Aku pernah muda, bahkan belum lama melewati masa mudaku. Jika masih diijinkan, aku juga ingin menganggap diriku muda saat ini, meski sudah melewati angka 34. Terkenang masa muda, bagiku itu merupakan saat-saat terindah, masa-masa keemasan bagi seorang anak manusia, yang tidak akan mungkin terulang kembali. Ketika itulah aku meletakkan fondasi / dasar bagi kehidupanku selanjutnya. Sebelum berusia 25 tahun, aku berada di puncak idealisme dan semangat untuk mencapai yang terbaik. Ketika itulah aku menyelesaikan studi sarjanaku, mengawali masa pelayananku sebagai vikariat Pendeta, ditahbiskan menjadi Pendeta, kemudian menerima Surat Keputusan Pimpinan untuk melayani secara definitif. Ketika ada hal yang kurasakan tidak sesuai, aku memilih “beristirahat” sejenak dari keterikatan dinas dengan HKBP, mencoba pekerjaan baru, menjadi Dosen, Guru Privat bagi anak SD, dan sebagainya – pekerjaan yang kuanggap sesuai dengan minat dan kemampuanku…. Sama seperti banyak orang, di saat itupulalah aku berupaya mencari status sosial – ekonomi, mengumpulkan tabungan, kemudian membuka hubungan dengan banyak orang, menyeleksi siapa kira-kira yang akan menjadi pendamping hidup kelak, dan lain sebagainya.
Namun ternyata, waktu yang tersedia bagi seorang anak manusia untuk menikmati masa mudanya sangat singkat, time goes out, begitu cepat. Karena itu masa muda hendaknya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jika salah memanfaatkan masa muda akan fatal akibatnya ke depan. Pengkhotbah 11:9 mengatakan: “Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan!”
Alkitab mencatat nama beberapa orang yang terpanggil dan terpilih untuk menggunakan masa mudanya dengan bijak, sebaik-baiknya. Di usia yang sangat belia mereka dipanggil Tuhan untuk melayani Dia. Sebutlah Samuel, Salomo, Jeremia, Daud, Daniel, Timotius, dan sebagainya. Cara Tuhan memanggil dan mengutus mereka berbeda-beda. Ada yang telah dipersiapkan sedari kanak-kanak, Samuel dan Salomo misalnya. Ada yang dipakai setelah melewati masa remajanya, seperti Daud misalnya, dan sebagainya. Cara mereka merespons panggilan Tuhan juga beragam. Ada yang pada awalnya menolak, Yeremia misalnya: berlindung di balik usianya yang muda, menyatakan ketidakmampuannya. Ada yang tawar menawar dan ada yang langsung mengiakan. Tapi terlepas dari semua itu, pada akhirnya mereka menjadi pelayan Tuhan…
Mereka adalah orang-orang yang akhirnya bersedia memberikan diri dan waktunya untuk menjawab panggilan Tuhan agar melayani DIA. Tantangan dan pergumulan yang mereka hadapi dalam menunaikan tugas pelayanannya tidak ringan. Tantangan terberat umumnya karena ada paradigma yang menganggap kaum muda lebih cenderung menggunakan emosi dan pikirannya yang belum matang dalam bertindak, sehingga output yang dihasilkan juga kurang dapat dipercaya kredibilitasnya. Padahal banyak juga kaum muda yang telah berhasil mengukir prestasi pada usia mudanya. Nilai dan integritas seorang muda hendaknya diukur dari kecerdasannya secara emosional, intelektual dan spiritual. Paulus memberikan pesan dalam suratnya, I Timotius 4:12 mengatakan: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu”. Jadi bukan usia yang menjadi tolak ukur penilaian terhadap seorang manusia, namun apa dan bagaimana dia bertindak dan bersikap dalam kehidupannya.
2. NHKBP, Riwayatmu…
Meskipun masa muda merupakan masa yang indah, sayangnya tidak banyak pemuda/i Kristen warga jemaat HKBP yang melewati masa-masa itu dengan indah dalam persekutuan di Gereja HKBP tempat dirinya bernaung sebagai anggota jemaat. Memang beberapa dari pemuda/i di Gereja HKBP membentuk wadah Naposobulung Huria Kristen Batak Protestan (NHKBP). Dalam wadah ini bersekutu Pemuda/i anggota jemaat HKBP yang mengambil waktu-waktu tertentu bertempat di Gereja untuk melakukan kegiatan-kegiatannya.
Dulu kerap terdengar semboyan “Naposobulung do bunga-bunga ni Huria” didengung-dengungkan ditengah-tengah gereja HKBP. Sebagai “bunga-bunga”, kehadiran Naposobulung dipandang hanya sebagai keindahan yang meramaikan nuansa di Gereja, sebagai pelengkap yang melengkapi keberadaan sebuah Gereja sehingga dipandang utuh. Karena itulah wujud dukungan terhadap kehadiran Naposobulung ditengah-tengah gereja ibarat kerakap di atas batu: Hidup segan, mati tak mau – kurang terasa gaungnya. Mengapa? Karena sejak dulu, kegiatan yang baku dilakukan oleh Naposobulung di Gereja paternnya sama: membaca Alkitab dan berlatih Koor yang akan dinyanyikan pada Ibadah hari Minggu berikutnya. Lalu ketika Natal menampilkan Liturgi dan Drama. Dananya? Tanggungjawab Gereja dan beban Paniroi Naposobulung untuk memikirkannya, Naposobulung tinggal menjalankan Take and list untuk mengumpulkan sumbangan dari para orangtua dan warga jemaat. Wuiiih….Kegiatan yang cenderung monoton. Akibatnya tanggapan dari kalangan Parhalado dan ruas Huria juga cenderung negatif, pesimis terhadap kehadiran NHKBP ditengah-tengah Huria.
Stereotype yang terlanjur dilekatkan kepada organisasi NHKBP adalah: menghabiskan uang Huria, hanya berkumpul-kumpul di gereja, tidak melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi pertumbuhan jemaat, tidak punya inovasi dan lain sebagainya. Karena itulah terkadang tantangan datang dari orangtua yang melarang anak-anaknya mengikuti organisasi NHKBP karena menganggap bahwa berkumpul di Gereja hanyalah pekerjaan sia-sia yang menghabiskan waktu saja. Benarkah demikian? Aku memang tidak pernah berkesempatan menjadi anggota persekutuan NHKBP di gereja manapun dalam kapasitas sebagai orang muda, karena waktuku sangat terbatas ketika itu. Orientasiku saat itu hanyalah bagaimana menyelesaikan studi dengan sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya. Aku ingin meringankan beban orangtuaku, karena aku putri sulung seorang PNS yang telah memasuki masa pensiunnya sebelum aku menyelesaikan pendidikan SMA-ku. Padahal aku masih punya 3 orang adik laki-laki. Jadi tidak banyak yang bisa kubicarakan mengenai NHKBP dari sudut pengalamanku. Namun setelah menjadi pelayan HKBP, sedikit banyak aku bersentuhan dengan NHKBP dan orang-orang di dalamnya. Dari pengamatanku, ada hal yang telah bergeser. Entah itu dikarenakan oleh perkembangan zaman, karena perbedaan letak topografis, geografis, perbedaan tingkat pendidikan yang mempengaruhi intelektualitas kaum muda itu, dan arus informasi yang diterima.
Karena itulah, menjadi beban dan tanggungjawab Naposobulung HKBP untuk merubah stigma yang terlanjur melekat terhadap komunitasnya. Dibutuhkan kreatifitas dan inisiatif dari Naposobulung untuk mengubah paradigma: “Bunga-bunga ni Huria” menjadi ”Tiang penyangga” (pilar) di Huria. Dan memang, dalam kenyataannya keadaan saat ini sudah jauh berubah jika dibandingkan dengan masa 15 tahun yang lalu, saat seharusnya aku menjadi bagian dari persekutuan NHKBP itu. Jika dulu NHKBP identik dengan Koor dan koor saja, saat ini tidak lagi. Di beberapa Gereja HKBP yang sudah maju, NKHBP juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan sebuah Huria. Bahkan sudah lebih satu dasawarsa, seorang Naposobulung diberi kesempatan untuk menjadi seorang Sintua (Penatua) tahbisan di Gereja, walaupun belum di semua Gereja HKBP terdapat Sintua dari kalangan Naposobulung.
Pengalamanku melayani menjadi Pendeta Part Timer di Gereja-gereja HKBP di Bandung dan Jakarta mengajarkan aku untuk melihat lebih realistis keberadaan Naposobulung ditengah-tengah Huria. NHKBP yang kulayani di Bandung pernah memprakarsai sebuah konser Kantata Paskah, yang cukup baik kualitasnya. Mereka tidak lagi bergantung pada dukungan dana dari Gereja. Untuk mengcover biaya yang mereka butuhkan dalam event tersebut mereka berinisiatif mengadakan Bazar, yang menjual hasil-hasil karya mereka. Penghargaan yang diberikan oleh jemaat menjadi berbeda, karena melihat bahwa Naposobulung tidak lagi sekedar butuh “belas kasihan” dan sumbangan dari ruas semata, namun sudah bisa menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang memiliki potensi yang bisa dibanggakan.
Sesuai dengan “nafas” Aturan Peraturan HKBP yang baru (2002), yang menekankan peranan dan pemberdayaan jemaat, Naposobulung HKBP juga terpanggil mengimplementasikan kemampuan dan potensi yang ada padanya demi kemajuan Gereja sebagai organisasi. Di bidang Marturia, NHKBP dapat menjadi “motor penggerak” pembaharuan dalam bidang Ibadah (Liturgi HKBP menjadi menarik dengan melibatkan Naposobulung sebagai Song Leader dan pengiring musik lagu-lagu pujian dengan berbagai alat musik di Gereja). Di bidang Koinonia, NHKBP menjadi “tulang punggung” untuk menggalang persatuan dan persaudaraan antar warga jemaat demi terwujudnya Gereja HKBP yang Dialogis, inklusif dan terbuka. Di bidang Diakonia, inilah saatnya bagi Naposobulung untuk menunjukkan kepedulian dan peran-sertanya dalam pelayanan kasih di bidang sosial dan kemanusiaan. Jika terjadi Bencana alam, musibah dan sebagainya terhadap warga masyarakat, NHKBP bisa mewujudkan partisipasinya untuk meringankan beban penderitaan warga yang menderita dengan Doa, daya dan dana (karena tidak sedikit juga Naposobulung yang sudah mapan secara social-ekonomi).
Akhir kata, sepenggal syair lagu di bawah ini mungkin seharusnya menggambarkan dinamika kehidupan di masa muda:
“Masa muda…. Sungguh indah, jiwa penuh dengan cita-cita, bagai api yang tak kunjung padam, selalu membakar dalam jiwa… Masa mudaku, masa yang terindah…masa Tuhan memanggilku. Masa mudaku, masa yang terindah… kutinggalkan s’gnap dosaku..”
Tidak banyak yang bisa kukatakan mengenai Naposobulung. Namun perlu kiranya kita bercermin pada apa yang dikatakan dalam Pengkhotbah 12:1 :“Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: "Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!”
(Penulis adalah Pdt. Paulin br. Sirait, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juni 2007)
Namun ternyata, waktu yang tersedia bagi seorang anak manusia untuk menikmati masa mudanya sangat singkat, time goes out, begitu cepat. Karena itu masa muda hendaknya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jika salah memanfaatkan masa muda akan fatal akibatnya ke depan. Pengkhotbah 11:9 mengatakan: “Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan!”
Alkitab mencatat nama beberapa orang yang terpanggil dan terpilih untuk menggunakan masa mudanya dengan bijak, sebaik-baiknya. Di usia yang sangat belia mereka dipanggil Tuhan untuk melayani Dia. Sebutlah Samuel, Salomo, Jeremia, Daud, Daniel, Timotius, dan sebagainya. Cara Tuhan memanggil dan mengutus mereka berbeda-beda. Ada yang telah dipersiapkan sedari kanak-kanak, Samuel dan Salomo misalnya. Ada yang dipakai setelah melewati masa remajanya, seperti Daud misalnya, dan sebagainya. Cara mereka merespons panggilan Tuhan juga beragam. Ada yang pada awalnya menolak, Yeremia misalnya: berlindung di balik usianya yang muda, menyatakan ketidakmampuannya. Ada yang tawar menawar dan ada yang langsung mengiakan. Tapi terlepas dari semua itu, pada akhirnya mereka menjadi pelayan Tuhan…
Mereka adalah orang-orang yang akhirnya bersedia memberikan diri dan waktunya untuk menjawab panggilan Tuhan agar melayani DIA. Tantangan dan pergumulan yang mereka hadapi dalam menunaikan tugas pelayanannya tidak ringan. Tantangan terberat umumnya karena ada paradigma yang menganggap kaum muda lebih cenderung menggunakan emosi dan pikirannya yang belum matang dalam bertindak, sehingga output yang dihasilkan juga kurang dapat dipercaya kredibilitasnya. Padahal banyak juga kaum muda yang telah berhasil mengukir prestasi pada usia mudanya. Nilai dan integritas seorang muda hendaknya diukur dari kecerdasannya secara emosional, intelektual dan spiritual. Paulus memberikan pesan dalam suratnya, I Timotius 4:12 mengatakan: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu”. Jadi bukan usia yang menjadi tolak ukur penilaian terhadap seorang manusia, namun apa dan bagaimana dia bertindak dan bersikap dalam kehidupannya.
2. NHKBP, Riwayatmu…
Meskipun masa muda merupakan masa yang indah, sayangnya tidak banyak pemuda/i Kristen warga jemaat HKBP yang melewati masa-masa itu dengan indah dalam persekutuan di Gereja HKBP tempat dirinya bernaung sebagai anggota jemaat. Memang beberapa dari pemuda/i di Gereja HKBP membentuk wadah Naposobulung Huria Kristen Batak Protestan (NHKBP). Dalam wadah ini bersekutu Pemuda/i anggota jemaat HKBP yang mengambil waktu-waktu tertentu bertempat di Gereja untuk melakukan kegiatan-kegiatannya.
Dulu kerap terdengar semboyan “Naposobulung do bunga-bunga ni Huria” didengung-dengungkan ditengah-tengah gereja HKBP. Sebagai “bunga-bunga”, kehadiran Naposobulung dipandang hanya sebagai keindahan yang meramaikan nuansa di Gereja, sebagai pelengkap yang melengkapi keberadaan sebuah Gereja sehingga dipandang utuh. Karena itulah wujud dukungan terhadap kehadiran Naposobulung ditengah-tengah gereja ibarat kerakap di atas batu: Hidup segan, mati tak mau – kurang terasa gaungnya. Mengapa? Karena sejak dulu, kegiatan yang baku dilakukan oleh Naposobulung di Gereja paternnya sama: membaca Alkitab dan berlatih Koor yang akan dinyanyikan pada Ibadah hari Minggu berikutnya. Lalu ketika Natal menampilkan Liturgi dan Drama. Dananya? Tanggungjawab Gereja dan beban Paniroi Naposobulung untuk memikirkannya, Naposobulung tinggal menjalankan Take and list untuk mengumpulkan sumbangan dari para orangtua dan warga jemaat. Wuiiih….Kegiatan yang cenderung monoton. Akibatnya tanggapan dari kalangan Parhalado dan ruas Huria juga cenderung negatif, pesimis terhadap kehadiran NHKBP ditengah-tengah Huria.
Stereotype yang terlanjur dilekatkan kepada organisasi NHKBP adalah: menghabiskan uang Huria, hanya berkumpul-kumpul di gereja, tidak melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi pertumbuhan jemaat, tidak punya inovasi dan lain sebagainya. Karena itulah terkadang tantangan datang dari orangtua yang melarang anak-anaknya mengikuti organisasi NHKBP karena menganggap bahwa berkumpul di Gereja hanyalah pekerjaan sia-sia yang menghabiskan waktu saja. Benarkah demikian? Aku memang tidak pernah berkesempatan menjadi anggota persekutuan NHKBP di gereja manapun dalam kapasitas sebagai orang muda, karena waktuku sangat terbatas ketika itu. Orientasiku saat itu hanyalah bagaimana menyelesaikan studi dengan sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya. Aku ingin meringankan beban orangtuaku, karena aku putri sulung seorang PNS yang telah memasuki masa pensiunnya sebelum aku menyelesaikan pendidikan SMA-ku. Padahal aku masih punya 3 orang adik laki-laki. Jadi tidak banyak yang bisa kubicarakan mengenai NHKBP dari sudut pengalamanku. Namun setelah menjadi pelayan HKBP, sedikit banyak aku bersentuhan dengan NHKBP dan orang-orang di dalamnya. Dari pengamatanku, ada hal yang telah bergeser. Entah itu dikarenakan oleh perkembangan zaman, karena perbedaan letak topografis, geografis, perbedaan tingkat pendidikan yang mempengaruhi intelektualitas kaum muda itu, dan arus informasi yang diterima.
Karena itulah, menjadi beban dan tanggungjawab Naposobulung HKBP untuk merubah stigma yang terlanjur melekat terhadap komunitasnya. Dibutuhkan kreatifitas dan inisiatif dari Naposobulung untuk mengubah paradigma: “Bunga-bunga ni Huria” menjadi ”Tiang penyangga” (pilar) di Huria. Dan memang, dalam kenyataannya keadaan saat ini sudah jauh berubah jika dibandingkan dengan masa 15 tahun yang lalu, saat seharusnya aku menjadi bagian dari persekutuan NHKBP itu. Jika dulu NHKBP identik dengan Koor dan koor saja, saat ini tidak lagi. Di beberapa Gereja HKBP yang sudah maju, NKHBP juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan sebuah Huria. Bahkan sudah lebih satu dasawarsa, seorang Naposobulung diberi kesempatan untuk menjadi seorang Sintua (Penatua) tahbisan di Gereja, walaupun belum di semua Gereja HKBP terdapat Sintua dari kalangan Naposobulung.
Pengalamanku melayani menjadi Pendeta Part Timer di Gereja-gereja HKBP di Bandung dan Jakarta mengajarkan aku untuk melihat lebih realistis keberadaan Naposobulung ditengah-tengah Huria. NHKBP yang kulayani di Bandung pernah memprakarsai sebuah konser Kantata Paskah, yang cukup baik kualitasnya. Mereka tidak lagi bergantung pada dukungan dana dari Gereja. Untuk mengcover biaya yang mereka butuhkan dalam event tersebut mereka berinisiatif mengadakan Bazar, yang menjual hasil-hasil karya mereka. Penghargaan yang diberikan oleh jemaat menjadi berbeda, karena melihat bahwa Naposobulung tidak lagi sekedar butuh “belas kasihan” dan sumbangan dari ruas semata, namun sudah bisa menunjukkan eksistensi sebagai manusia yang memiliki potensi yang bisa dibanggakan.
Sesuai dengan “nafas” Aturan Peraturan HKBP yang baru (2002), yang menekankan peranan dan pemberdayaan jemaat, Naposobulung HKBP juga terpanggil mengimplementasikan kemampuan dan potensi yang ada padanya demi kemajuan Gereja sebagai organisasi. Di bidang Marturia, NHKBP dapat menjadi “motor penggerak” pembaharuan dalam bidang Ibadah (Liturgi HKBP menjadi menarik dengan melibatkan Naposobulung sebagai Song Leader dan pengiring musik lagu-lagu pujian dengan berbagai alat musik di Gereja). Di bidang Koinonia, NHKBP menjadi “tulang punggung” untuk menggalang persatuan dan persaudaraan antar warga jemaat demi terwujudnya Gereja HKBP yang Dialogis, inklusif dan terbuka. Di bidang Diakonia, inilah saatnya bagi Naposobulung untuk menunjukkan kepedulian dan peran-sertanya dalam pelayanan kasih di bidang sosial dan kemanusiaan. Jika terjadi Bencana alam, musibah dan sebagainya terhadap warga masyarakat, NHKBP bisa mewujudkan partisipasinya untuk meringankan beban penderitaan warga yang menderita dengan Doa, daya dan dana (karena tidak sedikit juga Naposobulung yang sudah mapan secara social-ekonomi).
Akhir kata, sepenggal syair lagu di bawah ini mungkin seharusnya menggambarkan dinamika kehidupan di masa muda:
“Masa muda…. Sungguh indah, jiwa penuh dengan cita-cita, bagai api yang tak kunjung padam, selalu membakar dalam jiwa… Masa mudaku, masa yang terindah…masa Tuhan memanggilku. Masa mudaku, masa yang terindah… kutinggalkan s’gnap dosaku..”
Tidak banyak yang bisa kukatakan mengenai Naposobulung. Namun perlu kiranya kita bercermin pada apa yang dikatakan dalam Pengkhotbah 12:1 :“Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: "Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!”
(Penulis adalah Pdt. Paulin br. Sirait, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juni 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar