Berbicara mengenai penggunaan ulos dalam masyarakat Batak adalah hal yang menarik, bukan hanya karena peranan ulos sangat dominan dalam setiap kegiatan adat dalam masyarakat Batak Toba, tetapi karena akhir-akhir ini ada kontroversi pemahaman dan penafsiran tentang makna ulos di antara orang Kristen berlatar belakang Batak. Ada yang menerima dan ada yang menolak sama sekali penggunaannya (membakar ulos) dengan argumentasinya masing-masing. Dan yang menarik, baik yang menerima maupun yang menolak sama-sama mengaku bertolak dari Alkitab.
Bertolak dari permasalahan di atas saya melihat pentingnya suatu kajian dari sudut iman Kristen terhadap penggunaan ulos, yang dapat dipertanggungjawabkan secara teologis, apakah ulos itu boleh atau tidak digunakan dalam adat masyarakat Batak. Karena itulah saya memilih topik “Penggunaan ulos dalam adat masyarakat Batak Toba”. Saya membatasi diri hanya pada masyarakat Batak Toba sebagai salah satu sub-suku Batak (orang Batak terdiri dari Batak Toba, Angkola, Pakpak, Karo, Simalungun), dan masyarakat Batak Toba yang dimaksud dalam tulisan ini adalah orang-orang Batak yang sudah Kristen, sebab bagi orang Batak pra atau non Kristen, penggunaan ulos ini bukan masalah.
Asumsi dasar bagi saya adalah bahwa ulos sebagai hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu, mengandung makna ataupun pesan penting yang hendak disampaikan dalam penggunaannya. Karena itu dalam pembahasan ini saya akan mengawali dengan pembahasan pengertian, nama dan jenis ulos dalam masyarakat Batak, dilanjutkan dengan penggunaan ulos. Pada bagian ke empat penggunaan ulos disoroti dari sudut pandang teologis etis Kristen, ditutup dengan kesimpulan dan refleksi.
2. Pengertian, Nama Dan Jenis Ulos Batak
Ulos adalah sejenis pakaian yang berbentuk selembar kain tenunan khas Batak dengan pola dan ukuran tertentu yang digunakan untuk melindungi tubuh. Menurut catatan beberapa ahli tekstil, ulos dikenal masyarakat Batak pada abat 14 sejalan dengan masuknya alat tenun dari India. Artinya, sebelum masuknya alat tenun ke tanah Batak, masyarakat Batak belum mengenal ulos. Dan dengan demikian belum juga ada budaya memberi dan menerima ulos (mangulosi = mengenakan ulos) sebagaimana yang sering dilakukan masyarakat Batak pada acara-acara adat. Jadi dapat dikatakan ulos adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu.
Ulos Batak diberi nama berdasarkan besar dan kecilnya ulos, dan berdasarkan teknik pembuatan dan lukisan/hiasan yang dituangkan di dalam ulos, yaitu: (1). Ulos Pinunsasaan (ulos besar yang merupakan induknya ulos). (2). Ragi idup (ragi hidup) (3). Ulos Sibolang (ulos berwarna-warni/belang). (4). Sitoluntuho (ulos dengan tiga garis). (5). Mangiring (ulos kecil untuk gendongan anak kecil). (6). Bintang Maratur (ulos besar, bintang teratur). (7). Ragi Hotang (ragi yang kuat-ulos kecil). Masih banyak lagi nama-nama ulos di luar yang tujuh ini, tetapi yang masih ada dan sering digunakan hingga saat ini hanyalah yang telah disebutkan di atas.
Ditinjau dari segi fungsi pemakaian ulos, ada banyak jenis ulos yakni: (1). Ulos Pasupasu (ulos berkat -diserahkan pada saat penyampaian doa berkat). (2). Ulos Parhehe (ulos membangkitkan semangat- dikenakan di atas bahu). (3). Ulos Pargomos (ulos sebagai tali di kepala). (4). Ulos Parhibas (sikap siaga-diikatkan di pinggang). (5). Ulos Parompa (Pengayom- digunakan menggendong). (6). Ulos Pangapul (penghiburan - diberikan kepada orang yang berduka). (7). Ulos Bulangbulang (menobatkan pemimpin-diberi kepada pemimpin atau orang yang berjasa banyak). (8). Ulos Pansamot, diberikan orang tua pengantin wanita kepada orang tua pengantin laki-laki. (9). Ulos Hela (ulos menantu), diberikan orang tua pengantin wanita kepada kedua mempelai. (10). Ulos Saput (pembalut) untuk orang yang meninggal, diserahkan oleh pihak keluarga istri. (11). Ulos Tujung (penutup kepala), dikenakan oleh suami atau istri yang masih muda, yang ditinggalkan oleh pasangan hidupnya (meninggal). (12). Ulos Pargomgom (mengayomi) diberikan oleh kakek/nenek kepada cucunya. (13). Ulos Mulagabe/Tondi, diserahkan pihak orang tua si istri (hulahula) kepada menantu dan putrinya saat menunggu kelahiran anak. (14). Ulos Holong (kasih), pemberian dan sarana untuk mendoakan pengantin.
Di samping jenis yang disebutkan di atas, masih ada ulos na so ra buruk (ulos yang tidak pernah aus atau lapuk). Ini bukan dalam bentuk kain tenunan tetapi berbentuk in natura yakni sebidang tanah. Alasan pemberian nama ini bagi sebidang tanah yang diserahkan oleh pihak hulahula (orang tua si istri) kepada putri dan menantunya, tidak disinggung oleh Vergouwen dengan jelas. Menurut hemat saya ulos na so ra buruk (tanah) harus dipahami dalam arti simbolis, di mana tanah memiliki peran penting bagi manusia untuk kelangsungan hidupnya. Jadi tanah pemberian disebut sebagai ulos na so ra buruk menunjuk pada relasi sekaligus perhatian yang tidak akan pernah putus dari pihak hulahula kepada keluarga menantunya.
3. Penggunaan Ulos Dalam Acara Adat Batak
Pada awalnya ulos adalah merupakan pakaian sehari-hari masyarakat Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah melilitkannya di atas dada, sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya anak cukup melilitkannya di bawah dada. Ulos juga dipakai untuk memangku anak (parompa), selendang (sampesampe ) dan selimut di malam hari saat kedinginan.
Secara spesifik, pada masa pra-Kristen, ulos sehari-harinya dijadikan medium (perantara) pemberian berkat, seperti dari mertua atau hulahula kepada menantu, kakek- nenek kepada cucu, tulang (paman) kepada bere (anak dari saudaranya perempuan), raja kepada rakyat. Dalam perkembangan sejarah nenek moyang orang Batak, kostum atau tekstil (pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian pada acara adat Batak. Menurut Vergouwen, ulos menjadi satu di antara sarana yang dipakai oleh hulahula untuk mengalihkan sahala-(wibawa) nya kepada boru-(putri dan menantu) nya. Ulos itu dibentangkan menutupi badan bagian atas dari si penerima, diiringi dengan kata-kata “sai horas ma helanami maruloshon ulos on, tumpahon ni Ompunta martua Debata dohot tumpahon ni sahala nami” (selamat sejahteralah kau menantu kami, semoga peruntungan baik menjadi milikmu dengan memakai kain ini dan semoga berkat Tuhan yang awal dan sahala kami menopangmu) Sebagai imbalan pihak si penerima memberi piso dalam bentuk uang dan makanan.
Secara umum pemberian ulos dilaksanakan pada acara adat Batak yaitu: saat pernikahan; tujuh bulan ketika mengandung anak pertama; waktu kemalangan (meninggal). Pada acara pernikahan pihak hulahula memberikan tiga lembar ulos (dua helai untuk orang tua pengantin laki-laki: ulos pansamot dan pargomgom; satu helai untuk menantu yang disebut ulos hela). Ketika memberikan ulos pansamot pihak hulahula mengucapkan kata-kata yang mengandung pesan dan harapan:
“On ma ulos pansamot lae, asa gogo hamu mansamot tu joloanon, mangalului sipanganon ni borungku naung gabe parumaenmu, siulosi pahompu di anak, siulosi pahompu di boru, donganmu sarimatua” (Inilah ulos pansamot =mencari nafkah, agar kamu kuat mencari nafkah bagi kebutuhan puteri saya yang telah menjadi menantumu; ulos ini menghangatkan cucu laki-laki maupun perempuan, sebagai teman hingga akhir hayatmu). Demikian juga ketika memberikan ulos pargomgom disampaikan juga pesan dan harapan: “On ma ulos pargomgom di hamu, manggomgom pahompu anak, menggomgom pahompu boru situbuhonon ni parumaenmu tu joloanon. Horas ma hamu manggomgom parumaenmi” (Inilah ulos pargomgom= pengayom bagi kalian, mengayomi cucu laki-laki dan perempuan yang akan dilahirkan oleh menantumu pada hari yang akan datang. Selamatlah kalian mengayomi menantumu).
Acara adat kedua adalah pada masa-masa anak perempuan yang sudah menikah menunggu kelahiran anak pertama, yang disebut acara “pasahat ulos tondi/mulagabe”. Acara ini bertujuan untuk menguatkan jiwa dan semangat si wanita agar menjaga kehamilannya dengan baik, sekaligus permohonan kepada Tuhan agar si bayi dapat lahir dengan semalat demikian juga ibu yang melahirkannya. Vergouwen mensinyalir kain ini dianggap memiliki daya istimewa yang mampu melindungi dan memberikan berkat yang didambakan, dan akhirnya kain ini akan menjadi benda keramat bagi pemiliknya seketurunan. Apabila dilihat dari ungkapan atau syair yang disampaikan pihak hulahula pada saat menyerahkan ulos ini, apa yang disinyalir oleh Vergouwen nampaknya perlu dicermati dan ini nanti akan ditinjau pada bagian berikut. Kata-kata yang disampaikan pada penyerahan ulos ini:“ On ma ulos mula gabe di hamu, ulos sibahen na las badan dohot tondimuna. Asi ma roha ni Tuhan dipargogoi hamu, lumobi ho inang, asa tulus na taparsinta I jaloonmuna sian Tuhan. Horas ma hamu, horas ma hita paima haroan nanaeng pasahaton ni Tuhan di hita” (Inilah ulos mula gabe bagi kamu, ulos yang menghangatkan badan dan rohmu. Kiranya Tuhan memberi kekuatan khususnya bagi putriku, agar apa yang kita harapkan dapat terkabul. Selamatlah kalian, selamatlah kita menantikan kelahiran anak yang diberikan diberika oleh Tuhan).
Acara adat ketiga adalah pada waktu kemalangan (anggota keluarga meninggal dunia). Sesuai dengan fungsinya, ulos yang diserahkan oleh hulahula ada lima yakni : ulos parsirangan, ulos saput, ulos tujung, ulos sampetua, ulos holong. Ulos parsirangan adalah ulos penutup jenazah seorang yang belum berumah tangga. Makna pemberian ulos ini adalah sebagai tanda bahwa pihak hulahula tetap mengasihi yang meninggal hingga akhir hayatnya dan waktu meninggalpun diberangkatkan dengan baik. Ulos saput secara hurufiah berarti pembungkus. Ulos parsirangan dan ulos saput fungsinya sama, yaitu menutup jenazah dan maknanya pun sama. Hanya istilah yang membedakan, kalau bagi yang belum berkeluarga disebut ulos parsorangan dan diserahkan oleh saudara laki-laki dari si ibu yang kemalangan. Sedangkan bagi yang sudah berkeluarga disebut saput dan yang menyerahkan adalah orang tua dari sang isteri. Ulos tujung adalah yang dikerudungkan kepada suami atau isteri yang ditinggal mati. Bila seorang ibu ditinggal mati suami, maka hulahulanya yang memberikan tujung. Bila seorang bapak ditinggal mati isteri, maka tulang (saudara laki-laki dari orang tua si ibu) yang menyerahkan. Ulos ini sebagai tanda bahwa si isteri atau suami yang ditinggal mati sedang dalam keadaan berduka dan membutuhkan dukungan dari sanak-saudara dan sahabat untuk menguatkan serta membangkitkan semangatnya agar mampu menghadapi serta memenangkan dukacita tersebut. Ulos sampetua adalah ulos yang diberikan kepada seorang nenek atau kakek yang ditinggal mati oleh pasangannya. Kalau yang diberi itu namanya ulos tujung berarti masih ada kemungkinan untuk menikah, tetapi bila namanya ulos sampetua (sampai tua) itu berarti sampai akhir hayatnya tidak akan menikah lagi. Yang menyerahkan adalah saudara laki-laki dari orang tua si ibu atau suami yang ditinggal mati. Ulos holong adalah ulos yang diberikan kepada anak-anak almarhum/almarhumah dan dikenakan di atas pundak mereka. Makna pemberian ini adalah sekalipun orang tua mereka meninggal tetapi kasih dan kehangatan persekutuan dengan keluarga hulahula senantiasa terpelihara, seraya mendoakan mereka agar tetap dalam lindungan yang Maha Kuasa.
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa bagi orang Batak bukan ulos itu ansich yang terpenting, tetapi kata-kata (berkat atau pesan) yang disampaikan bersama-sama pada saat mengenakan ulos itu kepada orang yang seharusnya menerimanya. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan, bolehkah orang Kristen menggunakan ulos, yang merupakan penemuan orang Batak pra-Kristen? Apakah kalau ulos digunakan dalam acara-acara adat Batak bukan merupakan pelestarian sinkretisme yang berdampak pada merosotnya penghayatan kekristenan itu dalam kehidupan bergereja? Hal inilah yang akan dibahas pada bagian tinjauan etika Kristen terhadap penggunaan ulos Batak berikut ini.
4. Tinjauan Etika Kristen Terhadap Penggunaan Ulos Batak
Pergumulan mengenai penggunaan ulos Batak dalam acara adat masyarakat Batak yang sudah Kristen adalah pokok yang berkaitan dengan hubungan iman dan adat istiadat. Karena itu dalam melakukan tinjauan ini penulis bertolak dari uraian Richard Niebuhr tentang lima sikap terhadap budaya sebagaimana dijelaskan oleh Gerrit Singgih. Kelima sikap tersebut (radikal, akomodatif,sintetik, dualistic dan transformatif) dirangkum oleh Gerrit dalam dua sikap besar yaitu: Konfirmasi dan konfrontasi (pembenaran dan pengecaman) dan keduanya ini berjalan bersama-sama. Kita tidak begitu saja menolak budaya dan adat istiadat, tetapi juga tidak serta merta menerima budaya dan adat istiadat yang ada. Dengan demikian iman diharapkan menjadi warna dan napas kebudayaan, sekaligus dengan itu ada sikap kritis dan selektif melihat hal-hal positif dari adat yang dapat dikembangkan untuk mendukung penghayatan dan pertumbuhan relasi orang Kristen dengan Tuhan dan sesama/lingkungannya. Sejalan dengan itu pula menolak nilai-nilai negatif dari adat yang dapat mengaburkan dan mengerdilkan penghayatan dan pertumbuhan relasi orang Kristen dengan Tuhan dan sesamanya.
Secara teologis Injil diproklamasikan Tuhan di tengah kehidupan konkret bangsa-bangsa lengkap dengan budaya. Sejak awal Allah mengungkapkan firmanNya dengan menggunakan budaya manusia, dan orang Kristen Batak pun menghayati iman Kristennya di tengah konteks kehidupannya yang berbudaya. Bila dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru Allah mempergunakan sarana seperti budaya yang ada dalam masyarakat di mana Firman Tuhan berbicara pada masa itu, agar dapat dipahami dan diterima serta diimani orang yang mendengarnya, bukankah orang Batak juga dimungkinkan untuk memakai budaya-adat istiadatnya dalam mendukung penghayatannya tentang imannya kepada Tuhan?. Menarik untuk disimak apa yang dikatakan oleh Coan Seng Song –seperti dikutip Anton Wessels: “Orang Kristen yang tidak dikaruniai mata ”Jerman” tidak boleh dihalangi untuk melihat Yesus dengan cara lain. Mereka harus melatih diri melihat Yesus melalui mata orang China, Jepang, Asia dan Amerika tentu juga dengan mata orang Batak.
Dalam kerangka pemahaman sedemikianlah penggunaan ulos Batak dalam acara-acara adat disoroti.
Simbol dan Makna
Dalam kegiatan adat Batak ada banyak simbol-simbol seperti nasi, ikan, beras, air termasuk ulos, yang memiliki makna religius-spiritual. Karena tulisan ini berbicara tentang ulos, maka dalam pokok bahasan ini yang dijelaskan adalah mengenai ulos. Dalam adat Batak pada dasarnya ulos adalah salah satu simbol dari kehangatan. Bagi orang Batak ada 3 simbol yang memberi kehangatan yaitu: matahari, api dan ulos. Dari ketiga simbol ini, ulos itulah yang paling nyaman dan akrab. Sebab kehangatan dari mata hari tidak selalu dapat diperoleh setiap waktu, demikian juga dengan api, bila terjadi kesalahan bisa membinasakan. Jadi makna dari simbol ulos dan mangulosi adalah memberi kehangatan kepada yang diulosi. Memberi kehangatan itu adalah karena adanya kasih sayang di antara yang memberi dan yang menerima. Dengan demikian ulos merupakan tanda bahwa di antara kedua pihak pemberi dan penerima, terdapat hubungan yang saling mengasihi dan saling menghormati. Tanda yang mengandung makna hubungan yang indah sekaligus berisi doa, pesan dan harapan untuk kebaikan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa sebenarnya bukan ulos itu an.sich yang menjadi sentral, tetapi kata-kata (pesan atau berkat) yang ingin disampaikan melalui medium ulos. Bukankah dalam tradisi iman Kristen juga diwarnai oleh tanda dan makna? Contoh adalah baptisan yang menggunakan air sebagai sarana untuk membaptis. Air bukanlah sentral dari baptisan, tetapi makna, pesan di balik penggunaan air. Air hanya sebagai tanda/simbol, sementara maknanya adalah bahwa orang yang dibaptis mendapat bagian dalam kematian Kristus dan dengan kebangkitan Kristus mendapat bagian dalam kebangkitan dan hidup yang baru ( Rm 6:3-11). Jadi air tidak memiliki kuasa magis dan bukan airnya yang memberi keselamatan atau hidup baru, melainkan Kristus sendiri.
Demikian juga halnya dengan ulos, sebagai hasil karya manusia dengan nuansa seni yang kaya dan indah, pada dasarnya tidaklah memiliki kekuatan magis. Sehingga ulos bukanlah merupakan sarana yang dapat dipakai hulahula untuk mengalihkan wibawanya kepada boru-nya. Ulos yang disampaikan pada acara pernikahan adalah suatu simbol hubungan yang akrab yang baru terjalin dan senantiasa berlangsung hingga akhir hayat dari kedua belah pihak dan sarana mengungkapkan permohonan kepada Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus, agar Dia yang memberikan perlindungan dan berkat bagi keluarga yang baru menikah. Terkait dengan pemberian ulos mulagabe atau ulos tondi, yang diberikan kepada wanita yang sedang mengandung anak pertama 5-7 bulan, harus ditegaskan bahwa istilah ulos tondi (roh) tidak memiliki dasar teologis dalam kekristenan. Sebab tidak ada seorang pun manusia yang dapat memelihara atau menyelamatkan roh seseorang, hanya Kristus sendiri satu-satunya Penyelamat (dalam Kitab Suci berbahasa Batak Toba disebutkan :” Ai Kristus I do diparuloshon hamu, naung tardidi dibagasan Kristus –Galatia 3:27). Karena itu baiklah dinamakan dengan “ulos mulagabe” (ulos awal mempunyai anak). Sekali lagi harus ditekankan, bukan ulos sebagai pelindung dan awal adanya anak pada keluarga tersebut, itu hanya sebagai tanda yang mengandung permohonan agar si ibu tetap dalam perlindungan Tuhan. Pemahaman sedemikin juga berlaku bagi pemberian ulos ketika terjadi kemalangan (meninggal dunia). Jenis dan alamat ulos (ulos parsirangan, saput, tujung, sampetua, ulos holong) kepada siapa disampaikan memiliki makna yang positif, menghibur orang yang kemalangan dan memberi dorongan agar tabah dan berpengharapan ke masa depan yang lebih baik di balik kemalangan yang dialami.
Dengan penjelasan di atas maka orang Kristen boleh menggunakan ulos dalam acara adat istiadat masyarakat Batak, dengan catatan semua yang dilaksanakan adalah memuliakan Tuhan bukan memuliakan sesama manusia. Ini yang harus diingat oleh pemberi ulos (hulahula) agar tidak menempatkan diri sebagai sumber berkat yang harus disanjung oleh yang menerima ulos (boru), tetapi senantiasa memposisikan diri sebagai manusia biasa yang memiliki kelemahan dan dosa, tetapi dilayakkan menjadi alat di tangan Tuhan menjadi berkat bagi keluarga dan lingkungan di mana dia tinggal. Demikian juga sebaliknya dari pihak yang menerima ulos, jangan melihat dan memperlakukan hulahula sebagai sumber berkat dan memiliki derajat kemanusiaan yang lebih tinggi. Di hadapan Tuhan manusia adalah sama-sama mahluk yang dikasihi dan diperlakukan sama di dalam kasihNya. Dengan demikian kita akan terhindar dari sikap mendewakan manusia dan budaya, tetapi juga terdorong untuk terus menerus memohon kepada Tuhan agar kiranya Dia berkenan menguduskan dan memakai adat itu sebagai salah satu sarana penyampaian kebenaran Firman Tuhan dan membangun komunitas masyarakat yang beriman dan berbudaya dengan benar.
5. Kesimpulan dan Refleksi
Dari seluruh uraian di atas jelas terlihat betapa pentingnya pemahaman yang benar akan makna suatu simbol atau tanda yang digunakan sebagai sarana dalam rangka relasi di antara orang Batak dengan segala upacara adat yang terdapat di dalamnya. Hal yang menarik di sini, ternyata ulos dengan segala nama dan jenisnya memiliki makna religius yang semunya memiliki kaitan dengan yang Maha Kuasa (Tuhan). Ulos bukan hanya sekedar penghangat tubuh atau penghias penampilan, melainkan mengandung makna dan harapan serta permohonan pada Tuhan demi kesejahteraan kerabat yang dikasihinya. Melalui upacara adat pemberian ulos ini, kasih Allah yang tidak terjangkau itu dapat dirasakan dalam relasi antara hulahula dengan boru, orang tua dengan anak, tulang dan bere. Dalam semua acara adat yang dilaksanakan tidak pernah terlepas dari relasi dengan yang Maha Kuasa. Itu berarti dalam acara adat penggunaan ulos diyakini Tuhan juga ikut campur tangan dan seluruh proses kehidupan yang dijalani seseorang.
Karena itu ulos Batak tidak boleh dibakar atau dianggap najis, sebab di dalam ulos tidak terkandung suatu penolakan terhadap kuasa Tuhan. Justru dengan menggunakan ulos dengan teratur berdasarkan nama dan fungsinya, spiritualitas seorang Kristen dapat bertumbuh ke arah yang lebih dewasa dan itu dapat menolongnya untuk semakin merasakan makna kasih Tuhan yang memperlakukan manusia secara manusiawi. Ini mendorong manusia untuk memperlakukan sesamanya dengan manusiawi hingga akhir hayatnya. Penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan dan religius terkandung dalam pemberian ulos Batak, dan dengan demikian terbuka kemungkinan Tuhan bekerja menyatakan kasihNya (termasuk menguduskannya) kepada manusia.
Daftar Pustaka
Anton Wessels, Memandang Yesus, Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks, (Yogyakarta dan Jakarta : Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 2000) , 40 . Bnd. J. Verkuyl, Etika Kristen, Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
Gens G.Malau, Aneka Ragam Budaya Batak, Jakarta: Yayasan Taotoba Nusabudaya, 2002.
H.P. Panggabean, dkk, Kekristenan dan Adat Budaya Batak dalam Perbincangan, Jakarta: Dian Utama, 2001.
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986.
Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2001.
NARWASTU Pembaruan, No.15/Sep.2004, (Jakarta: Narwastu, 2004.
Norman Perrin-Dennis C Duling, The New Testament An Introduction, New York: Harcourt Brace Jovanovic, INC, 1982.
W. Hutagalung, Adat Taringot tu Ruhut-ruhut ni Pardongan saripeon di Halak Batak, Jakarta: NV. Pusaka, t.t.
Richard Sinaga, dkk, Adat Budaya Batak dan Kekristenan, Jakarta: Dian Utama, 2000.
(Penulis adalah Pdt. Daniel Napitupulu, M.Min., tulisan ini dimuat di Buletin Narhasem Edisi Januari 2005)
Bertolak dari permasalahan di atas saya melihat pentingnya suatu kajian dari sudut iman Kristen terhadap penggunaan ulos, yang dapat dipertanggungjawabkan secara teologis, apakah ulos itu boleh atau tidak digunakan dalam adat masyarakat Batak. Karena itulah saya memilih topik “Penggunaan ulos dalam adat masyarakat Batak Toba”. Saya membatasi diri hanya pada masyarakat Batak Toba sebagai salah satu sub-suku Batak (orang Batak terdiri dari Batak Toba, Angkola, Pakpak, Karo, Simalungun), dan masyarakat Batak Toba yang dimaksud dalam tulisan ini adalah orang-orang Batak yang sudah Kristen, sebab bagi orang Batak pra atau non Kristen, penggunaan ulos ini bukan masalah.
Asumsi dasar bagi saya adalah bahwa ulos sebagai hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu, mengandung makna ataupun pesan penting yang hendak disampaikan dalam penggunaannya. Karena itu dalam pembahasan ini saya akan mengawali dengan pembahasan pengertian, nama dan jenis ulos dalam masyarakat Batak, dilanjutkan dengan penggunaan ulos. Pada bagian ke empat penggunaan ulos disoroti dari sudut pandang teologis etis Kristen, ditutup dengan kesimpulan dan refleksi.
2. Pengertian, Nama Dan Jenis Ulos Batak
Ulos adalah sejenis pakaian yang berbentuk selembar kain tenunan khas Batak dengan pola dan ukuran tertentu yang digunakan untuk melindungi tubuh. Menurut catatan beberapa ahli tekstil, ulos dikenal masyarakat Batak pada abat 14 sejalan dengan masuknya alat tenun dari India. Artinya, sebelum masuknya alat tenun ke tanah Batak, masyarakat Batak belum mengenal ulos. Dan dengan demikian belum juga ada budaya memberi dan menerima ulos (mangulosi = mengenakan ulos) sebagaimana yang sering dilakukan masyarakat Batak pada acara-acara adat. Jadi dapat dikatakan ulos adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu.
Ulos Batak diberi nama berdasarkan besar dan kecilnya ulos, dan berdasarkan teknik pembuatan dan lukisan/hiasan yang dituangkan di dalam ulos, yaitu: (1). Ulos Pinunsasaan (ulos besar yang merupakan induknya ulos). (2). Ragi idup (ragi hidup) (3). Ulos Sibolang (ulos berwarna-warni/belang). (4). Sitoluntuho (ulos dengan tiga garis). (5). Mangiring (ulos kecil untuk gendongan anak kecil). (6). Bintang Maratur (ulos besar, bintang teratur). (7). Ragi Hotang (ragi yang kuat-ulos kecil). Masih banyak lagi nama-nama ulos di luar yang tujuh ini, tetapi yang masih ada dan sering digunakan hingga saat ini hanyalah yang telah disebutkan di atas.
Ditinjau dari segi fungsi pemakaian ulos, ada banyak jenis ulos yakni: (1). Ulos Pasupasu (ulos berkat -diserahkan pada saat penyampaian doa berkat). (2). Ulos Parhehe (ulos membangkitkan semangat- dikenakan di atas bahu). (3). Ulos Pargomos (ulos sebagai tali di kepala). (4). Ulos Parhibas (sikap siaga-diikatkan di pinggang). (5). Ulos Parompa (Pengayom- digunakan menggendong). (6). Ulos Pangapul (penghiburan - diberikan kepada orang yang berduka). (7). Ulos Bulangbulang (menobatkan pemimpin-diberi kepada pemimpin atau orang yang berjasa banyak). (8). Ulos Pansamot, diberikan orang tua pengantin wanita kepada orang tua pengantin laki-laki. (9). Ulos Hela (ulos menantu), diberikan orang tua pengantin wanita kepada kedua mempelai. (10). Ulos Saput (pembalut) untuk orang yang meninggal, diserahkan oleh pihak keluarga istri. (11). Ulos Tujung (penutup kepala), dikenakan oleh suami atau istri yang masih muda, yang ditinggalkan oleh pasangan hidupnya (meninggal). (12). Ulos Pargomgom (mengayomi) diberikan oleh kakek/nenek kepada cucunya. (13). Ulos Mulagabe/Tondi, diserahkan pihak orang tua si istri (hulahula) kepada menantu dan putrinya saat menunggu kelahiran anak. (14). Ulos Holong (kasih), pemberian dan sarana untuk mendoakan pengantin.
Di samping jenis yang disebutkan di atas, masih ada ulos na so ra buruk (ulos yang tidak pernah aus atau lapuk). Ini bukan dalam bentuk kain tenunan tetapi berbentuk in natura yakni sebidang tanah. Alasan pemberian nama ini bagi sebidang tanah yang diserahkan oleh pihak hulahula (orang tua si istri) kepada putri dan menantunya, tidak disinggung oleh Vergouwen dengan jelas. Menurut hemat saya ulos na so ra buruk (tanah) harus dipahami dalam arti simbolis, di mana tanah memiliki peran penting bagi manusia untuk kelangsungan hidupnya. Jadi tanah pemberian disebut sebagai ulos na so ra buruk menunjuk pada relasi sekaligus perhatian yang tidak akan pernah putus dari pihak hulahula kepada keluarga menantunya.
3. Penggunaan Ulos Dalam Acara Adat Batak
Pada awalnya ulos adalah merupakan pakaian sehari-hari masyarakat Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah melilitkannya di atas dada, sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya anak cukup melilitkannya di bawah dada. Ulos juga dipakai untuk memangku anak (parompa), selendang (sampesampe ) dan selimut di malam hari saat kedinginan.
Secara spesifik, pada masa pra-Kristen, ulos sehari-harinya dijadikan medium (perantara) pemberian berkat, seperti dari mertua atau hulahula kepada menantu, kakek- nenek kepada cucu, tulang (paman) kepada bere (anak dari saudaranya perempuan), raja kepada rakyat. Dalam perkembangan sejarah nenek moyang orang Batak, kostum atau tekstil (pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian pada acara adat Batak. Menurut Vergouwen, ulos menjadi satu di antara sarana yang dipakai oleh hulahula untuk mengalihkan sahala-(wibawa) nya kepada boru-(putri dan menantu) nya. Ulos itu dibentangkan menutupi badan bagian atas dari si penerima, diiringi dengan kata-kata “sai horas ma helanami maruloshon ulos on, tumpahon ni Ompunta martua Debata dohot tumpahon ni sahala nami” (selamat sejahteralah kau menantu kami, semoga peruntungan baik menjadi milikmu dengan memakai kain ini dan semoga berkat Tuhan yang awal dan sahala kami menopangmu) Sebagai imbalan pihak si penerima memberi piso dalam bentuk uang dan makanan.
Secara umum pemberian ulos dilaksanakan pada acara adat Batak yaitu: saat pernikahan; tujuh bulan ketika mengandung anak pertama; waktu kemalangan (meninggal). Pada acara pernikahan pihak hulahula memberikan tiga lembar ulos (dua helai untuk orang tua pengantin laki-laki: ulos pansamot dan pargomgom; satu helai untuk menantu yang disebut ulos hela). Ketika memberikan ulos pansamot pihak hulahula mengucapkan kata-kata yang mengandung pesan dan harapan:
“On ma ulos pansamot lae, asa gogo hamu mansamot tu joloanon, mangalului sipanganon ni borungku naung gabe parumaenmu, siulosi pahompu di anak, siulosi pahompu di boru, donganmu sarimatua” (Inilah ulos pansamot =mencari nafkah, agar kamu kuat mencari nafkah bagi kebutuhan puteri saya yang telah menjadi menantumu; ulos ini menghangatkan cucu laki-laki maupun perempuan, sebagai teman hingga akhir hayatmu). Demikian juga ketika memberikan ulos pargomgom disampaikan juga pesan dan harapan: “On ma ulos pargomgom di hamu, manggomgom pahompu anak, menggomgom pahompu boru situbuhonon ni parumaenmu tu joloanon. Horas ma hamu manggomgom parumaenmi” (Inilah ulos pargomgom= pengayom bagi kalian, mengayomi cucu laki-laki dan perempuan yang akan dilahirkan oleh menantumu pada hari yang akan datang. Selamatlah kalian mengayomi menantumu).
Acara adat kedua adalah pada masa-masa anak perempuan yang sudah menikah menunggu kelahiran anak pertama, yang disebut acara “pasahat ulos tondi/mulagabe”. Acara ini bertujuan untuk menguatkan jiwa dan semangat si wanita agar menjaga kehamilannya dengan baik, sekaligus permohonan kepada Tuhan agar si bayi dapat lahir dengan semalat demikian juga ibu yang melahirkannya. Vergouwen mensinyalir kain ini dianggap memiliki daya istimewa yang mampu melindungi dan memberikan berkat yang didambakan, dan akhirnya kain ini akan menjadi benda keramat bagi pemiliknya seketurunan. Apabila dilihat dari ungkapan atau syair yang disampaikan pihak hulahula pada saat menyerahkan ulos ini, apa yang disinyalir oleh Vergouwen nampaknya perlu dicermati dan ini nanti akan ditinjau pada bagian berikut. Kata-kata yang disampaikan pada penyerahan ulos ini:“ On ma ulos mula gabe di hamu, ulos sibahen na las badan dohot tondimuna. Asi ma roha ni Tuhan dipargogoi hamu, lumobi ho inang, asa tulus na taparsinta I jaloonmuna sian Tuhan. Horas ma hamu, horas ma hita paima haroan nanaeng pasahaton ni Tuhan di hita” (Inilah ulos mula gabe bagi kamu, ulos yang menghangatkan badan dan rohmu. Kiranya Tuhan memberi kekuatan khususnya bagi putriku, agar apa yang kita harapkan dapat terkabul. Selamatlah kalian, selamatlah kita menantikan kelahiran anak yang diberikan diberika oleh Tuhan).
Acara adat ketiga adalah pada waktu kemalangan (anggota keluarga meninggal dunia). Sesuai dengan fungsinya, ulos yang diserahkan oleh hulahula ada lima yakni : ulos parsirangan, ulos saput, ulos tujung, ulos sampetua, ulos holong. Ulos parsirangan adalah ulos penutup jenazah seorang yang belum berumah tangga. Makna pemberian ulos ini adalah sebagai tanda bahwa pihak hulahula tetap mengasihi yang meninggal hingga akhir hayatnya dan waktu meninggalpun diberangkatkan dengan baik. Ulos saput secara hurufiah berarti pembungkus. Ulos parsirangan dan ulos saput fungsinya sama, yaitu menutup jenazah dan maknanya pun sama. Hanya istilah yang membedakan, kalau bagi yang belum berkeluarga disebut ulos parsorangan dan diserahkan oleh saudara laki-laki dari si ibu yang kemalangan. Sedangkan bagi yang sudah berkeluarga disebut saput dan yang menyerahkan adalah orang tua dari sang isteri. Ulos tujung adalah yang dikerudungkan kepada suami atau isteri yang ditinggal mati. Bila seorang ibu ditinggal mati suami, maka hulahulanya yang memberikan tujung. Bila seorang bapak ditinggal mati isteri, maka tulang (saudara laki-laki dari orang tua si ibu) yang menyerahkan. Ulos ini sebagai tanda bahwa si isteri atau suami yang ditinggal mati sedang dalam keadaan berduka dan membutuhkan dukungan dari sanak-saudara dan sahabat untuk menguatkan serta membangkitkan semangatnya agar mampu menghadapi serta memenangkan dukacita tersebut. Ulos sampetua adalah ulos yang diberikan kepada seorang nenek atau kakek yang ditinggal mati oleh pasangannya. Kalau yang diberi itu namanya ulos tujung berarti masih ada kemungkinan untuk menikah, tetapi bila namanya ulos sampetua (sampai tua) itu berarti sampai akhir hayatnya tidak akan menikah lagi. Yang menyerahkan adalah saudara laki-laki dari orang tua si ibu atau suami yang ditinggal mati. Ulos holong adalah ulos yang diberikan kepada anak-anak almarhum/almarhumah dan dikenakan di atas pundak mereka. Makna pemberian ini adalah sekalipun orang tua mereka meninggal tetapi kasih dan kehangatan persekutuan dengan keluarga hulahula senantiasa terpelihara, seraya mendoakan mereka agar tetap dalam lindungan yang Maha Kuasa.
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa bagi orang Batak bukan ulos itu ansich yang terpenting, tetapi kata-kata (berkat atau pesan) yang disampaikan bersama-sama pada saat mengenakan ulos itu kepada orang yang seharusnya menerimanya. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan, bolehkah orang Kristen menggunakan ulos, yang merupakan penemuan orang Batak pra-Kristen? Apakah kalau ulos digunakan dalam acara-acara adat Batak bukan merupakan pelestarian sinkretisme yang berdampak pada merosotnya penghayatan kekristenan itu dalam kehidupan bergereja? Hal inilah yang akan dibahas pada bagian tinjauan etika Kristen terhadap penggunaan ulos Batak berikut ini.
4. Tinjauan Etika Kristen Terhadap Penggunaan Ulos Batak
Pergumulan mengenai penggunaan ulos Batak dalam acara adat masyarakat Batak yang sudah Kristen adalah pokok yang berkaitan dengan hubungan iman dan adat istiadat. Karena itu dalam melakukan tinjauan ini penulis bertolak dari uraian Richard Niebuhr tentang lima sikap terhadap budaya sebagaimana dijelaskan oleh Gerrit Singgih. Kelima sikap tersebut (radikal, akomodatif,sintetik, dualistic dan transformatif) dirangkum oleh Gerrit dalam dua sikap besar yaitu: Konfirmasi dan konfrontasi (pembenaran dan pengecaman) dan keduanya ini berjalan bersama-sama. Kita tidak begitu saja menolak budaya dan adat istiadat, tetapi juga tidak serta merta menerima budaya dan adat istiadat yang ada. Dengan demikian iman diharapkan menjadi warna dan napas kebudayaan, sekaligus dengan itu ada sikap kritis dan selektif melihat hal-hal positif dari adat yang dapat dikembangkan untuk mendukung penghayatan dan pertumbuhan relasi orang Kristen dengan Tuhan dan sesama/lingkungannya. Sejalan dengan itu pula menolak nilai-nilai negatif dari adat yang dapat mengaburkan dan mengerdilkan penghayatan dan pertumbuhan relasi orang Kristen dengan Tuhan dan sesamanya.
Secara teologis Injil diproklamasikan Tuhan di tengah kehidupan konkret bangsa-bangsa lengkap dengan budaya. Sejak awal Allah mengungkapkan firmanNya dengan menggunakan budaya manusia, dan orang Kristen Batak pun menghayati iman Kristennya di tengah konteks kehidupannya yang berbudaya. Bila dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru Allah mempergunakan sarana seperti budaya yang ada dalam masyarakat di mana Firman Tuhan berbicara pada masa itu, agar dapat dipahami dan diterima serta diimani orang yang mendengarnya, bukankah orang Batak juga dimungkinkan untuk memakai budaya-adat istiadatnya dalam mendukung penghayatannya tentang imannya kepada Tuhan?. Menarik untuk disimak apa yang dikatakan oleh Coan Seng Song –seperti dikutip Anton Wessels: “Orang Kristen yang tidak dikaruniai mata ”Jerman” tidak boleh dihalangi untuk melihat Yesus dengan cara lain. Mereka harus melatih diri melihat Yesus melalui mata orang China, Jepang, Asia dan Amerika tentu juga dengan mata orang Batak.
Dalam kerangka pemahaman sedemikianlah penggunaan ulos Batak dalam acara-acara adat disoroti.
Simbol dan Makna
Dalam kegiatan adat Batak ada banyak simbol-simbol seperti nasi, ikan, beras, air termasuk ulos, yang memiliki makna religius-spiritual. Karena tulisan ini berbicara tentang ulos, maka dalam pokok bahasan ini yang dijelaskan adalah mengenai ulos. Dalam adat Batak pada dasarnya ulos adalah salah satu simbol dari kehangatan. Bagi orang Batak ada 3 simbol yang memberi kehangatan yaitu: matahari, api dan ulos. Dari ketiga simbol ini, ulos itulah yang paling nyaman dan akrab. Sebab kehangatan dari mata hari tidak selalu dapat diperoleh setiap waktu, demikian juga dengan api, bila terjadi kesalahan bisa membinasakan. Jadi makna dari simbol ulos dan mangulosi adalah memberi kehangatan kepada yang diulosi. Memberi kehangatan itu adalah karena adanya kasih sayang di antara yang memberi dan yang menerima. Dengan demikian ulos merupakan tanda bahwa di antara kedua pihak pemberi dan penerima, terdapat hubungan yang saling mengasihi dan saling menghormati. Tanda yang mengandung makna hubungan yang indah sekaligus berisi doa, pesan dan harapan untuk kebaikan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa sebenarnya bukan ulos itu an.sich yang menjadi sentral, tetapi kata-kata (pesan atau berkat) yang ingin disampaikan melalui medium ulos. Bukankah dalam tradisi iman Kristen juga diwarnai oleh tanda dan makna? Contoh adalah baptisan yang menggunakan air sebagai sarana untuk membaptis. Air bukanlah sentral dari baptisan, tetapi makna, pesan di balik penggunaan air. Air hanya sebagai tanda/simbol, sementara maknanya adalah bahwa orang yang dibaptis mendapat bagian dalam kematian Kristus dan dengan kebangkitan Kristus mendapat bagian dalam kebangkitan dan hidup yang baru ( Rm 6:3-11). Jadi air tidak memiliki kuasa magis dan bukan airnya yang memberi keselamatan atau hidup baru, melainkan Kristus sendiri.
Demikian juga halnya dengan ulos, sebagai hasil karya manusia dengan nuansa seni yang kaya dan indah, pada dasarnya tidaklah memiliki kekuatan magis. Sehingga ulos bukanlah merupakan sarana yang dapat dipakai hulahula untuk mengalihkan wibawanya kepada boru-nya. Ulos yang disampaikan pada acara pernikahan adalah suatu simbol hubungan yang akrab yang baru terjalin dan senantiasa berlangsung hingga akhir hayat dari kedua belah pihak dan sarana mengungkapkan permohonan kepada Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus, agar Dia yang memberikan perlindungan dan berkat bagi keluarga yang baru menikah. Terkait dengan pemberian ulos mulagabe atau ulos tondi, yang diberikan kepada wanita yang sedang mengandung anak pertama 5-7 bulan, harus ditegaskan bahwa istilah ulos tondi (roh) tidak memiliki dasar teologis dalam kekristenan. Sebab tidak ada seorang pun manusia yang dapat memelihara atau menyelamatkan roh seseorang, hanya Kristus sendiri satu-satunya Penyelamat (dalam Kitab Suci berbahasa Batak Toba disebutkan :” Ai Kristus I do diparuloshon hamu, naung tardidi dibagasan Kristus –Galatia 3:27). Karena itu baiklah dinamakan dengan “ulos mulagabe” (ulos awal mempunyai anak). Sekali lagi harus ditekankan, bukan ulos sebagai pelindung dan awal adanya anak pada keluarga tersebut, itu hanya sebagai tanda yang mengandung permohonan agar si ibu tetap dalam perlindungan Tuhan. Pemahaman sedemikin juga berlaku bagi pemberian ulos ketika terjadi kemalangan (meninggal dunia). Jenis dan alamat ulos (ulos parsirangan, saput, tujung, sampetua, ulos holong) kepada siapa disampaikan memiliki makna yang positif, menghibur orang yang kemalangan dan memberi dorongan agar tabah dan berpengharapan ke masa depan yang lebih baik di balik kemalangan yang dialami.
Dengan penjelasan di atas maka orang Kristen boleh menggunakan ulos dalam acara adat istiadat masyarakat Batak, dengan catatan semua yang dilaksanakan adalah memuliakan Tuhan bukan memuliakan sesama manusia. Ini yang harus diingat oleh pemberi ulos (hulahula) agar tidak menempatkan diri sebagai sumber berkat yang harus disanjung oleh yang menerima ulos (boru), tetapi senantiasa memposisikan diri sebagai manusia biasa yang memiliki kelemahan dan dosa, tetapi dilayakkan menjadi alat di tangan Tuhan menjadi berkat bagi keluarga dan lingkungan di mana dia tinggal. Demikian juga sebaliknya dari pihak yang menerima ulos, jangan melihat dan memperlakukan hulahula sebagai sumber berkat dan memiliki derajat kemanusiaan yang lebih tinggi. Di hadapan Tuhan manusia adalah sama-sama mahluk yang dikasihi dan diperlakukan sama di dalam kasihNya. Dengan demikian kita akan terhindar dari sikap mendewakan manusia dan budaya, tetapi juga terdorong untuk terus menerus memohon kepada Tuhan agar kiranya Dia berkenan menguduskan dan memakai adat itu sebagai salah satu sarana penyampaian kebenaran Firman Tuhan dan membangun komunitas masyarakat yang beriman dan berbudaya dengan benar.
5. Kesimpulan dan Refleksi
Dari seluruh uraian di atas jelas terlihat betapa pentingnya pemahaman yang benar akan makna suatu simbol atau tanda yang digunakan sebagai sarana dalam rangka relasi di antara orang Batak dengan segala upacara adat yang terdapat di dalamnya. Hal yang menarik di sini, ternyata ulos dengan segala nama dan jenisnya memiliki makna religius yang semunya memiliki kaitan dengan yang Maha Kuasa (Tuhan). Ulos bukan hanya sekedar penghangat tubuh atau penghias penampilan, melainkan mengandung makna dan harapan serta permohonan pada Tuhan demi kesejahteraan kerabat yang dikasihinya. Melalui upacara adat pemberian ulos ini, kasih Allah yang tidak terjangkau itu dapat dirasakan dalam relasi antara hulahula dengan boru, orang tua dengan anak, tulang dan bere. Dalam semua acara adat yang dilaksanakan tidak pernah terlepas dari relasi dengan yang Maha Kuasa. Itu berarti dalam acara adat penggunaan ulos diyakini Tuhan juga ikut campur tangan dan seluruh proses kehidupan yang dijalani seseorang.
Karena itu ulos Batak tidak boleh dibakar atau dianggap najis, sebab di dalam ulos tidak terkandung suatu penolakan terhadap kuasa Tuhan. Justru dengan menggunakan ulos dengan teratur berdasarkan nama dan fungsinya, spiritualitas seorang Kristen dapat bertumbuh ke arah yang lebih dewasa dan itu dapat menolongnya untuk semakin merasakan makna kasih Tuhan yang memperlakukan manusia secara manusiawi. Ini mendorong manusia untuk memperlakukan sesamanya dengan manusiawi hingga akhir hayatnya. Penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan dan religius terkandung dalam pemberian ulos Batak, dan dengan demikian terbuka kemungkinan Tuhan bekerja menyatakan kasihNya (termasuk menguduskannya) kepada manusia.
Daftar Pustaka
Anton Wessels, Memandang Yesus, Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks, (Yogyakarta dan Jakarta : Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 2000) , 40 . Bnd. J. Verkuyl, Etika Kristen, Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
Gens G.Malau, Aneka Ragam Budaya Batak, Jakarta: Yayasan Taotoba Nusabudaya, 2002.
H.P. Panggabean, dkk, Kekristenan dan Adat Budaya Batak dalam Perbincangan, Jakarta: Dian Utama, 2001.
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986.
Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2001.
NARWASTU Pembaruan, No.15/Sep.2004, (Jakarta: Narwastu, 2004.
Norman Perrin-Dennis C Duling, The New Testament An Introduction, New York: Harcourt Brace Jovanovic, INC, 1982.
W. Hutagalung, Adat Taringot tu Ruhut-ruhut ni Pardongan saripeon di Halak Batak, Jakarta: NV. Pusaka, t.t.
Richard Sinaga, dkk, Adat Budaya Batak dan Kekristenan, Jakarta: Dian Utama, 2000.
(Penulis adalah Pdt. Daniel Napitupulu, M.Min., tulisan ini dimuat di Buletin Narhasem Edisi Januari 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar