Sabtu, 03 Januari 2009

ARTIKEL: TATA RUANG IBADAH

Pendahuluan
Perjumpaan manusia dengan Tuhannya pada dasarnya membutuhkan tempat, sebab Kristus tidak hanya memasuki waktu manusia tetapi Ia juga datang untuk berdiam diri di antara manusia, menduduki suatu tempat spesifik dan pasti. Allah dan kemanusiaan bertemu di suatu tempat, suatu tempat yang sama umumnya seperti padang atau belukar biasa lainnya atau di tempat yang sama bentuknya seperti Bait Suci di Yerusalem. Dengan demikian komunitas Kristen juga membutuhkan tempat untuk beribadah menyembah Tuhan Allahnya. Tempat tentunya dapat di mana saja, namun harus merupakan tempat yang dirancang sedemikian rupa sehingga jemaat mengetahui di mana harus berkumpul.
Hal pokok yang menjadi perhatian adalah sejauh mana tempat atau ruang yang dipergunakan mendukung perjumpaan umat dengan Tuhan dan dengan sesamanya. Memang dewasa ini sudah menjadi kebiasaan bagi orang Kristen untuk beribadah di gedung Gereja atau gedung-gedung lain yang besar. Tetapi pertanyaan adalah apakah bangunan- dalam hal ini tata ruang- itu membantu menetapkan makna ibadah bagi orang-orang yang berkumpul di dalamnya? Atau apakah umat mengalami kesulitan dalam beribadah karena tata ruang bangunannya?
Bertolak dari pemikiran di atas, maka saya melihat pentingnya tata ruang dalam ibadah Kristen. Dan untuk itulah saya membahasnya dalam tulisan ini dengan judul: “Ibadah dan Tata Ruang”. Tulisan ini bertujuan untuk meneliti fungsi dan makna tata ruang liturgi untuk kepentingan ibadah Kristen, sehingga bangunan gereja serta tata ruang di dalamnya dapat dirancang sedemikian rupa dan tepat guna untuk keperluan ibadah. Dalam pembahasan ini saya membatasi diri pada ibadah umum yang dilakukan oleh jemaat di gedung Gereja. Untuk itu dalam pembahasan ini, pertama-tama saya akan meninjau arti dan fungsi ibadah Kristen. Kemudian dilanjutkan dengan uraian beberapa komponen ruang ibadah yang didalamnya sekaligus dipaparkan mengenai makna masing-masing komponen ruang liturgis. Setelah memahami komponen ruang ibadah dilanjutkan dengan pembahasan tata ruang yang bermutu dan serasi dalam gereja, dan ditutup dengan kesimpulan.

Sekilas Arti Dan Fungsi Ibadah Kristen
Ibadah yang berasal dari kata “Abodah” secara etimologis berarti mengabdi/ melayani pada Tuhan atau orang lain. Menurut Duncan, ibadah pada dasarnya adalah persembahan seluruh totalitas kehidupan kepada Allah yang tidak terbatas hanya pada satu tempat tertentu. Dalam ibadah ada suatu perjumpaan antara Allah dengan umat serta sesama umat yang bersama-sama berjumpa dengan Allah.
Salah satu bagian dari ibadah itu adalah ibadah khusus umat di dalam sebuah ruang atau tempat pada hari Minggu atau perayaan gerejani lainnya. Untuk lebih memahami arti ibadah Kristen ada baiknya sekilas meninjau beberapa istilah yang dipakai oleh komunitas Kristen ketika berbicara tentang ibadahnya. Pertama, Service artinya pelayanan yaitu sesuatu yang dilakukan demi orang lain. Kedua, Office (ibadah) dari bahasa Latin officum artinya pelayanan atau tugas, juga digunakan untuk mengartikan suatu pelayanan ibadah. Ketiga, liturgy (liturgi) yang artinya sesuatu yang dilakukan demi kepentingan kota atau negara. Liturgi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang demi manfaat kepada orang lain. Dalam gereja Orthodoks Timur, kata “liturgi” dipakai dalam arti spesifik untuk ekaristi, namun gereja-gereja Barat menggunakan kata sifat “liturgis” untuk semua bentuk ibadah umum yang mempunyai hakikat mengajak semua yang hadir berpartisipasi. Keempat, worship yang berarti memberikan penghargaan atau penghormatan kepada seseorang.
Dalam Perjanjian Baru digunakan berbagai istilah untuk ibadah yang artinya pelayanan, ibadah atau kultus ( Rom 9:1; 12:1; Flp 3:3 ); pelayanan keagamaan atau ibadah ( Kis 26:5; Kol 2:18; Yak 1:26 ); pelayanan umat Allah kepada bangsa dan kepada umat Allah sendiri. Paulus mengaku bahwa oleh anugerah menjadi pelayan (leiturgos) Kristus untuk orang-orang kafir ( Rom 15:16 ).
Dari beberapa istilah yang dikemukakan di atas jelas bahwa ibadah itu pada dasarnya merupakan respon umat terhadap perjumpaannya dengan Tuhan dan sesama. Doa dan perbuatan adalah cara yang di dalamnya umat merespon perjumpaannya dengan Tuhan. Dengan demikian dalam ibadah terdapat aspek fungsional di mana di dalamnya kita berkomunikasi dengan Tuhan Allah dan kepada orang lain. Dalam ibadah Allah bertindak dalam pemberian diriNya melalui kata-kata manusia dan dengan tangan-tangan manusia, dan manusia memberikan dirinya kepada Allah melalui kata-kata serta tangannya. Artinya semua yang terjadi di dalam ibadah bergantung pada Allah, tetapi hal itu terjadi melalui instrumen-instrumen ucapan-ucapan manusia dan tubuh manusia, yang berlangsung dalam persekutuan yang penuh kasih sehingga seseorang itu dapat mengenal dirinya dan menyadari dan mengaku dosanya serta pengampunan dari Allah yang diimplementasikan dalam hubungan dengan sesama. Dengan merujuk pendapat G. Riemer ibadah sebagai pelayanan mencakup tiga aspek : pertama, pelayanan Allah kepada umat. Oleh RohNya yang kudus, Allah di dalam Kristus memberi pelayanan pendamaian kepada kita, dan itu dianugerahkan dalam Firman dan Sakramen yang di dalamnya kita memperoleh pembenaran dan kehidupan kekal ( bnd. 2 Kor 3:6,8-9; 5:18; Ef 3:7; Kol 1:25 ), kedua, pelayanan umat (kita) kepada Allah dalam doa, persembahan dan syukur; ketiga , pelayanan kita kepada persekutuan: kita saling bersekutu, berdoa bersama-sama untuk persekutuan seutuhnya, mendengar Firman bersama-sama, menyanyi dan memberi persembahan.
Karena itu ibadah Kristen adalah tindakan yang membutuhkan ruang yang di dalamnya umat dapat berkomunikasi dengan baik terhadap Allah dan sesama manusia apakah itu berkaitan dengan babtisan, Perjamuan (ekaristi), pemberkatan nikah, ibadah umum dan lain-lain. Semua aktifitas ibadah memerlukan ruang yang memungkinkan kedekatan untuk beribadah serta berpartisipasi di dalamnya dalam nama Allah. Untuk itu pada bagian berikut akan dibahas komponen-komponen ruang liturgis.

Komponen-Komponen Ruang Liturgis
Titik awal dalam penentuan ruang liturgis secara sederhana adalah kita berhimpun di “Gereja”. Orang-orang Kristen pada abad-abad pertama mungkin akan heran mendengar ungkapan yang lazim saat ini “kita beribadah di Gereja”, sebab tempat tempat orang Kristen mula-mula berkumpul untuk berdoa disebut domus ecclesiae “rumah Gereja”, rumah jemaat. Gereja adalah jemaat atau orang-orang beriman. Sekalipun tidak ditemukan bentuk gereja seperti sekarang ini dalam persekutuan atau ibadah jemaat mula-mula, namun yang pasti mereka selalu menentukan tempat untuk ibadah mereka. Dan hal yang utama adalah jemaat, bagaimana jemaat dapat berkumpul dan beribadah bersama. Karena itu dalam mempertimbangkan tata ruang dan segala peralatan liturgi yang ada di dalamnya harus tumbuh dari kesadaran bahwa ibadah adalah kegiatan jemaat yang berhimpun. Berangkat dari kesadaran seperti itu sebagian besar ibadah Kristen membutuhkan komponen-komponen ruang untuk beribadah.

1. Ruang Berkumpul (Gathering space)
Ruang berkumpul adalah merupakan satu ruang liturgis utama yang dibutuhkan, karena komunitas Kristen perlu berkumpul untuk beribadah sebagai sebuah kegiatan jemaat yang paling penting. Hal ini tebukti dari gereja mula-mula yang cukup bergairah beribadah, dan itu menumbuhkan semangat bersaksi bahkan martir demi Kristus. Ruang ini adalah ruang jemaat yang memiliki ukuran yang besar. Ruang berkumpul -menurut James White- merupakan tanda dikhususkannya persekutuan itu dari dunia luar yang di dalamnya individu-individu menjadi suatu persekutuan.
Dengan demikian ruang berkumpul bagi jemaat memiliki makna yang sangat mendalam dan teologis. Tetapi harus diwaspadai agar jangan terjadi pengkultusan ruang berkumpul tersebut, yang akhirnya menimbulkan sikap eksklusif dari jemaat, dan memisahkan ibadah dalam ruang berkumpul dengan aktifitas hidup sehari-hari. Jemaat sebagai Tubuh Kristus memang dikhususkan mengabdi kepada Kristus, tetapi dalam pengabdian itu justru jemaat diutus ke dalam dunia untuk mengemban misi Allah untuk menjaga dan memelihara kehidupan yang telah Dia berikan.

2. Ruang Untuk Bergerak (Movement Space )
Ruang untuk bergerak penting, sebab ibadah Kristen bukanlah ibadah yang statis tetapi menuntut gerak. Seluruh aktivitas dalam ibadah seperti berdoa, bernyanyi, prosesi, baptisan, ekaristi, persembahan, semuanya melibatkan gerakan yang berlanjut dari awal hingga akhir ibadah dan untuk itu membutuhkan penataan bangku-bangku, lorong-lorong di antara bangku serta persimpangan jalan.
Penataan bangku dan lorong di antara bangku-bangku penting, karena hal ini banyak mempengaruhi suasana ibadah. Apabila jemaat duduk dengan penataan bangku yang baik maka kemungkinan besar mereka akan mengikuti alur liturgi dengan tenang dan baik.

3. Ruang Paduan Suara (Choir space).
Ruang paduan suara merupakan ruang liturgis tersulit bagi arsitektur gereja, khususnya jika ada ketidakpastian tentang peran paduan suara dalam ibadah. Apabila paduan suara berperan hanya sesekali untuk menggantikan nyanyian jemaat pada bagian liturgi, ada yang berpendapat sebaiknya ruang khusus untuk paduan suara tidak perlu ditata khusus, sebab mereka bukanlah untuk menunjukkan suatu konser melalui nyanyian mereka. Tempat duduk mereka dapat bergabung dengan anggota jemaat. Tetapi apabila paduan suara berperan bersama-sama dengan pemain musik untuk memandu nyanyian jemaat, memang dibutuhkan ruang khusus bagi mereka dan ditempatkan bersama-sama dengan pemain musik.
Dengan kata lain, peran utama atau peran-peran yang diembankan kepada paduan suara akan menentukan lokasi dan rancang bangun tipe ruang ini.

4. Ruang Pembaptisan ( Baptismal space )
Tempat pembaptisan sering dipahami sebagai sebuah bak air atau kolam baptisan. Karena dalam ibadah baptisan telah menjadi upacara pribadi yang dilayankan di suatu sudut gereja. Ini menyebabkan jemaat kurang berfikir tentang arti ruang pembaptisan. Baptisan pada dasarnya adalah tindakan seluruh persekutuan, bukan hanya karena tindakan itu memperbanyak jumlah anggota jemaat, tetapi karena baptisan menjadi saksi atas fakta bahwa orang yang dibaptis (bersama-sama dengan anggota jemaat yang lain sebagai bagian dari satu tubuh Kristus) telah masuk ke dalam persekutuan dalam kematian dan kebangkitan Kristus ( Rm 6: 3-10 ).
Jadi baptisan melibatkan saluruh komunitas jemaat dan lingkungan keluarga yang lebih dekat serta para pendukung yang berkumpul sebagai sentral cinta kasih khusus di sekitar seseorang yang dibaptiskan. Dalam pengertian ruang, hal ini membutuhkan ruang untuk para calon dan peserta baptisan tanpa menghalangi partisipasi seluruh jemaat. Ada gereja yang menyediakan kamar khusus untuk menerima baptisan yang disebut kapel, tetapi bertolak dari pemahaman tentang baptisan sebagaimana diungkapkan di atas, pemisahan calon baptisan dari persekutuan jemaat secara keseluruhan tidak memiliki dasar teologis yang benar.

5. Ruang Meja Altar ( Altar Table Space )
Biasanya ruang ini merupakan ruang paling mencolok di dalam gedung gereja, yang sering mengaburkan jemaat akan perannya adalah untuk melayani, bukan mendominasi. Altar bukanlah merupakan sentral arsitektur bangunan gereja atau dipahami sebagai simbol Kristus. Bahkan ruang ini menjadi tempat di gereja yang tidak pernah didekati umat, mungkin dianggap memiliki makna magis. Ruang itu tetap lebih tinggi dan jauh dari tempat duduk anggota jemaat.
Karena peran ruang meja altar adalah untuk melayani maka perlu menghindari penghalang-penghalang seperti ketinggian yang berlebihan, kesilauan karena sinar langsung, perabotan yang terlalu besar ukurannya, pagar atau semacam pembatas yang membuat ruangan ini sebagai tempat suci yang terpencil dan terpisah. Ruang meja altar, memiliki fungsi bukan hanya sebagai tempat altar yang di atasnya diletakkan Alkitab, buku nyanyian ataupun perlengkapan sakramen, tetapi juga sebagai tempat untuk memimpin ibadah sehingga kelihatan dengan jelas kepada jemaat.

6. Ruang Konsistori
Hampir semua gereja menyediakan tempat seperti ini. Di Jerman tempat ini disebutkan dengan “Sakritei” (berasal dari kata Sacretarium atau tempat yang tersembunyi). Tempat ini digunakan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah, juga sebagai tempat penggembalaan bagi orang-orang yang membutuhkannya setelah ibadah selesai atau pada waktu-waktu tertentu. Umumnya ruang ini ditempatkan di bagian sudut belakang gedung gereja.

Dari komponen-komponen ruang ibadah yang telah diuraikan di atas terlihat hal yang mendasar dalam ibadah Kristen adalah persekutuan (perkumpulan) jemaat yang menggambarkan kesatuan di dalam Tubuh Kristus sebagai pusat ibadah Kristen. Karena itu tata ruang bangunan, yang ditata sebagai ruang berkumpul (pertemuan) mesti mempertimbangkan hal-hal yang memungkinkan orang yang beribadah terlibat aktif dalam kegiatan ibadah.

Tata Ruang Ibadah Yang Bermutu Dan Serasi
Ibadah adalah suatu tindakan yang melibatkan seluruh pribadi manusia : tubuh, perasaan, imajinasi, emosi, ingatan, hati, dengan kata lain totalitas manusia. Karena ibadah dilakukan dalam ruang tertentu, tidak bisa disangkal bahwa mutu dan keserasian ruang liturgis turut mempengaruhi pribadi seseorang berpartisipasi di dalam ibadah. Untuk itu sangat penting diperhatikan mutu dan keserasian ruang liturgis.
Mutu yang dimaksudkan di sini bukan hanya menyangkut kwalitas atau mahal tidaknya bahan yang dipergunakan untuk membuat komponen-komponen ruang liturgis yang ada, tetapi sejauh mana ruang itu “berbicara” kepada umat dan membangkitkan semangat gairah untuk senantiasa semakin menghayati makna persekutuan dalam ibadah itu di tengah kehidupannya sebagai pribadi maupun komunitas.
Itu berarti bahwa jemaat hadir dalam ruang ibadah bukan hanya untuk saling mengatakan sesuatu, atau apa arti dari sesuatu dalam persekutuan itu, tetapi melalui semua komponen ruang ibadah tersebut mereka belajar memahami pesan yang ditimbulkan oleh bentuk ruang ibadah itu bagi pertumbuhan spiritualitas mereka. Gedung gereja atau ruang ibadah bukan sekedar tempat ibadah, tetapi juga mengandung kesan kehadiran Allah dan sebagai tempat berkumpul.
Sedangkan keserasian adalah komponen ruang ibadah dan yang ada di dalamnya mampu melayani liturgi. Apakah ruang ibadah serasi melayani doa jemaat? Apakah tata cahaya diatur sedemikian rupa sehingga menunjang kekhusukan beribadah? Apakah ruang ibadah menarik, ramah, manusiawi? Ruangan yang serasi dengan bahan-bahan liturgis yang ada di dalamnya mengangkat semangat insani.
Bertolak dari pemahaman di atas penulis menawarkan tata ruang ibadah yang menurut pertimbangan penulis dapat memenuhi kriteria di atas.

1. Tempat duduk
Ruang ibadah harus dibedakan dengan teater. Dalam teater yang penting hanyalah bahwa orang dapat melihat ke satu titik (panggung). Lain halnya dengan ibadah. Dalam ibadah penting diperhatikan bahwa umat juga dapat melihat satu sama lain, bukan hanya melihat tengkuk salah seorang yang berada di depannya. Masing-masing anggota jemaat tidak merasa terlalu jauh dari apa yang sedang berlangsung dalam ibadah, sebab yang sedang berlangsung itu dilakukan secara bersama-sama; dalam ruangan tersebut orang dapat bergerak dengan leluasa.
Karena itu tempat duduk ditata sedemikian rupa sehingga umat sungguh merasa dirinya sebagai bagian satu jemaat dan dapat dengan mudah melibatkan diri dalam ibadah. Untuk itu bentuk dan susunan tempat duduk jemaat sebaiknya melingkar, sehingga mereka dapat saling memandang dan mengenal satu sama lain. Jika anggota jemaat jumlahnya sedikit dapat difikirkan ibadah tanpa kursi yaitu duduk di tikar seperti biasa dilakukan dalam kebaktian rumah tangga. Dalam kaitan itu, tempat duduk bagi para pelayan dirancang dan diatur sedemikian rupa, sehingga nampak bahwa merupakan bagian utuh dari jemaat yang berhimpun. Penempatannya juga haruslah sedemikian rupa, sehingga dapat dilihat dengan mudah oleh umat. Konkritnya, karena bentuk tempat duduk jemaat melingkar, baiklah tempat duduk pelayan ditempatkan di antara tempat duduk jemaat. Tidak perlu mempersiapkan jenis tempat duduk yang khusus bagi pelayan yang berbeda dari tempat duduk jemaat, sebab hal itu juga menimbulkan kesan bahwa pelayan tersebut memiliki kelas atau tingkat derajat kemanusiaan yang lebih tinggi dari jemaat.

2. Tempat Pemberitaan Firman (Homili)
Bagi gereja-gereja Lutheran, ada yang unik mengenai letak atau tempat untuk memberitakan Firman. Tempat itu sedikit agak ditinggikan dan tersendiri jauh dari tempat duduk jemaat. A.A. Sitompul mengatakan bahwa makna penempatan sedemikian menandakan bahwa pusat dari ibadah itu adalah pemberitaan Firman Tuhan dan bahwa Firman Tuhan yang memiliki posisi yang tertinggi dalam kehidupan jemaat. Memang sentralitas Firman Tuhan diakui dalam ibadah, tetapi membuat tempat menyampaikan Firman lebih tinggi dan jaraknya jauh ( 4-5 meter) dari jemaat justru mengganggu efektifitas penerimaan jemaat atas homili yang disampaikan. Jemaat akan merasa ada jarak antara pelayan dengan mereka, ditambah lagi perhatian bisa terganggu karena harus mengarahkan mata ke atas di mana pelayan menyampaikan Firman Tuhan.
Bila bentuk tempat duduk jemaat sudah dibuat melingkar, sebaiknya tempat pelayan menyampaikan Firman berada di pusat lingkaran, dan bentuk podiumnya dirancang sedemikian rupa sehingga pelayan bisa leluasa bergerak menyapa anggota jemaat.

3. Altar
Altar dirancang dan dibuat seanggun dan seindah mungkin. Di meja altar inilah diletakkan roti, anggur, buku-buku yang dipakai dalam ibadah umum ataupun khusus. Ukurannya hendaknya tidak terlalu panjang/besar, tetapi harus menarik, anggun, berwibawa. Kain yang digunakan untuk menutup altar disesuaikan dengan tahun gerejawi dan tata warna liturgi.

Tiga hal yang telah dipaparkan di atas merupakan bagian yang penting diperhatikan dalam merancang dan membangun sebuah gedung gereja. Hal-hal tersebut di atas tidak mengharuskan gedung gereja yang megah dan menakjubkan, tetapi yang paling penting adalah bagaimana arsitektur gereja dirancang untuk fungsi pelayanan. Dan satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah gereja berfungsi bukan hanya pada hari Minggu, tetapi juga pada hari-hari biasa. Karena itu ruang gereja perlu dibuka, untuk melayani setiap orang setiap hari.


Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, penulis mengambil kesimpulan :
1. Komunitas Kristen membutuhkan ruang atau tempat untuk berjumpa (beribadah) dengan Allah yang telah berinkarnasi itu. Dari segi fungsi, ibadah Kristen adalah umat berkomunikasi kepada Allah, berkomunikasi bagi Allah dan berkomunikasi kepada orang lain. Artinya ibadah Kristen adalah ibadah yang memerlukan ruang atau tempat. Tempat atau ruang dapat di mana saja, namun harus merupakan tempat yang direncanakan sedemikian rupa, sehingga jemaat dapat mengetahui di mana untuk bersekutu.

2. Dalam mempertimbangkan tata ruang ibadah, rancangan harus tumbuh dari kesadaran bahwa ibadah adalah kegiatan jemaat yang berhimpun. Beberapa komponen ruang liturgis yang semestinya ada di dalam sebuah gedung gereja, hendaknya memperhatikan aspek keserasian maupun keramahan. Sebab ruang yang ramah akan mengantar dan memupuk, bukan menghambat kegiatan manusia. Dengan demikian ruang dirancang memungkinkan anggota jemaat dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan ibadah dan merasakan bahwa masing-masing individu (termasuk pelayan) merupakan bagian dari persekutuan dalam Tubuh Kristus yang satu itu.

Daftar Pustaka
Abineno,J.L.Ch. Ibadah Jemaat dalam Perjanjian Baru. Jakarta : Gunung Mulia, 1960.
Forrester, Duncan. B. et.al. Encounter With God- An Introduction to Christian Worship and Practice. Edinburgh : T&T Clark, 1996.
Huck, Gabe. Liturgi yang Anggun dan Menawan, Yogyakarta: Kanisius, 2001
White, James.F. Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta : Gunung Mulia, 2002 .
Rachman,Rasid. Hari Raya Liturgi- Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja. Jakarta : Gunung Mulia, 2003.
Riemer, G. Cermin Injil, Ilmu Liturgi, Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995.
Sitompul, A.A. Bimbingan Tata Kebaktian Gereja, Suatu Studi Perbandingan. Pematangsiantar: t.p, 1993.

(Penulis adalah Pdt. Daniel Napitupulu, M.Min., tulisan ini dimuat di Buletin Narhasem Edisi Januari 2005)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Dengan hormat,

Untuk meningkatkan kemampuan Tim Engineering dalam mengatasi berbagai masalah sound system, berikut ini kami sampaikan undangan Training Sound System Jakarta pada tanggal 28-29 Agustus 2015.

Training ini diselenggarakan oleh Sound System School yang sudah melatih lebih dari 1900 SoundMan/Woman di seluruh Indonesia Adapun tujuan training bersertifikat ini adalah:
- Meningkatkan kepekaan mendengar (Golden Ear) peserta.
- Meningkatkan penguasaan dasar teori sound engineering dan perlengkapan sound baik analog maupun digital.
- Meningkatkan kemampuan peserta untuk mengatasi berbagai permasalahan Live-Sound yang muncul di lapangan.

Adapun bahan yang akan dilatih adalah: equalizer, setting, mic, line, mixer analog, mixer digital, golden ear, compressor, gate, delay, cancellation, mixing, feedback, layout, power, speaker, optimum gain, dan lain sebagainya. Untuk detil selengkapnya bisa dilihat di www.SoundSystemSchool.com.

Biaya training 2 hari adalah:
1 orang peserta: Rp. 1.800.000,- (satu juta delapan ratus ribu rupiah).
3 orang peserta: Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah).
5 orang peserta: Rp. 5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu rupiah)

Demikianlah surat undangan ini kami sampaikan, apabila ada informasi lain yang dibutuhkan dapat menghubungi kami di 08998100555, 021-93930555 atau soundsystemschool@gmail.com. Terima kasih.



Hormat kami,

Sekti
Manager