Kehadirannya yang fenomenal seperti ini memang tidak terlepas dari sikap pro & kontra diantara orang-orang Kristen yang merayakan Natal. Ada yang menganggap kehadirannya sah-sah saja, bahkan sangat dinanti-nantikan, namun ada pula yang merasa bahwa si kakek tua ini sebagai “ancaman” terhadap sang Bayi Kudus karena Sinterklas lebih populer. Sikap kontra seperti ini terkadang ditunjukkan dengan melarang penampilan Sinterklas ini pada acara-acara perayaan Natal yang dilakukan di gereja-gereja. Mereka beranggapan bahwa kehadiran Sinterklas bisa menggeser makna Natal yang sesungguhnya, yakni merayakan “ulang tahun” Yesus Kristus. Terhadap kondisi pro & kontra seperti ini, bagaimana kita menyikapinya?
Asal Usul Sinterklas
Nama sebenarnya adalah Nicolaas, lahir sekitar tahun 280 SM di Patara, tidak jauh dari Myra (Demre), di negara Turki (d/h Bynzantium). Ayahnya adalah seorang Arab yang bernama Ephiphanius, sedangkan ibunya bernama Nonna. Jadi, sejatinya Sinterklas itu adalah orang Arab. Dia merupakan anak keluarga berada, namun Nicolaas kecil kemudian menjadi yatim piatu karena ke-2 orangtuanya meninggal karena wabah penyakit. Kepatuhannya atas ajaran cinta kasih kepada sesama seperti yang dilakukan Yesus Kristus membuat ia tidak segan-segan menyisihkan kekayaan yang diwarisi dari orangtuanya kepada orang-orang yang menderita kekurangan. Ia lalu mengabdikan dirinya menjadi seorang uskup di Myra.
Kontroversi
Meskipun banyak yang mengatakan bahwa Sinterklas adalah salah satu santo (saint/orang suci) dari gereja Katolik, namun Paus sendiri tidak terlalu yakin akan kebenarannya, karena pada kenyataannya lebih banyak dongeng yang beredar dibandingkan fakta. Sejak tahun 1970, Vatikan bahkan telah mencabut nama Sinterklas dari daftar nama orang-orang sucinya!
Hal senada juga dikemukakan oleh Pastor Richard P.Bucher. Dalam artikelnya yang berjudul The Origin of Santa Claus and the Christian Response ti Him, ia menjelaskan bahwa tokoh Sinterklas lebih merupakan hasil polesan cerita legenda dan mitos yang kemudian diperkuat serta dimanfaatkan pula oleh pelaku bisnis, terutama Coca Cola. Selama lebih dari 30 tahun Coca Cola telah berhasil mempertahankan wujud Sinterklas sebagai kakek tambun berjanggut putih, periang, dan berkelana dengan kereta rusa terbang dari kutub utara sambil membawa banyak hadiah untuk anak-anak diseluruh dunia. Padahal, berdasarkan rekonstruksi komputer dari tulang tengkorak Sinterklas yang asli ditemukan bahwa tampangnya sepintas lebih mirip seorang kriminal.
Pandangan Kekristenan
Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Sinterklas sebenarnya tidak sesuai dengan dengan ajaran iman Kristen. Sinterklas menanamkan nilai bahwa kalau seorang anak mau mendapatkan hadiah, maka ia harus bersikap baik & manis. Sebaliknya, kalau mereka nakal maka Piet Hitam akan memberikan hukuman dengan memasukkan si anak nakal tersebut ke dalam karung yang dibawanya. Sebenarnya kondisi ini seperti ini juga dikenal dalam ilmu psikologi, disebut teori reward & punishment (hadiah & hukuman). Jika cara seperti ini hanya dimaksudkan untuk melatih sikap disiplin & merangsang motivasi anak untuk bersikap baik, tentulah tidak ada yang perlu dikuatirkan. Namun jika para orangtua tidak mengimbanginya dengan prinsip Kristiani, yakni konsep anugerah, dimana manusia diselamatkan hanya oleh kasih Kristus dan bukan oleh usaha/perbuatan baik, tentu akan menimbulkan pemahaman iman yang keliru dalam diri anak kelak. Orangtua jangan mengajarkan kepada anak bahwa mereka harus berbuat baik dulu, baru mendapat hadiah. Tentu jangan pula salah dimengerti bahwa perbuatan baik dalam iman Kristen itu tidak perlu. Perbuatan baik bukanlah kunci ke surga, tapi merupakan bukti dari iman, sebab iman tanpa perbuatan adalah mati. Jadi antara iman & perbuatan baik adalah “satu paket”. Oleh karena itu, ajarkanlah kepada anak bahwa mereka harus selalu berusaha bersikap baik karena Yesus menginginkan demikian.
Berdasarkan hal diatas, sah-sah saja kalau anak-anak mengikuti perayaan Natal yang menampilkan Sinterklas, selama anak-anak tetap menyadari bahwa pusat perayaan Natal adalah Yesus Kristus yang telah lahir ke dunia. Kekaguman & kepercayaan anak pada tokoh Sinterklas biasanya bersifat sementara, sama seperti pada tokoh Superman, Batman, Spiderman, Satria Baja Hitam, dsb. Lagipula Sinterklas tidak mempunyai dampak apa-apa terhadap anak (I Kor 8:4-6). Sesudah mencapai usia 6-8 tahun, mereka mulai menyadari bahwa tokoh Sinterklas adalah fiktif. Selamat menyambut hari Natal.
(Penulis adalah Novel Priyatna, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Desember 2006)
Asal Usul Sinterklas
Nama sebenarnya adalah Nicolaas, lahir sekitar tahun 280 SM di Patara, tidak jauh dari Myra (Demre), di negara Turki (d/h Bynzantium). Ayahnya adalah seorang Arab yang bernama Ephiphanius, sedangkan ibunya bernama Nonna. Jadi, sejatinya Sinterklas itu adalah orang Arab. Dia merupakan anak keluarga berada, namun Nicolaas kecil kemudian menjadi yatim piatu karena ke-2 orangtuanya meninggal karena wabah penyakit. Kepatuhannya atas ajaran cinta kasih kepada sesama seperti yang dilakukan Yesus Kristus membuat ia tidak segan-segan menyisihkan kekayaan yang diwarisi dari orangtuanya kepada orang-orang yang menderita kekurangan. Ia lalu mengabdikan dirinya menjadi seorang uskup di Myra.
Kontroversi
Meskipun banyak yang mengatakan bahwa Sinterklas adalah salah satu santo (saint/orang suci) dari gereja Katolik, namun Paus sendiri tidak terlalu yakin akan kebenarannya, karena pada kenyataannya lebih banyak dongeng yang beredar dibandingkan fakta. Sejak tahun 1970, Vatikan bahkan telah mencabut nama Sinterklas dari daftar nama orang-orang sucinya!
Hal senada juga dikemukakan oleh Pastor Richard P.Bucher. Dalam artikelnya yang berjudul The Origin of Santa Claus and the Christian Response ti Him, ia menjelaskan bahwa tokoh Sinterklas lebih merupakan hasil polesan cerita legenda dan mitos yang kemudian diperkuat serta dimanfaatkan pula oleh pelaku bisnis, terutama Coca Cola. Selama lebih dari 30 tahun Coca Cola telah berhasil mempertahankan wujud Sinterklas sebagai kakek tambun berjanggut putih, periang, dan berkelana dengan kereta rusa terbang dari kutub utara sambil membawa banyak hadiah untuk anak-anak diseluruh dunia. Padahal, berdasarkan rekonstruksi komputer dari tulang tengkorak Sinterklas yang asli ditemukan bahwa tampangnya sepintas lebih mirip seorang kriminal.
Pandangan Kekristenan
Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Sinterklas sebenarnya tidak sesuai dengan dengan ajaran iman Kristen. Sinterklas menanamkan nilai bahwa kalau seorang anak mau mendapatkan hadiah, maka ia harus bersikap baik & manis. Sebaliknya, kalau mereka nakal maka Piet Hitam akan memberikan hukuman dengan memasukkan si anak nakal tersebut ke dalam karung yang dibawanya. Sebenarnya kondisi ini seperti ini juga dikenal dalam ilmu psikologi, disebut teori reward & punishment (hadiah & hukuman). Jika cara seperti ini hanya dimaksudkan untuk melatih sikap disiplin & merangsang motivasi anak untuk bersikap baik, tentulah tidak ada yang perlu dikuatirkan. Namun jika para orangtua tidak mengimbanginya dengan prinsip Kristiani, yakni konsep anugerah, dimana manusia diselamatkan hanya oleh kasih Kristus dan bukan oleh usaha/perbuatan baik, tentu akan menimbulkan pemahaman iman yang keliru dalam diri anak kelak. Orangtua jangan mengajarkan kepada anak bahwa mereka harus berbuat baik dulu, baru mendapat hadiah. Tentu jangan pula salah dimengerti bahwa perbuatan baik dalam iman Kristen itu tidak perlu. Perbuatan baik bukanlah kunci ke surga, tapi merupakan bukti dari iman, sebab iman tanpa perbuatan adalah mati. Jadi antara iman & perbuatan baik adalah “satu paket”. Oleh karena itu, ajarkanlah kepada anak bahwa mereka harus selalu berusaha bersikap baik karena Yesus menginginkan demikian.
Berdasarkan hal diatas, sah-sah saja kalau anak-anak mengikuti perayaan Natal yang menampilkan Sinterklas, selama anak-anak tetap menyadari bahwa pusat perayaan Natal adalah Yesus Kristus yang telah lahir ke dunia. Kekaguman & kepercayaan anak pada tokoh Sinterklas biasanya bersifat sementara, sama seperti pada tokoh Superman, Batman, Spiderman, Satria Baja Hitam, dsb. Lagipula Sinterklas tidak mempunyai dampak apa-apa terhadap anak (I Kor 8:4-6). Sesudah mencapai usia 6-8 tahun, mereka mulai menyadari bahwa tokoh Sinterklas adalah fiktif. Selamat menyambut hari Natal.
(Penulis adalah Novel Priyatna, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Desember 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar