…maafkan aku bila menginginkanmu tak sepenuh hatiku tak sepenuh jiwaku lagi ampuni aku bila kusakiti hati tuk kesekian kali tak mungkin terobati lagi lupakankah saja diriku ini, karena ku tak pantas untukmu…(1)
Petikan syair di atas mungkin pernah akrab di telinga pembaca. Sebuah ungkapan untuk menggambarkan sebuah penyesalan sekaligus permintaan maaf karena keputusan yang diambil untuk mengakhiri hubungan asmara yang sudah terjalin sekian lama. Sebuah situasi yang pasti tidak mengenakkan, namun paling tidak ada satu hal berharga terkandung di dalamnya: kejujuran. Kejujuran yang pahit selalu lebih berguna daripada kepura-puraan, daripada berselingkuh.
Berbicara tentang selingkuh, mau tidak mau kita tak bisa mengabaikan betapa tema yang satu ini tengah menggejala bahkan terkesan menjadi sebuah trend di kalangan muda. Tak jarang tayangan film maupun lantunan lagu mengangkat perselingkuhan sebagai ulasannya. Akibatnya, selingkuh seolah naik pangkat dari sesuatu yang tabu menjadi sesuatu yang dianggap lumrah bahkan digandrungi. Terbangun pula opini yang ingin membenarkan bahwa selingkuh itu merupakan bagian alami jati diri seorang manusia. Lalu bagaimanakah kira-kira dampaknya terhadap kaum muda Kristen? Sikap bagaimanakah yang sebaiknya ditempuh di tengah situasi ini?
Sebelum menjawab pertanyaan tadi, sebaiknya kita coba tinjau arti kata ini sejenak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, selingkuh (2) itu berarti suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong. Kata ini juga berarti suka menggelapkan uang; korup serta suka menyeleweng. Dengan demikian sebenarnya kata ini tidaklah eksklusif dipakai hanya untuk hal berkaitan dengan ikatan pernikahan dan hubungan asmara, melainkan juga mencakup hal yang berhubungan dengan attitude (sikap) dan masalah tertib administrasi.
Jika diperhadapkan dengan situasi bangsa kita saat ini yang semakin terpuruk di semua lini, maka dapat dikatakan bahwa akar persoalan masyarakat kita adalah masalah standar ganda. Sebagai contoh: di satu sisi, seluruh elemen masyarakat Indonesia saat ini sangat bersemangat mengobarkan perjuangan anti korupsi yang ditandai dengan berbagai terobosan di bidang hukum juga aksi massal seperti yang dilakukan pada tanggal 09 Desember 2009 yang lalu. Namun pada saat yang sama, justru tema-tema perselingkuhan yang menjadi kegemaran sebagian besar masyarakat kita. Parameternya terlihat dari tayangan serta karya seni bertema selingkuh yang laris-manis di pasaran dan ditayangkan hampir setiap saat di media massa Indonesia. Padahal berdasarkan defenisi tadi, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) hanyalah bagian kecil dari perbuatan selingkuh. Akhirnya sebuah pertanyaan besar mengemuka: mungkinkah bangsa ini berhasil memberantas sesuatu yang justru sedang digemarinya? Jika korupsi ingin diberantas, maka perselingkuhan itu juga harus dikembalikan ke posisinya semula: sebagai sesuatu yang tabu dan sangat hina untuk dilakukan.
Hanya saja, kita tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa dalam hubungan antar manusia seringkali perselingkuhan itu dipicu oleh karakter hubungan yang dijalani. Secara sederhana, ada dua tipe hubungan antar manusia, yaitu karakter hubungan yang manipulatif dan karakter hubungan yang partisipatif sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Hubungan manipulatif ---------------Hubungan partisipatif
- hak istimewa (privilege) ---------------- Kesetaraan
- untung rugi ------------------------------- Komitmen
- kesempatan (opportunity) -------------- Kontribusi
Hubungan manipulatif ditandai dengan adanya hak istimewa pada salah satu pihak. Hak istimewa ini boleh saja hadir karena kecantikan, ketampanan, kemapanan, tingkat pendidikan, dll. yang menyebabkan salah satu pihak lebih dominan terhadap yang lain. Misalnya, karena si pemuda memiliki pacar yang parasnya sangat cantik, maka dia bersedia melakukan apa saja yang diminta sebagai cara “menyogok” si pemudi supaya tidak meninggalkan dia. Ciri berikut dari hubungan manipulatif ini adalah perhitungan untung rugi. Satu pihak bersedia melakukan sesuatu dengan catatan harus memperoleh keuntungan (paling tidak dengan bobot yang sama) dari pasangannya. Misalnya, seorang pemuda mau mengerjakan tugas-tugas sekolah/kuliah pasangannya sepanjang pasangannya juga mau mentraktir dia di setiap kesempatan. Ciri terakhir dari hubungan manipulatif ini adalah selalu melihat kesempatan di dalam kesempitan. Artinya, hubungan yang dijalani diperalat untuk mencapai apa yang diinginkan. Misalnya, seorang pemudi memutuskan untuk berpacaran bukan karena dia menyukai si pemuda, melainkan karena status keluarga si pemuda yang terpandang di tengah-tengah masyarakat. Karakter hubungan yang manipulatif inilah yang akan sangat rawan terhadap perselingkuhan. Mereka yang selingkuh akan diam-diam mencari dan membentuk hubungan yang baru dengan harapan dapat memperoleh manfaat maksimal dari setiap pasangan yang dimilikinya.
Sementara hubungan partisipatif ditandai dengan adanya kesetaraan di mana masing-masing saling menghargai pasangannya apa adanya. Hal ini selaras dengan prinsip Kristiani bahwa semua orang sederajat dan satu di dalam Kristus (bnd. Galatia 3:28) dan memperalat kelemahan sesamanya untuk kepentingannya sendiri adalah perbuatan dosa yang menghina Sang Pencipta (Amsal 14:21,31). Kesetaraan ini juga menyangkut persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sebagai ciptaan baru yang telah ditebus oleh Yesus Kristus. Ciri berikut adalah komitmen, yaitu keberanian serta kesetiaan untuk memenuhi apa yang sudah disepakati dan dijanjikan bersama. Dalam komitmen kristiani tidak akan ada tempat bagi keuntungan sepihak. Masing-masing akan menyadari bahwa hubungan mereka itu tidak akan berkembang selaras dan seimbang tanpa adanya usaha dari kedua belah pihak untuk saling mengasihi, saling memahami dan saling membangun (bnd. Roma 14:19; 1 Tesalonika 5:11). Di dalam kesadaran dan penghayatan itu akan tumbuhlah kerelaan untuk berkontribusi dan saling membantu (bnd. Galatia 6:2). Hubungan yang partisipatif selalu mengedepankan kejujuran dan transparansi, karena dengan demikianlah masing-masing pihak dapat saling mempercayai dan bertumbuh dewasa secara bersama-sama.
Pengkhianat akan dirusak oleh kecurangannya (Amsal 11:3) dan orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana (Amsal 22:8). Sayangnya, buah pahit perselingkuhan ini seolah disamarkan dan disembunyikan di tengah kehidupan kita sekarang ini. Di sinilah kaum muda Kristiani perlu tampil dan mengambil sikap tegas menghadapi situasi ini. Kedua karakter hubungan antar manusia tadi sedikit-banyak akan membantu pembaca untuk mampu mengevaluasi serta membenahi hubungan yang dimiliki saat ini. Kepada pembaca yang kebetulan masih single jangan berkecil hati dulu, karena cepat atau lambat anda pun akan berurusan juga dengan hal ini. Paling tidak, tulisan ini mungkin akan bermanfaat untuk menghindarkan anda menjadi pelaku atau pun menjadi korban perselingkuhan.
Selanjutnya, adalah perlu bagi kaum muda Kristiani untuk memahami bahwa hubungan antar manusia bukanlah semata-mata just for fun, hanya untuk sekedar bersenang-senang atau menambah pengalaman. Hubungan antar manusia di dalam kekristenan haruslah digunakan sebagai saluran berkat Tuhan. Hendaklah orang-orang yang menjalin hubungan dengan pemudi-pemuda Kristen akan turut merasakan bagaimana indahnya kasih persaudaraan membawa perobahan yang positif dalam kehidupan mereka, bukan perobahan yang negatif. Kaum muda Kristen sudah saatnya menjadi trendsetters, yang mendemonstrasikan bahwa pola hidup Kristiani akan selalu membawa sukacita dan damai sejahtera. Bukan malah menjadi pengekor, yang larut diombang-ambingkan semangat zaman yang tidak menentu ini.
Menjadi wadah melatih keberanian untuk jujur dan menjadi diri sendiri tampaknya merupakan peluang yang potensial bagi persekutuan kaum muda Kristiani di gereja HKBP. Kejujuran memang membutuhkan keberanian karena ia seringkali akan terasa pahit dan tidak jarang menyakitkan. Kejujuran akan menjadi petaka bagi hubungan yang manipulatif, sebaliknya akan menjadi pemberi semangat bagi hubungan yang partisipatif. Saat kejujuran tak lagi bicara, saat kejujuran dibungkam, di sanalah berbagai peluang untuk perselingkuhan akan terbuka lebar. Memiliki keberanian untuk jujur itu memang tidak mudah. Dibutuhkan kekuatan yang besar untuk memampukan seseorang agar berani mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya dibarengi dengan kemampuan untuk menghadapi konsekuensi apa pun sebagai akibat dari kejujurannya itu. Kekuatan itu pertama sekali hanya dapat diperoleh melalui penyerahan diri ke dalam tangan kasih Tuhan. Berikutnya, kekuatan itu akan semakin bertambah dengan adanya support system, topangan moral-spiritual dari orang-orang sekitar yang kita percaya, mereka yang perduli dan yang mengasihi kita. Orang-orang itu boleh saja orang tua kita, kakak atau adik, teman akrab, teman sekumpulan di gereja, juga para Penatua dan Pendeta yang kita kenal.
Ketika HKBP menetapkan tahun 2010 sebagai Tahun Penatalayanan HKBP, maka cakupan penatalayanan itu tidak hanya segala hal yang berhubungan dengan organisasi dan tertib administrasi organisasi Gereja. Jauh lebih dalam dari itu, melalui pembenahan penatalayanan di HKBP diharapkan seluruh pelayan dan anggota jemaat akan semakin menghayati bahwa HKBP adalah bagian dari tubuh Kristus. Bagian dari sebuah tubuh yang perlu saling memperhatikan, saling menguatkan, saling membangun supaya bertumbuh dan semakin dewasa bersama-sama. Kecurangan dan perselingkuhan di dalam tubuh Kristus ibarat bibit penyakit yang perlu segera ditangani dan disembuhkan bersama-sama. Oleh karena itu, jika di antara pembaca ada yang tengah terjebak di dalam sebuah hubungan manipulatif, jangan ragu untuk bangkit dan mencoba mencari keberanian untuk jujur, supaya dengan demikian hubungan itu setidaknya boleh diperbaiki dan dikembangkan menjadi sebuah hubungan partisipatif. Apapun keputusan dan situasi anda saat ini, ingatlah: Tuhan Yesus selalu jujur mengatakan bahwa kasihNya selalu tersedia bagi semua orang yang mau mencari dan menerima Dia. Biarkanlah kejujuran itu berbicara.
Catatan Kaki:
1. Jikustik, “Tak Pantas Untukmu”
2. http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
(Penulis adalah Pdt. Julius T.M. Simaremare, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Februari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar