Selasa, 13 Oktober 2009

ARTIKEL: PRIVATISASI PENDIDIKAN TINGGI

Salam sejahtera bagi kita semua!! Penulis mencoba mengangkat tema tentang Privatisasi Pendidikan, mungkin sesuatu yang jarang dibicarakan, bahkan terdengar. Karena baru-baru ini semakin tersadar akan pertanyaan seorang teman kelas 3 SMA yang bingung untuk melanjutkan pendidikan tinggi dimana, perihal berbagai kualitas yang ada baik negeri atau swasta mempunyai biaya kuliah yang relatif sama.

Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh setiap lapisan masyarakat, melalui institusi pendidikan yang berifat formal seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, hingga pada Perguruan Tinggi. Keberadaan pihak swasta yang menurut UU SISDIKNAS diberikan peluang dan kesempatan dalam ikut menyelenggarakan pendidikan dengan konsekwensi, lembaga swasta tersebut selaku pihak penyelenggara pendidikan bersedia menanggung biaya investasi dan biaya operasional secara mandiri, hal ini berbeda dengan pihak penyelenggara negeri dimana pihak Pemerintah turut campur tangan secara murni dalam hal pendanaan, kecuali gaji guru. Semua tingkat pendidikan itu mempunyai nilai manfaat bagi peserta didik masing-masing, baik mendapat fungsi laten / langsung maupun manifes / tidak disadari, yang nantinya akan berguna bagi peserta didik di masa depannya.
Dewasa ini banyak kita lihat munculnya sekolah yang berasal dari luar negeri, yang mempunyai rekanan dari sekolah di Indonesia untuk dapat membuka cabang. Hal ini merupakan refleksi dari arus Globalisasi yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, dimana pendidikan seakan menjadi barang komoditi untuk diperjualbelikan dalam pasar bebas, yang artinya yang memiliki kemampuan ekonomi sajalah yang mampu merasakan dunia pendidikan. Bertolak belakang dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Dari pasal tersebut, Pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh atas terselenggaranya pendidikan bagi masyarakat. Dan hal ini menjadi semakin ramai dibahas masyarakat terlebih para mahasiswa di Jogja, Makasar, Depok dan Jakarta yang menolak Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) pada awal desember 2008, karena memiliki ketimpangan dengan UUD 1945. Dan pada tanggal 17 Desember 2008 lalu, RUU BHP telah disahkan dan menjadi acuan berbagai perguruan tinggi dalam menentukan kebijakan. Tentu saja hingga saat ini pun masih banyak pihak yang kontra terhadap UU BHP ini, dan berikut akan kita bahasa akan Privatisasi Pendidikan Tinggi.

Globalisasi Vs Pendidikan
Arus globalisasi membawa dampak yang luar biasa bagi setiap negara, hal ini mampu menembus batasan geografi bahkan budaya di tiap negara. Pada akhir bulan Mei tahun 2008 saja, negara-negara anggota WTO yang juga Indonesia selaku anggota menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdangan di 12 sektor jasa, pendidikan tinggi termasuk dalam perdagangan bebas ini. Dan belakangan ini pula, negara maju mulai berlomba-lomba untuk mengekspansi berbagai negara dunia ketiga sebagai tujuan dalam pasar globalnya. Sebut saja Amerika yang dengan mudahnya bekerjasama dengan pendidikan tinggi di negara tujuan pasar globalnya dengan upaya membangun universitas baru, tujuannya jelas bukan lagi untuk mencerdaskan masyarakat karena biaya untuk dapat berpartisipasi sebagai peserta didik cukup besar, tidak heran pemasukan melalui bidang pendidikan cukup besar mempengaruhi pendapatan negara ini, Inggris dan Australia juga mengikuti jejak Amerika dalam mendapat keuntungan dari sektor Ekspor melalui jasa pendidikan.
Awal mula usulan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan berawal dari Pasal 53 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijadikan sebagai dasar pemerintah dalam mensahkan RUU tersebut, yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Pasal ini ditafsirkan bahwasannya masyarakat yang sebagai peserta didik juga punya tanggung jawab untuk membiayai pendidikan, maksudnya pembiayaan pendidikan tidak menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemerintah, tetapi ada sharing cost atau penanggungan biaya bersama dengan peserta didik. Secara tidak langsung, pembukaan UUD 1945 menjelaskan juga bahwa indonesia turut dalam perkembangan dunia atau arus globalisasi, “... Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...” didukung lagi UU tentang SISDIKNAS. Hal itu pula yang menyeret Indonesia menerapkan privatisasi pendidikan tinggi melalui Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Hingga kini masih saja diperdebatkan antara pro dan kontra dari UU BHP yang sudah ditetapkan pada tanggal 17 Desember 2008. Bila kita simak secara teliti, ternyata UU BHP memiliki cukup banyak kelemahan yang secara umum dapat dikelompokan kedalam 3 masalah utama, yaitu (1) masalah ketidakberpihakan kepada masyarakat kecil, (2) masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan (3) masalah kacau-balaunya pasal-pasal dalam undang-undang ini. Keberpihakan pada masyarakat kecil untuk memperoleh jaminan pendidikan tinggi dengan biaya yang terjangkau, nampaknya tidak tercermin dalam pasal-pasal dari undang-undang ini.

Pendanaan Pemerintah
Ketidak mampuan pemerintah dalam memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen seperti yang sudah tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Dan tertulis sekurang-kurangnya 20% untuk pendidikan, menandakan untuk memperbolehkan pemerintah lebih dari 20% dalam menganggarkan APBN untuk pendidikan diluar gaji guru. Tidak heran negara kita masih terbelakang dalam bidang pendidikan karena pada tahun 2005 saja hanya menganggarkan 8,1%, tahun 2006 mengalokasikan APBN sebesar 9,4% untuk pendidikan, bahkan untuk mencapai setengah dari yang sudah ditetapkan UUD 1945 saja tidak bisa. Di tahun 2007 meningkat menjadi 11,8% dari APBN sebesar Rp 90,10 triliun (kompas, 10/12/2007), masih sangat minim perhatian pemerintah dalam mengalokasikan dana untuk pendidikan di Indonesia ini, sampai kapan pemerintah ingin lari dari pendanaan pendidikan ini, apakah UU BHP ini sebagai langkah awal untuk lari dari tanggung jawab. Lihat saja China, Malaysia dan India yang sangat memperhatikan pendidikan dalam negerinya, yang sangat royal dalam mengalokasikan dananya, tidak heran malaysia berada pada posisi 56 diatas Indonesia yang turun dari posisi 58 menjadi 62 dalam Educational Development Index. Padahal sejak periode awal kemerdekaan banyak guru Indonesia yang sengaja didatangkan untuk mengajar di Malaysia. Dengan ini semakin jelas bahwa negara yang maju ialah negara yang selalu menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan, agar dapat bersaing dengan negara lain, bukan berarti kita sebagai negara berkembang tidak dapat melakukan hal tersebut. Masalah tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi secara eksplisit dalam UU BHP dapat difahami bahwa pembiayaan pemerintah masih tergolong rendah, meskipun anggaran pendidikan 20% dari APBN segera direalisasikan, apalagi dengan adanya pemerintahan bari di Pemilihan Presiden Juli nanti, biasanya mereka menjanjikan untuk lebih memperdulikan kesehatan dan pendidikan.

Privatisasi
Privatisasi secara umum dipahami sebagai proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikan BUMN atau kekayaan publik lainnya dari tangan seluruh anggota masyrakat kepada para pemilik modal perseorangan. Untuk itu UU BHP memberikan peluang bagi PTN untuk menutupi kekurangan biaya melalui komersialisasi kursi PTN dimana setengah dari biaya operasional ditanggung oleh BHP plus pemerintah, dan sepertiganya ditanggung oleh masyarakat atau peserta didik. Kondisi ini terjadi karena adanya kekosongan pengaturan tentang pendidikan tinggi dalam UUD 1945 (amandemen ke-4). Dampak yang diduga akan terjadi dari kurangnya tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan PTN ini adalah melambungnya biaya kuliah di PTN favorit. Terkait dengan masalah tanggungjawab pemerintah ini, UU BHP juga memberikan sinyal peluang masuknya pihak asing dalam bisnis pendidikan tinggi di Indonesia yang tentunya dapat mengancam integritas bangsa. Jejak liberalisasi pendidikan terekam sejak Indonesia meratifikasi perjanjian perdagangan bebas yang disponsori WTO pada tahun 1994. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, sektor jasa termasuk pendidikan tinggi dimasukan ke pasar global dan dijadikan komoditas jasa yang bisa diperjualbelikan.
Dalam privatisasi pendidikan ini tidak lagi mengandalkan pada sektor alam (natural resources) tetapi sudah dalam persaingan modal manusia (human capital) karena bukan lagi kita yang investasi untuk mengolah sumber daya alam di suatu negara, tetapi kita lah yang menginvestasikan tenaga pengajar yang kompeten dalam perdagangan jasa pendidikan ini. Dalam penerapan UU BHP, tiap-tiap pendidikan tinggi menjadi otonomi kampus yang bersifat mandiri dalam hal administrasi maupun pendanaan, pemerintah tidak lagi dapat mengintervensi setiap kebijakan universitas, diharapkan dengan UU BHP mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang handal, profesional dan memiliki kemampuan kompetitif yang tinggi di tengah krisis ekonomi. Badan Hukum Pendidikan juga menawarkan solusi akan fleksibilitas dalam hal pendanaan, universitas / perguruan tinggi yang sudah menjadi badan hukum diberi wewenang untuk menggali sumber dana secara fleksibel demikian juga pengunaan dana tersebut, tidak jarang juga orang beranggapan bahwa BHP sebagai kemandirian dalam self financing. Terlihat pemerintah seperti cuci tangan dalam hal pendanaan yang dikelola secara mandiri oleh tiap-tiap pendidikan tinggi. Karena hal itu pula membuat pendidikan tinggi harus ekstra mencari cara sebagai upaya pemasukan dana, dengan mengadakan program pendidikan baru dan berbagai pelatihan agar roda kegiatan dapat eksis untuk menjalankan administrasi dan mensejahterakan sivitas akademinya. Sehingga membuat pendidikan tinggi semakin tidak tersentuh oleh masyarakat yang tidak mampu karena adanya persaingan dalam seleksi masuk, dalam hal ini siapa yang mampu membayar lebih dapat duduk dan mendapat pengajaran layak. Otonomi kampus ini terlihat lebih komersialisasi dan industrialisasi daripada menciptakan pendidikan tinggi yang mandiri dalam mengelola pendanaan dan administrasi. Padahal sebelumnya PTN merupakan salah satu institusi pendidikan yang dapat diandalkan oleh kelompok miskin, ditinjau dari pembiayaan yang terjangkau. Dan hal ini menjadi sangat miris, ketika masyarakat yang unggul dalam akademik dengan mudah tersingkir karena ketidakmampuan dalam pembiayaan pendidikan tinggi, tergeser oleh kaum elit yang dengan mudah mengeluarkan sejumlah biaya guna melanjutkan pendidikan, dapat dipastikan bahwa pendidikan tinggi tersebut menjadi tidak kompeten karena hanya menampung seseorang yang berkantung tebal guna membayar biaya pendidikan tinggi. Terlebih lagi masyarakat kini mulai mencari cara praktis dalam kelanjutan dari pendidikan tingginya, orientasi dan pola pikir yang salah mulai terlihat sebagai akibat dari persaingan dalam perdagangan bebas, dimana tiap peserta didik tidak lagi mengharapkan terciptanya kemandirian sosial maupun peningkatan kualitas diri tetapi mulai digantikan pola pikir bahwa dunia kampus hanya untuk mempersiapkan peserta didik untuk siap di dunia kerja. Program studi ilmu sosial, budaya, dan ilmu filsafat tidak menjadi pilihan utama lagi karena tidak menjanjikan pekerjaan yang pasti, mereka lebih tertarik pada program studi yang berorientasi pada kebutuhan pasar tenaga kerja, seperti kedokteran, teknik industri dan ekonomi. Menjadi persoalan baru lagi karena, masyarakat Indonesia menjadi manusia yang pragmatis dan tidak mau berkembang lagi, mereka tidak mampu mengendalikan perkembangan jaman atau globalisasi, hanya mampu terbawa arus, bersifat praktis dan mengikutinya, tanpa bisa berekspresi lagi secara mandiri dan telah menjadi masyarakat yang konsumtif dibandingkan produktif.
Inilah gambaran secara tidak langsung dari otonomi kampus / privatisasi pendidikan tinggi yang diterapkan karena campur tangan pemerintah tidak sepenuhnya lagi, terkesan menjadi kepemilikan perseorangan karena memang bebas dalam melakukan berbagai cara untuk mendapat pemasukan dana. Privatisasi pendidikan tinggi ini terjadi karena 2 hal yaitu, adanya motivasi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, karena pemerintah dianggap tidak mampu mengelola pendidikan sebagai sektor pelayanan publik dengan baik dan maksimal, dan yang kedua ialah privatisasi sebagai anak kandung dari liberalisme yang semakin mengglobal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan diberbagai belahan dunia. Dimana pihak penyelenggara pendidikan butuh dana yang cukup untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan SDM atau kebutuhan lainnya yang menunjang proses belajar-mengajar. Menggunakan dunia pendidikan sebagai lahan bisnis yang menerapkan prinsip ekonomi: dengan modal sedikit-dikitnya demi keuntungan yang sebesar-besarnya, konsep inilah yang akan mengubah wajah dunia pendidikan tidak lagi pelayanan institusi pendidikan tetapi menjadi lahan bisnis. Untuk itu sasaran dari pasar ini tidak lagi semua lapisan masyarakat tetapi berpihak pada kaum elit. Seperti yang terjadi pada masa penjajahan kolonial belanda, dimana hanya kaum ningrat dan bangsawan yang dapat merasakan dunia pendidikan, masyrakat pribumi lainnya hanya dapat bekerja pada tuan tanah dan Belanda, kalau dahulu penjajah yang menjadi musuh rakyat kecil, kini di era globalisasi tekanan kekuatan pasar menjadi himpitan bagi rakyat kecil, yang kemungkinan besar hanya mampu mengeyam pendidikan menengah kebawah karena mahalnya biaya pendidikan tinggi. Maka dari itu pihak perguruan tinggi berlomba-lomba mencari pangsa pasar, mereka menjanjikan pendidikan yang cepat saji, cepat disantap oleh konsumen cepat berproduksi lagi, cepat menciptakan kesejahteraan (timbal balik dengan mendapat kerja secara cepat dan layak), maka hal tersebut dapat dinamakan sebagai McDonaldisasi Pendidikan Tinggi (Nugroho, 2002). Tentu saja yang kita harapkan dari UU BHP ini ialah kemandirian secara optimal pendidikan tinggi yang diharapkan mampu bersaing dengan dunia luar, tapi apakah mampu meningkatkan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial bagi masyarakat atau malah justru sebaliknya memarginalisasikan kaum miskin karena ketidak terjangkauan biaya pendidikan?

Penutup
Bukan penulis tidak setuju terhadap UU BHP yang sudah berjalan ini, tetapi ada baiknya Pemerintah dapat menentukan kebijakan yang lebih pro rakyat, baiknya majukan dahulu tingkat pendidikan di daerah atau kota agar tidak terjadi gap yang terlampau jauh antara favorit dan yang tidak, hingga semuanya mampu bersaing secara sehat. Karena setiap pergerakan bangsa hanya dilakukan kalangan terpelajar, lihat saja Sumpah Pemuda, Penculikan Soekarno ke rengasdengklok, mundurnya Soeharto, semua itu dilakukan kalangan terpelajar, bukan serikat pekerja atau militer yang melakukannya, pendidikan adalah kunci untuk membawa bangsa lebih baik. Berikut beberapa saran penulis untuk kita masyarakat menanggapi UU BHP.
1. Melakukan sosialisasi UU BHP terhadap semua kalangan, karena terbukti banyak yang tidak faham. Pemerintah seakan membiarkan hal itu, dan kita jangan hanya diam saja tidak peduli tapi cobalah untuk mencari tahu
2. Pemerintah harus bertanggung jawab dalam melaksanakan setiap pasal dalam UU BHP dan masyarakat harus mengawasinya.
3. Pemerintah dan masyarakat mencari solusi pembiayaan selain dana masyarakat
4. Pemerintah harus berhati-hati mengambil kebijakan dalam pendidikan.
Selamat hari pendidikan! Tetap semangat untuk mendidik dan dididik, layaknya Gembala dan domba. Tuhan memberkati...

Sumber Referensi:
- Adi Cahyani, Menimbang BHP untuk Meningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi.
- Effendi, Sofian. 2005. Strategi Menghadapi Libralisasi Pendidikan Tinggi. Jakarta : Makalah pada Seminar Nasional Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas : Tantangan, Peluang dan Harapan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah & Universitas Katolik Atma Jaya.

(Penulis adalah Donny Mason Sitompul -Anggota Team Redaksi Buletin Narhasem, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Mei 2009)

Tidak ada komentar: