Minggu, 02 Mei 2010

ARTIKEL: BERBAGAI PANDANGAN MENGENAI KEBENARAN ALKITAB

A. Teori Tentang Ketaksalahan Alkitab (Inerrancy)
Alkitab adalah firman Allah. Pernyataan yang absolut ini mengindikasikan bahwa Alkitab adalah benar atau Alkitab tidak mungkin salah. Ketaksalahan Alkitab dapat dibuktikan dengan beberapa kata penting yang harus dipahami, yaitu: penyataan (revelation), pengilhaman (inspiration), dan penerangan (illumination).
1. Penyataan (Revelation)
Istilah “penyataan” berasal dari kata Yunani “apokalupsis”, dari kata kerja “apokalupto”, dalam bahasa Inggris “to take off the cover; disclose”, yang berarti “membuka tutup; menyingkap, memperlihatkan.” Apokalupto artinya menyatakan (Mat. 16:17; Mrk. 4:22; Luk. 2:32; Kis. 20:23). Kata ini mengandung makna tindakan Allah untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia. John R. W. Stott menyatakan “Istilah ini menunjuk prakarsa yang telah diambil Allah untuk membuat diri-Nya menjadi nyata dan dikenal.”
Berbagai cara yang dilakukan Allah untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia. Charle C. Ryrie menulis: “Menurut sejarahnya, ada dua cara Allah dalam mengambil prakarsa untuk menyatakan diri-Nya, disebut penyataan umum dan penyataan khusus. Penyataan umum mencakup segala sesuatu yang dinyatakan Allah di dalam dunia sekitar kita, termasuk manusia. Sedangkan penyataan khusus mencakup berbagai cara yang dipakai Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya yang disusun di dalam Alkitab.”
Pernyataan senada dikemukakan oleh Paul Enns dengan menulis: “Wahyu ada yang ‘umum’, di mana Allah menyatakan diri-Nya melalui sejarah dan nature, dan ada yang ‘khusus’, di mana Allah menyatakan diri-Nya melalui Kitab Suci dan melalui Anak-Nya.
Kedua cara penyingkapan diri Allah dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Penyataan Umum.
Penyataan umum Allah tampak di langit, bumi, dan segala isinya yang bersifat umum. Penyataan umum dapat dilihat dari tiga sudut pandang yang membuktikan bahwa penyataan umum itu benar-benar bersifat umum. Menurut Charles C. Ryrie ada tiga ciri yang membuktikan penyataan umum itu ialah “Jangkauan umum, yaitu mencapai semua orang (Mat. 5:45; Kis. 14:17). Geografinya umum, meliputi seluruh dunia (Maz. 19:2). Metodologinya umum, yaitu menggunakan cara-cara universal seperti panas matahari (Maz. 19:4-7) dan hati nurani manusia (Rm. 2:14-15). Bagaimanakah penyataan umum ini sampai kepada manusia? Melalui penciptaan, melalui keteraturan, manusia, dan ciptaan. Jadi, penyataan umum Allah terjadi melalui penciptaan alam semesta yang dinikmati oleh semua manusia.
Kedua, Penyataan khusus
Penyataan khusus Allah terjadi melalui berbagai saluran yang dikehendaki-Nya. Saluran-saluran itu, ada yang bersifat manusiawi dan ada juga yang bersifat Ilahi. Saluran-saluran penyataan khusus ialah “Undi, urim dan tumim, mimpi, penglihatan, teofani (penampakan Allah dalam wujud manusia), malaikat, nabi-nabi, peristiwa-peristiwa, Yesus Kristus dan Alkitab.”
Menurut Paul Enns, wahyu khusus terfokus pada Yesus Kristus dan Kitab Suci. Banyak contoh yang mencerminkan natur dari wahyu khusus di Kitab Suci. “Lalu Allah mengucapkan segala firman ini” (Kel. 20:10); “Inilah perkataan perjanjian” (Ul. 29:1); “Ketika Musa selesai menuliskan perkataan hukum Taurat itu dalam sebuah kitab sampai perkataan yang penghabisan” (Ul. 31:24).
Wahyu khusus yang berpusat pada Yesus Kristus dijelaskan: “Jadi, esensi dari wahyu khusus berpusat pada Pribadi Yesus Kristus. Ia dinyatakan di Kitab Suci sebagai Seorang yang menjelaskan tentang Bapa (Yoh. 1:18). Meskipun pada masa lalu manusia belum melihat Allah, “Yesus menyatakan Allah secara penuh.” Yesus menyatakan bahwa baik kata-kata-Nya (Yoh. 6:63) maupun pekerjaan-Nya (Yoh. 5:36) mendemontrasikan bahwa Ia menyatakan Bapa. Dan baik perkataan-Nya maupun pekerjaan-Nya secara akurat dicatat di Kitab Suci.”
2. Pengilhaman (Inspiration)
Istilah “pengilhaman” atau “diilhamkan” dalam bahasa Yunani ialah “theopneustos”, dari kata “theos”, artinya Allah dan “pneo” artinya meniup dengan keras. Kata “pneo” juga berkaitan dengan “kata”. Secara leksikal “Theopneustos” berarti Allah meniup ke dalam (II Tim. 3:16). Jadi, “theopneustos” artinya “Allah meniupkan kata dengan keras ke dalam.” Kata yang sinonim ialah dinafaskan. Ini menyatakan cara pengilhaman. Bentuk pasif, artinya Alkitab adalah hasil dari nafas Allah. Jikalau sebaliknya bentuknya aktif, maka akan berarti Alkitab mengucurkan atau berbicara mengenai Allah. Paul E. Little menyatakan “melalui ilham/diilhami artinya menunjuk kepada apa yang ditulis. Kata pengilhaman menurut John. R.W. Stott, “menunjuk kepada cara utama yang dipilih Allah untuk menyatakan diri-Nya. Proses komunikasi lisan inilah yang disebut pengilhaman.”
Charles C. Ryrie mendefinisikan pengilhaman yaitu, “Allah mengawasi sedemikian rupa sehingga para penulis Alkitab itu menyusun dan mencatat tanpa kekeliruan pesan-Nya kepada manusia dalam bentuk kata-kata pada penulisan aslinya.” Dari definisi ini beberapa kata yang menjadi tekanan adalah: Mengawasi, memberikan peluang adanya warna-warni hubungan antara Allah dengan para penulis dan bahan yang beragam; Menyusun, menunjukkan bahwa para penulis bukanlah penulis steno yang pasif yang sekedar mencatat apa yang Allah diktekan, tetapi justru sebagai penulis yang aktif menyusun/mengarang; Tanpa keliru, menyatakan penegasan Alkitab sendiri sebagai kebenaran (Yoh. 17:17); Tulisan asli, pengilhaman hanya dikaitkan dengan tulisan aslinya, bukan dengan salinan ataupun terjemahan bagaimanapun telitinya.
Menurut Henry C. Thiessen, pengilhaman ialah “Roh Kudus menuntun dan mengawasi para penulis Alkitab sedemikian rupa, sambil memakai keunikan mereka pribadi lepas pribadi, sehingga mereka itu menulis semua yang Ia ingin mereka tulis, tanpa tambahan maupun kesalahan.” Dari definisi ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah: 1) Pengilhaman tidak dapat dijelaskan sepenuhnya. Pengilhaman merupakan karya Roh Kudus, namun kita tidak mengetahui dengan tepat bagaimana kuasa Roh Kudus bekerja; 2) Pengilhaman, dalam arti yang terbatas ini, terbatas pada penulis-penulis kitab dalam Alkitab saja. Kitab-kitab lainnya tidak diilhamkan dengan begitu; 3) Pengilhaman pada hakikatnya merupakan tuntunan. Maksudnya, Roh Kudus mengawasi pemilihan bahan yang dipakai serta kata-kata yang akan digunakan dalam menulis suatu kitab; 4) Roh Kudus melindungi para penulis dari berbuat kesalahan serta tidak mencantumkan apa yang harus dicantumkan; 5) Pengilhaman meliputi juga kata-kata yang dipakai, bukan sekadar pikiran dan konsepnya saja.
Definisi-definisi di atas menekankan aktivitas Allah melalui Roh Kudus dalam penulisan Alkitab. Tidak berarti bahwa penulis-penulis Alkitab sebagai manusia seperti robot yang didektekan lalu menulisnya. Roh Kudus bekerja dengan kuasa-Nya yang tidak dapat diselami oleh logika manusia sehinga “pengilhaman” benar-benar menjadi realitas sebagai wujud karya Allah dari penulis-penulis Alkitab. Di sinilah telah keunikan Alkitab yang diilhamkan Allah. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Alkitab adalah firman Allah yang tidak mengandung kesalahan.
3. Penerangan (Illumination)
Istilah “penerangan” dalam bahasa Yunani ialah “photos” dari “phos” yang dalam bahasa Inggris “fire, light”, artinya “api, cahaya.” Kata “photos” atau “phocos” mengandung makna , pertama, “the light of God’s presence” atau “cahaya kehadiran Allah (I Tim. 6:16); kedua, “the light of Divine truth, spiritual illumination” atau “cahaya kebenaran Tuhan, penerangan rohani” (Ef. 5:8; 1 Pet. 2:9; 1Yoh. 1:7); ketiga, “a source or dispencer of spiritual light” atau sumber atau pemberi cahaya Roh Kudus (Mat. 5:14; Yoh. 1:4,5,7,8,9; 8:12). Jadi, secara literal penerangan artinya kehadiran cahaya kebenaran Allah melalui pekerjaan Roh Kudus.
Kata “penerangan” ini kadang-kadang disamakan dengan kata ilham. Sebenarnya, kedua kata ini memiliki perbedaan. Telah dijelaskan bahwa kata ilham artinya menunjuk cara atau apa yang ditulis. Apakah sebenarnya penerangan/iluminasi itu?
Paul Enns mendefinisikan kata “penerangan” atau “iluminasi” sebagai “pelayanan dari Roh Kudus di mana Ia mencerahkan mereka yang dalam relasi yang benar dengan Dia untuk memahami Firman Allah yang tertulis.” Penerangan adalah pekerjaan Roh Kudus bagi setiap orang yang berkenan di hadapan Allah supaya ia mengerti kebenaran dan kehendak-Nya. Tertulis: Karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. … Demikianpulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.” (1Kor. 2:10-11).
Sebaliknya, penerangan Roh Kudus tidak akan terjadi pada orang yang tidak benar dihadapan Allah karena kejahatan dan kebodohannya. Tertulis: “Dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.” (Ef. 4:18; bdn. Roma 1:21).
Berdasarkan pembahasan ketiga istilah yang berkaitan erat dengan ketaksalahan Alkitab menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan namun sinergis dalam keotentikannya. Arnold Tindas mengutip penjelasan Chafer mengenai perbedaan ketiga istilah ini dengan menulis: “Pernyataan merupakan pengaruh Ilahi langsung dalam mengkomunikasikan kebenaran dari Allah kepada manusia. Pengilhaman merupakan pengaruh Ilahi langsung dalam menjamin suatu pengalihan yang akurat tentang kebenaran ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain. Sedangan penerangan adalah pengaruh atau pimpinan dari Roh Kudus, yang menyanggupkan semua orang yang memiliki hubungan yang benar dengan Allah untuk mengerti Alkitab.”
Hal yang senada dinyatakan oleh Paul Enns, dengan menulis: “Dalam kaitan dengan Alkitab, wahyu berhubungan dengan isinya atau materinya, inspirasi adalah metode dari mencatat materi itu, dan iluminasi berhubungan dengan arti dari catatan itu.”
Pengertian dan pemahaman yang tepat dan benar tentang istilah penyataan (Revelation), pengilhaman (Inspiration), dan penerangan (Illumination) memimpin seseorang untuk menentukan sikap dan pandangannya terhadap Alkitab. Ketiga istilah ini merupakan pilar-pilar yang kokoh untuk mempertahankan pernyataan dan pengakuan tentang ketaksalahan Alkitab (Inerrancy).
Berikut ini dikemukakan beberapa kelompok yang mempertahankan ketidaksalahan Alkitab, yaitu: Tokoh-tokoh Reformasi, Persekutuan Injili di Amerika, Pernyataan ICBI (The International Conference on Biblical Inerrancy), Deklarasi ATA (Asia Theological Association), dan Kaum Injili di Indonesia.
a. Pandangan Tokoh-tokoh Reformasi
Sepatutnya diakui bahwa pada masa para rasul gereja mula-mula dapat digolongkan dalam kelompok Injili karena pada masa itu ketaksalahan Alkitab tidak pernah dipersoalkan. Alkitab menjadi tolak ukur dan standar kehidupan manusia. Ketaksalahan Alkitab mulai hangat dipersoalkan pada abad ke-17 dari Filsafat Modern, Kritik Historis, dan Neo-Ortodoks.
Martin Luther adalah tokoh reformasi di Jerman. Ia menyatakan bahwa Alkitab itu tidak mengandung kesalahan. Arnold Tindas mengutip tulisan Mueller mengenai pernyataan Luther tentang ketaksalahan Alkitab. Ia menulis “Menurut Mueller, Luther pasti menyatakan, ketaksalahan Alkitab ketika ia mengatakan, “Alkitab tak pernah salah” St. L. XV: 1481. ‘Tidak mungkin di dalam Alkitab itu sendiri ada pertentangan’ (St. L. 1818). Pernyataan ini menunjukkan bahwa Luther berpegang teguh pada ketaksalahan Alkitab.
Johanes Calvin adalah tokoh reformasi dari Switzerland. Ia menyatakan bahwa Alkitab tidak salah dan keliru, catatan yang meyakinkan dan tak dapat keliru, standar yang tak dapat salah, dan Firman Allah yang tak dapat keliru.
Martin Luther dan Johanes Calvin mengakui ketaksalahan Alkitab. Kedua tokoh reformasi yang terkemuka ini menyatakan ketaksalahan Alkitab (Inerrancy) dan mempertahankan bahwa Alkitab adalah Firman Allah (Verbum Dei).
b. Persekutuan Injili di Amerika
Di Amerika ada beberapa organisasi yang dibentuk sebagai tanda untuk mempertahankan pengakuannya tentang ketaksalahan Alkitab. Organisasi ini dibentuk pada tahun 1942 oleh Persekutuan Injili sebagai reaksi terhadap denominasi gereja Protestan yang meragukan kewibawaan Alkitab.
Arnold Tindas menjelaskan: Persekutuan Injili yang pertama di Amerika, yang diberi nama “The National Association of Evangelicals” (NAE) lahir tahun 1942 di St. Louis. Menurut Harold John Ockenga, salah seorang pendiri dan merupakan orang pertama yang menjadi ketua dari persekutuan Injili itu, NAE lahir karena denominasi-denominasi Protestan yang tergabung pada “Federal Council of Churches” (FCC) ketika itu melepaskan pengakuan mereka mengenai kewibawaan Alkitab.
Pengakuan yang kokoh NAE dimuatkan pada pasal satu mengenai Alkitab, yang berbunyi “Kami percaya Alkitab diilhamkan, satu-satunya Firman Allah yang benar, tak dapat keliru.”
Organisasi lain yang mengakui ketaksalahan Alkitab ialah “The Christian Holiness Association (CHA).” Pengakuan CHA adalah “Alkitab, kami percaya akan pengilhaman Alkitab sepenuhnya, maksudnya ke 66 kitab dari PL dan PB, diberikan melalui ilham ilahi, tak mungkin salah dalam penyataan Allah mengenai semua hal dalam kaitan dengan keselamatan kita,..”
c. Pernyataan The International Conference on Biblical Inerrancy (ICBI)
Pada tahun 1978 di Chicago, Amerika Serikat, tokoh-tokoh Injili yang terkemuka mengadakan suatu konferensi yang disebut “The International Conference on Biblical Inerrancy (ICBI).” Arnold Tindas mengutip beberapa pasal pernyataan dan pengakuan ICBI sebagai berikut: Pasal I. Kami mengakui bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang berwibawa. Kami menyangkal bahwa kewibawaan Alkitab diterima dari Gereja, tradisi, atau dari sumber manusiawi lainnya… Pasal XIV. Kami mengakui kesatuan dan konsistensi internal dari Alkitab. Kami menyangkal bahwa bagian-bagian yang dianggap salah dan tidak bersesuaian, yang belum terpecahkan itu, adalah merusak pernyataan-pernyataan kebenaran dari Alkitab. Pasal XV. Kami mengakui bahwa ajaran mengenai ketaksalahan Alkitab didasarkan pada pengajaran Alkitab mengenai pengilhaman. Kami menyangkal bahwa pengajaran Yesus mengenai Alkitab mungkin terkurangi oleh daya tarik penyesuaian diri atau oleh sifat kemanusiaan-Nya. Pasal XVI. Kami mengakui bahwa ajaran mengenai ketaksalahan Alkitab telah menjadi bagian dari iman Gereja sepanjang sejarah. Kami menyangkal bahwa ajaran mengenai ketaksalahan Alkitab dibuat oleh Protestan Skolastik, atau merupakan sikap reaksioner yang dijadikan dalil untuk menanggapi kritik tinggi negatif.
Pernyataan dan pengakuan ICBI di atas, menegaskan bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang berwibawa (Sola Scriptura), Alkitab dalam kesatuan (Unity), ketaksalahan Alkitab (Inerrancy), dan ketaksalahan Alkitab adalah iman gereja sepanjang sejarah.
d. Deklarasi Asia Theological Association (ATA)
Pada tanggal 23-31 Agustus 1982, di Korea, persekutuan sekolah-sekolah teologia Injili di Asia, yaitu “Asia Theological Association” (ATA) mengadakan konsultasi dengan tema “Theology and the Bible in Context.” Konsultasi ini tidak terfokus pada Alkitab atau pun ketaksalahan Alkitab, tetapi pandangan terhadap Alkitab tersirat dan sangat jelas.
Arnold Tindas menulis: Di dalam bentuk verbal, Firman Allah datang kepada kita dalam bentuk Alkitab. Alkitab adalah sebuah dokumen sejarah, tak dapat keliru, dan tak dapat salah, lebih tajam dari pedang bermata dua manapun dan penting bagi pengajaran, teguran, perbaikan, dan pendidikan dalam kebenaran (II Timotius 3:16; Ibrani 4:12; II Petrus 1:21).
Dalam konsultasi ini ada 12 pokok ajaran yang diusulkan dan tiga dari padanya dianggap sangat penting yaitu “ajaran mengenai Allah, Alkitab dan Kristus sebagai Tuhan kita.” Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kaum Injili di Asia memegang teguh ajaran tentang ketaksalahan Alkitab.
e. Kaum Injili di Indonesia
Di Indonesia, pengakuan tentang ketaksalahan Alkitab (Inerrancy) dipegang teguh oleh kelompok persekutuan yang disebut Persekutuan Injili Indonesia (PII). Lembaga Injili lain di Indonesia yang tidak termasuk anggota PII, adalah Dewan Pentakosta Indonesia (DPI). Mengenai DPI, Arnold Tindas menjelaskan “Gereja-gereja Pantekosta pada hakikatnya memegang teguh keyakinan akan ketaksalahan Alkitab.”
Pada tahun 1983, PII mengadakan Kongres Nasional III di Yogyakarta, dan ditunjuk delapan orang yang disebut “panitia”, untuk merevisi Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PII khusus tentang ketaksalahan Alkitab, yang disahkan pada Kongres Nasional IV tahun 1985, yang berbunyi: “Dalam AD dan ART PII tahun 1985 disebutkan mengenai Pengakuan Iman, pasal 3 ayat 1, sebagai berikut: “Alkitab adalah Firman Allah yang diilhamkan, tanpa salah dan merupakan otorita tertinggi dalam segala segi kehidupan manusia.”
Demikian pula Persekutuan Antar Sekolah Teologia Injili di Indonesia (PASTI) bagian dari PII, dalam Anggaran Dasar PASTI, pasal 2 ayat 1, sebagai berikut: Kami percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya Firman yang diilhamkan Allah, yang ditulis orang-orang yang dipilih Allah di bawah penguasaan dan pimpinan Roh Kudus tanpa salah dalam segala penyataan dan merupakan otoritas tertinggi dalam iman, tingkah laku dan sejarah.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Kum Injili di Indonesia mempertahankan ajaran ketaksalahan Alkitab.
Pernyataan dan pengakuan tentang ketaksalahan Alkitab (Inerrancy) telah dibahas satu demi satu. Kesimpulan yang dapat dikemukakan mengenai pandangan Kaum Injili ialah bahwa pada dasarnya tetap mempertahankan ajaran tentang ketaksalahan Alkitab (Inerrancy). Alkitab adalah firman Allah (Sola Scriptura). Firman Allah tetap untuk selamanya (Verbum Dei Manet in Aeternum).

B. Teori Kritik Historis Tentang Alkitab
Istilah “kritik histories” mengandung konotasi yang lebih negatif daripada sisi positif. Kata kritik mengandung makna positif dan negatif. Istilah “kritik” berasal dari bahasa Yunani “kritikos” yang berarti “kesanggupan untuk membedakan atau menilai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata kritik ialah “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb.” Dalam kehidupan sehari-hari kata ini cenderung dipahami dalam pengertian yang negatif. Istilah ini berorientasi pada hasil sesuatu yang ditanggapi atau dinilai. Berkaitan dengan Alkitab, istilah kritik yang dimaksudkan ialah postif karena “mempunyai sasaran untuk mengungkapkan perkataan asli dari tulisan-tulisan dalam Alkitab.” Menurut Wismoady Wahono, “Studi kritis terhadap Alkitab adalah usaha yang sistematis untuk memahami Alkitab dengan cara memeriksa, mempelajari dan menerangkan bentuk, isi dan latar belakang Alkitab dengan memanfaatkan jasa-jasa semua pengetahuan yang ada dan relevan.”
Teori kritik histories muncul pada abad ke-18 dan ke-19. Pada waktu itu, mulai timbul keragu-raguan kaum intelektual terhadap Alkitab. Para sarjana teologi terpengaruh dengan perkembangan filsafat yang sangat populer pada saat itu. Pendapat Denis Green yang dikutip oleh Arnold Tindas menyatakan “sarjana-sarjana terpengaruh oleh aliran filsafat yang berkembang pada masa itu, khususnya Hegelianisme dan Darwinisme.”
Eta Linnemann menulis kesimpulan Werner Georg Kummel dalam buku Teologi Perjanjian Baru: “Pada bagian kedua abad ke 18 (yakni antara tahun 1750-1800), berhubungan dengan gerakan Pencerahan, suatu pengetahuan baru mulai mempengaruhi teolog Protestan, yakni bahwa Alkitab merupakan suatu buku yang ditulis oleh manusia, sehingga buku itu sama seperti semua hasil pikiran manusia, yang hanya dapat diterangkan seperti seharusnya menurut masa kejadiannya, yakni hanya melalui metode-metode ilmu sejarah.”
Teori histories kritis merendahkan status Alkitab yang berabad-abad diimani orang Kristen sebagai firman Allah. Sangat disayangkan bahwa ada teolog Kristen yang terpengaruh oleh aliran filsafat sehingga Alkitab perlu dikaji ulang secara rasional. Para teolog historis kritis telah mengakui ilmu pengetahuan yang ateistis dan anti-Kristen itu sebagai satu-satunya jalan masuk ke dalam Firman Allah. Teologi historis kritis meremehkan Alkitab dengan menempatkan Alkitab di bawah logika manusia. Tujuan teologi historis kritis ialah “memahami Alkitab sepenuhnya dengan daya pikiran sendiri”, yang berarti bahwa manusia menjadi ukuran segala sesuatu.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kritik histories (historical criticism) yang dikembangkan para teolog Kristen pada abad ke-18 sampai abad ke-20 bersifat negatif, sebagai usaha untuk menyerang Alkitab. Kritik yang diterapkan terhadap Alkitab dipahami sebagai usaha negatif ketika pada pengeritik mulai menghakimi Alkitab, menempatkan metode kritik itu di atas Alkitab.
Wismoady Wahono menulis: “Semuanya harus dikaji, sebab prinsip-prinsip baru mulai berlaku. Prinsip itu mengatakan bahwa segala sesuatu harus ‘mulai dengan keraguan, menuju kepemupukan pengetahuan berdasarkan dasar-dasar yang kokoh.’ Alkitabpun tak terkecuali dan harus dikaji ulang!”
Alkitab sebagai obyek penelitian sejarah dan serbuan kritik yang tajam dari histories kritis karena Alkitab tergolong sebagai buku klasik yang sangat berpengaruh. Menurut Eta Linnemann, histories kritis melihat isi Alkitab dalam tiga hal, yaitu: “Pertama, sebagai perwujudan gagasan-gagasan agama lain atau; kedua, sebagai modifikasi gagasan agama lain, atau; ketiga, sebagai antitesa terhadap gagasan-gagasan agama lain.” Kritik historis yang dilancarkan terhadap Alkitab terdiri dari kritik rendah (lower criticism) dan kritik tinggi (higher criticism).
1. Kritik Rendah (Lower Criticism)
Kritik rendah (lower criticism) disebut juga dengan “kritik teks atau naskah, karena kritik ini merupakan usaha untuk mendapatkan bunyi yang asli dengan membanding-bandingkan naskah-naskah salinan yang ada.” Demikian juga yang dikemukakan oleh Andreas B. Subagyo, bahwa “ Kritik teks ialah ilmu yang berupaya menyusun dan menetapkan kembali teks Alkitab sedekat mungkin.” Jadi, kritik rendah dilakukan untuk memperoleh sumber-sumber yang asli dari pada teks Alkitab.
Menurut Bolich, seperti yang dikutip Andreas B. Subagyo, data yang harus ditemukan dalam melakukan kritiks teks adalah adanya bukti internal sebagai berikut: Pertama, teks mengalami perubahan secara tidak sengaja dengan proses penyalinan, seperti kesalahan penglihatan, kesalahan pendengaran, kesalahan pengingatan, atau kesalahan pemahaman. Kedua, teks mengalami perubahan secara sengaja dalam proses penyalinan, seperti pembetulan karena alasan tata bahasa/ilmu bahasa dan karena pertimbangan doctrinal.
Selain bukti internal juga bukti eksternal yaitu “pengesahan dari berbagai saksi tekstual (macam-macam teks yang dianggap terbaik, seperti teks daerah Iskandaria, teks Barat, teks daerah Kaisaria, dan teks daerah Bizantium.” Lebih lanjut dijelaskan, dalam hubungannya dengan bukti eksternal, peneliti harus menentukan apakah bunyi teks sesuai dengan teks Iskandaria (terutama Iskandaria Vaticanus dan Sinaiticus) atau sesuai dengan dua atau tiga macam teks yang paling baik. Jika itu berbeda, peneliti harus menentukan mana yang paling sesuai dan yang paling tidak sesuai.
Beranjak dari penjelasan di atas, bahwa kritiks teks berupaya menyelidiki kembali teks Alkitab yang seolah-olah tidak memiliki kredibilitas lagi. Dengan kata lain, bahwa Alkitab dapat diterima secara abash apabila diakui dari sorotan kritik histories, karena kritik histories mengandalkan logika manusia sebagai basis kebenaran, yaitu “Akal menjadi tolak ukur kebenaran peristiwa sejarah masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.”
2. Kritik Tinggi (Higher Criticism)
Kritik tinggi terdiri dari kritik tentang sumber atau kritik sastra, kritik tentang bentuk dan kritik tentang redaksi. Selanjutnya dijelaskan bahwa “kritik tinggi dalam pengertian negatif, sebagaimana yang digunakan dalam lingkungan liberal sekarang ini, lebih dikenal dengan sebutan metode kritik histories. Kritik tinggi atau kritik historis identik dengan skeptisisme rasionalistik, yaitu suatu paham yang meragukan Alkitab karena menempatkan akal manusia di atas Alkitab. Kritik historis menyelidiki tentang tiga hal yaitu sumber, bentuk dan redaksi.
a. Kritik Sumber
Andreas B. Subagyo dalam bukunya “Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif” mengutip pengertian tentang “kritik sumber” yang dibuat oleh Huey dan Corley, yaitu: “Kritik sumber ialah metodologi analisis yang dipakai dalam penyelidikan buku-buku biblical untuk menemukan dokumen-dokumen (sumber-sumber) yang telah dipakai dalam penyusunan wacana tertulis.” Kritik sumber secara khusus menaruh perhatian pada kritik kesusasteraan. Dengan demikian, kritik itu menyelidiki ciri-ciri kewacanaan sebuah teks, khususnya struktur, gaya, penggunaan kata-kata, sudut pandang, pengulangan kata-kata, dan penalaran.
Kritik sumber berupaya mencari data yang secukupnya dari berbagai sumber untuk diselidiki. Andreas B. Subagyo menambahkan: “Berdasarkan hal tersebut, peneliti mendaftarkan faktor-faktor yang menunjukkan dipakainya sumber tertentu dan mempertimbangkan validitasnya dari segi penulis atau pemakai sumber. Peneliti kemudian menentukan sifat sumber (apakah sumber itu berdiri sendiri, di mana sumber itu paling mungkin muncul, apa hubungannya dengan sumber lain, apakah keterangan mengenai sumber itu dapat diperoleh dari dokumen-dokumen lain, apakah ciri-ciri kesusasteraan dan tema khusus dari sumber itu, apakah isi atau pesan aslinya, dan apakah tujuan serta maknanya. Akhirnya, peneliti menentukan pemakaian sumber, yaitu memisahkan sumber dari sumbangan si penulis, memerhatikan bagaimana sumber itu dipakai dan dibentuk oleh penulis sebagai editor, dan memerhatikan proses dan produk penulis itu sendiri.
Jadi, keberhasilannya penelitian yang dilakukan dari aspek kritik sumber sangat bergantung pada sumber data yang diperoleh peneliti. Wismoady Wahono menyatakan: “Usaha kritik sumber bisa menembus jauh ke belakang buku yang diteliti. Tapi tujuannya bukan hanya itu. Yang jauh lebih penting ialah bahwa usaha ini bertujuan untuk memperjelas seluruh proses dari karya-karya buku yang bersangkutan, sejak permulaan, pertengahan, sampai hasil akhirnya seperti yang ada sekarang.
Wismoady Wahono menjelaskan bahwa para peneliti Alkitab telah menemukan empat sumber cerita di dalam Pentateukh pada abad ke-19 yang diberikan tanda dengan huruf-huruf Y, E, D dan P. Hal yang senada dikemukakan R. Laird Harris dengan menjelaskan “These four documents have been called “J”, from the original idea that it used the name “Jehovah”, “E” from it used of the word Elohim for God, “D” from the large proportion of Deuteronomy in it, and “P” from the priestly characteristics found in this document. Keempat sumber ini dijelaskan seperti berikut:
1) Sumber Yahwist
Sumber Yahwist merupakan sumber cerita yang tertua dalam Pentateukh dan berasal dari kerajaan Israel Selatan (Yehuda). Tentang sumber ini dijelaskan, sumber “Y” ini selalu menyebut nama Tuhan dengan “Yahweh”; LAI: TUHAN. Penulis cerita-cerita tentang “Yahweh” ini biasanya disebut penulis Yahwist, dan dari situ kita menerima nama kependekan sumber “Y”. Hal ini dibuktikan dengan beberapa alasan, yaitu: “sumber ini sangat memperhatikan Hebron sebagai tempat suci Abraham (band. Kej. 13:18; 18:1) dan menonjolkan tokoh Yuda dalam cerita Yusuf (Kej. 3:7). Sebagai tambahan, kata-kata mengenai Yuda di dalam ‘Berkat Yakub’ (Kej. 49:8, dst). Selanjutnya ditegaskan “Berdasarkan ketiga alasan itu maka kemungkinan besar para penulis sumber Y itu muncul pada zaman pemerintahan raja Daud dan Salomo, yaitu abad 11-10 S.M.
Sumber Yahwist juga bergantung pada tradisi lisan yang ada sebelumnya yang menceritakan tentang keselamatan. Selain itu, para penulis sumber Y mengembangkan pokok-pokok lain dalam tulisannya seperti kejadian alam semesta, dosa manusia, dan lain-lain.
2) Sumber Elohist
Sumber Elohist adalah sumber berita tertua yang kedua dalam Pentateukh dan berasal dari kerajaan Israel Utara. Dinamakan sumber E karena di dalam cerita-cerita dari sumber ini selalu dipakai nama Elohim untuk Tuhan; LAI: Allah. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa alasan, yaitu: “Tokoh yang menonjol adalah Yusuf dan Ruben. Kedua orang ini adalah tokoh-tokoh yang menurunkan suku-suku Israel Utara (Kej. 37, dst). Efraim, sebagai suku yang berpengaruh di Israel Utara, mendapat perhatian khusus pula dalam sumber Elohist ini (band. Kej. 48:20). Demikian juga tempat-tempat suci Betel dan Sikhem mendapat tempat yang cukup banyak dalam sumber ini. Tokoh Yakub yang disangkutkan dengan tempat suci Betel, lebih menonjol ketimbang Abraham. Abraham sangat ditonjolkan oleh sumber Yahwist. Sumber Elohist sama sekali tidak memuat cerita mengenai Abraham dan Lot (Kej. 31), Yehoda, Syua, dan Tamar (Kej. 38).
Sumber Elohist dan sumber Yahwist memiliki perbedaan yang signifikan. Wismoady Wahono menjelaskan perbedaan tersebut, yaitu perbedaan yang sangat menonjol antara sumber Elohist dan Yahwist adalah sumber Elohist tak punya cerita tentang sejarah purbakala.
3) Sumber Deuteronomium (Sumber D)
Sumber D adalah sumber ketiga dalam Pentateukh dan bersumber pada kitab Ulangan. Dijelaskan, seluruh kitab Ulangan merupakan sumber utama ketiga yang terdapat di dalam Pentateukh. Nama bahasa Latin dari Kitab Ulangan adalah ‘Deuteronomium’ (baca: deiteronomium). Dari nama inilah kita memperoleh sebutan ‘sumber D’ atau sumber Deuteronomium.
4) Sumber Priester (Sumber P)
Sumber Priester adalah sumber keempat di dalam Pentateukh dari Kitab Imamat. Disebut sumber P karena sumber ini berasal dari pada imam, yang di dalam bahasa Latin disebut Priester. Jadi, nama sumber P adalah kependekan dari nama ‘sumber Priester’. Sumber P memuat cerita tentang keselamatan bangsa Israel seperti yang digagaskan menurut sumber Yahwist dan Elohist. Sama seperti sumber cerita Yahwist dan Elohist, maka sumber P pun menuturkan sejarah keselamatan Israel. Tetapi tentu saja penuturan tersebut dilakukan menurut pandangan P sendiri. Jadi, antara ketiga sumber ini memiliki persamaan dalam penuturan ceritanya.
Keempat sumber yang dijelaskan di atas (Y, E, D dan P), merupakan hasil penemuan para ahli teologi kritis histories pada abad ke-19 untuk membuktikan keabsahan Alkitab dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan. Studi kritis terhadap Alkitab adalah usaha yang sistematis untuk memahami Alkitab dengan cara memeriksa, mempelajari dan menerangkan bentuk, isi dan latar belakang Alkitab dengan memanfaatkan jasa-jasa semua pengetahuan yang ada dan relevan. Jadi, berbagai usaha yang dilakukan para teolog histories kritis untuk menyelidiki Alkitab yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia.
b. Kritik Bentuk
Kritik bentuk memusatkan perhatian pada aspek cultural dari teks yang akan diteliti. Kritik bentuk ialah analisis sebuat teks menurut bentuk-bentuk khas yang digunakan orang, dalam konteks budaya tertentu, untuk menyatakan dirinya secara kebahasaan. Data yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian kritik bentuk ialah struktur teks. Yang ditekankan dalam penelitian kritik bentuk adalah sejarahnya. Briggs menandaskan “mula-mula penelusuran sejarah bentuk (formgeschichte, bhs. Jerman) adalah hal pertama yang ditekankan dalam kritik bentuk. Andreas B. Subagyo menjelaskan, dalam pengertian itu, kritik bentuk memperhatikan penemuan bentuk-bentuk asli dari bahan-bahan yang dipakai oleh penulis kitab suci, termasuk rekonstruksi sejarah tradisi yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, kritik bentuk memperhatikan dua sisi yang saling berhubungan yaitu kebudayaan dan kesejarahannya sebuah teks yang akan dianalisis.
Harvie M. Conn menyimpulkan enam pokok pikiran yang menjadi asumsi dan tujuan kritik bentuk yang dilancarkan terhadap Alkitab, secara khusus Perjanjian Baru, yaitu:
b.1. Praanggapan kritik bentuk ialah bahwa Alkitab tidak dapat diterima sebagai catatan dari kehidupan dan pengajaran Kristus dan rasul-rasul-Nya yang layak dipercaya. Pekerjaan kritik bentuk bertujuan untuk memperlihatkan bahwa berita tentang Yesus yang diberikan kepada kita dalam Sinoptik, sebagian besar tidak otentik, melainkan telah diciptakan oleh iman masyarakat Kristen mula-mula dalam berbagai macam tingkatannya.
b.2. Anggapan dasar kritik bentuk ialah bahwa kitab-kitab Injil terutama merupakan hasil peredaksian oleh gereja mula-mula. Penulis-penulis kitab Injil berusaha untuk menyatukan berbagai tradisi lisan yang berdiri sendiri dan saling berkontradiksi, yang beredar dalam gereja sebelum waktu penulisan Perjanjian Baru.
b.3. Tujuan metode kritik bentuk ialah untuk menganalisa sejarah dari tradisi lisan yang mendasari kitab-kitab Injil. Kitab-kitab Injil hanya bagaikan bahan mentah bagi penyelidikan kita untuk menemukan “Injil sebelum kitab-kitab Injil”.
b.4. Langkah pertama dalam metode ini ialah mengakui bahwa setiap petunjuk dalam kitab-kitab Injil mengenai urutan, waktu, tempat dan lain-lain, semua tidak histories dan tidak dapat dipercaya.
b.5. Apabila semua ini telah selesai dikerjakan, bagian-bagian yang berdiri sendiri itu diklasifikasikan dalam kelompok-kelompok seperti cerita mujizat, pernyataan yang diperdebatkan, nubuat-nubuat, kata-kata mutiara. Setiap kolompok ini mempunyai bentuk tetap yang tertentu.
b.6. Hasil dari metodologi semacam ini menimbulkan sikap yang sangat skeptis sekali. H.M. Conn menulis pernyataan Bultmann, “saya betul-betul berpikir bahwa kita sekarang hampir tidak dapat mengetahui apa-apa mengenai kehidupan dan pribadi Yesus, karena sumber-sumber Kristen mula-mula tidak tertari pada hal itu, selain itu juga tidak lengkap dan bersifat legenda; dan sumber lain mengenai Yesus tidak ada.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1) Kritik bentuk berfokus pada cultural dan sejarah Alkitab sebagai pokok yang diteliti; 2) Kritik bentuk menolak bahwa Alkitab (khususnya kitab-kitab Injil) sebagai pengajaran Yesus Kristus yang dapat diterima; 3) Kritik bentuk beranggapan bahwa kitab-kitab Injil dibentuk sebelum penulisan Perjanjian Baru. Dengan kata lain, bahwa kitab-kitab Injil bukanlah bagian dari Perjanjian Baru.
c. Kritik redaksi
Kritik redaksi memusatkan perhatian pada teologi si penulis kitab suci. Kritik redaksi didasarkan pada asumsi bahwa penulis kitab suci bertindak secara kreatif menafsirkan tradisi bagi generasinya. Andreas B. Subagyo mengemukakan pendapat Briggs tentang kritik redaksi yaitu “Kritik redaksi berkecimpung dalam masalah teologi penulis, yaitu menyelidiki pesan dan maksud penulis yang dinyatakan dalam karyanya, mempertimbangkan metode komposisinya, menganalisis pemakaian sumber-sumber, dan merekonstruksi situasi histories ketika mereka menulis.” Kedua pernyataan di atas menunjukkan bahwa kritik redaksi menekankan pada teologi penulis Akitab.
Menurut blomberg, ada dua aspek kritik redaksi yang secara khusus diterapkan terhadap Injil sinoptis, yaitu: “berpikir horizontal dan vertical.” Kritik redaksi menaruh perhatian pada Injil yang disampaikan menurut pandangan para penulis kitab Injil dengan mengabaikan dogmatis teologis yang diajarkan Tuhan Yesus. W. Gary Crampton menjelaskan kritik redaksi ini dengan menulis: “Kritik redaksi tidak memperhatikan perincian-perincian sistematika ajaran-ajaran Yesus, tetapi ia hanya tertarik dalam menyampaikan Injil menurut sudut pandang Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Nama-nama tradisional digunakan semata-mata hanya untuk kepentingan gensi kesejarahan. Teori ini tidak melihat Injil sebagai Injil Kristus (seperti Mrk. 1:1), tetapi hanya sebagai Injil “menurut” si penulis.”
Jadi, teologi para penulis kitab suci merupakan titik sentral yang diteliti dalam kritik redaksi. Kritik redaksi tidak jauh berbeda dengan kritik bentuk yang memahami kitab Injil sebagai mitos dan dongeng belaka. GBU

(Penulis adalah Ev. Jonner Sihombing, S.E., M.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2006)

Tidak ada komentar: