laki ditempatkan dalam posisi “parhata” (pembicara/ yang berbicara), sementara perempuan (boru) ditempatkan dalam posisi “parhobas” (pelayan / yang melayani). Ketika Raja sedang marhata, maka Boru melayani dan menyediakan makanan dan minuman. Para perempuan yang berposisi sebagai Istri dari Raja hanya duduk di belakang, mendengarkan jalannya upacara adat.
9. Tentang perkawinan : Orangtua sering mengimpikan agar putrinya menikah dengan anak laki-laki dari Ibotonya marpariban. Tujuannya agar tali silaturahmi tidak putus. Jika usia putrinya sudah melebihi 25 tahun namun belum terlihat tanda-tanda akan segera berumah tangga, biasanya orangtua mulai kasak-kusuk mencarikan jodoh bagi anaknya. Ketakutan orangtua jika anak perempuannya tidak menikah maka akan terlantar di masa tua menjadi pertimbangannya. Selain itu juga, orangtua takut dianggap masyarakat memiliki anak perempuan yang “tidak laku”. Namun perasaan bangga akan dimiliki oleh orangtua yang anak perempuannya cepat-cepat menikah (“laris”).
10. Perceraian : Dalam masyarakat Batak dikenal bentuk-bentuk perceraian selain daripada diceraikan oleh kematian. Ada yang dianggap sebagai “sirang ala so marongkap” (cerai karena tidak memiliki anak), biasanya berkaitan dengan tidak memiliki anak; “sirang ala sahit na mura bali” (cerai karena penyakit menular yang sulit sembuh, misalnya TBC; cerai karena istri atau suami berselingkuh, cerai karena istri dipulangkan/ dikembalikan kepada orangtuanya karena tidak bisa mengelola rumah tangga/ tidak memiliki anak; cerai karena istri melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya berhutang, berjudi, dll. Namun sayangnya, apabila suami yang pergi meninggalkan istri (meski tanpa kabar berita) tidak dapat dianggap cerai dalam adat Batak, karena bukan menyangkut alasan tersebut di atas. Biasanya istri dengan sendirinya pulang ke rumah orangtuanya tanpa mendapatkan hak apapun.
11. Perempuan yang tidak menikah : tetap dianggap sebagai dakdanak (anak-anak). Jika dia meninggal dunia, acara penguburannya hampr sama dengan acara kepada perempuan yang tidak memiliki anak, hanya yang menjadi suhut adalah orangtuanya/ Ibotona (saudara laki-lakinya yang telah berumahtangga).
Kesimpulannya : dari sekian banyak nilai dalam Adat Budaya Batak, serta prakteknya dalam kenyataan hampir-hampir tidak berpihak kepada perempuan. Hal ini makin diperparah oleh interpretasi yang bias terhadap esensi dan substansi nilai dalam ke-Batak-an yang sesungguhnya. Karena itulah banyak perempuan Batak yang bergumul karenanya.

Beberapa Catatan Mengenai Perubahan Dan Kenyataan Yang Dihadapi Perempuan Saat Ini
Karena banyaknya interpretasi terhadap adat dan Budaya Batak yang dilakukan oleh orang Batak, dewasa ini sudah terjadi banyak versi dan perubahan dalam adat dan budaya yang dialami oleh perempuan. Perubahan ini juga terjadi karena peranan perempuan Batak di dalam keluarga dan masyarakat yang ditandai dengan adanya perempuan yang bekerja secara profesional dan perempuan-perempuan yang mencari nafkah sendiri. Sehingga sebutan perempuan sebagai “pardijabu” juga sudah jarang dikatakan.
Masyarakat Batak, baik di kota kecil maupun kota besar, sudah bisa menerima secara lapang dada dan tanpa rasa kecewa apabila anaknya yang pertama adalah perempuan (mungkin karena itulah tercipta lagu: boru panggoaran). Mereka merayakan kelahiran anaknya dengan “esek-esek” sama seperti lahirnya anak laki-laki. Pada sebagian orang Batak apalagi yang tinggal di kota besar justru bangga apabila anak pertama yang lahir adalah “boru” karena anak pertama ini biasanya bisa bertanggungjawab dan mampu memimpin adik-adiknya menjadi lebih baik. Banyak orangtua Batak yang pada masa tuanya yang merasa jauh lebih nyaman bila tinggal di rumah borunya daripada di rumah anak laki-lakinya. Karena tinggal di rumah anak perempuan berarti diurus oleh anak perempuannya sendiri sementara kalau tinggal di rumah anak laki-lakinya akan diurus oleh menantu perempuannya padahal hubungan antara mertua perempuan dan menantu perempuan adalah hubungan ketegangan (bandingkan dengan istilah: boru hangoluan, anak hamatean, yang artinya: ketika hidup orangtua lebih memilih tinggal bersama borunya, namun setelah mati adatnya akan dilaksanakan di rumah anaknya).
Dalam hal pendidikan untuk anak-anak, orang Batak juga sudah memberi kesempatan yang sama kepada anak laki-laki dan anak perempuannya. Prioritas diberikan kepada anak yang memang mampu dan mempunyai minat untuk sekolah. Ini terjadi baik di kota-kota kecil maupun di kota besar. Sama halnya dengan warisan. Banyak orangtua Batak pada masa kini yang memberikan hak yang sama kepada anak laki-laki dan anak perempuan untuk mewarisi harta orangtuanya seperti rumah, sawah, tanah/ ladang. Tentu saja semua itu dibagikan lebih banyak kepada anak laki-laki dengan alasan anak perempuan tetap mendapat bagian dari keluarga suaminya. Orang Batak sudah melihat anak perempuan bukan lagi sebagai orang yang hanya mempunyai hak menumpang atau mengikut orangtua/ suaminya tetapi dia juga mempunyai hak waris. Artinya, anak perempuan mendapatkan hak untuk mewarisi harta pusaka orangtuanya sama seperti anak laki-laki berupa rumah, tanah, sawah/ladang.
Orangtua juga sudah memberikan kebebasan kepada anak perempuan dalam menentukan teman hidupnya. Kecuali bila anak perempuan itu semakin tua, mungkin dia akan meminta orangtuanya untuk mencarikan jodoh yang cocok untuknya. Perkawinan dengan pariban tidak menjadi favorit lagi. Pada masa kini, ada banyak perempuan yang tidak menikah sampai lanjut usia. Banyak dari mereka yang mempunyai pekerjaan dan profesi yang baik sehingga mereka tidak perlu lagi menggantungkan dirinya pada orang lain. Dalam hal khusus, seperti perempuan yang bekerja di gereja seperti Pendeta, diakones, bibelvrow justru mempunyai posisi yang tinggi dalam keluarga dan masyarakat adat karena mereka banyak membantu keluarganya, dalam hal finansial dan spiritual serta tidak pernah absen dalam menghadiri acara-acara adat keluarga.

Harapan Dan Catatan Penutup
Banyak di antara orang Batak yang telah menjadi Kristen bahkan sudah sejak nenek moyangnya. Namun sayangnya belum banyak yang dapat dengan sungguh-sungguh melihat keberadaan perempuan dan laki-laki sebagai sesama ciptaan Allah, mitra sejajar yang mewarisi dan bertanggungjawab meneruskan misi penugasan dari Allah. Harapan di masa yang akan datang sebenarnya adalah perempuan akan semakin disadarkan bahwa dia adalah ciptaan yang sama dengan laki-laki dan hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan mitra yang setara. Dengan demikian semakin banyak perempuan memperoleh kesadaran yang kritis terhadap kehidupan yang dilaluinya serta mempunyai kesanggupan untuk mengubahnya. Dalam hal ini perlu adanya pendidikan yang formal dan informal khusus kepada perempuan, yang berorientasi pada kesetaraan gender.
Budaya Batak sama seperti budaya pada suku-suku lainnya mempunyai inti. Inti dari adat dan budaya adalah harmoni, keseimbangan, kebersamaan dan cita-cita hidup yang luhur. Inti budaya ini perlu diterjemahkan ke dalam situasi masyarakat masa kini, dimana pengarusutamaan gender sedang berlaku. Dengan demikian, suatu saat adat itu bukan sebagai penghambat dan momok bagi perempuan tetapi menjadi bagian hidup dan cara hidup dari perempuan dan laki-laki. Terciptanya adat dan budaya yang ramah kepada perempuan bukan adat dan budaya yang menghukum dan menghakimi perempuan, inilah harapan ke depan.
Gereja sebagai bagian yang integral diharapkan berperan sangat aktif di dalam mengabarkan berita pembebasan tentang kekerasan budaya yang dialami perempuan dalam hidupnya. Meski terkadang ajaran agama (Kristen) dianggap lebih mengajarkan kesamaan dan keadilan keberadaan laki-laki dan perempuan, artinya bebas dari nilai-nilai diskriminatif terhadap perempuan, namun didalam kenyataan hidup berjemaat, terlihat beragam interpretasi terhadap ajaran Kristen atau ayat-ayat Alkitab yang justru menjadi dasar untuk tindakan diskriminatif dan kekerasan terhadap perempuan baik yang terselubung maupun yang terlihat nyata. Dalam hal ini, gereja diharapkan bukan saja berkhotbah tentang bagaimana perempuan menjadi istri yang baik, tetapi juga berkhotbah untuk menyadarkan warga jemaat tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sebagai orang Batak yang hidup karena kasih Tuhan, telah ditebus oleh pengorbanan Kristus dan mampu hidup benar hanya dalam terang Firman Tuhan, sudah selayaknya kita menelaah ulang perlakuan dan sikap-sikap diskriminatif yang selama ini diberlakukan terhadap laki-laki dan perempuan. Semoga harapan ini bisa segera terwujud untuk menjawab pergumulan para perempuan-permpuan pada umumnya serta perempuan Batak khususnya….. Selamat berharap dan semoga…..

(Penulis adalah Pdt. Paulin Sirait, S.Th., tulisan ini dimuat di Buku “UntukMU” yang diterbitkan Buletin Narhasem dalam rangka 4 tahun pelayanan Buletin Narhasem pada April 2008)

1 komentar:

maiasam24 mengatakan...

postingan ini sangat menarik, sy setuju kalau perempuan jgn dianggap diskriminatif oleh batak