Selasa, 23 Juni 2009

ARTIKEL: PAJAK, YES OR NO?

Secara umum, sumber pendapatan suatu negara (Public Revenues) adalah kekayaan alam, laba perusahaan negara (BUMN), royalty, retribusi, kontribusi, bea dan terakhir, cukai. Dewasa ini kontribusi lebih dikenal dengan istilah pungutan pajak. Sejak awal tahun 1998, Indonesia termasuk negara yang sangat giat melaksanakan pemungutan pajak. Tahun 2004 ini target pajak dalam APBN-P meningkat menjadi Rp278,2 Triliun. Salah satu cara untuk merealisasikan hal ini adalah, digalakkannya kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Subjek Pajak terbagi menjadi 2 (dua) yaitu Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri. Pengkategorian keduanya dilihat dari jangka waktu orang pribadi/badan menetap/berdiri di Indonesia. Tidak semua Subjek Pajak adalah Wajib Pajak, orang pribadi/badan yang termasuk dalam kategori Wajib Pajak, adalah orang pribadi/badan yang memperoleh penghasilan dari Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Khusus untuk orang pribadi yang tergolong Wajib Pajak, adalah mereka yang memperoleh penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Contohnya : Marolop adalah seorang karyawan yang mendapat penghasilan sebesar Rp1,2 juta sebulan dan belum menikah. Jumlah penghasilan Marolop dalam setahun adalah Rp 28,8 juta. PTKP setahun untuk Wajib Pajak dengan status belum menikah adalah Rp2,88 Juta. Diketahui bahwa penghasilan Marolop selama setahun sudah melebihi PTKP, oleh karena itu, Marolop memiliki kewajiban untuk meregistrasikan dirinya sebagai wajib pajak dan memperoleh NPWP. Tidak ada pengecualian bagi orang pribadi yang sudah berpenghasilan melebihi PTKP setahun tidak mendaftarkan diri sebagai wajib pajak, menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terhutangnya setiap tahun, apalagi kalau berbentuk badan atau usaha tetap.
Sedikit melihat kebelakang, eksistensi pajak sebagai suatu kontribusi telah ada sejak zaman purba, dimana manusia di masa itu memberikan hasil pekerjaan mereka (umumnya bersifat natura) kepada penguasa atau pemimpin mereka. Seiring dengan perkembangan jaman, struktur pengumpulan kontribusi ini mulai teratur pada masa bangsa Romawi dan bangsa Mesir berkuasa, bahkan salah satu metode pelaksanaannya adalah munculnya perbudakan di masa itu, yang harus dijalankan bagi orang-orang yang secara material tidak mampu memberikan kontribusinya kepada pemerintah. Alkitab juga mencatat peristiwa-peristiwa yang dapat memberikan informasi kepada kita bahwa kontribusi sejenis pajak ini telah ada. Masih ingat dengan kisah Zakheus (Luk.19:1-10), seorang pemungut cukai. Sosoknya menjadi tokoh paling terkenal dan menjadi penentu bahwa pada masa kehidupan Yesus di dunia, pajak dalam hal ini diwakilkan oleh cukai, sudah ada. Meskipun sebelum Zakeus, ada juga Matius (Mat.9:9:13) dan Lewi (Mrk.2:13-17) yang bekerja sebagai seorang pemungut cukai namun kemudian memutuskan untuk mengikut Yesus. Banyak juga tercatat peristiwa-peristiwa perbudakan di masa kepemimpinan Firaun yang sebagian besar disebabkan orang-orang tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya memberikan kontribusi terhadap Negara pada era itu.
Sulit menentukan, apa sebenarnya definisi yang paling benar untuk menjelaskan tentang pajak. Beberapa ahli banyak melahirkan pendapat-pendapatnya dan hingga saat ini definisi yang paling sering digunakan adalah pendapat dari Edwin Robert Anderson Seligman (1861–1939), seorang ekonom, guru besar, pendiri dan presiden pertama dari American Economic Association, yang merumuskan pajak sebagai a tax is a compulsory contribution from the person to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all without reference to special benefits conferred.
Dari rumusan tersebut, terlihat beberapa unsur pokok pajak, yakni :
1. Iuran atau pungutan
Dilihat dari segi arah arus dana pajak, jika arah datangnya pajak berasal dari wajib pajak, maka pajak disebut sebagai iuran, sedangkan jika arah datangnya kegiatan untuk mewujudkan pajak tersebut berasal dari pemerintah, maka pajak itu disebut sebagai pungutan.
2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang
Salah satu karakteristik pokok dari pajak adalah bahwa pemungutannya harus berdasarkan Undang-Undang. Hal ini disebabkan karena pada hakekatnya pajak adalah beban yang harus dipikul oleh rakyat banyak, sehingga dalam perumusan macam, jenis dan berat ringannya pajak itu rakyat harus ikut serta melalui wakil-wakilnya di parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat. Perpajakan di Indonesia sifatnya sangat dinamis, setelah mengalami banyak sekali perubahan yang menjadi pedoman pelaksanaan pajak di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
3. Pajak dapat dipaksakan
Fiskus adalah orang-orang yang diberi wewenang oleh negara untuk melaksanakan pemungutan pajak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Dalam hal telah terjadi pelanggaran pajak, Fiskus memiliki kekuasaan untuk memaksa wajib pajak, yaitu orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perundang-undangan memiliki kewajiban untuk membayar pajaknya dan menyetorkannya ke kas negara, sampai dengan menyandera (gijzeling) wajib pajak tersebut bila dengan berbagai cara mengelak memenuhi kewajibannya.
4. Tidak memperoleh kontraprestasi
Ciri khas utama dari pajak adalah wajib pajak yang membayar pajak tidak memperoleh jasa timbal atau kontraprestasi dari pemerintah. Banyak ahli berpendapat bahwa hal ini tidak sepenuhnya benar, karena wajib pajak tersebut tidak menerima kenikmatan secara langsung dan individu, tetapi pajak yang telah dibayarkan ke kas negara tersebut idealnya digunakan untuk keperluan rakyat bersama, misalnya membangun fasilitas umum seperti jalan raya, sarana kebersihan, telepon umum, dan lain sebagainya.
5 Pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintahan dalam menjalankan pemerintahan
Sebagian besar dari kita pasti sudah sangat mengerti mendeskripsikan pokok terakhir dari definisi pajak ini, namun perlu diketahui, belum banyak negara yang benar-benar sempurna mengalokasikan pajak yang telah dipungut dari rakyatnya. Sampai saat ini, baru negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Belanda yang mampu menerapkan disiplin membayar pajak kepada sebagian besar rakyatnya.
Implikasi perpajakan dalam kehidupan masyarakat tidak lepas dari prinsip-prinsip yang dirancang oleh pemungut pajak yang lebih dikenal dengan istilah fiscus. Prinsip paling awal yang dianut oleh para fiskus selama berabad-abad adalah benefit principle yang pada intinya menjelaskan bahwa fiskus berwewenang untuk memungut pajak kepada setiap penduduk karena secara tidak langsung mereka telah menikmati perlindungan dari negara yang pertama kali dikemukakan oleh Adam Smith: The subject of every state ought to contribute towards the support of the government, as nearly as possible, in proportion to their respectively enjoy under the protection of the state. Namun sejak pertengah abad XX, prinsip ini mulai ditinggalkan dan berkembang hingga yang menjadi pedoman pemungutan pajak hingga saat ini adalah ability to pay principle yaitu dalam hal memungut pajak, fiskus seharusnya lebih memperhatikan kemampuan penduduk untuk membayar pajak. Selanjutnya prinsip ini dibedakan menjadi horizontal equity yang mengandung makna kepada orang-orang yang sama harus mendapat perlakuan yang sama dalam literatur perpajakan, misalnya: Tuan A memiliki jabatan sebagai direktur, Tuan B memiliki jabatan sebagai supirnya, di dalam Hukum Pajak, keduanya memiliki kewajiban yang sama untuk melaporkan penghasilannya dan menyetorkan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Yang kedua adalah vertical equity yang mengandung makna kepada orang yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama pula, misalnya Tuan A memiliki penghasilan Rp 10.000.000 sebulan, Tuan B memiliki penghasilan Rp 1.000.000 sebulan, keduanya akan membayar pajak atas penghasilan mereka dengan jumlah yang berbeda.
Untuk menentukan pajak yang terhutang, perlu diperhatikan syarat-syarat subjektif yaitu apakah subjek pajak adalah orang pribadi atau badan dan syarat-syarat objektif yang berhubungan dengan objek pajak, misalnya penghasilan, penyerahan barang dan/atau jasa. Syarat-syarat ini memiliki petunjuk pelaksanaan yang terdapat dalam produk-produk hukum perpajakan mulai dari Undang-Undang sampai dengan Surat, dan sifatnya sangat dinamis atau berubah-ubah.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah kombinasi dari Self Assessment System, Official Assessment System dan Withholding Tax System. Self Assessment System adalah suatu system perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban pajaknya, khususnya dalam hal menghitung dan membayar pajak terhutangnya ke kas negara. Official Assessment System, adalah bagian dimana fiskus meneliti kembali apakah pajak yang telah dihitung, disetorkan dan dilaporkan oleh wajib pajak sudah benar sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Withholding Tax System adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 yang memiliki kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan seseorang atau badan. Sistem yang terakhir ini lebih menguntungkan negara, karena secara tidak langsung system ini mencegah kemungkinan penyelundupan pajak.
Ada dua penggolongan pajak yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah apabila beban pajaknya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, contohnya Pajak Penghasilan. Sebaliknya disebut pajak tidak langsung, apabila beban pajaknya dapat dilimpahkan baik seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai.
Penghitungan pajak penghasilan (pph) menggunakan tarif progresif yang diatur dalam UU PPh No.17/2000 tentang Pajak Penghasilan, bagi wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Sementara penghitungan pajak pertambahan nilai (ppn) diatur dalam UU PPN No.18/2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah menggunakan tarif tunggal. Cara menghitungan pajak pertambahan nilai sangat mudah, karena tarifnya yang tunggal dan umumnya 10 % dari Harga Jual/Nilai Transaksi. Sementara penghitungan pajak penghasilan, terhitung rumit dan butuh penjabaran tersendiri agar lebih mudah dipahami.
Dasar-dasar tersebut di atas, dapat memberi suatu pengertian baru bagi kita bahwa, pelaksanaan pemungutan pajak dari masa ke masa semakin rumit dan sifat pajak selalu dinamis seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, self assessment system bisa menjadi titik positif dan menguntungkan jika diimbangi dengan pemahaman kita dan pembaharuan pengetahuan kita akan keputusan dan/atau ketetapan perpajakan baru dari pemerintah mengenai pelaksanaan pemungutan pajak tersebut.
Jumlah wajib pajak atau pemilik NPWP di Indonesia paling kecil di dunia, mengapa? Jawabannya sederhana, karena orang beranggapan bahwa dengan memiliki NPWP sama saja dengan mengundang macan (fiskus) yang akan mengejar-ngejar harta kekayaan kita. Menurut pandangan saya, hal ini lebih dikarenakan hukum pajak di Indonesia masih sangat tidak jelas sehingga untuk memahami pelaksanaan satu Undang-Undang, kita mesti mengadakan penelitian untuk mencari Petunjuk Pelaksanaannya (JukLak) dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) sampai Surat. Di tambah lagi seringnya terjadi penyalah gunaan wewenang oleh pihak fiskus. Menilik salah satu definisi pajak yang tidak ada kontraprestasi (secara langsung), maka kesadaran untuk membayar pajak akan sangat sulit dimengerti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, yang masih memiliki pemikiran, what you give is what you get, apa yang kamu beri, itu yang kamu dapat. Terkadang kita sangat menggaris bawahi alasan terutama kita untuk tidak membayar pajak adalah karena idealisme tujuan dilaksanakannya kebijakan fiskal tidak dianut secara aktif oleh pihak pemungut pajak (fiskus) yang tidak jujur dalam mengelola pajak yang dibayar oleh masyarakat. Bagaimana kita sebagai kaum muda Kristen menyikapinya?
Bertentangan dengan pemikiran dari dunia sekuler tersebut diatas, Firman Tuhan dalam Roma 13:1–7, menyatakan bahwa tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintahan-pemerintahan yang ada ditetapkan oleh Allah. Oleh karenanya, salah satu wujud kepatuhan kita kepada Allah adalah juga patuh kepada pemerintahan dalam hal membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah.
Umat Kristiani di seluruh dunia, khususnya jemaat di HKBP Semper, sudah sepatutnya memiliki kesadaran pajak yang tinggi. Kenapa? Karena Firman Tuhan berkata demikian. Alasan yang sangat sederhana. Membayar pajak sesuai dengan yang seharusnya di bayar, tidak lebih dan tidak kurang. Membayar pajak dengan kerelaan hati dan tidak bersungut-sungut. Firman Tuhan tidak mengatakan kepatuhan membayar pajak dari sisi pengelola pajak, tapi dari sisi kita pemberi pajak. Bukan posisi kita untuk menghakimi bagaimana mereka mengelola sejumlah pajak yang kita bayar kepada negara, bukan posisi kita untuk menuntut kembali sejumlah pajak yang sudah kita bayarkan kepada negara. Berangkat dari hal itu, kita sebagai wajib pajak, harus mengerti benar hak dan kewajiban kita dalam hal perpajakan. Sehingga, kita mengetahui dengan tepat apa yang menjadi objek pajak, bagaimana kita menghitung pajak yang terhutang, kapan dan dimana kita menyetorkan dan melaporkan pajak tersebut.
Kabar gembira bagi setiap subjek pajak yang mulai memiliki kesadaran pajak, tahun 2005 akan dicanangkan sebagai awal diberlakukannya wajib kepemilikan NPWP. Setiap orang yang tidak melaporkan dirinya untuk memiliki NPWP padahal pada kenyataannya dia telah memenuhi syarat untuk menjadi wajib pajak, akan dianggap melakukan tindak pidana perpajakan. Takut? Tidak perlu. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan bahwa kita adalah anak-anak Tuhan yang patuh terhadap pemerintahan. Tidak ada pengecualian untuk mengkategorikan Orang Pribadi sebagai Wajib Pajak. Secara spesifik dijelaskan di UU PPh No.17/2000 tentang Pajak Penghasilan bahwa syarat umumnya adalah Warga Negara Indonesia dan/atau memiliki penghasilan di/dari Indonesia.
“Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar; pajak kepada orang yang berhak menerima pajak; cukai kepada orang yang berhak menerima cukai .. “ (Roma 13:7a-c) dengan harapan bahwa suatu saat nanti, orang-orang yang duduk di bangku pemerintahan, khususnya mereka yang mengelola pajak negara akan mengerti dengan baik dan benar, idealisme fungsi kebijakan fiskal, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan, tapi untuk kepentingan bangsa dan negara. Terlebih lagi untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia dan mutu bangsa Indonesia di mata dunia.
Sebagai seorang Konsultan Pajak, saya sering sekali di perhadapkan dalam situasi-situasi yang menyudutkan saya, menguji iman saya, tapi itulah keunikannya seorang Konsultan Pajak, kami adalah perantara yang berusaha untuk memberi pengertian dan atau pandangan yang benar kepada orang-orang/badan yang mempergunakan jasa kami, akan pentingnya kesadaran pajak dan sekaligus menjadi wakil untuk mencoba mengarahkan fiskus yang kurang tepat melaksanakan wewenangnya dalam menjalankan Official Assessment System.
Kesimpulan dari semuanya ini, bayarlah pajak kepada yang berhak menerima pajak, tidak lebih dan tidak kurang karena Tuhan berkehendak demikian. “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.“ (Kolose 3:23). Tuhan Memberkati.

Daftar Pustaka :
Edwin R.A. Seligman, Essays on Taxation., New York, 1925
MacMillan Company & The Free Press, Taxation, London, 1968
Drs. Safri Nurmantu, Dasar-Dasar Perpajakan, Jakarta, 1994
www.klikpajak.com, Artikel-Artikel, Jakarta, 2004
www.pajak.go.id, Forum Diskusi, Jakarta 2004

(Penulis adalah Maestri Tobing –Editor Buletin Narhasem-, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi November 2004)

Tidak ada komentar: