1. INJIL DATANG KE TANAH (JIWA BATAK)
Berabad-abad suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak daerah bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya sendiri, Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaries dari Eropah untuk memperkenalkan INJIL kepada kakek-nenek (ompung) dan ayah-ibu kita yang beragama dan berbudaya Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi bergantung kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang hidup. Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian kepada kehidupan yang kekal. Injil telah datang dan merasuk ke Tanah (baca: jiwa) Batak!
2. MENERIMA INJIL DAN TETAP BATAK
Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari "sawo matang" menjadi "putih" (bule), atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan roti, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus itu juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari "Batak" menjadi "Jerman". Sewaktu menerima Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu kita tetaplah tinggal Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris Sumatera dengan segala dinamika dan pergumulannya. Para missionaries itu juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan sehari-harinya. Bahkan mereka bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat mengerti dan menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali. Selanjutnya melatih mereka memuji dan berdoa kepada Kristus yang baru mereka kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan Inggris atau Yahudi).
3. INJIL DAN KOMUNITAS BATAK MODEREN
Injil itu kini juga sampai kepada kita sekarang. Sebagaimana kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat, Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada Kristus itulah kita menerima hidup baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan Roh Kudus. (Yoh 3:16). Sama seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu, kita yang sekarang pun mengalami bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo matang menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari Batak-lndonesia menjadi Eropah-Amerika. Sebagai pengikut Kristus rupanya kita tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan berbudaya lain. Tidak ada bahasa dan budaya atau status sosial tertentu yang mutlak menjamin kita iebih dekat kepada Kristus. (Gal 3:28) Tidak ada juga bahasa yang menghalangi kita datang kepadaNya.
4. FIRMAN MENJADI MANUSIA
Firman telah menjadi manusia sama dengan kita dan tinggal di antara kita (Yoh1:14). Itu artinya Itu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara kita orang yang berjiwa dan berkultur Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan kita untuk menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa, idiom, terminologi, simbol, ritme, corak dan seluruh ekspressi kultur Batak (termasuk Indonesia dan modernitas) kita. Mengapa? Sebab Tuhan Yesus Kristus lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan hayati.
5. DAHULU DAN SEKARANG
Bagaimanakah kita menyikapi tortor, gondang dan ulos Batak sebagai orang Kristen? Memang harus diakui bahwa pada awalnya jaman dahulu, tortor dan gondang adalah merupakan ritus atau upacara keagamaan tradisional Batak yang belum mengenal kekristenan. Harus kita akui dengan jujur bahwa leluhur kita yang belum Kristen menggunakan seni tari dan musik tortor dan gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai orang Kristen (sekaligus Batak-Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta kreatif. Kita komunitas Kristen Batak sekarang mau menerima seni tari dan musik Tortor & Gondang Batak warisan leluhur pra kekristenan itu namun dengan memberinya makna atau arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dan dosa, dan Roh Kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang dilakukan gereja purba dengan tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi bangsa-bangsa Eropah yang belum mengenal Kristus namun kemudian diberi isi yang baru, yaitu perayaan kelahiran Kristus. Begitu juga dengan tradisi telur Paskah, Santa Claus dll.
6. MENGACU KEPADA ALKITAB
Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di gereja Korintus pernah ada perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging sapi yang dijual di pasar (sebelumnya dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan "boleh" namun sebagian lagi mengatakan "tidak". Rasul Paulus memberi nasihat yang sangat bijak. "Makanan tidak mendekatkan atau menjauhkan kita dari Tuhan. Makan atau tidak makan sama saja." (I Kor 8:1-11). Keadaan yang mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah orang Kristen boleh memakan segalanya. (I Kor 14-15). Rasul Paulus memberi nasihat "Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus" (I Kor 14:17). Kita boleh menarik analogi dari ayat-ayat ini untuk persoalan tortor dan gondang dan juga ulos. Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai untuk penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Selanjutnya: kita sadar bahwa kekristenan bukanlah soal makanan, minuman, jenis tekstil atau musik, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di hadapan Tuhan. Tenunan ulos Batak dengan batik Jawa atau brokart Francis sama saja nilainya di hadapan Kristus. Taganing atau orgel adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral. keduanya dapat dipakai memuliakan Allah (atau sebaliknya bisa juga untuk menghinaNya).
7. MENGGARAMI DAN MENERANGI BUDAYA
Persoalannya adalah: bagaimana sesungguhnya hubungan antara iman Kristen dan budaya. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai, merasuki, memperbaiki realitas sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada.
Itu artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos) namun untuk menggarami dan meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang kristiani. Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk begitu saja kepada tuntutan budaya itu! Agar dapat menggarami dan menerangi budaya (tortor, gondang dan ulos, dll) kita tidak dapat bersikap ekstrim: baik menolak atau menerima secara absolut dan total. Kita sadar sebagai orang Kristen bahwa kita hanya tunduk secara absolut kepada Kristus dan bukan kepada budaya. Sebaliknya kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak dapat mengasingkan diri dari budaya. Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya membangun sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya Batak itu, termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus diubah? Mana yang relevan dengan kekristenan, Indonesia dan modemitas dan mana yang tidak lagi relevan?
8. TORTOR DAN GONDANG KRISTIANI
Kita akui jujur sebelum datangnya kekristenan tortor dan gondang adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah, ternak, dan manusia), menolak bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk Tuhan Allah agar menurunkan berkatNya, namun salah satu cara kita mengekspressikan atau menyatakan syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun persekutuan sesama kita. Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai reflektor atau yang memantulkan permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita yang beriman Kristen gondang itu hanyalah alat musik belaka dan para pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat menyampaikan syukur dan atau permohonan kita kepada Allah Bapa tanpa perantara atau reflektor kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum kekristenan, tortor dan gondang, sangat terikat kepada aturan-aturan pra-kristen yang membelenggu: misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh manortor dengan membuka tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu saja semua orang boleh bersyukur dan bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk orang yang belum atau tidak menikah, belum atau tidak memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga di mata Tuhan dan telah ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan tak bernoda (I Pet 1:19).
Pada jaman dahulu tortor dan gondang Batak terdiri dari 7 (tujuh) bagian, namun pada masa kini, secara substansial, terlebih bagi tortor dan gondang huria dapat kita bagi 3(tiga) saja, yaitu:
1. Gondang mula-mula atau somba-somba
2. Gondang pasu-pasu atau liat-liat
3. Gondang sitio-tio atau hasahatan
ALU-ALU
Sebelum manortor pemimpin rombongan yang sekaligus juru bicara (parhata) menyapa tim pemusik (panggual pargonsi) agar memberikan tanda untuk mengungkapkan seruan (alu-alu) hati para penari kepada Allah Tritunggal. Seluruh penari berdiri dengan sikap hormat dengan ulos diselempangkan di bahu.
Contoh:
Nunga marpungu hami di alaman bagas joro on, ruas ni huria HKBP Rawamangun, marlas ni roha, marria-ria jala marolop-olop manghalashon pasu-pasu ni Tuhanta Debata. Ibana do bonana Ibana do ujungna, Parjolojala Parpudi (Wahyu 1:8,18).
Antong pasahat ma alu-alu nami:
Alu-aluhon ma jolo tu Debata Ama, na manompa langit dohot tano on, dohot nasa isina, ima TUHAN JAHOWA, Ama na hutanda hami di bagasan goarni AnakNa Jesus Kristus. (manghuling taganing).
Alu-aluhon ma tu Tuhan Jesus Kristus, Anak ni Debata na sasada i, na paluahon hami sian dosadohot hamatean marhite mudarNa na badia i (manghuling taganing)
Alu-aluhon ma tu Tondi Porbadia na ruar sian Ama i dohot sian AnakNa Tuhan Jesus Kristus, na pajongjong huria na badia i. (manghuling taganing).
1. GONDANG MULA-MULA atau SOMBA-SOMBA
Tortor huria hendak kita awali dengan gondang mula-mula sekaligus gondang somba-somba. Pada saat ini penari (panortor) bersikap menyembah atau memberi hormat, yaitu kedua tangan terkatup rapat di depan dada sambil bergerak memutar di tempat sesuai dengan irama musik. Ini adalah ungkapan sikap sembah kepada Tuhan Allah, Bapa yang maha kuasa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Sekaligus untuk menunjukkan sikap hormat kepada sesama manusia. Harus diakui bahasa Batak tidak membedakan "sembah" dan "hormat". Sebab itu kita sendirilah yang harus mengartikan bahwa somba kepada Tuhan berbeda derajatnya atau kualitasnya dengan "somba" kepada manusia. Yang pertama menunjukkan ketergantungan mutlak kepada Allah dan yang kedua merupakan sikap hormat dan santun kepada sesama manusia.
Contoh:
Amang (Inang) panggual pargonsi, na marmula do nasa na adong, jala Debata do haroroan ni saluhutna! Nuaeng bahen damang (dainang) ma jolo gondang mula-mula laos padomu ma dohot gondang somba-somba i, asa jolo marsomba hami tu jolo ni Tuhan, Debata Jahowa na sasada i, na tumompa langit dohot tano on, dohot tu AnakNa Tuhan Jesus Kristus naung mate humophop hita jala mulak mangolu, dohot tu Tondi Porbadia na mangalehon hasesaan ni dosa, las nl roha dohot ngolu na imbaru na so ra suda i".
2. GONDANG LIAT-LIAT
Sesudah mengungkapkan tanda sembah kepada Allah dan hormat kepada sesama, dengan berdiri di tempat, tortor dilanjutkan dengan meminta gondang liat-liat (keliling). Mangaliat atau berkeliling adalah simbol persekutuan dan kebersamaan (komunalitas) Batak yang sangat khas, dan sesuai dengan kekristenan kita. Gerak dan posisi berkeliling menunjuk kepada kesatuan dan sekaligus kepada keadilan. Bahwa setiap orang diterima dan diakui sebagai bagian persekutuan dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Selanjutnya gerak berkeliling ini juga menyimbolkan dinamika komunitas itu sendiri. Bahwa dalam hidup ini kita tidak dapat tinggal diam atau statis, namun harus selalu bergerak dan berkarya.
Contoh:
Ale Amang (Inang) panggual pargonsi, bahen damang (dainang) ma gondang liat-liat i, asa mangaliat hami manghalashon jala manghamauliatehon pasu-pasu nl Debata naung sahat tu hami be, asa mangaliat hami mangolophon haluaon naung pinatupa nl Tuhan Jesus i jala hasesaan nl dosa naung nilehonNa i, asa mangaliat hami mamaritahon Barita na Ulijalapatupahon ulaon asi nl roha I, asa Hat hahorasan, Hat las nl roha, Hat hadameon, Hathasonangan tubangsonami
Catatan: dalam kultur Batak menggoyang-goyangkan pinggul dalam manortor dianggap sesuatu yang vulgar atau sangat tidak sopan.
3. GONDANG SITIO-TIO atau HASAHATAN
Tortor diakhiri dengan gondang sitio-tio (bening, jernih, bersih) yang disatukan dengan gondang hasahatan (kesampaian). Seluruh peserta memegang ujung ulos. Jurubicara (parhata) rombongan menyampaikan bahwa rombongan sudah puas dan lega menari dan semua syukur dan doa kerinduan kepada Allah Tritunggal sudah disampaikan.
Contoh:
"Amang (Inang) panggual pargonsi, bahan damang gondang sitio-tio i, asa tongtong tio ulaonnami jala tiur ngolunami, tangkas parrohaonnami jala torang pingkirannami, pita haporseaonnami jala polin holongnami, laos padomu ma dohot gondang hasahatan isiala nunga sahat Barita na Uli tu hami, sahat haluaon na pinatupa ni Kristus i, sahat ditongoshon Tuhan i TondiNa na badia i jala sahat hami tu hahorason, hadameon dohot hangoluan na imbaru......”
4. UMPASA DAN AYAT ALKITAB
Dalam tortor Batak selalu diungkapkan umpasa (kata-kata bijak yang berisi permohonan berkat). Banyak diantara umpasa itu yang baik dan tetap relevan dengan kehidupan kita sebagai orang Kristen dan moderen. Sebab itu adalah baik jika kita menyelipkan umpasa-umpasa itu. Namun lebih baik lagi jika kita juga mengutip ayat-ayat Alkitab yang kita imani pada saat meminta gondang.
Contoh:
Puji hamu ma Ibana mardongan soara ni sarune, puji hamu ma Ibana mardongan arbab dohot sordam. Puji hamu ma Jahowa mardongan tali sayak dohot panontoron na marliat, puji hamu ma Ibana mardongan hasapi dohot tulila. Puji hamu ma Ibana mardongan ogung panggora, puji hamu ma Ibana mardongan ogung panonggahi! (Psalm 150:3-5)
5. HAL-HAL YANG HARUS DIHINDARKAN DALAM TORTOR KRISTIANI
a) Penyebutan nama-nama dewa batak kuno "mulajadi na bolon", "ompunta martua debata", "debata asi-asi", "bala bulan" dll. Kita harus benar-benar sadar bahwa yang kita puji dan sembah juga dalam tortor adalah Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus).
b) Penggunaan istilah 'ompung" menyebut Tuhan. Alkitab jelas mengajar kita menyapa Allah dengan Bapa.
c) Penggunaan terlalu banyak kata "asa" atau "supaya". Kita margondang bukan supaya (ndada asa) diselamatkan Allah, tetapi (alai siala) karena sudah diselamatkan oleh Kristus, bukan supaya diberkati tetapi karena sudah diberkati.
d) Perilaku sombong, congkak atau arogan serta melecehkan keberadaan orang lain. Tortor bukanlah untuk dipertontonkan.
e) Lupa diri dan tidak menguasai diri yang diakibatkan terlalu gembira/ antusias atau karena pengaruh minuman keras. Dalam manortor kita perlu tetap siuman dan siaga (jamot) dan mengendalikan diri sepenuhnya di bawah Firman Tuhan.
f) Perilaku yang tidak senonoh.
6. TORTOR BUKAN TONTONAN
Tortor adalah acara kebersamaan kita sebagai komunitas Kristen-Batak. Dalam manortor tidak ada penonton dan tidak ada pemain. Kultur Batak yang kita warisi tidak mengenal profesi "penari" atau panortor. Sebab semuanya adalah peserta (parsidohot) dan penerima hak (parjambar) termasuk dalam manortor. Itulah kekuatan dan makna utama tortor Batak. Tortor akan kehilangan kekuatan dan maknanya bila direduksi menjadi show atau pertunjukan. Sebab itu tortor tidak boleh elitis, tetapi harus tetap populis. Pusat tortor tidak boleh digeser ke panggung kecil tetapi tetap halaman luas dimana orang banyak berkumpul.
7. KESETARAAN PEREMPUAN & LAKI-LAKI
Sebagai gereja yang sudah ditebus Tuhan Yesus Kristus, kita harus menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah yaitu sama-sama citra Allah (Kej 1:27) dan dalam Kristus tidak ada lagi perbedaan kemanusiaan perempuan dan laki-laki. Termasuk dalam manortor atau meminta gondang (pemimpin rombongan dan juru bicara). Bahkan sebagai gereja kita mengharapkan di masa depan perempuan juga ada yang menjadi panggual pargonsi (tim pemusik).
8. PASU-PASU ATAU BERKAT
Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa berkat (pasu-pasu) datang hanya dari Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. (Bilangan 6:24-26, II Kor 13:13). Tuhanlah sumber satu-satunya berkat (pasu-pasu). Tuhan Allah dapat memakai siapa saja untuk menyalurkan atau mendistribusikan pasu-pasu atau berkatNya yang berlimpah itu (orangtua, ompung, hula-hula, raja, atasan, gereja, pendeta dan sintua dll). Namun semua orang yang disebutkan itu hanyalah penyalur atau distributor belaka. Mereka bukan penentu atau pemilik berkat. Mereka karena itu tidak boleh menahan atau membelokkan berkat Tuhan itu. Tugas mereka hanyalah menyalurkan dan membagi-bagikan berkat. Dengan atau tanpa melalui kita Tuhan Allah dapat tetap memberkati umatNya. HASANGAPON MA DI DEBATA NA DI GINJANG DAME MA DIHITA NA DITANOON (Luk2:14). bersambung…
(Penulis adalah Pdt. Daniel Taruli Asi Harahap, M.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juni 2004)
Berabad-abad suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak daerah bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya sendiri, Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaries dari Eropah untuk memperkenalkan INJIL kepada kakek-nenek (ompung) dan ayah-ibu kita yang beragama dan berbudaya Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi bergantung kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang hidup. Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian kepada kehidupan yang kekal. Injil telah datang dan merasuk ke Tanah (baca: jiwa) Batak!
2. MENERIMA INJIL DAN TETAP BATAK
Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari "sawo matang" menjadi "putih" (bule), atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan roti, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus itu juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari "Batak" menjadi "Jerman". Sewaktu menerima Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu kita tetaplah tinggal Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris Sumatera dengan segala dinamika dan pergumulannya. Para missionaries itu juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan sehari-harinya. Bahkan mereka bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat mengerti dan menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali. Selanjutnya melatih mereka memuji dan berdoa kepada Kristus yang baru mereka kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan Inggris atau Yahudi).
3. INJIL DAN KOMUNITAS BATAK MODEREN
Injil itu kini juga sampai kepada kita sekarang. Sebagaimana kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat, Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada Kristus itulah kita menerima hidup baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan Roh Kudus. (Yoh 3:16). Sama seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu, kita yang sekarang pun mengalami bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo matang menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari Batak-lndonesia menjadi Eropah-Amerika. Sebagai pengikut Kristus rupanya kita tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan berbudaya lain. Tidak ada bahasa dan budaya atau status sosial tertentu yang mutlak menjamin kita iebih dekat kepada Kristus. (Gal 3:28) Tidak ada juga bahasa yang menghalangi kita datang kepadaNya.
4. FIRMAN MENJADI MANUSIA
Firman telah menjadi manusia sama dengan kita dan tinggal di antara kita (Yoh1:14). Itu artinya Itu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara kita orang yang berjiwa dan berkultur Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan kita untuk menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa, idiom, terminologi, simbol, ritme, corak dan seluruh ekspressi kultur Batak (termasuk Indonesia dan modernitas) kita. Mengapa? Sebab Tuhan Yesus Kristus lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan hayati.
5. DAHULU DAN SEKARANG
Bagaimanakah kita menyikapi tortor, gondang dan ulos Batak sebagai orang Kristen? Memang harus diakui bahwa pada awalnya jaman dahulu, tortor dan gondang adalah merupakan ritus atau upacara keagamaan tradisional Batak yang belum mengenal kekristenan. Harus kita akui dengan jujur bahwa leluhur kita yang belum Kristen menggunakan seni tari dan musik tortor dan gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai orang Kristen (sekaligus Batak-Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta kreatif. Kita komunitas Kristen Batak sekarang mau menerima seni tari dan musik Tortor & Gondang Batak warisan leluhur pra kekristenan itu namun dengan memberinya makna atau arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dan dosa, dan Roh Kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang dilakukan gereja purba dengan tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi bangsa-bangsa Eropah yang belum mengenal Kristus namun kemudian diberi isi yang baru, yaitu perayaan kelahiran Kristus. Begitu juga dengan tradisi telur Paskah, Santa Claus dll.
6. MENGACU KEPADA ALKITAB
Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di gereja Korintus pernah ada perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging sapi yang dijual di pasar (sebelumnya dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan "boleh" namun sebagian lagi mengatakan "tidak". Rasul Paulus memberi nasihat yang sangat bijak. "Makanan tidak mendekatkan atau menjauhkan kita dari Tuhan. Makan atau tidak makan sama saja." (I Kor 8:1-11). Keadaan yang mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah orang Kristen boleh memakan segalanya. (I Kor 14-15). Rasul Paulus memberi nasihat "Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus" (I Kor 14:17). Kita boleh menarik analogi dari ayat-ayat ini untuk persoalan tortor dan gondang dan juga ulos. Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai untuk penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Selanjutnya: kita sadar bahwa kekristenan bukanlah soal makanan, minuman, jenis tekstil atau musik, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di hadapan Tuhan. Tenunan ulos Batak dengan batik Jawa atau brokart Francis sama saja nilainya di hadapan Kristus. Taganing atau orgel adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral. keduanya dapat dipakai memuliakan Allah (atau sebaliknya bisa juga untuk menghinaNya).
7. MENGGARAMI DAN MENERANGI BUDAYA
Persoalannya adalah: bagaimana sesungguhnya hubungan antara iman Kristen dan budaya. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai, merasuki, memperbaiki realitas sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada.
Itu artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos) namun untuk menggarami dan meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang kristiani. Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk begitu saja kepada tuntutan budaya itu! Agar dapat menggarami dan menerangi budaya (tortor, gondang dan ulos, dll) kita tidak dapat bersikap ekstrim: baik menolak atau menerima secara absolut dan total. Kita sadar sebagai orang Kristen bahwa kita hanya tunduk secara absolut kepada Kristus dan bukan kepada budaya. Sebaliknya kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak dapat mengasingkan diri dari budaya. Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya membangun sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya Batak itu, termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus diubah? Mana yang relevan dengan kekristenan, Indonesia dan modemitas dan mana yang tidak lagi relevan?
8. TORTOR DAN GONDANG KRISTIANI
Kita akui jujur sebelum datangnya kekristenan tortor dan gondang adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah, ternak, dan manusia), menolak bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk Tuhan Allah agar menurunkan berkatNya, namun salah satu cara kita mengekspressikan atau menyatakan syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun persekutuan sesama kita. Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai reflektor atau yang memantulkan permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita yang beriman Kristen gondang itu hanyalah alat musik belaka dan para pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat menyampaikan syukur dan atau permohonan kita kepada Allah Bapa tanpa perantara atau reflektor kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum kekristenan, tortor dan gondang, sangat terikat kepada aturan-aturan pra-kristen yang membelenggu: misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh manortor dengan membuka tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu saja semua orang boleh bersyukur dan bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk orang yang belum atau tidak menikah, belum atau tidak memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga di mata Tuhan dan telah ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan tak bernoda (I Pet 1:19).
Pada jaman dahulu tortor dan gondang Batak terdiri dari 7 (tujuh) bagian, namun pada masa kini, secara substansial, terlebih bagi tortor dan gondang huria dapat kita bagi 3(tiga) saja, yaitu:
1. Gondang mula-mula atau somba-somba
2. Gondang pasu-pasu atau liat-liat
3. Gondang sitio-tio atau hasahatan
ALU-ALU
Sebelum manortor pemimpin rombongan yang sekaligus juru bicara (parhata) menyapa tim pemusik (panggual pargonsi) agar memberikan tanda untuk mengungkapkan seruan (alu-alu) hati para penari kepada Allah Tritunggal. Seluruh penari berdiri dengan sikap hormat dengan ulos diselempangkan di bahu.
Contoh:
Nunga marpungu hami di alaman bagas joro on, ruas ni huria HKBP Rawamangun, marlas ni roha, marria-ria jala marolop-olop manghalashon pasu-pasu ni Tuhanta Debata. Ibana do bonana Ibana do ujungna, Parjolojala Parpudi (Wahyu 1:8,18).
Antong pasahat ma alu-alu nami:
Alu-aluhon ma jolo tu Debata Ama, na manompa langit dohot tano on, dohot nasa isina, ima TUHAN JAHOWA, Ama na hutanda hami di bagasan goarni AnakNa Jesus Kristus. (manghuling taganing).
Alu-aluhon ma tu Tuhan Jesus Kristus, Anak ni Debata na sasada i, na paluahon hami sian dosadohot hamatean marhite mudarNa na badia i (manghuling taganing)
Alu-aluhon ma tu Tondi Porbadia na ruar sian Ama i dohot sian AnakNa Tuhan Jesus Kristus, na pajongjong huria na badia i. (manghuling taganing).
1. GONDANG MULA-MULA atau SOMBA-SOMBA
Tortor huria hendak kita awali dengan gondang mula-mula sekaligus gondang somba-somba. Pada saat ini penari (panortor) bersikap menyembah atau memberi hormat, yaitu kedua tangan terkatup rapat di depan dada sambil bergerak memutar di tempat sesuai dengan irama musik. Ini adalah ungkapan sikap sembah kepada Tuhan Allah, Bapa yang maha kuasa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Sekaligus untuk menunjukkan sikap hormat kepada sesama manusia. Harus diakui bahasa Batak tidak membedakan "sembah" dan "hormat". Sebab itu kita sendirilah yang harus mengartikan bahwa somba kepada Tuhan berbeda derajatnya atau kualitasnya dengan "somba" kepada manusia. Yang pertama menunjukkan ketergantungan mutlak kepada Allah dan yang kedua merupakan sikap hormat dan santun kepada sesama manusia.
Contoh:
Amang (Inang) panggual pargonsi, na marmula do nasa na adong, jala Debata do haroroan ni saluhutna! Nuaeng bahen damang (dainang) ma jolo gondang mula-mula laos padomu ma dohot gondang somba-somba i, asa jolo marsomba hami tu jolo ni Tuhan, Debata Jahowa na sasada i, na tumompa langit dohot tano on, dohot tu AnakNa Tuhan Jesus Kristus naung mate humophop hita jala mulak mangolu, dohot tu Tondi Porbadia na mangalehon hasesaan ni dosa, las nl roha dohot ngolu na imbaru na so ra suda i".
2. GONDANG LIAT-LIAT
Sesudah mengungkapkan tanda sembah kepada Allah dan hormat kepada sesama, dengan berdiri di tempat, tortor dilanjutkan dengan meminta gondang liat-liat (keliling). Mangaliat atau berkeliling adalah simbol persekutuan dan kebersamaan (komunalitas) Batak yang sangat khas, dan sesuai dengan kekristenan kita. Gerak dan posisi berkeliling menunjuk kepada kesatuan dan sekaligus kepada keadilan. Bahwa setiap orang diterima dan diakui sebagai bagian persekutuan dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Selanjutnya gerak berkeliling ini juga menyimbolkan dinamika komunitas itu sendiri. Bahwa dalam hidup ini kita tidak dapat tinggal diam atau statis, namun harus selalu bergerak dan berkarya.
Contoh:
Ale Amang (Inang) panggual pargonsi, bahen damang (dainang) ma gondang liat-liat i, asa mangaliat hami manghalashon jala manghamauliatehon pasu-pasu nl Debata naung sahat tu hami be, asa mangaliat hami mangolophon haluaon naung pinatupa nl Tuhan Jesus i jala hasesaan nl dosa naung nilehonNa i, asa mangaliat hami mamaritahon Barita na Ulijalapatupahon ulaon asi nl roha I, asa Hat hahorasan, Hat las nl roha, Hat hadameon, Hathasonangan tubangsonami
Catatan: dalam kultur Batak menggoyang-goyangkan pinggul dalam manortor dianggap sesuatu yang vulgar atau sangat tidak sopan.
3. GONDANG SITIO-TIO atau HASAHATAN
Tortor diakhiri dengan gondang sitio-tio (bening, jernih, bersih) yang disatukan dengan gondang hasahatan (kesampaian). Seluruh peserta memegang ujung ulos. Jurubicara (parhata) rombongan menyampaikan bahwa rombongan sudah puas dan lega menari dan semua syukur dan doa kerinduan kepada Allah Tritunggal sudah disampaikan.
Contoh:
"Amang (Inang) panggual pargonsi, bahan damang gondang sitio-tio i, asa tongtong tio ulaonnami jala tiur ngolunami, tangkas parrohaonnami jala torang pingkirannami, pita haporseaonnami jala polin holongnami, laos padomu ma dohot gondang hasahatan isiala nunga sahat Barita na Uli tu hami, sahat haluaon na pinatupa ni Kristus i, sahat ditongoshon Tuhan i TondiNa na badia i jala sahat hami tu hahorason, hadameon dohot hangoluan na imbaru......”
4. UMPASA DAN AYAT ALKITAB
Dalam tortor Batak selalu diungkapkan umpasa (kata-kata bijak yang berisi permohonan berkat). Banyak diantara umpasa itu yang baik dan tetap relevan dengan kehidupan kita sebagai orang Kristen dan moderen. Sebab itu adalah baik jika kita menyelipkan umpasa-umpasa itu. Namun lebih baik lagi jika kita juga mengutip ayat-ayat Alkitab yang kita imani pada saat meminta gondang.
Contoh:
Puji hamu ma Ibana mardongan soara ni sarune, puji hamu ma Ibana mardongan arbab dohot sordam. Puji hamu ma Jahowa mardongan tali sayak dohot panontoron na marliat, puji hamu ma Ibana mardongan hasapi dohot tulila. Puji hamu ma Ibana mardongan ogung panggora, puji hamu ma Ibana mardongan ogung panonggahi! (Psalm 150:3-5)
5. HAL-HAL YANG HARUS DIHINDARKAN DALAM TORTOR KRISTIANI
a) Penyebutan nama-nama dewa batak kuno "mulajadi na bolon", "ompunta martua debata", "debata asi-asi", "bala bulan" dll. Kita harus benar-benar sadar bahwa yang kita puji dan sembah juga dalam tortor adalah Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus).
b) Penggunaan istilah 'ompung" menyebut Tuhan. Alkitab jelas mengajar kita menyapa Allah dengan Bapa.
c) Penggunaan terlalu banyak kata "asa" atau "supaya". Kita margondang bukan supaya (ndada asa) diselamatkan Allah, tetapi (alai siala) karena sudah diselamatkan oleh Kristus, bukan supaya diberkati tetapi karena sudah diberkati.
d) Perilaku sombong, congkak atau arogan serta melecehkan keberadaan orang lain. Tortor bukanlah untuk dipertontonkan.
e) Lupa diri dan tidak menguasai diri yang diakibatkan terlalu gembira/ antusias atau karena pengaruh minuman keras. Dalam manortor kita perlu tetap siuman dan siaga (jamot) dan mengendalikan diri sepenuhnya di bawah Firman Tuhan.
f) Perilaku yang tidak senonoh.
6. TORTOR BUKAN TONTONAN
Tortor adalah acara kebersamaan kita sebagai komunitas Kristen-Batak. Dalam manortor tidak ada penonton dan tidak ada pemain. Kultur Batak yang kita warisi tidak mengenal profesi "penari" atau panortor. Sebab semuanya adalah peserta (parsidohot) dan penerima hak (parjambar) termasuk dalam manortor. Itulah kekuatan dan makna utama tortor Batak. Tortor akan kehilangan kekuatan dan maknanya bila direduksi menjadi show atau pertunjukan. Sebab itu tortor tidak boleh elitis, tetapi harus tetap populis. Pusat tortor tidak boleh digeser ke panggung kecil tetapi tetap halaman luas dimana orang banyak berkumpul.
7. KESETARAAN PEREMPUAN & LAKI-LAKI
Sebagai gereja yang sudah ditebus Tuhan Yesus Kristus, kita harus menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah yaitu sama-sama citra Allah (Kej 1:27) dan dalam Kristus tidak ada lagi perbedaan kemanusiaan perempuan dan laki-laki. Termasuk dalam manortor atau meminta gondang (pemimpin rombongan dan juru bicara). Bahkan sebagai gereja kita mengharapkan di masa depan perempuan juga ada yang menjadi panggual pargonsi (tim pemusik).
8. PASU-PASU ATAU BERKAT
Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa berkat (pasu-pasu) datang hanya dari Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. (Bilangan 6:24-26, II Kor 13:13). Tuhanlah sumber satu-satunya berkat (pasu-pasu). Tuhan Allah dapat memakai siapa saja untuk menyalurkan atau mendistribusikan pasu-pasu atau berkatNya yang berlimpah itu (orangtua, ompung, hula-hula, raja, atasan, gereja, pendeta dan sintua dll). Namun semua orang yang disebutkan itu hanyalah penyalur atau distributor belaka. Mereka bukan penentu atau pemilik berkat. Mereka karena itu tidak boleh menahan atau membelokkan berkat Tuhan itu. Tugas mereka hanyalah menyalurkan dan membagi-bagikan berkat. Dengan atau tanpa melalui kita Tuhan Allah dapat tetap memberkati umatNya. HASANGAPON MA DI DEBATA NA DI GINJANG DAME MA DIHITA NA DITANOON (Luk2:14). bersambung…
(Penulis adalah Pdt. Daniel Taruli Asi Harahap, M.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juni 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar