Senin, 02 Agustus 2010

ARTIKEL: DICARI KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI

"Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa. ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya " (Yesus Kristus, Markus 10:43-44).

"Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan Firman Allah kepadamu. Perhatianlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka" (Penulis surat Ibrani, 13:7).

"Leaders are made, they 're made right at home " (Andar Ismail)

Kutipan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa pembahasan mengenai kepernimpinan sudah berumur panjang dan berbagai penjelasan mengenai hal itu sudah banyak dilakukan dari dahulu hingga kini, sebab pemahaman dan praktik yang benar mengenai kepemimpinan tersebut sangat berpengaruh dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Tentulah ada banyak pemimpin yang kita ketahui dan temui dalam kehidupan sehari-hari, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal, pemimpin sekuler maupun pemimpin rohani atau agama. Namun yang kurang di negara kita bukanlah pemimpin, melainkan orang yang berkualitas memimpin dan yang menjalankan peran kepemimpinan dengan baik. Dengan demikian tampaklah secara, jelas bahwa terdapat perbedaan hakiki antara pemimpin dan kepemimpinan. Seorang pemimpin belum tentu berjiwa kepemimpinan dan belum tentu menjalankan peran kepemimpinan. Sebaliknya seorang yang berkualitas memimpin dan yang menyumbangkan peran kepemimpinannya belum tentu dan tidak harus berjabatan pemimpin.
Sepanjang sejarah manusia dan sepanjang sejarah umat Kristen (sepanjang sejarah gereja) Tuhan selalu memakai berbagai pemimpin umat yang dijadikan atau diajak bekerjasama oleh Tuhan dalam karya penyelamatan umat manusia, untuk menjadi pemimpin-pemimpin umat Tuhan. Namun demikian kita juga melihat bahwa para pemimpin itu tidak selamanya mampu memimpin dan setia kepada Tuhan. Banyak diantara mereka yang menyeleweng, menyimpang dari kehendak Tuhan sehingga membawa kehancuran dan kesengsaraan kepada umat Tuhan yang dipimpinnya. Dalam keadaan demikian diperlukan pemimpin-pemimpin baru yang dapat mengembalikan kebenaran dan keadilan dalam masyarakat. Pemimpin yang baru itu juga harus membebaskan rakyat dari kemiskinan, ketertindasan dan kesengsaraan mereka dengan jalan kembali kepada hukum dan perintah Tuhan, untuk mengembalikan kesejahteraan umat Tuhan.
Namun realitas keseharian kita acapkali menyaksikan kecenderungan seorang pemimpin untuk mempertahankan kekuasaannya demi kepentingannya sendiri. Orang mati-matian dan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan atau melanggengkan kekuasaan, bahkan kalau perlu dengan memakai strategi katak (menjilat ke atas, menekan ke bawah). Secara singkat dapat dikatakan, para pemimpin cenderung untuk memperpanjang masa kekuasaannya, Tak heran dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung (Pikadasung) pada bulan Juni - Juli 2005 yang lalu, latar belakang calon kepala daerah memang didominasi oleh mantan kepala daerah yang pernah memimpin di periode sebelumnya. Dari 125 daerah yang dipantau, sekitar 86 % atau 107 calon berlatar belakang mantan kepala daerah setempat, Bagaimana hasilnya? Ketika Pilkada usai digeiar, hasilnya pun sesuai dugaan semula. Dari 107 calon yang mengikuti pertarungan, sebanyak 48 mantan bupati/walikota (45 %) akhimya berhasil menang. Mereka tersebar baik di kabupaten atau kota di Jawa maupun luar Jawa (lihat Harian KOMPAS, edisi Kamis, 11 Agustus 2005, hlm. 5). Data tersebut dapat mengindikasikan salah satu kecenderungan para pemimpin (baca: para penguasa) untuk mempertahankan tampuk kekuasaannya. Selain itu, di mana-mana orang ingin menambah muatan kekuasaannya, jabatan rangkap di sana-sini, misalnya. Semuanya bemuara pada tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin menggurita dan akhirnya membudaya.
Oleh karena itu siapa pun yang yang menjadi pemimpin, godaannya adalah sama. Menjadi pemimpin bukan hanya berarti menjalankan peran kepemimpinan, melainkan menjalankan kekuasaan. Itulah godaannya. Sebagai anggota kelompok yang memerankan peran kepemimpinan ia sibuk dengan kontribusi group viability dan goal achievement, tetapi ketika ia sudah menjadi pemimpin ia menjadi sibuk dengan mengumpulkan kekuasaan, melanggengkan kekuasaan bahkan menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau koalisi kelompoknya. Kenyataan ini akan menjadi sangat jauh berbeda bila diperbandingkan dengan model kepemimpinan yang diteladankan oleh Kristus.

Kristus Sebagai Acuan Kepemimpinan
Sekitar 20 sampai 30 tahun seusai hidup dan karya Kristus di bumi, dalam surat-surat Rasul Paulus dalam Perjanjian Baru banyak mengacu kepada Kristus sebagai teladan kepemimpinan Paulus menyebut bahwa Kristus berkedudukan dan berkekuasaan "dalam rupa Allah" (Filipi 2:6). Lalu Paulus bersaksi tentang apa yang diperbuat oleh Kristus dengan kedudukan dan kekuasaanNya itu, yaitu:"... walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, tetapi telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba ... merendahkan diriNya dan taat" (Filipi 2 : 6 - 8). Di sini Paulus menekankan tentang kualitas kepemimpinan Kristus, yakni: Tidak mempertahankan kekuasaan yang dimilikiNya melainkan mengambil jalan mengosongkan diri (Yunani : kenosis) dari kekuasaan. Inilah model kepemimpinan Kristus yang unik. Namun sejauh mana model kepemimpinan Kristus ini diimplementasikan dalam gerak kehidupan sehari-harinya? Di sinilah akan tampak jurang besar diantara keduanya.

Kepemimpinan Kristiani: Melayani dan Menperbarui
Dapat dikatakan bahwa kepemimpinan yang sesuai dengan jiwa kristiani yang mampu membawa pembaruan haruslah pertama-tama mempunyai dan memberlakukan prinsip kepemimpinan sebagai "pelayanan", sebagai wujud pengosongan din dari kekuasaan semena-mena: sebagimana yang diajarkan oleh Tuban Yesus Kristus: "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani..." (Markus ]0:45). Hal ini merupakan conditio sine qua non bagi pemimpin Kristen sepanjang masa. Artinya ini merupakan suatu keharusan mutlak, tidak boleh tidak, tidak boleh ditawar-tawar lagi. Karena "kepemimpinan Kristiani" yang "melayani dan membawa pembaruan" itulah yang kita perlukan. Lalu bagaimanakah ciri- ciri atau tanda-tanda dari kepemimpinan yang melayani dan membawa pembaruan itu?
Perlu dicatat bahwa kepemimpinan yang melayani sebagaimana yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus bukan berarti bahwa pemimpin itu harus menjadi pelayan. Ini suatu kekeliruan dalam menafsirkan ajaran Tuhan Yesus. Tuhan Yesus sebagai pemimpin tidak bertindak sebagai peiayan; namun mementingkan atau mendahulukan kepentingan orang-orang yang dipimpinNya, bukan kepentinganNya sendiri. la mementingkan misiNya dan berani mengambil risiko yang terkait dengan misi atau tugasNya itu. Hal inilah yang perlu dan seharusnya kita teladani. Seringkali - atau terlampau sering ? - seorang pemimpin hanya mau yang enaknya saja, tanpa mau menempuh risiko dan tidak berani menanggung risiko. Bahkan segala daya upayanya dikerahkan untuk menghindar dari risiko pekerjaannya walaupun risiko tersebut sudah menjadi tanggung jawabnya. Pada akhirya risiko itu dialihkan kepada pihak-pihak yang dijadikan sebagai 'kambing hitam”, mempraktekkan ilmu selamat demi menyelamatkan dirinya sendiri. Bagaimana dengan para pemimpin gereja-gereja kita ? Apakah para pemimpin gereja berani mengambil risiko dari misinya, untuk menyuarakan suara nabiahnya di tengah-tengah pergumulan bangsa dan negara ini ? Untuk berani mengambil risiko tentulah diperlukan kepribadian yang kuat dan keyakinan yang tangguh, percaya serta iman yang tak tergoyahkan. Dengan demikian setiap pemimpin gereja - di atas nasional maupun lokal - mampu mengejawantahkan identitas kekristenan sebagai garam dan terang dunia (Matius 5:13-14) sebagai kontribusinya dalam pembaruan bangsa dan negara yang kita cintai ini.
Kepemimpinan yang melayani juga berarti "memampukan dan memberdayakan" orang-orang yang dipimpin; bukan sebaliknya menekan, merendahkan dan meremehkan yang dipimpinnya. Orang yang dipimpin juga perlu diberdayakan (bukan diperdayakan) dengan seefektif mungkin sesuai dengan job description yang telah disepakati bersama dan mengadakan pendelegasian tugas sesuai dengan posisi dan fungsinya masing-masing. Jika hal ini dapat berlaku efektif tentunya akan mendukung integritas kepemimpinan si pemimpin itu sendiri. Dalam kaitan ini ada baiknya kita melihat tiga prinsip yang dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan nasional kita. Prinsip tersebut: "Ing ngarsah sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Pemimpin berada di depan untuk memberi suri teladan, ditengah untuk menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, di belakang untuk memberi kekuatan (dunamis) atau memberdayakan (empowering) mereka yang dipimpinnya. Tuhan Yesus sebenarnya telah terlebih dahulu mempraktikkan apa yang dirumuskan Ki Hadjar Dewantara itu.
Kepempinan kristiani yang efektif setidak-tidaknya - atau sedapat-dapatnya - haruslah melaksanakan prinsip-prinsip ssbagaimana yang telah diuraikan di atas. Jadi jelaslah bahwa untuk menjadi pemimpin yang efektif tidak mesti selalu berada (menempatkan diri) di depan atau harus selalu "leading" dan berlagak menjadi seorang “big boss”. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah perlu juga memberikan kesejukan dan rasa aman pada mereka yang dipimpin, karena mereka tahu ada 'backing' di belakangnya. Jadi, pemimpin yang melayani juga haruslah menjadi contoh, menjadi teladan dalam sikap dan perilaku, jujur dan konsisten dalam kata dan perbuatan, satunya kata dan perbuatan, bukannya berkata "begini" tetapi tindakannya "begitu". Selain itu, pemimpin yang melayani harus mampu juga "mangun karsa" pada mereka yang dipimpin atau menumbuhkan imajinasi dan kreativitas mereka yang dipimpinnya; bukan sebaliknya menekan. meremehkan atau mematikan ide-ide dan kreativitas dari yang dipimpinnya.
Jadi, seorang pemimpin efektif yang melayani (pemimpin kristiani) sudah semestinya mempunyai rasa percaya diri (self- confidence) yang kuat sehingga tidak takut disaingi atau kalah bersaing dari mereka yang dipimpinnya. Tidak takut tergeser kedudukannya oleh mereka yang dipimpinnya, bekas bawahan atau bekas muridnya. Bahkan sebagai pemimpin kristiani yang baik, bisa menjadi seperti Yohanes Pembaptis yang bersaksi tentang Tuhan Yesus: "la harus makin besar tetapi aku harus makin kecil (Yohanes 3:30). Sebagai pemimpin kristiani orang harus berani dan mampu "work oneself out of the job", untuk digantikan oleh mereka yang lebih baik atau oleh generasi berikutnya yang telah dipersiapkannya. Pemimpin diperlukan bukan hanya untuk satu masa atau periode tertentu saja, oleh sebab itu regenerasi atau kaderisasi kepemimpinan perlu dipersiapkan secara matang sehingga peralihan tongkat estafet kepemimpinan dapat berjalan mulus dan efektif.
Kita betul-betul mengharapkan munculnya para pemimpin yang dapat membawa pembaruan di tengah-tengah gereja maupun di dalam masyarakat luas - seperti yang kita harapkan dan cita-citakan. Pemimpin-pemimpin seperti itu mesti dipersiapkan dan mempersiapkan diri dengan cukup melalui banyaknya pembelajaran dan pengalaman. Oleh karena itu sangat penting bagi gereja-gereja untuk memperhatikan lembaga pendidikan dan pembinaan calon-calon pengerjanya, lembaga pendidikan teologi agar betul-betul dapat mempersiapkan tenaga gereja secara tepat guna. Demikian juga upaya Pembinaan Warga Gereja (PWG) agar terus diintensifkan pelaksanaanya untuk membentuk warga jemaat yang tangguh menghadapi berbagai tantangan perubahan zaman. Selain itu, pendidikan umum dari aras paling rendah sampai ke aras paling tinggi perlu sekali mendapat perhatian agar dapat melaksanakan pendidikan dengan baik, efektif dan efisien. Kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat harus didukung dan dianjurkan sedini mungkin dalam pendidikan, setiap inovasi dan kreativitas haruslah dihargai, Dengan demikian integritas pribadi dapat dipupuk dan ditumbuh kembangkan; tidak hanya berkutat pada upaya menghadapi gonta-ganti kurikulum pendidikan nasional semata.
Oleh karena itu amat penting bagi calon-calon pemimpin gereja dan masyarakat di masa depan untuk mempersiapkan diri, melatih dan menggembleng diri untuk menjadi pemimpin-pemimpin profesional mandiri yang berorientasi pelayanan, Konteks dan situasi kita sekarang ini dan di masa depan mengharuskan gereja-gereja dan angkatan muda kristiani (termasuk Remaja dan N-HKBP di dalamnya tentunya) untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) sebaik dan sedini mungkin supaya nantinya dapat membawa pembaruan di tengah-tengah kehidupan gereja, masyarakat bangsa dan negara kita di masa depan. Kita sebenamya perlu lebih sistematik, terencana serta terkoordinir - secara nasional maupun Iokal - dalam mempersiapkan SDM kita bagi kepemimpinan kristiani yang melayani dan membawa pembaruan ke masa depan yang lebih baik. Itulah tujuan kita bersama.

(Penulis adalah Pdt. Herwin Simarmata, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2005)

Tidak ada komentar: