Kini terjadi pemanasan global yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dan ketamakan manusia atas penguasaan terhadap alam. Manusia bekerja keras “memiliki bumi” untuk diri dan kelompoknya. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dan kebutuhan manusia terus meningkat. Akibatnya beban lingkungan meningkat, sehingga bumi luka parah. Luka parah bumi akan menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri.
Bagaimana gereja menjawab tantangan ini?. Apa yang dilakukan gereja selama ini?. Gereja umumnya lebih mengedepankan pembelajaran hubungan kita dengan Tuhan. Ada sedikit yang konsentrasi mengurus dan mengajarkan jemaatnya bagimana membangun perdamaian dengan sesama manusia. Manusia sibuk belajar bagaimana bergaul yang etis antar sesama anggota gereja dan pergaulan antar sesama yang berbeda agama. Bagamana hidup rukun dengan sesama umat manusia. Kedua pokok persoalan inilah yang menguras tenaga dan menghabiskan waktu, dan sampai kini persoalan terus menerus berlanjut.
Satu hal yang fatal yang dilupakan gereja adalah bagaimana sesungguhnya hubungan manusia dengan alam. Bagaimana sesungguhnya sikap kita yang benar terhadap Sumber Daya Alam sesuai rancangan Allah?. Berapa banyak teolog kita dan berapa waktu gereja membahas hubungan manusia dengan alam?. Saya berkeyakinan, jika sikap kita benar terhadap alam sesuai kehendak Allah, maka pemanasan global tidak akan terjadi.
Dalam doa Bapa Kami Yesus telah mengajarkan kita untuk berdoa agar Bapa di surga mengampuni kita sebagaimana kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Hubungan kita dengan Allah dan manusia sudah sangat jelas. Dan, Yesus mengajarkan kita untuk meminta “berikan kami pada hari ini makanan kami secukupnya”.
Faktanya, berapa banyak waktu kita agar kita memiliki harta kekayaan dibumi, hingga melakukan intrik-intrik agar ini dan itu milik kita?. Ketika banyak manusia mengingini harta di bumi, maka terjadilah konflik. Konflik satu sama lain diurus orang lain pula. Maka terjadilah konflik yang berkepanjangan, padahal kita hanya butuh makanan yang secukupnya. Lalu, sesungguhnya bagaimana kita memahami doa yang diajarkan Tuhan Yesus?. Guru Besar emeritus Universitas Indonesia di bidang lingkungan Mohammad Surjani mengatakan, kita perlu belajar kepada ajaran Nabi Isa (Yesus). Kerakusan manusia menjadi titik sentral pemanasan global atau kerusakan planet bumi.
Ketika kerusakan bumi tidak terkendali, manusia mencoba menerjemahkan berkuasa atas alam dirubah menjadi mengelola alam. Pemahaman ini juga tidak membawa perbaikan, karena tetap saja alam mengalami kerusakan. Manusia tetap saja menganggap bahwa alam ini ada untuk kepuasannya. Alam direndahkan oleh manusia tanpa disadari. Padahal, dimana kita berada jika tidak ada alam ini?.
Sadar atau tidak, bahwa selama ini manusia terjebak pada keinginannya. Manusia menerjemahkan bahwa di alam ini segala sesuatu ada untuk keinginannya. Ketika alam dieksploitasi sesuai keinginannya, manusia berkata, kami mendapat berkat dari Tuhan. Mereka berkata inilah berkat-berkat Tuhan yang melimpah, padahal dampak berkat yang dimaksud telah merusak ekosistem alam.
Lalu, bagaimana Kristen keluar dari persoalan ini?. Robert Setio dalam jurnal Ilmiah Populer Forum Biblika mengatakan agar manusia tidak lagi menempatkan manusia di tempat yang sentral (antroposentris), melainkan alam rayalah yang dijadikan sentral (ekosentris) dan manusia hanyalah salah satu bagian dari alam raya tersebut. Manusia tidak dapat mengklaim dirinya sebagai makhluk tertinggi di antara ciptaan Tuhan lainnya. Kedudukan manusia adalah sejajar dengan ciptaan yang lain.
Paradigma antroposentris menjadi ekosentris ditinjau dari ekologi sangat menarik. Dalam ekologi dikenal dengan rantai makanan dan jaring-jaring makanan. Dalam rantai makanan dalam ekosistem, tidak ada yang lebih penting, semua saling membutuhkan. Jika rantai makanan itu terputus maka rusaklah ekosistem itu. Oleh karena itu, manusia harus memahami bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa alam dan segala isinya. Jadi, manusia adalah bagian dari siklus itu. Maka, manusia wajib hukumnya memikirkan bagaimana hidup berdampingan dengan alam.
Sejauh mana batas manusia untuk mengelola bumi untuk kebutuhannya?. Batas dan bagimana hidup berdampingan dengan bumi menjadi pergulatan teologi setiap hari yang dilakukan umat percaya. Jika tidak, bumi ini akan semakin mengkawatirkan, dan bukan tidak mungkin kita menolak Allah karena kedangkalan kita dalam memahami kehendak Allah yang sesungguh.
Gereja harus menyeimbangkan pemahaman dan memberikan jawaban bagaimana hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam. Kekeliruan selama ini yang hanya membahas hubungan kita dengan Tuhan, hubungan kita dengan sesama dan melupakan hubungan dengan alam harus segera diperbarui. Paradigma perubahan antroposentris menjadi ekosentris menjadi nyata apabila kita tidak lagi berorientasi untuk memiliki bumi. Tetapi orientasi kita adalah hidup berdampingan dengan alam ciptaan Allah dengan gaya hidup yang diajarkan Tuhan Yesus dalam doa Bapa Kami.
Warga gereja tidak lagi me-nuhankan teknologi yang bias saja merusak bumi yang sangat kecil ini. Tetapi warga gereja menjadi terdepan untuk memelopori bagimana manusia hidup dibumi secara berdampingan dengan makluk lain. Kehidupan yang harmoni dengan alam dengan cara gaya hidup yang tidak eksploitatif menjadi gaya hidup kita sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, warga gereja harus bertanya, apa rencana Tuhan bagi setiap aktivitasnya. Sebab, bukan rancangan kita, tetapi hendaklah kita turut dalam rancangan Tuhan bagi bumi.
(Penulis adalah Gurgur Manurung, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Februari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar