Butet menghadapi ujian semester. Agar bisa berkonsentrasi, dia memutuskan untuk menyepi ke villanya di Puncak. Setelah keluar dari jalan tol Jagorawi, Butet merasa lapar sehingga memutuskan untuk mampir di Pasaribu Cipanas. Beberapa pemuda tanggung langsung Hutasoit-soit melihat Butet yang seksi itu. Tapi Butet tidak peduli, dia jalan Sitorus memasuki rumah makan tanpa menanggapi. Naibaho ikan gurame yang dibakar dengan Batubara membuatnya semakin berselera. Apalagi diberi sambal terasi dan Nababan yang hijau segar. Setelah mengisi perut, Butet melanjutkan perjalanan. Ternyata jalan ke sana berbukit-bukit. Kadang Nainggolan, kadang Manurung. Di tepi jalan dilihatnya banyak Pohan. Kebanyakan Pohan Tanjung. Beberapa di antaranya ada yang Simatupang diterjang badai semalam. Setelah berButar-Butar cukup lama di jalan, akhirnya Butet sampai di villa, Butet membuka pintu mobil. Siregar sekali hawanya, berbeda dengan Jakarta yang Panggabean. Hembusan Perangin-angin pun sepoi-sepoi menyejukkan.Sejauh Simarmata memandang, warna hijau semuanya. Tidak ada tanah yang Girsang. Mulanya Butet ingin berenang. Tetapi yang ditemukannya hanyalah bekas kolam renang yang akan di-Hutauruk dengan Tambunan tanah. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjalan-jalan di kebun teh saja. Sedang asik-asiknya menikmati keindahan alam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh seekor ular yang sangat besar. "Sinaga!" teriaknya ketakutan sambil lari Sitanggang-langgang. Celakanya, dia malah terpeleset dari Tobing sehingga bibirnya Sihombing. Karuan Butet menangis Marpaung-paung lantaran kesakitan. Tetapi dia lantas ingat, bahwa sebagai orang Batak pantang untuk menangis. Dia harus Togar. Maka, dengan menguat-nguatkan diri, dia pergi ke puskesmas setempat untuk melakukan Panjaitan terhadap bibirnya. Mantri puskesmas tergopoh-gopoh Simangunsong di pintu untuk menolongnya. "Hm, ongkosnya Pangaribuan" kata sang mantri setelah memeriksa sejenak. "Itu terlalu mahal. Bagaimana kalau Napitupulu saja?" tawar si Butet. "Napitupulu terlalu murah. Pandapotan saya kan kecil". "Jangan begitulah. Masa' tidak Siahaan melihat bibir saya begini?" "Baiklah, tapi pakai jarum yang Sitompul saja" sahut sang mantri agak kesal. "Cepatlah! Aku sudah hampir Munthe. Saragih sedikit tidak apa-apalah". Malamnya, ketika sedang asik-asiknya belajar sambil makan kue Lubis kegemarannya, sayup-sayup dia mendengar lolongan Rajagukguk. Dia Bonar-Bonar ketakutan. Apalagi ketika mendengar suara di pintunya berbunyi "Poltak!" keras sekali. "Ada Situmorang?" tanya Butet sambil memegang stik Gultom erat-erat untuk menghadapi Sagala kemungkinan. Terdengar suara pelan, "Situmeang". "Sialan, cuma kucing..." desahnya lega. Dia sudah sempat berpikir yang Silaen-laen. Selesai belajar, Butet menyalakan televisi. Ternyata ada siaran Discovery Channel yang menampilkan Hutabarat Amazon serta Simamora, gajah Purba yang berbulu lebat. Saat commercial break, muncul Gus Dur yang terkenal dengan seruannya, "Simanjuntak gentar, Sinambela yang benar!" * * * Keesokan harinya, Butet kembali ke Jakarta dan langsung pergi ke kampus. Di depan ruang ujian dia membaca tulisan: "Harahap tenang! Ada ujian." Butet bergumam, "Aku kan Marpaung. Boleh ribut dong".
(Penulis tidak diketahui, dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juni 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar