Sabtu, 31 Juli 2010

ARTIKEL: PERSEMBAHAN

Dalam setiap ibadah Minggu ada pernyataan liturgis tentang persembahan. Persembahan telah menjadi kelaziman dalam kehidupan Gereja dan Lembaga-lembaga Kristen. Sesuatu yang sudah lazim bisa kehilangan makna. Sebab itu kita merenung : bagaimana cara kita menggunakan hasil persembahan itu ? Bisa jadi kita bermuluk dengan istilah "korban syukur yang harum", namun dibalik itu kita mengharapkan imbalan.
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara pengertian umat Perjanjian Lama dan Gereja abad pertama tentang persembahan. Pada zaman Perjanjian Lama persembahan berhubungan erat dengan upacara korban. Dalam Imamat pasal 1 s/d 7 terdapat beberapa contoh jenis persembahan korban seperti korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban penghapus dosa, dan korban penebus salah. Ibadah Israel juga mengenal persembahan persepuluhan dalam bentuk hasil ladang, ternak atau uang (lihat Ulangan 14 : 22-27). Bahkan kemudian ada pula kelaziman untuk memisahkan sepersepuluh dan bumbu-bumbu di meja makan (lih. Mat. 23 : 23). Kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan memuat beberapa ketentuan yang mengatur wujud, jumlah, cara dan waktu memberi persembahan. Bahkan ada peraturan yang menetapkan denda 20 % bagi penyimpangan persepuluhan (lih. Im. 27
Ketika kemudian Gereja terbentuk pada abad pertama, persembahan mempunyai arti yang berbeda. Persembahan di gereja abad pertama berkaitan dengan perjamuan. Ketika itu belum ada pemisahan antara Perjamuan Kudus (ekaristi) dengan Perjamuan Kasih (agape). Orang membawa persembahan dalam bentuk makanan atau uang sebagai biaya untuk penyediaan makanan dengan tujuan agar orang miskin yang tidak mempunyai makanan di rumah bisa ikut makan (baca latar belakang munculnya "pelayanan meja" dim Kis. 6 : 1-6).
Persembahan dalam Agama Yahudi di zaman Perjanjian Lama bersifat kudus dan ritual, sedangkan di Gereja pertama lebih bersifat diakonal. Memang di Perjanjian Lama juga ada aspek diakonal, misalnya dalam Ulangan 14 : 28-29 dimana "orang asing, anak yatim dan janda yang di dalam tempatmu akan datang makan dan menjadi kenyang", Namun hal itu hanya terjadi sekali dalam tiga tahun. Padahal di Gereja abad pertama perjamuan yang bersifat diakonal itu terjadi setiap Minggu, bahkan menurut catatan Kisah Para Rasul 2 : 46 perjamuan itu terjadi setiap hari.
Bagaimana halnya bila dalam Gereja yang bersangkutan tidak ada orang miskin? Adakah sifat diakonal persembahan tidak berlaku? Pekerjaan diakonia tidak dibatasi oleh dinding Gereja, bahkan tidak pula oleh dinding apapun. Sebuah contoh terdapat dalam Kisah Para Rasul 11 : 27-30 tentang gereja di Antiokha yang menyalurkan persembahan kepada umat di Yudea. Juga ada contoh di 2 korintus 8 dan 9 tentang Gereja di Makedonia yang mengirimkan uang ke Gereja di Yerusalem. Pemahaman tentang persembahan menurut Gereja abad pertama seperti yang tertulis dalam Kisah Para Rasul dan sejumlah Epistel, menunjukkan perbedaan dasariah dibandingkan dengan persembahan dalam ibadah-ibadah lain. Pada waktu itu ibadah agama Yahudi, Kanani, Romawi dan Yunani ditandai dengan persembahan yang bersifat kultis dan ritual. Orang memberi persembahan supaya diimbali, supaya mendapat pahala dan supaya dibalas dengan kekayaan, keselamatan, kesehatan, keberhasilan dan lainnya. Di situ terdapat unsur do ut des yaitu "aku memberi supaya aku diberi". Dalam persembahan itu terdapat unsur sogok atau suap kepada kuasa-kuasa ilahi. Gereja abad pertama justru mengembangkan pemahaman vang sebaliknya. vaitu kita memberi karena kita sudah diberi. Persembahan yang kita berikan adalah ungkapan syukur atas keselamatan yang telah diberikan Allah melalui Yesus Kristus. Kita sudah menerima keselamatan, maka kita bersyukur. Ungkapan syukur itu kita berikan dalam wujud persembahan, pujian, dan berbagai perbuatan baik kepada sesama manusia. Rasul Paulus menulis : "kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka" (2 Kor. 8 : 13-15). Bahkan Tuhan Yesus mengajarkan untuk memberi dari keterbatasan, seperti janda miskin menurut Markus 12 : 41-44.
Dalam setiap ibadah Minggu panggilan untuk memberi persembahan masih terus diserukan. Masih benarkah motivasi persembahan kita ?

(Penulis adalah Pdt. Drs. B. Hutahaean M.Div., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2005)

Tidak ada komentar: