Ambisi, kemakmuran dan rasa aman kelihatannya bagaikan perpaduan yang sepadan dengan kesalehan. Akibatnya kemiskinan dipandang sebagai hukuman atas kesalahan atau dosa seseorang. Inilah stereotip lama yang berkembang dan mempengaruhi pola pikir serta sikap umat manusia terhadap realitas sosial yang dijalani. Hal ini terjadi karena pendekatan yang dilakukan seseorang (kelompok) yang tidak komprehensif dalam menelusuri nas-nas Alkitab yang berkenan dengan kekayaan dan kemiskinan.
Persoalannya adalah jika nas-nas Alkitab yang berbicara tentang kekayaan dan kemiskinan ditelusuri dapat menyebabkan kerancuan. Karena, nas tersebut kadang berbicara tentang kemiskinan sebagai kutuk, dan kekayaan sebagai berkat. Tetapi pada bagian lain, kemiskinan dipandang sebagai sebuah “tiket” masuk sorga, dan pada bagian lain kemiskinan dianggap sebagai aib. Kadang kata “miskin” dan “kaya” memiliki makna rohani, tetapi pada teks-teks yang lain menekankan kemiskinan dan kekayaan sebagai suatu realitas yang dapat dirasakan.
Hal seperti ini yang sering diabaikan oleh kelompok orang yang berupaya menggali teks Alkitab dalam menyikapi realitas sosial yang ada. Akibatnya terjadi penerapan makna yang tidak tepat dari suatu teks Alkitab untuk menilai serta menyikapi “kekayaan” dan “kemiskinan”. Untuk itulah lewat tulisan ini, kita akan menelusuri bagaimana sebetulnya konsep yang benar dari Alkitab tentang orang yang “kaya” dan “miskin”. Dengan upaya ini diharapkan kita dapat dengan benar menyikapi realitas kehidupan yang kita lihat dan alami.
2. Miskin dan Kaya sebagai Latar Belakang Sosial Alkitab
Persoalan miskin-kaya merupakan pergumulan yang tidak habis-habisnya sejak zaman penulis Alkitab hingga masa kini, dan para penulis Alkitab tersebut juga memiliki konsep dan pendekatan yang beraneka ragam sesuai dengan konteks masing-masing. Untuk itu perlu meninjau beberapa kosa kata yang berkaitan dengan kaya-miskin.
Dalam Perjanjian Lama ada beberapa kata yang berkaitan dengan orang miskin, antara lain: “ani” artinya orang yang membungkuk, hidup dalam keadaan rendah. Si miskin “ani” bukan berhadapan dengan si kaya, tetapi berhadapan dengan si penindas, pemakai kekerasan, yang menjerumuskan sesamanya ke dalam posisi yang rendah.
Kata yang dekat dengan “ani” adalah “anaw”. Kata ini berkonotasi makna rohani. Si “anaw” adalah orang yang rendah hati, yang merasa dirinya kecil (di hadapan Allah), dan lemah lembut. Kata yang digunakan untuk menyebut kelemahan jasmani dan kemiskinan materi disebut “dal” artinya berada pada posisi yang kurang baik. Di samping itu ada kata “ebyon” menunjuk orang yang berada pada posisi meminta (manusia selaku pengemis).
Kata-kata tersebut menunjuk pada keadaan-keadaan yang membutuhkan perubahan cepat. Dalam Amos 2:6-7 kata-kata tersebut di atas tampil dalam satu kalimat “karena mereka menjual orang benar (tsadiq) untuk uang, dan orang miskin (ebyon) karena sepasang kasut, mereka menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara”. Kalimat ini menunjukkan bagi Amos kemiskinan bukan suatu hal yang netral, dia justru menempatkan si miskin sejajar dengan orang yang adil.
Dalam Perjanjian Baru ada beberapa kata yang digunakan untuk melukiskan si miskin dan keadaannya. Kata yang paling umum adalah “ptokhos” -sama dengan “ani”- artinya menyelam sampai tidak kelihatan karena ketakutan. Ini menggambarkan tipe orang yang tergantung kepada bantuan dari luar, berserah pada pemberian sesamanya. Ada juga kata “penes” artinya orang yang harus bekerja keras seperti kuda demi bertahan hidup dengan kepala di atas air. Kalau si “ptokhos” tidak memiliki barang apapun, si “penes” harus sangat hemat. Si “penes” adalah orang miskin terhormat, si “ptokhos” hanya dapat mengulurkan tangannya ke atas. Bagi Yesus, justru “ptokhoi” adalah orang yang berbahagia (Mat. 5:3). Yesus menyebut si miskin “ptokhoi” berbahagia: mereka yang tak mengharapkan apa pun lagi dari dirinya sendiri, tidak mengharapkan apa-apa lagi dari kebaikannya, kesalehannya, kekuasaannya, kehormatannya dan kekayaannya. Dia adalah yang merasa sengsara sama sekali dan menyerahkan diri, sebagaimana keadaan mereka kepada Tuhan, Tuhan yang berbelas kasihan. Ketika seseorang melihat hidupnya dalam terang yang diberikan Tuhan Yesus, maka akan hancurlah keangkuhannya di hadapan kehidupan yang suci-murni, utuh dan tiada bercela itu.
Beberapa kosa kata yang dipaparkan di atas sebetulnya belum dapat mengungkapkan dengan jelas soal kemiskinan dan kekayaan. Untuk itulah penting meninjau konteks historis Alkitab. Berdasarkan fakta sejarah literatur Alkitab jelas bahwa bagi bangsa Israel kemiskinan berhubungan erat dengan sistem ekonomi dan struktur masyarakat pada zaman itu. Karena itulah dalam kitab Kejadian khususnya kata “miskin” tidak muncul tetapi istilah “kelaparan” (Kej.12:10; 41:27,31). Sebab, pada zaman para bapa leluhur dipahami harta kekayaan bukan suatu milik pribadi, tetapi kekayaan suku atau keluarga. Hal itu juga dipahami sebagai hasil jerih payah ketaatannya menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah.
Namun ketika hidup Israel beranjak dari pola hidup nomaden menjadi petani dan mereka bertempat tinggal tetap, hubungan-hubungan kepemilikan menjadi berubah. Kalau sebelumnya perbedaan-perbedaan ekonomis dan kelas-kelas sosial tidak ada karena keluarga satu kesatuan finansial, tetapi kini timbul kelas sosial dan kemiskinan menjadi masalah sosial. Hal ini diakibatkan oleh pemukiman di Kanaan di mana bangsa Israel beralih menjadi petani-petani kecil yang berdiri sendiri, mengelola, mengusahai sebidang tanah untuk dijadikan miliknya sendiri. Masing-masing hidup dari tanah yang diusahainya. Kalau tanah yang diusahainya tidak subur, panen gagal, dia menjadi miskin dan menjual dirinya sendiri serta keluarganya sebagai budak. Jadi persaingan hidup tidak lagi dalam rangka kebersamaan, tetapi mempertahankan dan memperkaya diri sendiri.
Corak hidup seperti ini menyebabkan sendi masyarakat menjadi berubah. Si miskin (tidak memiliki tanah) berhadapan dengan si kaya (pemilik tanah). Timbullah suatu kelompok aristokrasi yang makmur, tetapi di pihak lain rakyat miskin semakin bertambah jumlahnya. Jurang pemisah antara di kaya dan si miskin makin lebar. Dalam Perjanjian Baru pun si kaya sering disebut sebagai suatu golongan. Kritik diarahkan bukan hanya pada orang-orang kaya tertentu, tetapi pada golongan orang kaya yang telah memperkaya diri. Penginjil Lukas dan Yakobus adalah yang paling memberi perhatian terhadap persoalan ini. Lukas melihat bahwa orang kaya adalah petunjuk dari suatu mentalitas tententu dan dinilai negatif. Negatif bagi si miskin yang menjadi korban dari si kaya, tetapi negatif juga bagi si kaya yang menyia-nyiakan kemanusiaan dan komunikasinya dengan Injil (lih. Luk. 6:24; 8:14; 12:15,21-23). Yakobus juga melihat bahwa adanya golongan kaya dan miskin secara materi adalah karena mentalitas kerakusan dan penindasan (Yak. 1:1; 5:1).
3. Miskin-Kaya Secara Materi: Siapa yang diberkati Tuhan?
Dari uraian di atas jelas bahwa kemiskinan tidak timbul dengan sendirinya. Penyebabnya adalah kenyataan sosial ekonomi sudah berubah dan umat Allah masuk sergapan kultur agraris yang individualis, yang tertuju pada kepentingan keluarga. Karena itu kalau kita bertanya: siapakah yang diberkati oleh Tuhan, orang kaya atau orang miskin secara materi?, jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada sikap manusia dalam relasinya dengan harta miliknya dan dengan sesama serta kepada Tuhan. Kekayaan tidak pernah diakui sebagai tanda berkat, apabila kekayaannya ada karena ada orang yang dikorbankan. Dalam kekayaannnya yang demikian, justru kekayaannya menjadi perintang bagi jiwa dan keselamatannya sendiri masuk ke kerajaan Sorga. Contoh konkrit adalah cerita tentang raja Ahab dan Nabot (1 Raj.21). Ketika raja Ahab berkuasa sebagai raja, dia bertindak sewenang-wenang mengambil kebun anggur Nabot dengan menghadirkan saksi palsu untuk menghukum mati Nabot, Allah justru menghukum raja Ahab dan istrinya Isebel. Kekayaan dan kuasa yang dimiliki Nabot bukanlah bukti berkat Tuhan, tetapi buah dari keserakahan, dan kelobaan.
Sebaliknya, Ayub yang taat (saleh) di hadapan Tuhan (Ayb 1), kehilangan segala harta miliknya, anak-anaknya, dan dia tidur beralaskan debu karena penyakit yang dideritanya. Orang-orang pada zaman Ayub yakin akan adanya suatu hukum karma yang ditetapkan Tuhan yang adil. Orang baik dan saleh, orang berhikmat, pasti diganjar Tuhan. Mereka menjadi bahagia, makmur dan sejahtera serta berhasil dalam hidupnya. Sengsara (miskin) dan kemalangan untuk sementara dapat menimpa orang baik, tetapi itu hanya semacam ujian dan pencobaan. Pada akhirnya mereka akan diberkati oleh Tuhan dan menjadi bahagia. Sebaliknya: orang bodoh, jahat dan fasik pasti dihukum. Kalau pun mereka nampaknya bahagia dan sejahtera, namun itu hanya untuk sementara waktu saja dan kebahagiaannya semu belaka.
Pengalaman Ayub menunjukkan bahwa tidak selamanya kemiskinan (kesengsaraan) sebagai hukuman atau sebaliknya kekayaan secara materi sebagai bukti orang diberkati Tuhan. Sebab, nyata-nyata ditunjukkan bahwa Ayub adalah orang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Dengan demikian kategori diberkati oleh Tuhan bukan kepada semua orang kaya. Orang kaya disebut diberkati Tuhan sejauh kekayaannya itu bukan merupakan hasil pemerasan atau yang menyebabkan orang lain menjadi korban. Kekayaannya bukan menjadi penghalang untuk masuk sorga, sebab Alkitab tidak menolak manusia menikmati materi/barang-barang di bumi dalam koridor kejujuran, jauh dari pemerasan, penindasan terhadap sesama manusia.
Pengertian berkat atau diberkati tidak sesederhana memberi secara materi dan fisik. Kata berkat diterjemahkan dari kata “barakh” yang memiliki arti hurufiah memelihara hubungan yang mendalam dan akrab dengan Tuhan dan sesama. Jadi sekalipun seseorang tidak memiliki harta yang melimpah, atau kesuksesan secara materi dalam hidupnya, jika seseorang tetap dalam relasi yang mendalam dan akrab dengan Tuhan dan sesama, orang tersebut juga disebut sebagai orang yang diberkati Tuhan. Sebaliknya, sekalipun bagi seseorang melimpah harta dan kekayaan secara materi, tetapi semuanya diperoleh tanpa memperdulikan relasinya dengan Tuhan dan psinsip keadilan, kejujuran, dan kasih, keadaan tersebut bukanlah tanda hidup yang diberkati oleh Tuhan.
Dengan demikian sukses atau kaya secara materi tidak identik dengan berkat Tuhan, sebaliknya miskin atau sengsara tidak identik dengan kutuk/karma. Sebab, bisa saja orang korupsi, merampas hak milik orang lain sehingga dia kaya. Kalau kita bercermin pada kitab Ayub ternyata iblis juga memiliki kuasa untuk memberi dan mengambil kekayaan seseorang. Demikian juga kesaksian Injil Lukas (Luk.4:1-11), iblis juga menunjukkan bagi pada dirinya ada kuasa untuk memberikan kekuasaan atau kebesaran (kesuksesan) secara melimpah, kalau manusia mau bertekuk lutut di hadapannya.
Demikian juga dengan keadaan miskin, hendaknya tidak serta merta dinilai sebagai akibat dari kutuk Tuhan. Sebab, Kristus juga rela menjadi miskin, mengosongkan diri-Nya dari kemuliaan dan kebesaran-Nya demi keselamatan orang-orang yang dikasihi-Nya (bnd. Flp. 2:6-8). Via Dolorosa (jalan salib) yang ditempuh oleh Yesus untuk menyelamatkan orang berdosa merupakan bukti bahwa kesengsaraan, kegagalan dalam mencapai hal yang dicita-citakan di dunia tidak selamanya karena tindakan kita yang salah atau bertentangan dengan Firman Tuhan. Kemiskinan dan kesengsaraan Yesus justru menjadi berkat bagi orang-orang yang hidupnya dikendalikan oleh egoisme, pembesaran diri. Hal ini merupakan cermin bagi kita dalam melihat dan menyikapi persoalan kaya-miskin. Karena itu, hendaknya orang miskin secara materi tidak salah menempatkan diri seolah-olah dalam kemiskinannya Tuhan akan otomatis memasukkannya ke sorga kelak. Orang yang miskin secara materi, kalau dalam kemiskinannya menjadi tertutup kepada campur tangan Tuhan dan menyerah pada nasib, dia tidak akan mewearisi kerajaan sorga.
Persoalannya adalah, bagaimana agar dalam relasi umat manusia dengan sesama dan Tuhan tidak semata-mata bertolak pada takaran kaya-miskin secara materi? Kuncinya adalah semua orang semestinya hidup dalam azas Kerajaan Allah yakni penyerahan diri secara total kepada kasih dan keadilan Tuhan. Dengan azas ini relasi antarpribadi dan kelompok berlangsung dalam ikatan persaudaraan yang saling memperhatikan, saling mendukung, dan saling menguatkan satu dengan yang lain.
Daftar Pustaka:
A.B. Davidson, The Analitical Hebrew and Chaldes Lexicon, New York: Harper & Row, 1962.
Andar Ismail, Selamat Berkarya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-8, 2001.
J. Verkuyl, Khotbah di Bukit, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-9, 2002.
L. Coenen, The New International Dictionary of New Testament II, Americana: Paternoster Press, 1979.
S.A.E. Nababan, Iman dan Kemiskinan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.
Wolfgang Stegeman, Injil dan Orang-orang Miskin, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
(Penulis adalah Pdt. Daniel Napitupulu, M.Min., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2005)
Persoalannya adalah jika nas-nas Alkitab yang berbicara tentang kekayaan dan kemiskinan ditelusuri dapat menyebabkan kerancuan. Karena, nas tersebut kadang berbicara tentang kemiskinan sebagai kutuk, dan kekayaan sebagai berkat. Tetapi pada bagian lain, kemiskinan dipandang sebagai sebuah “tiket” masuk sorga, dan pada bagian lain kemiskinan dianggap sebagai aib. Kadang kata “miskin” dan “kaya” memiliki makna rohani, tetapi pada teks-teks yang lain menekankan kemiskinan dan kekayaan sebagai suatu realitas yang dapat dirasakan.
Hal seperti ini yang sering diabaikan oleh kelompok orang yang berupaya menggali teks Alkitab dalam menyikapi realitas sosial yang ada. Akibatnya terjadi penerapan makna yang tidak tepat dari suatu teks Alkitab untuk menilai serta menyikapi “kekayaan” dan “kemiskinan”. Untuk itulah lewat tulisan ini, kita akan menelusuri bagaimana sebetulnya konsep yang benar dari Alkitab tentang orang yang “kaya” dan “miskin”. Dengan upaya ini diharapkan kita dapat dengan benar menyikapi realitas kehidupan yang kita lihat dan alami.
2. Miskin dan Kaya sebagai Latar Belakang Sosial Alkitab
Persoalan miskin-kaya merupakan pergumulan yang tidak habis-habisnya sejak zaman penulis Alkitab hingga masa kini, dan para penulis Alkitab tersebut juga memiliki konsep dan pendekatan yang beraneka ragam sesuai dengan konteks masing-masing. Untuk itu perlu meninjau beberapa kosa kata yang berkaitan dengan kaya-miskin.
Dalam Perjanjian Lama ada beberapa kata yang berkaitan dengan orang miskin, antara lain: “ani” artinya orang yang membungkuk, hidup dalam keadaan rendah. Si miskin “ani” bukan berhadapan dengan si kaya, tetapi berhadapan dengan si penindas, pemakai kekerasan, yang menjerumuskan sesamanya ke dalam posisi yang rendah.
Kata yang dekat dengan “ani” adalah “anaw”. Kata ini berkonotasi makna rohani. Si “anaw” adalah orang yang rendah hati, yang merasa dirinya kecil (di hadapan Allah), dan lemah lembut. Kata yang digunakan untuk menyebut kelemahan jasmani dan kemiskinan materi disebut “dal” artinya berada pada posisi yang kurang baik. Di samping itu ada kata “ebyon” menunjuk orang yang berada pada posisi meminta (manusia selaku pengemis).
Kata-kata tersebut menunjuk pada keadaan-keadaan yang membutuhkan perubahan cepat. Dalam Amos 2:6-7 kata-kata tersebut di atas tampil dalam satu kalimat “karena mereka menjual orang benar (tsadiq) untuk uang, dan orang miskin (ebyon) karena sepasang kasut, mereka menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara”. Kalimat ini menunjukkan bagi Amos kemiskinan bukan suatu hal yang netral, dia justru menempatkan si miskin sejajar dengan orang yang adil.
Dalam Perjanjian Baru ada beberapa kata yang digunakan untuk melukiskan si miskin dan keadaannya. Kata yang paling umum adalah “ptokhos” -sama dengan “ani”- artinya menyelam sampai tidak kelihatan karena ketakutan. Ini menggambarkan tipe orang yang tergantung kepada bantuan dari luar, berserah pada pemberian sesamanya. Ada juga kata “penes” artinya orang yang harus bekerja keras seperti kuda demi bertahan hidup dengan kepala di atas air. Kalau si “ptokhos” tidak memiliki barang apapun, si “penes” harus sangat hemat. Si “penes” adalah orang miskin terhormat, si “ptokhos” hanya dapat mengulurkan tangannya ke atas. Bagi Yesus, justru “ptokhoi” adalah orang yang berbahagia (Mat. 5:3). Yesus menyebut si miskin “ptokhoi” berbahagia: mereka yang tak mengharapkan apa pun lagi dari dirinya sendiri, tidak mengharapkan apa-apa lagi dari kebaikannya, kesalehannya, kekuasaannya, kehormatannya dan kekayaannya. Dia adalah yang merasa sengsara sama sekali dan menyerahkan diri, sebagaimana keadaan mereka kepada Tuhan, Tuhan yang berbelas kasihan. Ketika seseorang melihat hidupnya dalam terang yang diberikan Tuhan Yesus, maka akan hancurlah keangkuhannya di hadapan kehidupan yang suci-murni, utuh dan tiada bercela itu.
Beberapa kosa kata yang dipaparkan di atas sebetulnya belum dapat mengungkapkan dengan jelas soal kemiskinan dan kekayaan. Untuk itulah penting meninjau konteks historis Alkitab. Berdasarkan fakta sejarah literatur Alkitab jelas bahwa bagi bangsa Israel kemiskinan berhubungan erat dengan sistem ekonomi dan struktur masyarakat pada zaman itu. Karena itulah dalam kitab Kejadian khususnya kata “miskin” tidak muncul tetapi istilah “kelaparan” (Kej.12:10; 41:27,31). Sebab, pada zaman para bapa leluhur dipahami harta kekayaan bukan suatu milik pribadi, tetapi kekayaan suku atau keluarga. Hal itu juga dipahami sebagai hasil jerih payah ketaatannya menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah.
Namun ketika hidup Israel beranjak dari pola hidup nomaden menjadi petani dan mereka bertempat tinggal tetap, hubungan-hubungan kepemilikan menjadi berubah. Kalau sebelumnya perbedaan-perbedaan ekonomis dan kelas-kelas sosial tidak ada karena keluarga satu kesatuan finansial, tetapi kini timbul kelas sosial dan kemiskinan menjadi masalah sosial. Hal ini diakibatkan oleh pemukiman di Kanaan di mana bangsa Israel beralih menjadi petani-petani kecil yang berdiri sendiri, mengelola, mengusahai sebidang tanah untuk dijadikan miliknya sendiri. Masing-masing hidup dari tanah yang diusahainya. Kalau tanah yang diusahainya tidak subur, panen gagal, dia menjadi miskin dan menjual dirinya sendiri serta keluarganya sebagai budak. Jadi persaingan hidup tidak lagi dalam rangka kebersamaan, tetapi mempertahankan dan memperkaya diri sendiri.
Corak hidup seperti ini menyebabkan sendi masyarakat menjadi berubah. Si miskin (tidak memiliki tanah) berhadapan dengan si kaya (pemilik tanah). Timbullah suatu kelompok aristokrasi yang makmur, tetapi di pihak lain rakyat miskin semakin bertambah jumlahnya. Jurang pemisah antara di kaya dan si miskin makin lebar. Dalam Perjanjian Baru pun si kaya sering disebut sebagai suatu golongan. Kritik diarahkan bukan hanya pada orang-orang kaya tertentu, tetapi pada golongan orang kaya yang telah memperkaya diri. Penginjil Lukas dan Yakobus adalah yang paling memberi perhatian terhadap persoalan ini. Lukas melihat bahwa orang kaya adalah petunjuk dari suatu mentalitas tententu dan dinilai negatif. Negatif bagi si miskin yang menjadi korban dari si kaya, tetapi negatif juga bagi si kaya yang menyia-nyiakan kemanusiaan dan komunikasinya dengan Injil (lih. Luk. 6:24; 8:14; 12:15,21-23). Yakobus juga melihat bahwa adanya golongan kaya dan miskin secara materi adalah karena mentalitas kerakusan dan penindasan (Yak. 1:1; 5:1).
3. Miskin-Kaya Secara Materi: Siapa yang diberkati Tuhan?
Dari uraian di atas jelas bahwa kemiskinan tidak timbul dengan sendirinya. Penyebabnya adalah kenyataan sosial ekonomi sudah berubah dan umat Allah masuk sergapan kultur agraris yang individualis, yang tertuju pada kepentingan keluarga. Karena itu kalau kita bertanya: siapakah yang diberkati oleh Tuhan, orang kaya atau orang miskin secara materi?, jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada sikap manusia dalam relasinya dengan harta miliknya dan dengan sesama serta kepada Tuhan. Kekayaan tidak pernah diakui sebagai tanda berkat, apabila kekayaannya ada karena ada orang yang dikorbankan. Dalam kekayaannnya yang demikian, justru kekayaannya menjadi perintang bagi jiwa dan keselamatannya sendiri masuk ke kerajaan Sorga. Contoh konkrit adalah cerita tentang raja Ahab dan Nabot (1 Raj.21). Ketika raja Ahab berkuasa sebagai raja, dia bertindak sewenang-wenang mengambil kebun anggur Nabot dengan menghadirkan saksi palsu untuk menghukum mati Nabot, Allah justru menghukum raja Ahab dan istrinya Isebel. Kekayaan dan kuasa yang dimiliki Nabot bukanlah bukti berkat Tuhan, tetapi buah dari keserakahan, dan kelobaan.
Sebaliknya, Ayub yang taat (saleh) di hadapan Tuhan (Ayb 1), kehilangan segala harta miliknya, anak-anaknya, dan dia tidur beralaskan debu karena penyakit yang dideritanya. Orang-orang pada zaman Ayub yakin akan adanya suatu hukum karma yang ditetapkan Tuhan yang adil. Orang baik dan saleh, orang berhikmat, pasti diganjar Tuhan. Mereka menjadi bahagia, makmur dan sejahtera serta berhasil dalam hidupnya. Sengsara (miskin) dan kemalangan untuk sementara dapat menimpa orang baik, tetapi itu hanya semacam ujian dan pencobaan. Pada akhirnya mereka akan diberkati oleh Tuhan dan menjadi bahagia. Sebaliknya: orang bodoh, jahat dan fasik pasti dihukum. Kalau pun mereka nampaknya bahagia dan sejahtera, namun itu hanya untuk sementara waktu saja dan kebahagiaannya semu belaka.
Pengalaman Ayub menunjukkan bahwa tidak selamanya kemiskinan (kesengsaraan) sebagai hukuman atau sebaliknya kekayaan secara materi sebagai bukti orang diberkati Tuhan. Sebab, nyata-nyata ditunjukkan bahwa Ayub adalah orang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Dengan demikian kategori diberkati oleh Tuhan bukan kepada semua orang kaya. Orang kaya disebut diberkati Tuhan sejauh kekayaannya itu bukan merupakan hasil pemerasan atau yang menyebabkan orang lain menjadi korban. Kekayaannya bukan menjadi penghalang untuk masuk sorga, sebab Alkitab tidak menolak manusia menikmati materi/barang-barang di bumi dalam koridor kejujuran, jauh dari pemerasan, penindasan terhadap sesama manusia.
Pengertian berkat atau diberkati tidak sesederhana memberi secara materi dan fisik. Kata berkat diterjemahkan dari kata “barakh” yang memiliki arti hurufiah memelihara hubungan yang mendalam dan akrab dengan Tuhan dan sesama. Jadi sekalipun seseorang tidak memiliki harta yang melimpah, atau kesuksesan secara materi dalam hidupnya, jika seseorang tetap dalam relasi yang mendalam dan akrab dengan Tuhan dan sesama, orang tersebut juga disebut sebagai orang yang diberkati Tuhan. Sebaliknya, sekalipun bagi seseorang melimpah harta dan kekayaan secara materi, tetapi semuanya diperoleh tanpa memperdulikan relasinya dengan Tuhan dan psinsip keadilan, kejujuran, dan kasih, keadaan tersebut bukanlah tanda hidup yang diberkati oleh Tuhan.
Dengan demikian sukses atau kaya secara materi tidak identik dengan berkat Tuhan, sebaliknya miskin atau sengsara tidak identik dengan kutuk/karma. Sebab, bisa saja orang korupsi, merampas hak milik orang lain sehingga dia kaya. Kalau kita bercermin pada kitab Ayub ternyata iblis juga memiliki kuasa untuk memberi dan mengambil kekayaan seseorang. Demikian juga kesaksian Injil Lukas (Luk.4:1-11), iblis juga menunjukkan bagi pada dirinya ada kuasa untuk memberikan kekuasaan atau kebesaran (kesuksesan) secara melimpah, kalau manusia mau bertekuk lutut di hadapannya.
Demikian juga dengan keadaan miskin, hendaknya tidak serta merta dinilai sebagai akibat dari kutuk Tuhan. Sebab, Kristus juga rela menjadi miskin, mengosongkan diri-Nya dari kemuliaan dan kebesaran-Nya demi keselamatan orang-orang yang dikasihi-Nya (bnd. Flp. 2:6-8). Via Dolorosa (jalan salib) yang ditempuh oleh Yesus untuk menyelamatkan orang berdosa merupakan bukti bahwa kesengsaraan, kegagalan dalam mencapai hal yang dicita-citakan di dunia tidak selamanya karena tindakan kita yang salah atau bertentangan dengan Firman Tuhan. Kemiskinan dan kesengsaraan Yesus justru menjadi berkat bagi orang-orang yang hidupnya dikendalikan oleh egoisme, pembesaran diri. Hal ini merupakan cermin bagi kita dalam melihat dan menyikapi persoalan kaya-miskin. Karena itu, hendaknya orang miskin secara materi tidak salah menempatkan diri seolah-olah dalam kemiskinannya Tuhan akan otomatis memasukkannya ke sorga kelak. Orang yang miskin secara materi, kalau dalam kemiskinannya menjadi tertutup kepada campur tangan Tuhan dan menyerah pada nasib, dia tidak akan mewearisi kerajaan sorga.
Persoalannya adalah, bagaimana agar dalam relasi umat manusia dengan sesama dan Tuhan tidak semata-mata bertolak pada takaran kaya-miskin secara materi? Kuncinya adalah semua orang semestinya hidup dalam azas Kerajaan Allah yakni penyerahan diri secara total kepada kasih dan keadilan Tuhan. Dengan azas ini relasi antarpribadi dan kelompok berlangsung dalam ikatan persaudaraan yang saling memperhatikan, saling mendukung, dan saling menguatkan satu dengan yang lain.
Daftar Pustaka:
A.B. Davidson, The Analitical Hebrew and Chaldes Lexicon, New York: Harper & Row, 1962.
Andar Ismail, Selamat Berkarya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-8, 2001.
J. Verkuyl, Khotbah di Bukit, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-9, 2002.
L. Coenen, The New International Dictionary of New Testament II, Americana: Paternoster Press, 1979.
S.A.E. Nababan, Iman dan Kemiskinan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978.
Wolfgang Stegeman, Injil dan Orang-orang Miskin, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
(Penulis adalah Pdt. Daniel Napitupulu, M.Min., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar