A.ULOS
1. Hasil Peradaban
Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos (baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya
alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa? Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki. Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?
Pertanyaan itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk menempatkan ulos pada proporsinya. Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam suatu kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah melilitkannya di atas dada sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya anak atau laki-laki cukup melilitkannya di bawah dada (buha baju). Ulos juga dipakai untuk mendukung anak (parompa), selendang (sampe-sampe) dan selimut (ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.
Dalam perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum atau tekstil (pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian hula-hula kepada boru (pihak yang lebih dihormat kepada pihak yang lebih menghormat).
2. Makna Awal
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/
anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu an sich yang memang penting, juga kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk (ulos yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.
Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah. Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen memiliki ketentuan khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak mengherankan kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama asli Batak, namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu. (Yaitu: membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut rotan, atau mengambil nira). Mengapa? Karena memang mereka pada waktu itu belum mengenal Kristus! Sesudah nenek moyang kita mengenal Kristus, mereka tentu melakukan segala aktivitas itu sesuai dengan iman Kristennya, termasuk menenun ulos!
3. Pergeseran Makna Ulos
Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana panjang dan perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok meniru
pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau “keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.
4. Ulos Dan Kekristenan
Bolehkah orang Kristen menggunakan ulos? Bolehkah gereja menggunakan jenis kostum atau tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen? Jawabannya sama dengan jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus: bolehkah kita menyantap daging yang dijual di pasar namun sudah dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman sekarang disembelih dengan doa dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus sangat tegas: boleh. Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita semakin dekat atau jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11). Pertanyaan yang sama diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma: bolehkah orang Kristen makan babi dan atau bercampur darah hewan dan semua jenis binatang yang diharamkan oleh kitab Imamat di Perjanjian Lama? Jawaban Rasul Paulus: boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama: bolehkah kita orang Kristen memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium (pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang, bagi kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu tangan, tongkat dll.
5. Nilai Ulos Bagi Kita Orang Kristen Moderen
Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:
Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita hormati dan menyayangi kita - ulos atau bukan ulos - tentu saja sangat berharga bagi kita.
Kedua: kapan diberikan. Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat penting bagi kita. Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus dalam hidup kita saat ulos itu diberikan: kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll. Apapun pemberian tanda yang mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos - tentu saja berharga bagi kita.
Ketiga: apa yang diberikan. Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita tahu itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.
Keempat: pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos itu berharga karena
dibalik pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan? Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak trend atau kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”: memberi atau menerima ulos secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena terlalu gampang memberi atau menerimanya dan atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa menghargai ulos sebanyak tiga karung?
6. Siapa Memberi - Siapa Menerima?
Dalam Batak ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada pihak yang dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos diberikan juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat dihormati. Dalam kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari “bawah”. Lantas mengapa kita kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita junjung, atau kepada pemimpin gereja yang sangat kita hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya memberi ulos (mangulosi)? Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau Eforus (pimpinan gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya merendahkan posisi kepala negara dan pemimpin gereja itu.
7. Hanya Salah Satu Ciri Khas
Ulos memang salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri kebatakan. Bahkan sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos (kostum, tekstil),
tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya Batak mengalami reduksi yaitu diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni pernikahan yang sangat konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar meributkan asesori atau kostum belaka.
8. Ulos Diterima Dengan Catatan
Ekstrim pertama: Sebagian orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber kegelapan. Padahal darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah menebus dan menguduskan tubuh dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos artinya telah boleh dipergunakan untuk memuliakan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.
Ekstrim yang lain: Sebagian orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap ulos itu keramat, tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa Kristus-lah satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan nenek moyang termasuk ulos.
Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah menempatkan ulos pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih tidak kurang. Bukan sakral dan bukan najis. Jangan ditolak dan jangan dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma disimpan!
B.DALIHAN NA TOLU (TUNGKU TIGA BATU)
DALIHAN NA TOLU pada dasarnya berarti tungku (tataring) yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu mutlak diperlukan menopang agar belanga atau periuk tidak terguling. Selanjutnya di kemudian hari istilah dalihan na tolu ini dipergunakan untuk menunjuk kepada hubungan kekerabatan yang diakibatkan oleh pernikahan, yaitu dongan tubu (pihak kawan semarga), hula-hula (pihak “pemberi perempuan”) dan boru (pihak “penerima perempuan”). Sebab itu dalihan na tolu adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh suatu masyarakat dan budaya Batak. Dalihan na tolu bukanlah wahyu atau sesuatu yang alami dan terjadi dengan sendirinya. Dalihan na tolu adalah produk budaya Batak.
1. Berkembang Dalam Sejarah
Jika kita melihat secara kritis kultur Batak termasuk dalihan na tolu sebenarnya bukan sesuatu yang statis atau beku tetapi juga mengalami pergeseran dan perkembangan dalam sejarah. Sebagai contoh penghormatan terhadap hula-hula justru semakin kuat dengan datangnya kekristenan. Mengapa? Sebab sulit kita membayangkan bahwa nenek moyang kita dapat memberi penghormatan yang sama tingginya kepada tiap hula-hula jika dia memiliki istri lebih dari satu. Lebih sulit lagi membayangkan nenek-moyang kita dapat menghormati hula-hula dari selir (rading) atau istri yang diperolehnya secara paksa dari peperangan atau bekas hambanya. Namun dengan masuknya kekristenan yang membuat pernikahan orang Batak menjadi monogami dan permanen (abadi) maka dampaknya penghormatan terhadap hula-hula juga semakin kuat. Semakin baik pernikahan maka penghormatan kepada hula-hula juga semakin baik.
Contoh lain menunjukkan pergeseran dalihan na tolu: Pada jaman dahulu tidak semua even pertemuan Batak dihadiri oleh tulang atau hula-hula (kecuali pesta besar). Hal ini dapat dimaklumi karena hula-hula atau tulang tinggal di kampung yang lain yang jauh (kecuali bagi sonduk hela, orang yang menetap di kampung hula-hulanya). Namun keadaan ini berubah dengan migrasi orang Batak ke luar Tapanuli. Kampung dan kota di luar Tapanuli bersifat majemuk (multi marga, multi suku). Banyak orang kini tinggal sekampung atau bahkan bertetangga dengan hula-hula atau tulang-nya. Apakah
dampaknya? Interaksi antara hula-hula dan boru semakin intensif. Jika ada acara di rumah banyak orang jadi sungkan jika tidak mengundang tulang atau hula-hula yang kebetulan menjadi tetangga atau tinggal sekota dengannya.
Pada jaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di Tanah Batak kampung identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan tubu”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-kota lain keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu (kawan semarga). Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta (parsahutaon) yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan partubu jumonok dongan parhundul.
2. Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru, Somba Marhula-Hula
Jika kita perhatikan kampung-kampung tradisional di Tapanuli dihuni oleh orang-orang yang semarga. Dongan tubu karena itu adalah teman untuk mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu kita harus memperlakukan dongan tubu secara hati-hati (manat). Kehati-hatian pada dasarnya adalah bentuk lain dari sikap hormat. Nasihat ini relevan sebab justru kehati-hatian sering kali hilang karena merasa terlalu dekat atau akrab. Hau na jonok do na masiososan. Selanjutnya Elek marboru merupakan nasihat bahwa boru harus senantiasa dielek atau dianju (dibujuk). Boru adalah penopang dan penyokong. Sebab itu mereka senantiasa diperlakukan dengan ramah-tamah dan lemah-lembut agar mereka tidak sakit hati dan kemudian membiarkan hula-hula-nya. Namun sebaliknya: Bagi orang Batak pra-Kristen hula-hula memang dipandang sebagai mata ni ari bisnar, sumber berkat dan kesejahteraan, sebab itu harus disembah (somba marhula-hula).
Lantas bagaimana dengan kita orang Kristen? Prinsip-prinsip dalihan na tolu ini dapat terus kita pertahankan sebagai kontsruksi budaya yang positif. Namun makna somba marhula-hula harus kita beri warna baru. Sebab bahasa Batak tidak membedakan istilah hormat dan sembah. Sementara sebagai orang Kristen kita mengakui bahwa Tuhanlah sumber berkat satu-satunya. Hula-hula atau mertua hanyalah salah satu (baca: bukan satu-satunya) saluran atau distributor berkat yang dipakai Tuhan.
Selanjutnya sebagai orang Kristen dan moderen, kita juga harus memperkaya prinsip dalihan na tolu ini dengan semangat egalitarian (kesetaraan). Pada dasarnya tiap-tiap orang, tanpa kecuali, harus kita hormati. Tiap-tiap orang (apapun suku, ras, profesi, pendidikan, jenis kelamin, agama dan tingkat ekonominya) pantas mendapat hormat. Kita wajib menghormati hula-hula, melindungi boru dan memperlakukan hati-hati dongan tubu kita tanpa memandang latar belakang ekonominya, pendidikan, pangkat atau jabatannya.
3. Sirkulasi Peran Dan Jabatan
Inti atau substansi kultur dalihan na tolu adalah sirkulasi dan distribusi peran dan jabatan. Dalam kultur Batak setiap orang tidak mungkin terus-menerus dihormati sebagai hula-hula. Hari ini menjadi boru, esok menjadi dongan tubu, lusa menjadi hula-hula. Hari ini duduk dilayani besok melayani. Tidak ada orang yang mutlak selama-lamanya (dondon pate) dihormati. Tidak ada juga orang yang selama-lamanya berada di bawah melayani!
Masyarakat Batak sangat sadar akan arti ruang atau tempat dan even. Peran dan kedudukan seseorang sangat dinamis sebab tergantung ruang dan even (ulaon). Sirkulasi peran dan jabatan ini merupakan kontribusi masyarakat Batak bagi gereja dan masyarakat. Bahwa semua orang harus bergantian melayani dan dilayani, menghormati dan dihormati. Tidak ada yang terus-menerus boleh menjadi kepala atau pemimpin.
Ini sangat relevan dengan dunia modernitas. Kepemimpinan moderen tergantung kepada even dan ruang dan waktu. Tidak ada orang yang boleh mengklaim menjadi pemimpin di setiap even, di semua ruang dan sepanjang waktu. Ini juga relevan dengan iman Kristen yang memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan (Gal 3:28) dan harus diperlakukan dengan hormat dan kasih (Roma 12:10, II Pet 1:7, Yoh 13:14, 34)
4.Hukum Berbalasan Positif
Selanjutnya dalihan na tolu merupakan perwujudan prinsip hukum berbalasan. Sisoli-soli
do uhum siadapari do gogo. Saling berbalas adalah hukum dan saling berganti merupakan kekuatan. Boru memberikan juhut (daging) dan hula-hula menyambut dan memberikan boras dohot dengke (beras dan ikan). Boru memberikan piso-piso (uang) dan hula-hula merespons dengan memberi doa memohon berkat. Hula-hula memberikan ulos dan boru membalas dengan uang. Prinsip berbalasan positif (sisoli-soli) ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kesejahteraan bersama. Beban dan keuntungan dibagi dan dipikul bersama. Hula-hula, dongan tubu dan boru harus sama-sama bersukacita dan beruntung. Tidak boleh ada pihak yang ingin menang dan nikmat sendiri!
Namun prinsip dalihan na tolu tetap harus dimurnikan senantiasa dengan KASIH AGAPE atau kasih tanpa mengharapkan balasan yang diajarkan Yesus. Yesus memang tidak pernah melarang kita membalas yang baik (seluruh ayat Alkitab hanya melarang membalas yang jahat), namun Dia menghendaki agar kita belajar juga mengasihi dan memberi tanpa mengharapkan balasan (pamrih).
5. Kesetaraan Perempuan Dan Laki-Laki
Tuhan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sebagai citra Allah (Kej 1:27). Laki-laki dan perempuan sama dan setara di hadapanNya (Gal 3:28). Kekristenan mengajarkan bahwa perempuan bukanlah manusia kelas dua atau bagian laki-laki. Perempuan juga bukan properti milik laki-laki yang dapat dijadikan objek transaksi atau perjanjian jual-beli. Sebab itu komunitas Kristen-Batak juga harus menempatkan dalihan na tolu dalam konteks kesetaraan (hadosan) dan keadilan (hatigoran) laki-laki dan perempuan.
Pada jaman dahulu hula-hula dianggap sebagai pemberi perempuan. Namun di jaman modern perempuan yang bebas dan otonom karena itu tidak boleh dijadikan objek apalagi “diserah-terimakan”. Perempuan adalah subjek atau pribadi. Pernikahan karena itu kini dianggap perjanjian dua pihak yang setara. Akibatnya secara tak langsung makna hula-hula pun bergeser bukan lagi sebagai “marga pemberi perempuan” namun “marga asal perempuan”.
Sinamot atau tuhor (uang mahar pernikahan( karena itu bukanlah keuntungan yang diperoleh dari transaksi perempuan tetapi harus diartikan sebagai biaya (cost) yang diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama.
6. Gereja Mencegah Chaos
Gereja HKBP memiliki anggota yang mayoritas Batak (minimal sampai saat ini). Anggota HKBP karena itu juga dalam hidupnya menghayati dalihan na tolu. Salah satu prinsip dalihan na tolu adalah melarang pernikahan yang semarga. Gereja HKBP menerima prinsip melarang pernikahan semarga ini agar tidak terjadi chaos atau kekacauan di masyarakat. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus agar semuanya berlangsung secara teratur (I Kor 14:40) dan rapih tersusun (Ef 4:16)
7. Depolitisasi Dan Domestikasi Adat
Dahulu yang disebut adat Batak adalah segala sesuatu konsep, nilai, ide, hasil karya dan kegiatan orang Batak (menanam padi, membangun rumah, membuka kampung baru, berperang, mengikat perjanjian antar marga dll). Dalam perkembangan terakhir makna adat telah mengalami proses depolitisasi dan domestikasi. Kini adat Batak direduksi atau diminimalisasi menjadi sekedar ritus domestik (rumah tangga): ritus pernikahan, kelahiran dan kematian. Apa akibatnya? Peranan dalihan na tolu menjadi sangat dominan atau menonjol walaupun pada prakteknya kurang berpengaruh kepada kehidupan ekonomi dan politik komunitas Kristen-Batak itu sendiri. Sebab itu tantangan bagi kita sekarang adalah mencari dan menemukan hakikat atau esensi adat Batak itu sendiri agar tidak larut dan hanyut dalam ritus atau seremoni konsumtif belaka.
C.JAMBAR
JAMBAR adalah istilah yang sangat khas Batak. Kata jambar menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok orang). Kultur Batak menyebutkan ada 3(tiga) jenis jambar. Yaitu: hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar juhut), hak untuk berbicara (jambar hata) dan hak untuk mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas (jambar ulaon).
Tiap-tiap orang Batak atau kelompok dalam masyarakat Batak (hula-hula, dongan sabutuha, boru, dongan sahuta dll) sangat menghayati dirinya sebagai parjambar. Yaitu: orang yang memiliki sedikit-dikitnya 3(tiga) hak: bicara, hak mendapat bagian atas hewan yang disembelih dalam acara komunitas, dan hak berperan dalam pekerjaan publik atau pesta komunitas. Begitu pentingnya penghayatan akan jambar itu, sehingga bila ada orang Batak yang tidak mendapatkan atau merasa disepelekan soal jambarnya maka dia bisa marah besar.
1. Jambar Hata
Pertama-tama tiap-tiap orang dalam komunitas Batak (kecuali anak-anak dan orang lanjut usia yang sudah pensiun dari adat/ naung manjalo sulang-sulang hariapan) diakui memiliki hak bicara (jambar hata). Sebab itu dalam tiap even pertemuan komunitas Batak tiap-tiap orang dan tiap-tiap kelompok/ horong harus diberikan kesempatan bicara (mandok hata) di depan publik. Jika karena alokasi waktu jambar hata harus direpresentasikan melalui kelompok/ horong (hula-hula, dongan tubu, boru dll) maka orang yang ditunjuk itu pun harus berbicara atas nama kelompok/ horong
yang diwakilinya. Sebagai simbol dia harus memanggil anggota kelompoknya berdiri bersama-sama dengannya. Sekilas mungkin orang luar mengatakan bahwa acara mandok hata ini sangat bertele-tele dan tidak efisien.
Namun pada hakikatnya jambar hata ini menunjuk kepada pengakuan bahwa tiap-tiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya (baca: hak untuk didengarkan) di depan publik. Bukankah hal-hal ini sangat demokratis dan moderen?
2. Jambar Juhut
Selanjutnya jambar juhut menunjuk kepada pengakuan akan hak tiap-tiap orang untuk mendapat bagian dari hewan sembelihan dalam pesta. Lebih jauh. jambar juhut ini merupakan simbol bahwa tiap-tiap orang berhak mendapat bagian dari sumber-sumber daya (resources) kehidupan atau berkat yang diberikan Tuhan. Sebab itu bukan potongan daging (atau tulang) itu yang terpenting tetapi pengakuan akan keberadaan dan hak tiap-tiap orang. Sebab itu kita lihat dalam even pertemuan Batak bukan hanya hasil pembagian hewan itu yang penting tetapi terutama proses membagi-baginya. (acara mambagi jambar). Sebab proses pembagian jambar itu pun harus dilakukan secara terbuka (transparan) dan melalui perundingan dan kesepakatan dari semua pihak yang hadir, dan tidak boleh langsung di-fait accompli oleh tuan rumah atau seseorang tokoh. Jolo sineat hata asa sineat raut. Setiap kali potongan daging atau juhut diserahkan kepada yang berhak maka protokol (parhata) harus mempublikasikan (manggorahon) di depan publik. Selanjutnya setiap kali seseorang menerima jambar maka ia harus kembali mempublikasikannya lagi kepada masing-masing anggotanya bahwa jambar (hak) sudah mereka terima.
Jambar juhut ini menunjuk kepada gaya hidup berbagi (sharing) yang sangat relevan dengan kehidupan modernitas (demokrasi) dan kekristenan. Sumber daya kehidupan atau berkat Tuhan tidak boleh dinikmati sendirian tetapi harus dibagi-bagikan secara adil dalam suatu proses dialog yang sangat transparan.
Inilah salah kontribusi komunitas Batak kepada masyarakat dan negara Indonesia. Bahwa hasil pembangunan dan devisa Indonesia seyogianya harus bisa juga dibayangkan sebagai ternak sembelihan yang semestinya dibagi-bagi kepada seluruh rakyat secara adil dan transparan.
3. Jambar Ulaon
Jambar ulaon menunjuk kepada pengakuan kultur Batak bahwa tiap-tiap orang harus diikutsertakan dan dilibatkan dalam pekerjaan publik. Dalam even pertemuan komunitas Batak tidak ada penonton pasif, sebab semua orang adalah peserta aktif. Tiap-tiap orang adalah partisipan (parsidohot) dan pejabat (partohonan). Dari kedalaman jiwanya orang Batak sangat rindu diikutsertakan dan dilibatkan dalam pekerjaan publik atau komunitas.
Pada dasarnya orang Batak rindu memiliki peran dan kedudukan dalam komunitas dan masyarakatnya (termasuk gerejanya). Jika ia tidak memiliki peran dan kedudukan itu, maka kemungkinan yang terjadi cuma dua: si orang Batak ini akan pergi menjauh atau “menimbulkan keonaran”. Sebaliknya jika dia disertakan atau dilibatkan, sebagai parsidohot dan parjambar dan partohonan maka dia akan berusaha memikul dan menanggung pekerjaan itu sebaik-baiknya dan dengan sekuat tenaganya (termasuk berkorban materi). Mengapa laki-laki Batak begitu rajin dan betah di pesta adat? Sebab di sana mereka memiliki peran dan kedudukan!
4. Jambar Dan Nasib
Namun komunitas Kristen-Batak sekarang tetap harus mewaspadai seandainya masih ada sisa-sisa kaitan jambar dengan pemahaman nasib (sibaran, bagian, turpuk). Kekristenan jelas-jelas menolak konsepsi tentang nasib (predestinasi), yaitu anggapan bahwa kehidupan, kinerja dan prestasi seseorang sudah ditentukan sebelumnya jauh sebelum dia lahir. Kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitanNya kembali dari antara orang mati telah menghapuskan nasib ini. Yang lama telah berlalu sebab yang baru telah tiba (II Kor 5:17). Bagi orang percaya tidak ada yang mustahil sebab itu tidak ada juga nasib ( Luk 1:37, Kej 18:1 ). Tuhan tidak pernah merencanakan kecelakaan tetapi masa depan yang penuh pengharapan bagi kita (Yer 29:30). Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak jambar tidak boleh diartikan sebagai nasib. Itu artinya pemahaman tentang jambar harus didasarkan kepada Firman Tuhan.
Bagi kita komunitas Kristen-Batak jambar memiliki makna baru: yaitu simbol hidup berbagi yang diteladankan oleh Yesus. Yaitu sebagaimana Yesus telah rela mati di kayu salib memecah-mecah tubuhNya dan mencurahkan darahNya untuk kehidupan dan kebaikan semua orang, maka kita juga harus selalu membagi-bagi sumber daya kehidupan atau berkat yang kita terima kepada sesama.
Dalam kehidupan sehari-hari kita mau menyatakan bahwa sumber-sumber daya ekonomi, sosial dan politik serta budaya yang ada di masyarakat dan negara harus dibagi-bagi dan didistribusikan secara adil dan merata, dengan semangat solidaritas (kesetiakawanan).
5. Persatuan Dan Keadilan
Budaya Jambar adalah simbol PERSATUAN dan KEADILAN sekaligus. Dengan memberikan kepada tiap-tiap orang dan kelompok apa yang menjadi hak-haknya (hak bicara, hak mendapat bagian dalam sumber daya, dan hak berperan) keadilan diwujudkan dan persatuan diteguhkan pada saat yang sama. Persatuan tanpa keadilan adalah penindasan. Keadilan tanpa persatuan adalah permusuhan. Sebab itu: Persatuan Indonesia pun harus dimengerti dan dihayati dalam rangka Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
6. Teologi Jambar Dalam Gereja
Sebagai gereja yang anggotanya sebagian besar atau hampir semua berlatar-belakang Batak, HKBP mau tak mau harus menyadari kultur parjambaran ini. Bahwa pada dasarnya tiap-tiap anggota HKBP harus memiliki hak bicara (jambar hata), hak menikmati berkat (jambar juhut) dan hak berperan (jambar ulaon). Bagaimanakah kita mengakomodir kultur jambar ini ini dalam liturgi, persekutuan, pelayanan, organisasi dan seluruh ekspressi beribadah dan berjemaat HKBP kita?
Sebagai orang yang menghayati kultur Batak, seyogianya kita sadar bahwa warga (ruas) HKBP sangat merindukan dan mengharapkan diterima dan diakui sebagai parsidohot (perserta), parjambar, partohap (pemegang hak), parnampuna (pemilik) dan panean (pewaris) di gereja HKBP. Anggota HKBP dari kedalaman jiwanya tidak suka hanya sekedar jadi penonton atau pendengar pasif. Mereka ingin berperan dan terlibat dalam seluruh kehidupan ber-HKBP.
Banyak contoh menyebutkan jika anggota HKBP diberi peran maka dia akan melaksanakan peran itu sebaik-baiknya. Jika perannya dalam ibadah hanyalah bernyanyi tentu saja dia cuma membawa Buku Ende ke gereja. Sebaliknya jika perannya termasuk membaca Alkitab, maka dia tentu akan membawa Alkitab juga ke gereja. Selanjutnya jika anggota jemaat diberi peran untuk melayani maka dia akan membawa segala hal yang diperlukan untuk pelayanan itu dan akan bersukacita tinggal dan bertahan dalam HKBP. Pertanyaan: ingin anggota HKBP tidak lari ke tempat lain?
Jawaban: berilah dia peran dan kedudukan dan tanggungjawab di HKBP!
7. Apa Kata Alkitab?
Apa kata Alkitab tentang jambar? Yesus mendesak Petrus agar menerima Tuhan membasuh kakinya supaya dia mendapat bagian (partohap) dalam Kristus (Yoh 13:8). Selanjutnya Yesus memuji Maria karena telah memilih bagian atau jambar atau tohap na umuli (Luk 10:42). Rasul Paulus mengatakan karena kematian Yesus di kayu salib kita mendapat bagian atau parjambar dalam kerajaan Allah dan semua janjiNya. (Ef 2:12, lihat juga Ef 1:11). Kita orang percaya adalah partohap dalam kasih karunia Allah (Flp 1:7). Selanjutnya penulis Ibrani mengatakan “ai nunga gabe partohap di Kristus hita, anggo gomos tatiop ro di ujungna pos ni roha, na di hita mulana” (Heb 3:14). Bahkan kita juga telah menjadi parjambar atau partohap dalam Roh Kudus (Heb/ Ibr 6:4). Rasul Petrus juga menyatakan bahwa kita orang beriman juga mendapat bagian (partohap) dalam kemuliaan Kristus di masa mendatang (I Pet 5:1).
Karena itulah sang pemazmur mengatakan “parjambarongku do Ho, ale Jahowa, nunga pola hudok, sai radotanku do HataMi” (Maz/ Psalm 119:57, lih. 73:26). “Jahowa do parjambarangku, ninna tondingku, dibaheni marhaposan tu Ibana ma ahu” (Andung 3:24)
(Penulis adalah Pdt. Daniel Taruli Asi Harahap, M.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2004)
1. Hasil Peradaban
Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos (baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya
alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa? Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki. Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?
Pertanyaan itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk menempatkan ulos pada proporsinya. Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam suatu kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah melilitkannya di atas dada sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya anak atau laki-laki cukup melilitkannya di bawah dada (buha baju). Ulos juga dipakai untuk mendukung anak (parompa), selendang (sampe-sampe) dan selimut (ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.
Dalam perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum atau tekstil (pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian hula-hula kepada boru (pihak yang lebih dihormat kepada pihak yang lebih menghormat).
2. Makna Awal
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/
anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu an sich yang memang penting, juga kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk (ulos yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.
Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah. Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen memiliki ketentuan khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak mengherankan kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama asli Batak, namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu. (Yaitu: membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut rotan, atau mengambil nira). Mengapa? Karena memang mereka pada waktu itu belum mengenal Kristus! Sesudah nenek moyang kita mengenal Kristus, mereka tentu melakukan segala aktivitas itu sesuai dengan iman Kristennya, termasuk menenun ulos!
3. Pergeseran Makna Ulos
Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana panjang dan perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok meniru
pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau “keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.
4. Ulos Dan Kekristenan
Bolehkah orang Kristen menggunakan ulos? Bolehkah gereja menggunakan jenis kostum atau tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen? Jawabannya sama dengan jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus: bolehkah kita menyantap daging yang dijual di pasar namun sudah dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman sekarang disembelih dengan doa dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus sangat tegas: boleh. Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita semakin dekat atau jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11). Pertanyaan yang sama diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma: bolehkah orang Kristen makan babi dan atau bercampur darah hewan dan semua jenis binatang yang diharamkan oleh kitab Imamat di Perjanjian Lama? Jawaban Rasul Paulus: boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama: bolehkah kita orang Kristen memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium (pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang, bagi kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu tangan, tongkat dll.
5. Nilai Ulos Bagi Kita Orang Kristen Moderen
Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:
Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita hormati dan menyayangi kita - ulos atau bukan ulos - tentu saja sangat berharga bagi kita.
Kedua: kapan diberikan. Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat penting bagi kita. Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus dalam hidup kita saat ulos itu diberikan: kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll. Apapun pemberian tanda yang mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos - tentu saja berharga bagi kita.
Ketiga: apa yang diberikan. Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita tahu itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.
Keempat: pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos itu berharga karena
dibalik pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan? Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak trend atau kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”: memberi atau menerima ulos secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena terlalu gampang memberi atau menerimanya dan atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa menghargai ulos sebanyak tiga karung?
6. Siapa Memberi - Siapa Menerima?
Dalam Batak ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada pihak yang dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos diberikan juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat dihormati. Dalam kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari “bawah”. Lantas mengapa kita kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita junjung, atau kepada pemimpin gereja yang sangat kita hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya memberi ulos (mangulosi)? Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau Eforus (pimpinan gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya merendahkan posisi kepala negara dan pemimpin gereja itu.
7. Hanya Salah Satu Ciri Khas
Ulos memang salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri kebatakan. Bahkan sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos (kostum, tekstil),
tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya Batak mengalami reduksi yaitu diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni pernikahan yang sangat konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar meributkan asesori atau kostum belaka.
8. Ulos Diterima Dengan Catatan
Ekstrim pertama: Sebagian orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber kegelapan. Padahal darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah menebus dan menguduskan tubuh dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos artinya telah boleh dipergunakan untuk memuliakan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.
Ekstrim yang lain: Sebagian orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap ulos itu keramat, tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa Kristus-lah satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan nenek moyang termasuk ulos.
Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah menempatkan ulos pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih tidak kurang. Bukan sakral dan bukan najis. Jangan ditolak dan jangan dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma disimpan!
B.DALIHAN NA TOLU (TUNGKU TIGA BATU)
DALIHAN NA TOLU pada dasarnya berarti tungku (tataring) yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu mutlak diperlukan menopang agar belanga atau periuk tidak terguling. Selanjutnya di kemudian hari istilah dalihan na tolu ini dipergunakan untuk menunjuk kepada hubungan kekerabatan yang diakibatkan oleh pernikahan, yaitu dongan tubu (pihak kawan semarga), hula-hula (pihak “pemberi perempuan”) dan boru (pihak “penerima perempuan”). Sebab itu dalihan na tolu adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh suatu masyarakat dan budaya Batak. Dalihan na tolu bukanlah wahyu atau sesuatu yang alami dan terjadi dengan sendirinya. Dalihan na tolu adalah produk budaya Batak.
1. Berkembang Dalam Sejarah
Jika kita melihat secara kritis kultur Batak termasuk dalihan na tolu sebenarnya bukan sesuatu yang statis atau beku tetapi juga mengalami pergeseran dan perkembangan dalam sejarah. Sebagai contoh penghormatan terhadap hula-hula justru semakin kuat dengan datangnya kekristenan. Mengapa? Sebab sulit kita membayangkan bahwa nenek moyang kita dapat memberi penghormatan yang sama tingginya kepada tiap hula-hula jika dia memiliki istri lebih dari satu. Lebih sulit lagi membayangkan nenek-moyang kita dapat menghormati hula-hula dari selir (rading) atau istri yang diperolehnya secara paksa dari peperangan atau bekas hambanya. Namun dengan masuknya kekristenan yang membuat pernikahan orang Batak menjadi monogami dan permanen (abadi) maka dampaknya penghormatan terhadap hula-hula juga semakin kuat. Semakin baik pernikahan maka penghormatan kepada hula-hula juga semakin baik.
Contoh lain menunjukkan pergeseran dalihan na tolu: Pada jaman dahulu tidak semua even pertemuan Batak dihadiri oleh tulang atau hula-hula (kecuali pesta besar). Hal ini dapat dimaklumi karena hula-hula atau tulang tinggal di kampung yang lain yang jauh (kecuali bagi sonduk hela, orang yang menetap di kampung hula-hulanya). Namun keadaan ini berubah dengan migrasi orang Batak ke luar Tapanuli. Kampung dan kota di luar Tapanuli bersifat majemuk (multi marga, multi suku). Banyak orang kini tinggal sekampung atau bahkan bertetangga dengan hula-hula atau tulang-nya. Apakah
dampaknya? Interaksi antara hula-hula dan boru semakin intensif. Jika ada acara di rumah banyak orang jadi sungkan jika tidak mengundang tulang atau hula-hula yang kebetulan menjadi tetangga atau tinggal sekota dengannya.
Pada jaman dahulu ketika nenek moyang kita masih menetap di Tanah Batak kampung identik dengan marga. Artinya “dongan sahuta” hampir identik dengan “dongan tubu”. Namun dengan migrasi orang Batak ke Sumatera Timur dan kota-kota lain keadaan berubah. Dongan sahuta tidak lagi otomatis dongan tubu (kawan semarga). Dampak perubahan demografi ini peranan dongan sahuta (parsahutaon) yang terdiri dari multi marga ini semakin besar di kota-kota. Jonok dongan partubu jumonok dongan parhundul.
2. Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru, Somba Marhula-Hula
Jika kita perhatikan kampung-kampung tradisional di Tapanuli dihuni oleh orang-orang yang semarga. Dongan tubu karena itu adalah teman untuk mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu kita harus memperlakukan dongan tubu secara hati-hati (manat). Kehati-hatian pada dasarnya adalah bentuk lain dari sikap hormat. Nasihat ini relevan sebab justru kehati-hatian sering kali hilang karena merasa terlalu dekat atau akrab. Hau na jonok do na masiososan. Selanjutnya Elek marboru merupakan nasihat bahwa boru harus senantiasa dielek atau dianju (dibujuk). Boru adalah penopang dan penyokong. Sebab itu mereka senantiasa diperlakukan dengan ramah-tamah dan lemah-lembut agar mereka tidak sakit hati dan kemudian membiarkan hula-hula-nya. Namun sebaliknya: Bagi orang Batak pra-Kristen hula-hula memang dipandang sebagai mata ni ari bisnar, sumber berkat dan kesejahteraan, sebab itu harus disembah (somba marhula-hula).
Lantas bagaimana dengan kita orang Kristen? Prinsip-prinsip dalihan na tolu ini dapat terus kita pertahankan sebagai kontsruksi budaya yang positif. Namun makna somba marhula-hula harus kita beri warna baru. Sebab bahasa Batak tidak membedakan istilah hormat dan sembah. Sementara sebagai orang Kristen kita mengakui bahwa Tuhanlah sumber berkat satu-satunya. Hula-hula atau mertua hanyalah salah satu (baca: bukan satu-satunya) saluran atau distributor berkat yang dipakai Tuhan.
Selanjutnya sebagai orang Kristen dan moderen, kita juga harus memperkaya prinsip dalihan na tolu ini dengan semangat egalitarian (kesetaraan). Pada dasarnya tiap-tiap orang, tanpa kecuali, harus kita hormati. Tiap-tiap orang (apapun suku, ras, profesi, pendidikan, jenis kelamin, agama dan tingkat ekonominya) pantas mendapat hormat. Kita wajib menghormati hula-hula, melindungi boru dan memperlakukan hati-hati dongan tubu kita tanpa memandang latar belakang ekonominya, pendidikan, pangkat atau jabatannya.
3. Sirkulasi Peran Dan Jabatan
Inti atau substansi kultur dalihan na tolu adalah sirkulasi dan distribusi peran dan jabatan. Dalam kultur Batak setiap orang tidak mungkin terus-menerus dihormati sebagai hula-hula. Hari ini menjadi boru, esok menjadi dongan tubu, lusa menjadi hula-hula. Hari ini duduk dilayani besok melayani. Tidak ada orang yang mutlak selama-lamanya (dondon pate) dihormati. Tidak ada juga orang yang selama-lamanya berada di bawah melayani!
Masyarakat Batak sangat sadar akan arti ruang atau tempat dan even. Peran dan kedudukan seseorang sangat dinamis sebab tergantung ruang dan even (ulaon). Sirkulasi peran dan jabatan ini merupakan kontribusi masyarakat Batak bagi gereja dan masyarakat. Bahwa semua orang harus bergantian melayani dan dilayani, menghormati dan dihormati. Tidak ada yang terus-menerus boleh menjadi kepala atau pemimpin.
Ini sangat relevan dengan dunia modernitas. Kepemimpinan moderen tergantung kepada even dan ruang dan waktu. Tidak ada orang yang boleh mengklaim menjadi pemimpin di setiap even, di semua ruang dan sepanjang waktu. Ini juga relevan dengan iman Kristen yang memandang semua manusia setara di hadapan Tuhan (Gal 3:28) dan harus diperlakukan dengan hormat dan kasih (Roma 12:10, II Pet 1:7, Yoh 13:14, 34)
4.Hukum Berbalasan Positif
Selanjutnya dalihan na tolu merupakan perwujudan prinsip hukum berbalasan. Sisoli-soli
do uhum siadapari do gogo. Saling berbalas adalah hukum dan saling berganti merupakan kekuatan. Boru memberikan juhut (daging) dan hula-hula menyambut dan memberikan boras dohot dengke (beras dan ikan). Boru memberikan piso-piso (uang) dan hula-hula merespons dengan memberi doa memohon berkat. Hula-hula memberikan ulos dan boru membalas dengan uang. Prinsip berbalasan positif (sisoli-soli) ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kesejahteraan bersama. Beban dan keuntungan dibagi dan dipikul bersama. Hula-hula, dongan tubu dan boru harus sama-sama bersukacita dan beruntung. Tidak boleh ada pihak yang ingin menang dan nikmat sendiri!
Namun prinsip dalihan na tolu tetap harus dimurnikan senantiasa dengan KASIH AGAPE atau kasih tanpa mengharapkan balasan yang diajarkan Yesus. Yesus memang tidak pernah melarang kita membalas yang baik (seluruh ayat Alkitab hanya melarang membalas yang jahat), namun Dia menghendaki agar kita belajar juga mengasihi dan memberi tanpa mengharapkan balasan (pamrih).
5. Kesetaraan Perempuan Dan Laki-Laki
Tuhan Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sebagai citra Allah (Kej 1:27). Laki-laki dan perempuan sama dan setara di hadapanNya (Gal 3:28). Kekristenan mengajarkan bahwa perempuan bukanlah manusia kelas dua atau bagian laki-laki. Perempuan juga bukan properti milik laki-laki yang dapat dijadikan objek transaksi atau perjanjian jual-beli. Sebab itu komunitas Kristen-Batak juga harus menempatkan dalihan na tolu dalam konteks kesetaraan (hadosan) dan keadilan (hatigoran) laki-laki dan perempuan.
Pada jaman dahulu hula-hula dianggap sebagai pemberi perempuan. Namun di jaman modern perempuan yang bebas dan otonom karena itu tidak boleh dijadikan objek apalagi “diserah-terimakan”. Perempuan adalah subjek atau pribadi. Pernikahan karena itu kini dianggap perjanjian dua pihak yang setara. Akibatnya secara tak langsung makna hula-hula pun bergeser bukan lagi sebagai “marga pemberi perempuan” namun “marga asal perempuan”.
Sinamot atau tuhor (uang mahar pernikahan( karena itu bukanlah keuntungan yang diperoleh dari transaksi perempuan tetapi harus diartikan sebagai biaya (cost) yang diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama.
6. Gereja Mencegah Chaos
Gereja HKBP memiliki anggota yang mayoritas Batak (minimal sampai saat ini). Anggota HKBP karena itu juga dalam hidupnya menghayati dalihan na tolu. Salah satu prinsip dalihan na tolu adalah melarang pernikahan yang semarga. Gereja HKBP menerima prinsip melarang pernikahan semarga ini agar tidak terjadi chaos atau kekacauan di masyarakat. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus agar semuanya berlangsung secara teratur (I Kor 14:40) dan rapih tersusun (Ef 4:16)
7. Depolitisasi Dan Domestikasi Adat
Dahulu yang disebut adat Batak adalah segala sesuatu konsep, nilai, ide, hasil karya dan kegiatan orang Batak (menanam padi, membangun rumah, membuka kampung baru, berperang, mengikat perjanjian antar marga dll). Dalam perkembangan terakhir makna adat telah mengalami proses depolitisasi dan domestikasi. Kini adat Batak direduksi atau diminimalisasi menjadi sekedar ritus domestik (rumah tangga): ritus pernikahan, kelahiran dan kematian. Apa akibatnya? Peranan dalihan na tolu menjadi sangat dominan atau menonjol walaupun pada prakteknya kurang berpengaruh kepada kehidupan ekonomi dan politik komunitas Kristen-Batak itu sendiri. Sebab itu tantangan bagi kita sekarang adalah mencari dan menemukan hakikat atau esensi adat Batak itu sendiri agar tidak larut dan hanyut dalam ritus atau seremoni konsumtif belaka.
C.JAMBAR
JAMBAR adalah istilah yang sangat khas Batak. Kata jambar menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok orang). Kultur Batak menyebutkan ada 3(tiga) jenis jambar. Yaitu: hak untuk mendapat bagian atas hewan sembelihan (jambar juhut), hak untuk berbicara (jambar hata) dan hak untuk mendapat peran atau tugas dalam pekerjaan publik atau komunitas (jambar ulaon).
Tiap-tiap orang Batak atau kelompok dalam masyarakat Batak (hula-hula, dongan sabutuha, boru, dongan sahuta dll) sangat menghayati dirinya sebagai parjambar. Yaitu: orang yang memiliki sedikit-dikitnya 3(tiga) hak: bicara, hak mendapat bagian atas hewan yang disembelih dalam acara komunitas, dan hak berperan dalam pekerjaan publik atau pesta komunitas. Begitu pentingnya penghayatan akan jambar itu, sehingga bila ada orang Batak yang tidak mendapatkan atau merasa disepelekan soal jambarnya maka dia bisa marah besar.
1. Jambar Hata
Pertama-tama tiap-tiap orang dalam komunitas Batak (kecuali anak-anak dan orang lanjut usia yang sudah pensiun dari adat/ naung manjalo sulang-sulang hariapan) diakui memiliki hak bicara (jambar hata). Sebab itu dalam tiap even pertemuan komunitas Batak tiap-tiap orang dan tiap-tiap kelompok/ horong harus diberikan kesempatan bicara (mandok hata) di depan publik. Jika karena alokasi waktu jambar hata harus direpresentasikan melalui kelompok/ horong (hula-hula, dongan tubu, boru dll) maka orang yang ditunjuk itu pun harus berbicara atas nama kelompok/ horong
yang diwakilinya. Sebagai simbol dia harus memanggil anggota kelompoknya berdiri bersama-sama dengannya. Sekilas mungkin orang luar mengatakan bahwa acara mandok hata ini sangat bertele-tele dan tidak efisien.
Namun pada hakikatnya jambar hata ini menunjuk kepada pengakuan bahwa tiap-tiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya (baca: hak untuk didengarkan) di depan publik. Bukankah hal-hal ini sangat demokratis dan moderen?
2. Jambar Juhut
Selanjutnya jambar juhut menunjuk kepada pengakuan akan hak tiap-tiap orang untuk mendapat bagian dari hewan sembelihan dalam pesta. Lebih jauh. jambar juhut ini merupakan simbol bahwa tiap-tiap orang berhak mendapat bagian dari sumber-sumber daya (resources) kehidupan atau berkat yang diberikan Tuhan. Sebab itu bukan potongan daging (atau tulang) itu yang terpenting tetapi pengakuan akan keberadaan dan hak tiap-tiap orang. Sebab itu kita lihat dalam even pertemuan Batak bukan hanya hasil pembagian hewan itu yang penting tetapi terutama proses membagi-baginya. (acara mambagi jambar). Sebab proses pembagian jambar itu pun harus dilakukan secara terbuka (transparan) dan melalui perundingan dan kesepakatan dari semua pihak yang hadir, dan tidak boleh langsung di-fait accompli oleh tuan rumah atau seseorang tokoh. Jolo sineat hata asa sineat raut. Setiap kali potongan daging atau juhut diserahkan kepada yang berhak maka protokol (parhata) harus mempublikasikan (manggorahon) di depan publik. Selanjutnya setiap kali seseorang menerima jambar maka ia harus kembali mempublikasikannya lagi kepada masing-masing anggotanya bahwa jambar (hak) sudah mereka terima.
Jambar juhut ini menunjuk kepada gaya hidup berbagi (sharing) yang sangat relevan dengan kehidupan modernitas (demokrasi) dan kekristenan. Sumber daya kehidupan atau berkat Tuhan tidak boleh dinikmati sendirian tetapi harus dibagi-bagikan secara adil dalam suatu proses dialog yang sangat transparan.
Inilah salah kontribusi komunitas Batak kepada masyarakat dan negara Indonesia. Bahwa hasil pembangunan dan devisa Indonesia seyogianya harus bisa juga dibayangkan sebagai ternak sembelihan yang semestinya dibagi-bagi kepada seluruh rakyat secara adil dan transparan.
3. Jambar Ulaon
Jambar ulaon menunjuk kepada pengakuan kultur Batak bahwa tiap-tiap orang harus diikutsertakan dan dilibatkan dalam pekerjaan publik. Dalam even pertemuan komunitas Batak tidak ada penonton pasif, sebab semua orang adalah peserta aktif. Tiap-tiap orang adalah partisipan (parsidohot) dan pejabat (partohonan). Dari kedalaman jiwanya orang Batak sangat rindu diikutsertakan dan dilibatkan dalam pekerjaan publik atau komunitas.
Pada dasarnya orang Batak rindu memiliki peran dan kedudukan dalam komunitas dan masyarakatnya (termasuk gerejanya). Jika ia tidak memiliki peran dan kedudukan itu, maka kemungkinan yang terjadi cuma dua: si orang Batak ini akan pergi menjauh atau “menimbulkan keonaran”. Sebaliknya jika dia disertakan atau dilibatkan, sebagai parsidohot dan parjambar dan partohonan maka dia akan berusaha memikul dan menanggung pekerjaan itu sebaik-baiknya dan dengan sekuat tenaganya (termasuk berkorban materi). Mengapa laki-laki Batak begitu rajin dan betah di pesta adat? Sebab di sana mereka memiliki peran dan kedudukan!
4. Jambar Dan Nasib
Namun komunitas Kristen-Batak sekarang tetap harus mewaspadai seandainya masih ada sisa-sisa kaitan jambar dengan pemahaman nasib (sibaran, bagian, turpuk). Kekristenan jelas-jelas menolak konsepsi tentang nasib (predestinasi), yaitu anggapan bahwa kehidupan, kinerja dan prestasi seseorang sudah ditentukan sebelumnya jauh sebelum dia lahir. Kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitanNya kembali dari antara orang mati telah menghapuskan nasib ini. Yang lama telah berlalu sebab yang baru telah tiba (II Kor 5:17). Bagi orang percaya tidak ada yang mustahil sebab itu tidak ada juga nasib ( Luk 1:37, Kej 18:1 ). Tuhan tidak pernah merencanakan kecelakaan tetapi masa depan yang penuh pengharapan bagi kita (Yer 29:30). Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak jambar tidak boleh diartikan sebagai nasib. Itu artinya pemahaman tentang jambar harus didasarkan kepada Firman Tuhan.
Bagi kita komunitas Kristen-Batak jambar memiliki makna baru: yaitu simbol hidup berbagi yang diteladankan oleh Yesus. Yaitu sebagaimana Yesus telah rela mati di kayu salib memecah-mecah tubuhNya dan mencurahkan darahNya untuk kehidupan dan kebaikan semua orang, maka kita juga harus selalu membagi-bagi sumber daya kehidupan atau berkat yang kita terima kepada sesama.
Dalam kehidupan sehari-hari kita mau menyatakan bahwa sumber-sumber daya ekonomi, sosial dan politik serta budaya yang ada di masyarakat dan negara harus dibagi-bagi dan didistribusikan secara adil dan merata, dengan semangat solidaritas (kesetiakawanan).
5. Persatuan Dan Keadilan
Budaya Jambar adalah simbol PERSATUAN dan KEADILAN sekaligus. Dengan memberikan kepada tiap-tiap orang dan kelompok apa yang menjadi hak-haknya (hak bicara, hak mendapat bagian dalam sumber daya, dan hak berperan) keadilan diwujudkan dan persatuan diteguhkan pada saat yang sama. Persatuan tanpa keadilan adalah penindasan. Keadilan tanpa persatuan adalah permusuhan. Sebab itu: Persatuan Indonesia pun harus dimengerti dan dihayati dalam rangka Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
6. Teologi Jambar Dalam Gereja
Sebagai gereja yang anggotanya sebagian besar atau hampir semua berlatar-belakang Batak, HKBP mau tak mau harus menyadari kultur parjambaran ini. Bahwa pada dasarnya tiap-tiap anggota HKBP harus memiliki hak bicara (jambar hata), hak menikmati berkat (jambar juhut) dan hak berperan (jambar ulaon). Bagaimanakah kita mengakomodir kultur jambar ini ini dalam liturgi, persekutuan, pelayanan, organisasi dan seluruh ekspressi beribadah dan berjemaat HKBP kita?
Sebagai orang yang menghayati kultur Batak, seyogianya kita sadar bahwa warga (ruas) HKBP sangat merindukan dan mengharapkan diterima dan diakui sebagai parsidohot (perserta), parjambar, partohap (pemegang hak), parnampuna (pemilik) dan panean (pewaris) di gereja HKBP. Anggota HKBP dari kedalaman jiwanya tidak suka hanya sekedar jadi penonton atau pendengar pasif. Mereka ingin berperan dan terlibat dalam seluruh kehidupan ber-HKBP.
Banyak contoh menyebutkan jika anggota HKBP diberi peran maka dia akan melaksanakan peran itu sebaik-baiknya. Jika perannya dalam ibadah hanyalah bernyanyi tentu saja dia cuma membawa Buku Ende ke gereja. Sebaliknya jika perannya termasuk membaca Alkitab, maka dia tentu akan membawa Alkitab juga ke gereja. Selanjutnya jika anggota jemaat diberi peran untuk melayani maka dia akan membawa segala hal yang diperlukan untuk pelayanan itu dan akan bersukacita tinggal dan bertahan dalam HKBP. Pertanyaan: ingin anggota HKBP tidak lari ke tempat lain?
Jawaban: berilah dia peran dan kedudukan dan tanggungjawab di HKBP!
7. Apa Kata Alkitab?
Apa kata Alkitab tentang jambar? Yesus mendesak Petrus agar menerima Tuhan membasuh kakinya supaya dia mendapat bagian (partohap) dalam Kristus (Yoh 13:8). Selanjutnya Yesus memuji Maria karena telah memilih bagian atau jambar atau tohap na umuli (Luk 10:42). Rasul Paulus mengatakan karena kematian Yesus di kayu salib kita mendapat bagian atau parjambar dalam kerajaan Allah dan semua janjiNya. (Ef 2:12, lihat juga Ef 1:11). Kita orang percaya adalah partohap dalam kasih karunia Allah (Flp 1:7). Selanjutnya penulis Ibrani mengatakan “ai nunga gabe partohap di Kristus hita, anggo gomos tatiop ro di ujungna pos ni roha, na di hita mulana” (Heb 3:14). Bahkan kita juga telah menjadi parjambar atau partohap dalam Roh Kudus (Heb/ Ibr 6:4). Rasul Petrus juga menyatakan bahwa kita orang beriman juga mendapat bagian (partohap) dalam kemuliaan Kristus di masa mendatang (I Pet 5:1).
Karena itulah sang pemazmur mengatakan “parjambarongku do Ho, ale Jahowa, nunga pola hudok, sai radotanku do HataMi” (Maz/ Psalm 119:57, lih. 73:26). “Jahowa do parjambarangku, ninna tondingku, dibaheni marhaposan tu Ibana ma ahu” (Andung 3:24)
(Penulis adalah Pdt. Daniel Taruli Asi Harahap, M.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar