Kamis, 19 Maret 2009

ARTIKEL: WARGA GEREJA DAN PEMANASAN GLOBAL

Bumi terancam oleh naiknya suhu yang sering disebut pemanasan global (global warming). Pemanasan global diakibatkan oleh kegiatan manusia yang tidak bersahabat dengan alam. Kehadiran manusia di bumi telah menjadi kanker bagi bumi yang sifatnya tetap. Sifatnya tetap yang dimaksud adalah luas dan kelilingnya tidak pernah berubah. Yang berubah adalah jumlah penduduk bumi. Jumlah penduduk yang terus meningkat, jikalau sikap manusia menjadi kanker bagi bumi akan mempercepat bocornya ozon. Bocornya ozon akan menjadikan kiamat bagi bumi.
Sebagai umat yang percaya kepada kebenaran Alkitab, muncul pertanyaan mengapa Tuhan berjanji kepada Abraham bahwa keturunannya seperti pasir di pinggir pantai?. Bukankah semakin banyak manusia pada prakteknya menjadi kanker bagi bumi?. Dan, muncul lagi pertanyaan bagaimana dengan kedatangan Yesus yang keduakali untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati?. Apakah Yesus datang sebelum atau setelah ozon bocor?. Apakah kebocoran ozon menjadi hari kiamat?. Pertanyaan ini layak dikaji secara mendalam para Teolog kontemporer.
Apapun jawaban pertanyaan ini, yang penting bagi anak-anak Tuhan adalah menuruti perintah Tuhan untuk setia dengan Firman Tuhan sampai maranata. Sebagai pertanggungjawaban iman kita dapat melakukan langkah-langkah praktis untuk meyelamatkan bumi. Jikalau seluruh umat percaya tidak termasuk manusia yang menjadi kanker bagi bumi tetapi berperilaku bersahabat dengan bumi, maka dapat berpengaruh yang significant. Bersahabat yang dimaksud adalah melaksanakan seluruh aktivitas yang bersahabat dengan bumi.
Bersahabat dengan bumi dapat dimulai dari diri sendiri, keluarga, gereja, di tempat kita bekerja bahkan mempengaruhi kebijakan nasional dan internasional agar seluruh aktivitas umat manusia bersahabat dengan alam. Dengan istilah yang lazim disebut pembangunan yang berbasis ekologi.
Perilaku pribadi itu dimulai dari membuat jendela rumah yang besar sehingga cahaya matahari masuk ke dalam rumah, sehingga sehat, murah, dan mengurangi pemakaian listrik. Kita harus sadar bahwa listrik kita masih digerakkan oleh solar. Rumah kita juga harus hemat energi seperti menghabiskan makanan karena akan mengurangi sampah. Bangun pagi membersihkan badan dengan air secukupnya, dan menggosok gigi yang benar dengan air secukupnya. Selain hemat air, kita juga harus menggunakan sabun, pasta gigi, shampoo secukupnya, sehingga seluruh aktivitas kita ramah lingkungan.
Jikalau semua masyarakat memikirkan masa depan bumi seperti menggunakan listrik yang hemat energi( tahan lama, kantong yang sehat), dapur yang ramah lingkungan, mencuci pakaian, mencintai produk local, memilih makanan dengan pertimbangan kesehatan dan gizi (tidak berdasarkan gengsi), membuka lapangan kerja bagi masyarakat local, memilih kulkas yang hemat energi, tidak lupa mematikan alat-alat elektronik (tv, radio) dan lain sebagainya, tidaklah layak disebut manusia kanker bagi bumi.
Tetapi faktanya, Gereja sebagai lembaga pengawas moral justru paling boros energi dan perilaku jemaat tidak ramah lingkungan. Warga Gereja terjebak dengan hedonisme. Lihat saja, dimana ada arsitektur Gereja yang mengandalkan cahaya matahari?. Sangat sedikit Gereja yang tidak mengandalkan listrik di setiap kegiatan. Dan, kesadaran pengurus Gereja untuk memadamkan lampu yang tidak digunakan masih rendah. Berapa banyak Gereja mempertimbangkan ramah lingkungan dalam setiap kegiatan?. Mulai dari pemilihan kertas, mengurangi pernak-pernik yang merusak kelestarian alam? Setuju atau tidak, Gereja di negeri ini belum memasukkan ramah lingkungan dalam setiap kegiatan. Mulai dari memilih lokasi Gereja hingga tempat parkir. Ada Gereja yang menggunakan halaman Gereja untuk lahan parkir hingga jemaat tidak bisa lewat atau mengganggu aktivitas jemaat lain.
Perilaku jemaat setali tiga uang. Di pintu Gereja dengan asyik mengobrol dengan jemaat lain tanpa mempertimbangkan bahwa ada jemaat lain yang berdesak-desakan. Di pintu masuk Gereja yang langsung menuju jalan raya menimbulkan kemacetan. Pengurus kehilangan akal untuk mengatasi macet karena jemaat tidak menyebar untuk memperluas area. Pokoknya, jemaat tidak peduli dengan yang lain. Jemaat hanya peduli dengan dirinya. Naik angkutan umum secara sembarangan, menghentikan taxi sembarangan (bahkan ditengah jalan raya) sehingga menimbulkan macet dan lain sebagainya. Bukankah kehadiran kita harus menyenangkan orang lain? Tidakkah hal semacam ini menunjukkan bahwa jemaat hanya peduli dengan kepentingannya?
Firman Tuhan berkata, setialah dengan perkara kecil maka akan dipercayakan perkara yang besar. Oleh sebab itu, kita harus mulai dari perkara yang kecil yang dimulai dari sikap hemat, bertindak dengan tidak mengganggu orang lain. Ketika Anda “ngotot” melawan pengumuman agar tidak parker di halaman Gereja menunjukkan keangkuhan itu. Ketika Anda tidak peduli dengan pemanasan global, mungkin juga hal itu bagian dari keangkuhan juga. Dengan kata lain, keangkuhan itu menunjukkan Anda kanker bagi bumi.
Garam dan menjadi terang, itulah Firman Tuhan. Hidup dengan gaya hidup (life style) yang mencerminkan garam dan terang haruslah pionir untuk menyelamtakan masa depan bumi. Dengan demikian, kita bertanggungjawab atas bumi.

(Penulis adalah Gurgur Manurung, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2007)

Tidak ada komentar: