I. Pendahuluan
Penulis dibesarkan di sebuah desa yang namanya Lumban Gorat, kira-kira dua kilometer dari kota Balige, ke arah Selatan, Di desa itu, ada sebuah Gereja HKBP. Namanya, HKBP Sibuntuon, Penulis menikmati saat yang indah di Gereja itu, khususnya dalam mengikuti kebaktian Sekolah Minggu. Setiap tahun, Gereja kami itu mengadakan pesta rohani yang diatur di dalam Agenda HKBP. Namanya ialah: pesta gotilon. Artinya ialah: pesta panen. Dewasa ini, Gereja HKBP, khususnya di Jakarta, sepanjang yang dilihat oleh penulis, hampir tidak ada lagi yang melakukannya. Padahal, Agenda HKBP menyuarakan agar pesta itu dilaksanakan. Adapun nas yang ditentukan untuk dijadikan introitus dalam pesta panen itu ialah: Yakobus 1:17, atau kejadian 8:21b; Mazmur 104: Ib, (lihat Agenda HKBP bahasa Indonesia halaman 79). Di dalam acara itu, tiap anggota jemaat diminta unluk membawa persembahannya ke hadapan altar. Namanya saja pesta panen. Orang membawa persembahannya dalam bentuk natura, tatkala panen telah usai. Umumnya orang membawa padi mereka yang baru dituai dari sawah. Semuanya persembahan ini ditaruh di altar Gereja, sebagai sebuah persembahan kepada Allah.
Kami anak-anak sekolah rninggu pun tidak ketinggalan di dalam memberikan persembahan. Biasanya orang tua kami telah mempersiapkan persembahan yang kami akan serahkan ke altar. Sebutan yang diberikan kepada persembahan itu di zaman dahulu ialah: silua, Masih segar di dalam ingatan penulis, persembahan yang kami berikan tiap tahun pada waktu itu ialah: minuman ringan, yang namanya orange crush. Pada waktu itu, kami tidak dapat melafaskan kata-kata itu dalam bahasa Inggris, sehingga kami ucapkan dengan kata: orange krus. Setelah kebaktian selesai, maka seluruh persembahan yang telah dikumpulkan itu harus diuangkan. Setelah melalui persembahan itulah kebutuhan Gereja terpenuhi. Memang, tidak dapat diharapkan pemenuhan kebutuhan biaya operasional melalui persembahan tiap minggu. Itulah sebabnya parhalado setempat memanfaatkan pesta gotilon itu sebagai moment untuk mengumpulkan persembahan dari anggota jemaat.
Sejak semula Batakmission, nama badan sending yang mengutus para penginjil datang untuk memberitakan Injil ke tanah Batak, mengupayakan agar setiap jemaat mampu membiayai dirinya sendiri. Hal ini disebabkan minimnva kas badan missi ini. Memang budaya Batak memungkinkan setiap jemaat dapat berswadaya. Keadaan ini membuat Batakmission memutuskan melalui konperensi para zendiling tanggal 25 April 1873, mereka akan mendidik jemaat yang masih muda itu agar ikut mengusahakan segala keperluan jemaat. Keputusan ini berdampak luas di Gereja HKBP. Orang dilibatkan dalam ambil bagian pemenuhan kebutuhan finansial jemaat. Di sisi lain, adat orang Batak memberikan kontribusi di dalam menopang keberadaan dari jemaat. Komunitas Batak yang menekankan kepemilikan bersama memberi kontribusi kepada keinginan untuk turut ambil bagian di dalam pemenuhan akan kebutuhan Gereja. Adat "Marsiadap ari" menjadi sarananya.
Seluruh persembahan dalam bentuk natura itu harus diuangkan. Jika persembahan itu diuangkan secara ekonomi pasar, maka dibutuhkan waktu yang panjang untuk mendapatkan pembeli dalam jumlah besar, Sementara di sisi lain, Gereja membutuhkan uang dalam rangka menjalankan pelayanannya. Maka pada waktu itulah persembahan dalam bentuk natura itu dilelang.
II. Cara Mudah
Lelang adalah cara yang paling efektif untuk menguangkan persembahan dalam bentuk natura itu dalam tempo yang singkat dan mendapatkan harga yang jauh lebih baik dari hanga pasar. Sebab, sekalipun persembahan itu dijual ke pasar, belum tentu dapat manenuhi kebutuhan pembiayaan jemaat di dalam tahun berjalan. Itulah jalan masuk budaya lelang di dalam Gereja. Hingga hari ini, Gereja HKBP pada umumnya rnengenal hanya satu cara untuk mengumpulkan uang dalam jumlah besar, yakni lelang. Di kota-kota besar, bentuk lelang itu sudah mendapat kemasan yang lebih rapih. Lelang diadakan sambil menikmati makan malam di Hotel berbintang. Lelang dilaksanakan oleh juru lelang yang piawai menstimulir orang untuk turut ambil bagian dalam lelang tersebut.
Sebuah pertanyaan perlu kita diajukan di sini! Apakah lelang dapat dipertanggung jawabkan secara Alkitabiah? Bendasarkan Konfessie HKBP tahun 1951 dalam pasal 15 "Iman dan pekerjaan baik". Konfessie itu mengatakan: “Roh Kudus yang menggerakkan hati manusia melakukan pekerjaan baik, dan jika bukan Roh Kudus yang mengerjakan (di dalam kita), pekerjaan baik menjadi dosa. Yoh 5:15-16; Ef 2:8; Rom 5:1." (Konfessie HKBP hal 47). Yohanes Calvin, sang reformator pernah mengatakan adanya satu dosa yang berkilau-kilauan. Sesuatu perbuatan yang sangat luar biasa indahnya. Andaikata ada orang yang membayar lelangnya sebesar satu milyar rupiah. Bukankah hal itu sesuatu yang sangat indah? Tetapi, jika bukan Roh Kudus yang menggerakkan hatinya untuk turut dalam lelang itu dan menyumbang sebanyak satu milyar rupiah, maka satu milyarnya itu adalah dosa, Itulah dosa yang berkilau-kilauan.
Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, maka pertanyaan pertama yang perlu diajukan ialah: apakah Roh Kudus yang menggerakkan orang itu ambil bagian di dalam lelang? Sebab, jika bukan Roh Kudus yang menggerakkannya, maka lelang itu adalah dosa. Karena ia dosa, maka jelaslah lelang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitabiah dan ditolak keberadaannya di dalam jemaat. Tetapi tolok ukur apa yang harus kita pakai untuk mengukur, bahwa seseorang itu digerakkan oleh Roh Kudus atau tidak? Tidak seorang pun yang dapat punya ukuran untuk mengukur karya Roh Kudus di dalam diri seseorang.
Sekalipun tidak ada tolak ukur yang pas untuk mengukur motivasi orang untuk turut ambil bagian di dalam acara lelang, namun kita dapat menduga motivasi pertama dari panitia untuk melaksanakan lelang itu sendiri. Tujuannya yang pasti ialah: mengumpulkan uang dalam jumlah yang banyak, untuk dipakai memenuhi kebutuhan jemaat yang cukup besar, Misalnya dalam rangka pembangunan gedung Gereja mereka. Jika kita berpaling lagi ke asal mula masuknya lelang ke dalam budaya HKBP di dalam mengumpulkan uang, maka sangat jelas perbedaan yang sangat nyata, Di zaman dahulu kala itu, parhalado melibatkan semua orang untuk turut ambil bagian di dalam memberikan persembahan. Bahkan sampai anak sekolah minggu juga turut ambil bagian. Pendeta menyerahkan lebih dahulu persembahan itu kepada Tuhan dalam doa, lalu dilelang. Sekarang, tidak lagi seperti itu modelnya.
Lelang telah dipusatkan kepada orang-orang tertentu di dalam persekutuan jemaat. Bahkan orang lain pun sudah diundang untuk turut ambil bagian dalam lelang tersebut, bahkan orang yang bukan Kristen sekalipun! Tujuan utama, semata-mata adalah dalam rangka pengumpulan dana. Memang, masih diadakan kebaktian singkat, Tetapi semuanya itu adalah hiasan belaka, Inti yang utama ialah: pengumpulan dana melalui lelang. Adat Batak, secara kental mengajarkan kepada kita doktrin marsiadap ari. Orang menterjemahkan kata ini dengan sebutan gotong royong. Di dalam doktrin marsiadap ari ini, sangat kental diajarkan kepada kita, semua melakukan pekerjaan itu secara bersama. Alkitab pun mengajarkan hal yang sama. Berbicara tentang lelang sekarang ini, kesan penulis ialah: parhalado tidak lagi mau melibatkan semua anggota jemaat di dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Jika hal itu diterapkan maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Salah satu penyakit modern sekarang ini yang menggerogoti hati setiap orang ialah: instant syndrom. Orang ingin siap saji. Juga di dalam hal-hal iman. Parhalado, melalui panitia sangat menginginkan agar gedung Gereja itu segera selesai, Itu menjadi prestasi tersendiri dari parhalado dan juga panitia pembangunan dan panitia lelang. Melalui lelang di zaman dahulu itu, semua anggota jemaat diminta turut ambil bagian di dalam pemenuhan kebutuhan jemaat. Memang hasilnya tidak seberapa, bisa memakan waktu yang lama. Tetapi melalui proses yang lama itu, ada sebuah proses pembelajaran yang diterapkan kepada setiap anggota jemaat, termasuk anak sekolah minggu. Bahwa mereka diharapkan turut ambil bagian di dalam tanggung jawab bersama. Semua orang memiliki sense of belonging atas Gereja tersebut. Hal itu membawa dampak yang sangat positif bagi keimanan setiap anggota sekolah minggu, bahkan anggota jemaat dewasa.
Panitia telah menempatkan lelang bukan lagi sebagai satu pembelajaran bagi jemaat secara keseluruhan, Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat diharapkan di dalam acara tersebut. Anggota jemaat yang tidak punya uang, akan segera pulang dari kebaktian, sebab mereka akan malu jika tidak turut ambil bagian di dalam lelang. Jika panitia memiliki pemikiran seperti itu, bagaimana dengan orang yang mengikuti acara lelang tersebut? Pengalaman adalah guru yang baik, demikian kata orang bijak. Penulis pernah mengikuti satu kebaktian di salah satu Gereja HKBP di Jakarta. Dalam warta jemaat diwartakan penerimaan uang lelang dari anggota jemaat. Tetapi yang aneh, lelang itu diadakan sudah satu tahun yang lalu, Setelah satu tahun berlalu, barulah orang itu membayar lelangnya. Bahkan ada uang lelang yang diputihkan, karena sudah lama masa berlalunya, tetapi belum juga dibayar yang bersangkutan.
Tuhan Yesus mengatakan: “Dari buahnyalah engkau melihat pohonnya. Jika buahnya baik, maka pohonnya pun baik". Jika lelang seperti yang diutarakan di atas, kira-kira, apa yang mendorong orang itu turut ambil bagian di dalam lelang? Orang Batak punya banyak hotel. Kata itu adalah akronim dari hosom teal elat dan late. Kata teal dalam bahasa Indonesia artinya ialah: orang yang berlagak kaya, padahal tidak demikian! Orang turut ambil bagian di dalam lelang, padahal tidak mampu melunasinya. Parhalado melalui panitia lelang memberi pembelajaran yang tidak benar kepada anggota jemaat seperti ini.
III. Cara Benar
Jika lelang harus dilakukan, karena lelang telah menjadi budaya dri HKBP, maka penulis mengusulkan hal-hal sebagai berikut: kembali ke roh pesta gotilon, pesta panen, Ingat, setiap ibadah yang dilaksanakan oleh jemaat Tuhan, di dalamnya ada dua hal, yakni pengajaran dan kesaksian. Orang mengatakan dengan sebutan lain: didache dan kerygma. Lelang pun haruslah mengandung kesaksian dan pengajaran, Tujuan utama didirikannya gedung Gereja itu ialah: agar di sana dilaksanakan pengajaran dan kesaksian yang lebih baik. Tetapi tanpa gedung Gereja itu pun, kedua hal yang dikatakan di atas tetap dapat diiaksanakan. Jangan sama sekali menaruh harapan atas manusia. Allah sanggup memenuhi segala kebutuhanmu sesuai dengan kekayaan dan kemurahan-Nya di dalam Kristus Yesus Tuhan kita. Demikian kata rasul Paulus kepada jemaat Filipi. Nas itu pun juga diperuntukkan bagi kita. Allah sanggup memenuhi segala kebutuhan kita.
Penulis telah melayani sebagai pemimpin penelahan Alkitab bagi naposobulung, remaja dan pasutri di HKBP Menteng, Jalan Jambu nomor 46 Jakarta, sejak tahun 1976 hingga sekarang. Itu meliputi kurun waktu 32 tahun. Untuk kurun waktu yang cukup panjang itu, penulis belum pernah melihat HKBP Menteng mengadakan lelang. Jadi, secara pribadi, penulis tidak setuju terhadap acara lelang. Namun, sebagian besar anggota jemaat HKBP memahami dan menerima lelang adalah bagian dari tradisi HKBP.
Pertanyaannya sekarang ialah: bagaimana membuat lelang itu menjadi sesuatu yang Alkitabiah, dan menjadi sesuatu yang berkenan kepada Allah. Roh Kudus menggerakkan orang untuk turut ambil bagian di dalamnya, untuk hormat dan kemuliaan bagi Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Ada orang yang mengatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh mind set orang tersebut. Sementara mind set seseorang itu ditentukan oleh core believenya. Jadi, jika kita merubah seseorang, maka usaha kita itu adalah sebuah usaha untuk merubah core believe orang atau masyarakat Lelang sudah menjadi tradisi yang mengakar di anggota jemaat HKBP. Untuk itu, usaha yang harus dilakukan untuk mengembalikan lelang kepada posisi yang pas, ialah: mengubah core believe anggota jemaat. Mengubah core believe ini adalah sesuatu yang sangat susah dan membutuhkan waktu yang panjang.
Salah satu cara untuk merubah core believe ialah: pembelajaran. Anggota jemaat harus diajar untuk turut ambil bagian di dalam menanggung pemenuhan kebutuhan jemaat Hal ini memerlukan waktu dan kesabaran, Sebab, jika core believe seseorang itu tidak berubah maka mind setnya pun tidak akan berubah. Jika itu tidak berubah, maka perilakunya pun tidak akan berubah. Di samping pembelajaran yang intens terhadap anggota jemaat, khususnya di dalam pemahaman memberi, Gereja pun seyogianya merumuskan pemahaman resmi tentang persembahan, Hingga hari ini, sepanjang yang penulis pahami, HKBP belum merumuskan pemahamannya secara teologis tentang persembahan. Istilah yang dipakai HKBP untuk persembahan ialah: durung-durung, bukan persembahan, Jika namanya adalah durung-durung, mate bisa saja yang didurung itu ikan teri, bisa saja ikan-ikan kecil. Mengapa kita tidak memakai kata persembahan? Melalui istilah itu, orang diajar untuk tidak memberi secara proporsional. Bahkan ada lagi yang aneh menurut penulis. HKBP memakai kata iuran tahunan. luran adalah kewajiban anggota terhadap organisasi dimana ia terlibat di dalamnya. Mengapa hal itu tidak disebut dengan persembahan tahunan, mengapa hal itu tidak disebut saja perpuluhan?
HKBP sekarang ini malu-malu kucing terhadap persembahan. Para pendeta HKBP mengatakan bahwa HKBP tidak mengenal perpuluhan. Tetapi perpuluhan tetap diterima jika anggota jemaatnya memberikan perpuluhannya kepada Gereja mereka. Jika perpuluhan tidak ada, maka persembahan perpuluhan pun tidak boleh diterima, sebab itu tidak ada di HKBP, Mengapa diterima? Karena kita butuh uang. Tetapi apa benar di HKBP tidak ada perpuluhan? Penulis melihat dalam Agenda HKBP, tatkala Ephorus HKBP melatakkan batu penjuru gedung Gereja, agenda mengutip Kej. 28:16-22. Dalam perikop itu, dibicarakan Bait Allah. Yakub berjanji akan memberikan sepersepuluh dari penghasilannya kepada Allah. Jika HKBP mengutip ayat itu dalam rangka meletakkan batu penjuru Gereja, itu berarti nas tersebut menjadi batu penjuru dari gedung Gereja yang sedang dibangun, Bukankah secara eksplisit HKBP mengakui adanya persembahan perpuluhan? Sangat disayangkan, sekarang ini tidak ada lagi proses pembelajaran dari masa lalu ke masa sekarang di HKBP. Para aktifis di Gereja sekarang ini, tidak tahu menahu sama sekali tentang masa lalu dari Gereja tersebut Bagaimana mungkin tidak ada kesinambungan ‘roh' yang memotivasi orang yang membangun gedung Gereja itu, dengan orang yang sedang mengaktualisasi diri di sana sekarang ini. Tetapi inilah kenyataannya. Mereka tidak tahu bahwa gedung Gereja itu dipersembahkan HKBP untuk ibadah kepada Tuhan. Di sana kita diajar dan diteguhkan iman kita untuk mengikut Tuhan.
Jadi, menurut hemat penulis, transformasi pemahaman persembahan yang perlu diajarkan kepada anggota jemaat HKBP. Mereka memahami dan meyakini bahwa cara yang ada di HKBP untuk mengumpulkan uang ialah: lelang. Padahal, Allah telah menetapkan di dalam kitab sucinya, bahwa harta dari Gereja ialah: persembahan. Orang memberi persembahan sebagai ucapan syukur kepada Allah. Sementara lelang di sisi lain adalah sebuah sarana aktualisasi diri dari anggota jemaat. Bukankah Yesus mengajarkan kepada kita: “janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu" di tempat lain, Yesus mengatakan bahwa tidak mungkin orang mendapatkan upah dua kali untuk satu perbuatan. Jika orang telah memuji kita karena lelang kita, maka kita tidak lagi mendapat upah di sorga untuk pekerjaan tersebut.
Oleh kanena itu, mari kita buat pembelajaran kepada anggota jemaat tentang persembahan. Mari kita ajarkan kepada generasi penerus, bahwa harta Gereja satu-satunya ialah: persembahan. Itu pun persembahan yang digerakkan oleh Roh Kudus. Mungkin di generasi sekarang ini hal tersebut tidak dapat diterima. Core believenya mengatakan bahwa lelang adalah sesuatu yang sah di HKBP. (Sekalipun lelang tidak dikenal oleh HKBP Menteng Jalan Jambu Jakarta). Hal itu tidak apa-apa. Tetapi, generasi mendatang akan memahami makna persembahan dengan core believe dan mind set yang baru. Sebab core believenya sudah dirubah melalui pembelajaran yang intens di sepanjang jalan ia berjalan dengan sesama anggota HKBP. Penulis surat Ibrani mengatakan: "Marilah kita meninggalkan asas pertama dari ajaran tentang Kristus dan beralih kepada perkembangannya yang penuh….” Ibr. 6:1. Kita pun demikian dalam lelang.
(Penulis adalah St. Hotman Ch Siahaan, tulisan ini dimuat di Buku “UntukMU” yang diterbitkan Buletin Narhasem dalam rangka 4 tahun pelayanan Buletin Narhasem pada April 2008)
Penulis dibesarkan di sebuah desa yang namanya Lumban Gorat, kira-kira dua kilometer dari kota Balige, ke arah Selatan, Di desa itu, ada sebuah Gereja HKBP. Namanya, HKBP Sibuntuon, Penulis menikmati saat yang indah di Gereja itu, khususnya dalam mengikuti kebaktian Sekolah Minggu. Setiap tahun, Gereja kami itu mengadakan pesta rohani yang diatur di dalam Agenda HKBP. Namanya ialah: pesta gotilon. Artinya ialah: pesta panen. Dewasa ini, Gereja HKBP, khususnya di Jakarta, sepanjang yang dilihat oleh penulis, hampir tidak ada lagi yang melakukannya. Padahal, Agenda HKBP menyuarakan agar pesta itu dilaksanakan. Adapun nas yang ditentukan untuk dijadikan introitus dalam pesta panen itu ialah: Yakobus 1:17, atau kejadian 8:21b; Mazmur 104: Ib, (lihat Agenda HKBP bahasa Indonesia halaman 79). Di dalam acara itu, tiap anggota jemaat diminta unluk membawa persembahannya ke hadapan altar. Namanya saja pesta panen. Orang membawa persembahannya dalam bentuk natura, tatkala panen telah usai. Umumnya orang membawa padi mereka yang baru dituai dari sawah. Semuanya persembahan ini ditaruh di altar Gereja, sebagai sebuah persembahan kepada Allah.
Kami anak-anak sekolah rninggu pun tidak ketinggalan di dalam memberikan persembahan. Biasanya orang tua kami telah mempersiapkan persembahan yang kami akan serahkan ke altar. Sebutan yang diberikan kepada persembahan itu di zaman dahulu ialah: silua, Masih segar di dalam ingatan penulis, persembahan yang kami berikan tiap tahun pada waktu itu ialah: minuman ringan, yang namanya orange crush. Pada waktu itu, kami tidak dapat melafaskan kata-kata itu dalam bahasa Inggris, sehingga kami ucapkan dengan kata: orange krus. Setelah kebaktian selesai, maka seluruh persembahan yang telah dikumpulkan itu harus diuangkan. Setelah melalui persembahan itulah kebutuhan Gereja terpenuhi. Memang, tidak dapat diharapkan pemenuhan kebutuhan biaya operasional melalui persembahan tiap minggu. Itulah sebabnya parhalado setempat memanfaatkan pesta gotilon itu sebagai moment untuk mengumpulkan persembahan dari anggota jemaat.
Sejak semula Batakmission, nama badan sending yang mengutus para penginjil datang untuk memberitakan Injil ke tanah Batak, mengupayakan agar setiap jemaat mampu membiayai dirinya sendiri. Hal ini disebabkan minimnva kas badan missi ini. Memang budaya Batak memungkinkan setiap jemaat dapat berswadaya. Keadaan ini membuat Batakmission memutuskan melalui konperensi para zendiling tanggal 25 April 1873, mereka akan mendidik jemaat yang masih muda itu agar ikut mengusahakan segala keperluan jemaat. Keputusan ini berdampak luas di Gereja HKBP. Orang dilibatkan dalam ambil bagian pemenuhan kebutuhan finansial jemaat. Di sisi lain, adat orang Batak memberikan kontribusi di dalam menopang keberadaan dari jemaat. Komunitas Batak yang menekankan kepemilikan bersama memberi kontribusi kepada keinginan untuk turut ambil bagian di dalam pemenuhan akan kebutuhan Gereja. Adat "Marsiadap ari" menjadi sarananya.
Seluruh persembahan dalam bentuk natura itu harus diuangkan. Jika persembahan itu diuangkan secara ekonomi pasar, maka dibutuhkan waktu yang panjang untuk mendapatkan pembeli dalam jumlah besar, Sementara di sisi lain, Gereja membutuhkan uang dalam rangka menjalankan pelayanannya. Maka pada waktu itulah persembahan dalam bentuk natura itu dilelang.
II. Cara Mudah
Lelang adalah cara yang paling efektif untuk menguangkan persembahan dalam bentuk natura itu dalam tempo yang singkat dan mendapatkan harga yang jauh lebih baik dari hanga pasar. Sebab, sekalipun persembahan itu dijual ke pasar, belum tentu dapat manenuhi kebutuhan pembiayaan jemaat di dalam tahun berjalan. Itulah jalan masuk budaya lelang di dalam Gereja. Hingga hari ini, Gereja HKBP pada umumnya rnengenal hanya satu cara untuk mengumpulkan uang dalam jumlah besar, yakni lelang. Di kota-kota besar, bentuk lelang itu sudah mendapat kemasan yang lebih rapih. Lelang diadakan sambil menikmati makan malam di Hotel berbintang. Lelang dilaksanakan oleh juru lelang yang piawai menstimulir orang untuk turut ambil bagian dalam lelang tersebut.
Sebuah pertanyaan perlu kita diajukan di sini! Apakah lelang dapat dipertanggung jawabkan secara Alkitabiah? Bendasarkan Konfessie HKBP tahun 1951 dalam pasal 15 "Iman dan pekerjaan baik". Konfessie itu mengatakan: “Roh Kudus yang menggerakkan hati manusia melakukan pekerjaan baik, dan jika bukan Roh Kudus yang mengerjakan (di dalam kita), pekerjaan baik menjadi dosa. Yoh 5:15-16; Ef 2:8; Rom 5:1." (Konfessie HKBP hal 47). Yohanes Calvin, sang reformator pernah mengatakan adanya satu dosa yang berkilau-kilauan. Sesuatu perbuatan yang sangat luar biasa indahnya. Andaikata ada orang yang membayar lelangnya sebesar satu milyar rupiah. Bukankah hal itu sesuatu yang sangat indah? Tetapi, jika bukan Roh Kudus yang menggerakkan hatinya untuk turut dalam lelang itu dan menyumbang sebanyak satu milyar rupiah, maka satu milyarnya itu adalah dosa, Itulah dosa yang berkilau-kilauan.
Sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut, maka pertanyaan pertama yang perlu diajukan ialah: apakah Roh Kudus yang menggerakkan orang itu ambil bagian di dalam lelang? Sebab, jika bukan Roh Kudus yang menggerakkannya, maka lelang itu adalah dosa. Karena ia dosa, maka jelaslah lelang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara Alkitabiah dan ditolak keberadaannya di dalam jemaat. Tetapi tolok ukur apa yang harus kita pakai untuk mengukur, bahwa seseorang itu digerakkan oleh Roh Kudus atau tidak? Tidak seorang pun yang dapat punya ukuran untuk mengukur karya Roh Kudus di dalam diri seseorang.
Sekalipun tidak ada tolak ukur yang pas untuk mengukur motivasi orang untuk turut ambil bagian di dalam acara lelang, namun kita dapat menduga motivasi pertama dari panitia untuk melaksanakan lelang itu sendiri. Tujuannya yang pasti ialah: mengumpulkan uang dalam jumlah yang banyak, untuk dipakai memenuhi kebutuhan jemaat yang cukup besar, Misalnya dalam rangka pembangunan gedung Gereja mereka. Jika kita berpaling lagi ke asal mula masuknya lelang ke dalam budaya HKBP di dalam mengumpulkan uang, maka sangat jelas perbedaan yang sangat nyata, Di zaman dahulu kala itu, parhalado melibatkan semua orang untuk turut ambil bagian di dalam memberikan persembahan. Bahkan sampai anak sekolah minggu juga turut ambil bagian. Pendeta menyerahkan lebih dahulu persembahan itu kepada Tuhan dalam doa, lalu dilelang. Sekarang, tidak lagi seperti itu modelnya.
Lelang telah dipusatkan kepada orang-orang tertentu di dalam persekutuan jemaat. Bahkan orang lain pun sudah diundang untuk turut ambil bagian dalam lelang tersebut, bahkan orang yang bukan Kristen sekalipun! Tujuan utama, semata-mata adalah dalam rangka pengumpulan dana. Memang, masih diadakan kebaktian singkat, Tetapi semuanya itu adalah hiasan belaka, Inti yang utama ialah: pengumpulan dana melalui lelang. Adat Batak, secara kental mengajarkan kepada kita doktrin marsiadap ari. Orang menterjemahkan kata ini dengan sebutan gotong royong. Di dalam doktrin marsiadap ari ini, sangat kental diajarkan kepada kita, semua melakukan pekerjaan itu secara bersama. Alkitab pun mengajarkan hal yang sama. Berbicara tentang lelang sekarang ini, kesan penulis ialah: parhalado tidak lagi mau melibatkan semua anggota jemaat di dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Jika hal itu diterapkan maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Salah satu penyakit modern sekarang ini yang menggerogoti hati setiap orang ialah: instant syndrom. Orang ingin siap saji. Juga di dalam hal-hal iman. Parhalado, melalui panitia sangat menginginkan agar gedung Gereja itu segera selesai, Itu menjadi prestasi tersendiri dari parhalado dan juga panitia pembangunan dan panitia lelang. Melalui lelang di zaman dahulu itu, semua anggota jemaat diminta turut ambil bagian di dalam pemenuhan kebutuhan jemaat. Memang hasilnya tidak seberapa, bisa memakan waktu yang lama. Tetapi melalui proses yang lama itu, ada sebuah proses pembelajaran yang diterapkan kepada setiap anggota jemaat, termasuk anak sekolah minggu. Bahwa mereka diharapkan turut ambil bagian di dalam tanggung jawab bersama. Semua orang memiliki sense of belonging atas Gereja tersebut. Hal itu membawa dampak yang sangat positif bagi keimanan setiap anggota sekolah minggu, bahkan anggota jemaat dewasa.
Panitia telah menempatkan lelang bukan lagi sebagai satu pembelajaran bagi jemaat secara keseluruhan, Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat diharapkan di dalam acara tersebut. Anggota jemaat yang tidak punya uang, akan segera pulang dari kebaktian, sebab mereka akan malu jika tidak turut ambil bagian di dalam lelang. Jika panitia memiliki pemikiran seperti itu, bagaimana dengan orang yang mengikuti acara lelang tersebut? Pengalaman adalah guru yang baik, demikian kata orang bijak. Penulis pernah mengikuti satu kebaktian di salah satu Gereja HKBP di Jakarta. Dalam warta jemaat diwartakan penerimaan uang lelang dari anggota jemaat. Tetapi yang aneh, lelang itu diadakan sudah satu tahun yang lalu, Setelah satu tahun berlalu, barulah orang itu membayar lelangnya. Bahkan ada uang lelang yang diputihkan, karena sudah lama masa berlalunya, tetapi belum juga dibayar yang bersangkutan.
Tuhan Yesus mengatakan: “Dari buahnyalah engkau melihat pohonnya. Jika buahnya baik, maka pohonnya pun baik". Jika lelang seperti yang diutarakan di atas, kira-kira, apa yang mendorong orang itu turut ambil bagian di dalam lelang? Orang Batak punya banyak hotel. Kata itu adalah akronim dari hosom teal elat dan late. Kata teal dalam bahasa Indonesia artinya ialah: orang yang berlagak kaya, padahal tidak demikian! Orang turut ambil bagian di dalam lelang, padahal tidak mampu melunasinya. Parhalado melalui panitia lelang memberi pembelajaran yang tidak benar kepada anggota jemaat seperti ini.
III. Cara Benar
Jika lelang harus dilakukan, karena lelang telah menjadi budaya dri HKBP, maka penulis mengusulkan hal-hal sebagai berikut: kembali ke roh pesta gotilon, pesta panen, Ingat, setiap ibadah yang dilaksanakan oleh jemaat Tuhan, di dalamnya ada dua hal, yakni pengajaran dan kesaksian. Orang mengatakan dengan sebutan lain: didache dan kerygma. Lelang pun haruslah mengandung kesaksian dan pengajaran, Tujuan utama didirikannya gedung Gereja itu ialah: agar di sana dilaksanakan pengajaran dan kesaksian yang lebih baik. Tetapi tanpa gedung Gereja itu pun, kedua hal yang dikatakan di atas tetap dapat diiaksanakan. Jangan sama sekali menaruh harapan atas manusia. Allah sanggup memenuhi segala kebutuhanmu sesuai dengan kekayaan dan kemurahan-Nya di dalam Kristus Yesus Tuhan kita. Demikian kata rasul Paulus kepada jemaat Filipi. Nas itu pun juga diperuntukkan bagi kita. Allah sanggup memenuhi segala kebutuhan kita.
Penulis telah melayani sebagai pemimpin penelahan Alkitab bagi naposobulung, remaja dan pasutri di HKBP Menteng, Jalan Jambu nomor 46 Jakarta, sejak tahun 1976 hingga sekarang. Itu meliputi kurun waktu 32 tahun. Untuk kurun waktu yang cukup panjang itu, penulis belum pernah melihat HKBP Menteng mengadakan lelang. Jadi, secara pribadi, penulis tidak setuju terhadap acara lelang. Namun, sebagian besar anggota jemaat HKBP memahami dan menerima lelang adalah bagian dari tradisi HKBP.
Pertanyaannya sekarang ialah: bagaimana membuat lelang itu menjadi sesuatu yang Alkitabiah, dan menjadi sesuatu yang berkenan kepada Allah. Roh Kudus menggerakkan orang untuk turut ambil bagian di dalamnya, untuk hormat dan kemuliaan bagi Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Ada orang yang mengatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh mind set orang tersebut. Sementara mind set seseorang itu ditentukan oleh core believenya. Jadi, jika kita merubah seseorang, maka usaha kita itu adalah sebuah usaha untuk merubah core believe orang atau masyarakat Lelang sudah menjadi tradisi yang mengakar di anggota jemaat HKBP. Untuk itu, usaha yang harus dilakukan untuk mengembalikan lelang kepada posisi yang pas, ialah: mengubah core believe anggota jemaat. Mengubah core believe ini adalah sesuatu yang sangat susah dan membutuhkan waktu yang panjang.
Salah satu cara untuk merubah core believe ialah: pembelajaran. Anggota jemaat harus diajar untuk turut ambil bagian di dalam menanggung pemenuhan kebutuhan jemaat Hal ini memerlukan waktu dan kesabaran, Sebab, jika core believe seseorang itu tidak berubah maka mind setnya pun tidak akan berubah. Jika itu tidak berubah, maka perilakunya pun tidak akan berubah. Di samping pembelajaran yang intens terhadap anggota jemaat, khususnya di dalam pemahaman memberi, Gereja pun seyogianya merumuskan pemahaman resmi tentang persembahan, Hingga hari ini, sepanjang yang penulis pahami, HKBP belum merumuskan pemahamannya secara teologis tentang persembahan. Istilah yang dipakai HKBP untuk persembahan ialah: durung-durung, bukan persembahan, Jika namanya adalah durung-durung, mate bisa saja yang didurung itu ikan teri, bisa saja ikan-ikan kecil. Mengapa kita tidak memakai kata persembahan? Melalui istilah itu, orang diajar untuk tidak memberi secara proporsional. Bahkan ada lagi yang aneh menurut penulis. HKBP memakai kata iuran tahunan. luran adalah kewajiban anggota terhadap organisasi dimana ia terlibat di dalamnya. Mengapa hal itu tidak disebut dengan persembahan tahunan, mengapa hal itu tidak disebut saja perpuluhan?
HKBP sekarang ini malu-malu kucing terhadap persembahan. Para pendeta HKBP mengatakan bahwa HKBP tidak mengenal perpuluhan. Tetapi perpuluhan tetap diterima jika anggota jemaatnya memberikan perpuluhannya kepada Gereja mereka. Jika perpuluhan tidak ada, maka persembahan perpuluhan pun tidak boleh diterima, sebab itu tidak ada di HKBP, Mengapa diterima? Karena kita butuh uang. Tetapi apa benar di HKBP tidak ada perpuluhan? Penulis melihat dalam Agenda HKBP, tatkala Ephorus HKBP melatakkan batu penjuru gedung Gereja, agenda mengutip Kej. 28:16-22. Dalam perikop itu, dibicarakan Bait Allah. Yakub berjanji akan memberikan sepersepuluh dari penghasilannya kepada Allah. Jika HKBP mengutip ayat itu dalam rangka meletakkan batu penjuru Gereja, itu berarti nas tersebut menjadi batu penjuru dari gedung Gereja yang sedang dibangun, Bukankah secara eksplisit HKBP mengakui adanya persembahan perpuluhan? Sangat disayangkan, sekarang ini tidak ada lagi proses pembelajaran dari masa lalu ke masa sekarang di HKBP. Para aktifis di Gereja sekarang ini, tidak tahu menahu sama sekali tentang masa lalu dari Gereja tersebut Bagaimana mungkin tidak ada kesinambungan ‘roh' yang memotivasi orang yang membangun gedung Gereja itu, dengan orang yang sedang mengaktualisasi diri di sana sekarang ini. Tetapi inilah kenyataannya. Mereka tidak tahu bahwa gedung Gereja itu dipersembahkan HKBP untuk ibadah kepada Tuhan. Di sana kita diajar dan diteguhkan iman kita untuk mengikut Tuhan.
Jadi, menurut hemat penulis, transformasi pemahaman persembahan yang perlu diajarkan kepada anggota jemaat HKBP. Mereka memahami dan meyakini bahwa cara yang ada di HKBP untuk mengumpulkan uang ialah: lelang. Padahal, Allah telah menetapkan di dalam kitab sucinya, bahwa harta dari Gereja ialah: persembahan. Orang memberi persembahan sebagai ucapan syukur kepada Allah. Sementara lelang di sisi lain adalah sebuah sarana aktualisasi diri dari anggota jemaat. Bukankah Yesus mengajarkan kepada kita: “janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu" di tempat lain, Yesus mengatakan bahwa tidak mungkin orang mendapatkan upah dua kali untuk satu perbuatan. Jika orang telah memuji kita karena lelang kita, maka kita tidak lagi mendapat upah di sorga untuk pekerjaan tersebut.
Oleh kanena itu, mari kita buat pembelajaran kepada anggota jemaat tentang persembahan. Mari kita ajarkan kepada generasi penerus, bahwa harta Gereja satu-satunya ialah: persembahan. Itu pun persembahan yang digerakkan oleh Roh Kudus. Mungkin di generasi sekarang ini hal tersebut tidak dapat diterima. Core believenya mengatakan bahwa lelang adalah sesuatu yang sah di HKBP. (Sekalipun lelang tidak dikenal oleh HKBP Menteng Jalan Jambu Jakarta). Hal itu tidak apa-apa. Tetapi, generasi mendatang akan memahami makna persembahan dengan core believe dan mind set yang baru. Sebab core believenya sudah dirubah melalui pembelajaran yang intens di sepanjang jalan ia berjalan dengan sesama anggota HKBP. Penulis surat Ibrani mengatakan: "Marilah kita meninggalkan asas pertama dari ajaran tentang Kristus dan beralih kepada perkembangannya yang penuh….” Ibr. 6:1. Kita pun demikian dalam lelang.
(Penulis adalah St. Hotman Ch Siahaan, tulisan ini dimuat di Buku “UntukMU” yang diterbitkan Buletin Narhasem dalam rangka 4 tahun pelayanan Buletin Narhasem pada April 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar