Senin, 16 Maret 2009

ARTIKEL: YESUS KRISTUS SEBAGAI MANUSIA

Sepanjang sejarah kekristenan terjadi perdebatan tentang Allah yang menjadi manusia atau sebaliknya manusia yang disebut sebagai Allah. Perdebatan itu terdapat dalam pribadi Yesus Kristus. Bagaimana mungkin Allah bisa menjadi manusia, bukankah itu “menurunkan” derajat Allah. Atau bagaimana mungkin manusia bisa menjadi Allah bukankah itu menjadi sebuah “penghinaan” bagi Allah. Pola berpikir seperti ini merupakan suatu yang wajar dan realistis. Allah adalah suatu “rahasia”, Ia melewati batas akal budi kita, perasaan kita, keinginan kita dan kemampuan kita. Karena Allah adalah suatu rahasia maka kita ingin meneliti rahasia itu? Tentunya, sesuai dengan bingkai Alkitab.

1. Pemahaman Manusia Tentang Allah
a. Allah Yang “Jauh”
Banyak agama yang mengajarkan bahwa Allah dipandang atau diakui berada di tempat kudus atau di sorga sehingga Allah sulit sekali untuk dicapai sehingga manusia tidak memiliki hubungan apapun dengan Allah. Akibatnya manusia berpegang pada kitab yang memuat perintahNya atau pada seorang guru yang dianggap utusan Allah atau kepada suatu agama yang diturunkan” oleh Allah. Bagi agama yang demikian Allah dianggap tetap menjadi Allah yang jauh di dalam kekekalanNya.
Ajaran ini mengakui bahwa Tuhan Allah Yang Mahatinggi, Yang Maha Kuasa dan Maha Adil adalah yang transenden, yang menjadikan dunia dan segala isinya serta mengadilinya. Jadi hubungan antara Allah dengan manusia digambarkan sebagai hubungan antara raja dan hamba-hambaNya yang hina.

b. Allah Yang “Dekat”
Banyak agama yang mengajarkan bahwa Allah berada dekat dengan umatNya karena Allah yang sengaja “diciptakan” untuk mereka. Misalnya dengan membuat patung yang bisa mereka sembah. Di sini, manusia seakan-akan mengikatkan dirinya kepada keinginan dan cita-citanya sendiri karena manusia berusaha untuk mengikat Allah kepada kemauan manusia itu sendiri.
Pemahaman tentang Allah ada dimana-mana sama seperti api berada di dalam kayu yang dibakarnya. Di sini Allah bukannya jauh dari manusia melainkan begitu sehingga tiada lagi perbedaan antara manusia dengan Allah. Manusia pada hakekatnya adalah Allah sendiri sehingga tiada perbedaan antara yang disembah dan yang menyembah.

2. Allah Yang Menjadi Manusia
Apabila dikatakan Allah menjadi manusia maka sulit untuk diterima oleh akal manusia. Pikiran Allah bukanlah pikiran manusia dan jalan Allah bukanlah jalan manusia (Yes.55:8-9). Sebab Aku ini adalah Allah (Hos.11:9). Jadi, bagaimanapun dalamnya pemahaman agama-agama tentang Allah atau bagaimanapun pemahaman manusia tentang Allah, tetapi Alkitab memberitakan kepada kita sesuatu yang berbeda. Perbedaan itu sesuatu yang tidak terbayangkan sehingga tidak pernah ada dalam benak manusia (I Kor.2:9). Bahwa Allah telah menyatakan Diri dalam Yesus orang Nazaret dan menjadi manusia sama seperti kita (namun Ia tetap Tuhan). Yesus Kristus telah menjadi sama dengan kita kecuali di dalam dosa. Ia turut merasakan segala kelemahan kita, sama seperti kita Ia telah dicobai di dalam segala perkara (Ibrani.4:15). Oleh Yesus Kristus maka kita dapat memberanikan diri untuk langsung menghampiri tahta Allah (Ibrani.4:16). Allah bukanlah Allah yang “jauh” yang sulit untuk dicapai tetapi juga bukanlah Allah yang “dekat” karena kita ciptakan sendiri. Ia sendiri telah datang ke dunia ini sehingga kita boleh hidup dalam persekutuan langsung dengan Dia. Dalam Yesus maka Allah telah datang kepada manusia. Di dalam Yesus maka Allah telah memberikan Diri sendiri kepada manusia. Di dalam Yesus maka Allah telah mengaruniakan segala-galanya untuk manusia. Allah tidak hanya berfirman tentang hakikatNya, sifatNya, tuntutanNya dan kehendakNya tetapi firman itu telah menjadi “daging” artinya telah menjadi manusia dalam kedatangan Yesus Kristus. Di dalam Yesus maka Allah bertemu dengan manusia dan bukan manusia yang menjumpai Allah.

3. Allah Yang Menyatakan Diri
Semua agama mengakui adanya Allah. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah Allah yang mana? Haruslah kita tegas untuk mengatakan bahwa Allah yang kita percayai adalah Allah yang menyatakan diri di dalam Yesus Kristus. Artinya, kita tidak lagi hanya berkata tentang Allah yang kekal dan berada di sorga.
Allah hanya dapat dikenal oleh dan dengan perantaraan Allah sendiri. Dengan kata lain, kita hanya dapat mengenal Allah hanya karena Dia menyatakan diri. Allah menyatakan diri dalam:
a. PerbuatanNya.
Kita tidak hanya mengenal Allah yang “jauh” karena keberadaanNya di sorga tetapi Allah yang berbuat dan bertindak. TindakanNya untuk datang & berkenan menjadi manusia supaya kita bisa mengenal Dia. Dia berbuat selama hidupNya untuk menolong manusia bahkan sampai mempersembahkan DiriNya di kayu salib untuk menyelamatkan manusia. Perbuatan itu ditujukan kepada manusia dan dunia.
b. KasihNya.
Allah menyatakan diri sebagai manusia karena kasihNya. Ia menciptakan hubungan antara Dia dengan manusia karena kasihNya. Kasihnya bukanlah suatu pengertian yang statis melainkan suatu realita yang dinamis: Allah adalah yang mengasihi.
c. KedaulatanNya.
Allah menyatakan diri sebagai manusia dan rela mati untuk menebus dosa kita karena kedaulatanNya. Sebab Ia adalah Allah maka Ia berdaulat untuk berbuat dan menyatakan kasihNya. Ia tidak terikat kepada pandangan-pandangan kita, pikiran kita tentang “kasih” karena Dia berdaulat untuk menyatakannya.
Dengan demikian Allah menyatakan diri kepada kita untuk menyampaikan kasihNya; untuk menunjukkan perbuatanNya yang mengherankan dan supaya kita memahami kedulatanNya.

4. Keilahian Dan Kemanusiaan Yesus
Sebuah pertanyaan yang sering kita dengarkan adalah bagimana pada Pribadi Yesus terdapat sifat Allah dan sifat manusia. Ketika menjadi manusia, apakah sifat keilahiaanNya hilang? Atau bagaimana untuk menjelaskan ketika Allah merasakan sifat manusia yang lapar, haus, menangis atau berduka, menderita dan dicobai? Bukankah hal seperti itu hanya bisa dialami manusia yang fana ini?
Di dalam keesaan PribadiNya maka Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. KeilahianNya dan kemanusiaanNya tidak boleh dipandang sebagai dua tingkatan yang berbeda. KemanusiaanNya bukanlah suatu cara berada yang lebih rendah dan menganggap keilahianNya menjadi lebih tinggi. Kemanusiaan Yesus tidak dipandang sebagai suatu “selubung” saja dan keilahianNya tidak dipandang hanya “roh”Nya saja. Atau dengan kata lain KemanusiaanNya bukan dalam keadaan semu saja sehingga hanya keilahianNya yang lebih penting. Tapi kemanusiaan dan keilahian menyatu dan tidak terpisahkan dalam satu Pribadi Yesus. Dalam Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Di dalam keesaan Yesus merangkap kedua “tabiat” itu.
Di dalam kedua tabiat ini, kita bisa memahami karya Yesus Kristus untuk dunia ini. Ia telah datang untuk melaksanakan karya penebusan yaitu perdamaian antara Allah dengan manusia. Oleh karena Dia sungguh-sungguh Allah maka Ia sanggup untuk memperdamaikan manusia dengan Allah. Oleh karena Ia sungguh-sungguh manusia maka perdamaian itu benar-benar diperuntukkan bagi manusia. Artinya Ia satu dengan Allah dan juga satu dengan manusia.

(Penulis adalah Pdt. N.H. Pakpahan, S.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2004)

Tidak ada komentar: