Sabtu, 03 Januari 2009

ARTIKEL: SEKILAS EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA

Lingkungan yang ada di sekitar kita adalah anugerah Tuhan yang besar bagi umat manusia. Dalam ajaran iman Kristen, jelas sekali Tuhan mengingini umat ciptaannya untuk memberdayakan dan melestarikan lingkungan dengan sebaik-baiknya. Namun, faktanya keinginan Tuhan tersebut tidak dapat diwujudnyatakan oleh umat manusia, di sana-sini kerap kali terjadi pengrusakan dan pencemaran lingkungan, termasuk di wilayah lingkungan hidup di Indonesia.
Indonesia dengan wilayah negara yang luas, tentu memiliki masalah lingkungan yang kompleks dan perlu mendapat perhatian serius. Terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia akan membawa dampak terhadap kehidupan rakyat Indonesia, bahkan juga rakyat negara tetangga kita. Lihatlah bagaimana Malaysia dan Singapura memprotes pemerintah Indonesia atas asap kebakaran hutan Indonesia yang datang ke wilayah negara tersebut.
Jikalau merusak dan mencemari lingkungan berdampak buruk bagi kegidupan umat manusia, mengapa manusia masih merusak dan mencemari lingkungan, apa motifnya? Patut diduga, motivasi manusia merusak dan mencemari lingkungan adalah keuntungan materi. Dengan segala motivasi dan tujuan keuntungan sesaat, –tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian dan dampaknya- manusia telah mengeksploitasi lingkungan diluar ambang batas kewajaran yang diperkenankan. Pepohonan di hutan ditebang tanpa ada upaya menanam kembali , sumber daya mineral digali dan diserap sementara limbah pertambangannya yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya. Dengan fakta tersebut, dari sudut pandang hukum, banyak orang bertanya: Indonesia telah memiliki perangkat hukum, namun kenapa hukum tersebut tidak dapat mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan. Singkatnya, apakah hukum lingkungan di Indonesia telah efektif ditegakan?
Bila membicarakan efektivitas hukum lingkungan berarti membicarakan daya kerja hukum lingkungan itu dalam mengatur dan/ atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum lingkungan. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Faktor-faktor tersebut adalah (1) kaidah hukum/ peraturan itu sendiri; (2) petugas/ penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat. Hal itu akan diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut.

1. Kaidah Hukum
Sebagai negara hukum, keberadaan kaidah hukum dalam berbagai bentuk peraturan di Indonesia adalah hal yang sudah semestinya ada. Keberlakuan hukum lingkungan di wilayah Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Hukum lingkungan tidak hanya terbentuk pada era Kemerdekaan saja melainkan telah ada sejak zaman Hindia Belanda dan Jepang. Hukum lingkungan yang dibuat oleh para regulator bertujuan agar lingkungan dapat dikelola dengan baik sehingga pemanfaatan dan kelestarian lingkungan dapat diupayakan semaksimal mungkin. Umumnya kaidah hukum lingkungan di Indonesia mencakup 4 (empat) bidang besar, yaitu:
a. Hukum Penataan Ruang (termasuk pengendalian penggunaan tanah dan sumber-sumber daya lingkungan);
b. Hukum Konservasi (hayati, non hayati, buatan, termasuk benda cagar budaya);
c. Hukum Kependudukan (termasuk kebutuhan sumber daya manusia);
d. Hukum Pencemaran Lingkungan (dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanggulangan pencemaran).
Dengan adanya kaidah hukum tersebut, diharapkan dapat menjadi dasar bagi negara dan masyarakat berpartisipasi secara maksimal dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia.

2. Petugas/ Penegak Hukum
Di Indonesia, keberadaan dan fungsi penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mendapat sorotan yang luas dari masyarakat. Masyarakat banyak menganggap penegak hukum tidak menerapkan hukum sesuai dengan aturannya, tidak transparan, bersifat pilih kasih, dan ini yang lebih parah penegak hukum dianggap sebagai aktor penunjang pengrusakan lingkungan hidup.
Berbagai kasus lingkungan yang berdampak besar bagi kerusakan lingkungan diduga ‘dibeking’ oleh aparat penegak hukum. Berbagai contoh kasus tersebut adalah:
a. Penulis dalam kesempatan perjalanan ke luar daerah pernah menyaksikan penambangan liar di suatu kawasan yang dijaga oleh aparat keamanan, padahal patut diduga pertambangan liar tersebut tanpa memiliki ijin Amdal dan ijin pertambangan lainnya yang terkait.
b. Pelaku “illegal logging’ yang kerap mendapat perlakuan istimewa dari aparat hukum, sampai-sampai aparat hukum membantu mencari cara bagaimana pelaku illegal logging tersebut dapat dihukum seringan-ringannya atau bahkan bebas dari jerat hukum. Hal ini dapat menjadi preseden buruk penegakan hukum lingkungan di Indonesia, padahal adanya ketentuan pidana yang diberlakukan diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku pengrusakan lingkungan. Dengan hukuman yang ringan mustahil pelaku illegal logging atau pelaku perusak lingkungan lainnya merasakan jera atas perbuatannya.
c. Kasus-kasus pengrusakan lingkungan ditangani oleh aparat secara tidak profesional dan tidak proporsional, misalnya kasus Lapindo yang menurut penulis lebih menitikberatkan pada sisi keperdartaannya saja yaitu adanya ganti rugi kepada pemilik lahan yang terkena lumpur panas, namun sisi hukum lainnya yang juga penting diabaikan misalnya sampai saat ini hukum pidana lingkungan yang harus diterapkan tidak dilaksanakan secara maksimal.
Memang ada juga prestasi dari penegak hukum dalam lingkungan hidup yang patut mendapat pujian dari masyarakat, namun hal tersebut tidak sebanding dengan perlakuan penegak hukum yang tidak menegakan hukum lingkungan secara benar dan konsekuen.
Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikan pula sebaliknya, apabila peraturannya buruk, sedangkan kualitas petugasnya baik, mungkin pula timbul masalah-masalah.

3. Sarana/ Fasilitas
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang cukup baik, bagiamana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat mengejar pelaku pengrusakan dan pencemaran lingkungan apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan pengejaran yang canggih dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya, ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan pada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.

4. Warga Masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat diungkapkan sebagai berikut.
1) Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum’ adalah tinggi maka peraturan ‘larangan merokok pada tempat umum” dimaksud, pasti akan berfungsi sehingga polusi udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat dapat dikurangi. Jikalau aturan ini ditaati secara tinggi maka tidak akan ada orang merokok di ‘non-smoking area’ melainkan di ‘smoking area’ (fasilitas perokok disediakan).
2) Apabila derajat kepatuhan rendah maka peraturan perihal larangan membuang sampah sembarangan yang disertai ancaman sanksi denda uang maupun hukuman kurungan, tidak akan berlaku secara efektif. Akibatnya lingkungan menjadi kotor, semrawut bahkan pada musim hujan menumpuknya sampah tidak pada tempatnya akan menimbulkan bencana banjir.
Berdasarkan dua contoh di atas, persoalannya adalah (1) apabila peraturan baik, sedangkan warga masyarakat tidak mematuhinya, faktor apakah yang menyebabkannya? (2) apabila peraturan itu baik serta petugas cukup berwibawa, fasilitas cukup, mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan?
Marilah kita koreksi diri masing-masing, apakah kita telah melaksanakan panggilan iman sesuai porsi dan posisi kita masing-masing baik sebagai penegak hukum lingkungan hidup ataupun masyarakat yang seharusnya patuh terhadap hukum lingkungan hidup. TUHAN MEMBERKATI.

Daftar Pustaka
Prof. Dr. M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2001).
R.M. Gatot P. Soemartono, S.E., S.H., M.M., Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004).
Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., M.L., Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000).
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Sosiologi Hukum, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2007).

(Penulis adalah Benny Manurung –Mantan Editor Buletin Narhasem-, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Oktober 2007)

Tidak ada komentar: