Rabu, 11 Agustus 2010

RENUNGAN: BINGKAI RENCANA ILAHI

“…Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan …” (Yeremia 29:11)

“ALLAH turut bekerja dalam segala sesuatu!” Adalah sebuah pernyataan yang kerap bergema di tengah-tengah kehidupan yang sedang bergumul. “Jangan takut! Hari ini kamu kelihatan ibarat domba yang berserak, tapi sebentar lagi penolongmu akan datang!” “Kamu memang pecundang hari ini, tapi besok keadaan akan berbalik, kamu akan melupakan kepahitan hari ini, dan pada waktu itu senyummu adalah yang terindah…!” Adalah ungkapan-ungkapan yang mencoba membesarkan hati orang-orang yang sedang remuk. Pengharapan akan hari esok terkesan dilebih-lebihkan. Bagaimana kalau itu tidak terjadi? Bagaimana jika penolong yang dijanjikan tidak kunjung tiba? Bagaimana kalau hari depan yang dinanti-nanti masih tetap seperti tahun yang lalu.
Bagaimana jika pengharapan akan hari depan bak prestasi di cabang sepakbola yang masih begitu-begitu, bahkan kian terpuruk. Tadinya sempat jantungan, mungkin bisa menembus elit Asia. Boro-boro…Bulutangkis juga begitu. Jangankan untuk menyandingkin gelar Thomas dan Uber, untuk satu saja sudah nggak berani. Pebulutungkis dari Negara rival yang dulu masih sengit, kini sudah makin meninggalkan. Yang dulu bukan tandingan kita, kini sudah makin mengejar. Pebulutangkis kita bisa ditaklukkan oleh pemain yang bukan unggulan. Masih ada lagi…ajang pesta olahraga (semacam SEA GAMES) yang pada tahun delapan puluhan kita masih mendominasi, kini tinggal menjadi rekaman sejarah. Entahkah masih mungkin untuk menjadi juara umum…

Realitas Keberhasilan dan Kegagalan dalam Kehidupan Berbangsa
Fenomena kehidupan modern yang ditandai dengan kompetisi yang terbuka merubah wajah masyarakat kini. Masyarakat makin dinamik. Masyarakat makin bijak. Bahkan ada yang menjadi terlalu bijak (alhasil lebih tepat disebut sebagai licik!). Semua terpacu untuk mengikuti irama kehidupan yang penuh dengan tantangan. Tidak ikut irama berarti tersisih! Benarkah seluruh masyarakat mampu untuk menyesuaikan diri dengan langgam kehidupan yang dinamis dan kreatif ini?
Kita mencatat ketangguhan anak manusia untuk bertahan hidup. Manusia di dalam dirinya memiliki sejumlah kecakapan untuk difungsikan dalam pergulatan hidup. Ternyata berhasil. Mulai dari putera terbaik bangsa yang mau tidak mau harus ikut dalam aneka kancah kehidupan, ya Teknologi, ya Ekonomi, ya Politik! Arus perubahan masyarakat global yang telah menerjang kemana-mana juga harus diimbangi di bumi Nusantara. Entah dengan cara yang ramah atau dengan sikap yang kurang bersahabat pokoknya kita tidak bisa menolak gelombang arus perubahan yang menyulap dunia kita menjadi kampung dunia yang hiruk-pikuk.
Kita eksist sebagai bangsa. Perekonomian jalan. Kegiatan pembangunan mengalir. Perhatian untuk infrastruktur dalam arti pengadaan sarana transportasi telah terasakan di desa-desa. Angka-angka secara fisik menunjukkan grafik yang menaik. Rakyat mudah melihat dan merasakan. “Jalan ke kampung kami sekarang sudah diaspal!” “Gedung sekolah yang baru telah dibangun di desa kami!” “Pemerintah telah membangun sebuah Sekolah Tinggi baru-baru ini di kabupaten!” Demikian pernah dilontarkan tanggapan positip terhadap hasil pembangunan.
Pada sisi yang lain kita tidak boleh tutup mata akan sejumlah ironi kehidupan yang terjadi. Oleh kalangan yang kritis, utamanya dari yang non pemerintah disebut sebagai tragedy kehidupan berbangsa. Oleh pemerintah diperhalus sebagai sebuah ekses dari Pembangunan. Apa pun namanya, kita masih menemukan bagian (yang terbesar?) dari masyarakat yang merasa gagal.
Kita menemukan orang-orang yang tidak mendapat peluang untuk menorehkan sesuatu yang bermakna pada perjalanan bangsa. Terdapat anak-anak bangsa yang tidak tahu harus berbuat apa oleh karena minus segalanya, ya kecakapan, ya ketrampilan, ya wawasan, di mana sumbernya antara lain karena minus kesempatan. Bangsa kita amat merindukan keadilan. Pemerataan hasil pembangunan ibarat jauh panggang dari api. Korban pembangunan adalah sekaligus korban globalisasi. Sektor non pemerintah juga tidak memberikan peluang yang adil.
Dari sini kita melihat, setidaknya dari kacamata seorang awam, kehidupan berbangsa yang telah dimasuki arus globalisasi itu masih memiliki sisi keprihatinan yang masih meninggalkan sejumlah tantangan untuk disikapi..

Membedah Kehidupan Bergereja
Ukuran keberhasilan dan kegagalan dalam kehidupan bergereja tentunya tidak sama dengan pemahaman dalam kehidupan sekuler, katakan dalam kehidupan berbangsa secara umum. Ukuran keberhasilan mungkin dilihat dari pencapaian secara duniawi sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu ‘kehidupan yang adil dan makmur’. Dalam bahasa yang bebas hal itu berarti kehidupan yang layak dari segi duniawi. Kehidupan yang layak dilihat, misalnya, dari pemenuhan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Selain itu dimungkinkannya untuk mendapatkan jaminan kesehatan dan hari tua. Dimungkinkannya setiap orang untuk, sebagaimana Maslow, mengaktualisasi diri. Tentunya sudah termasuk di dalamnya jaminan pendidikan dan perlindungan bagi anggota masyarakat yang khusus, semisal penyandang cacat. Bagaimana kita membedah kehidupan bergereja?
Kehidupan bergereja juga tidak terlepas dari upaya-upaya untuk menyikapi kehidupan nyata. Sejak Sidang Raya Gerejawi yang berskala nasional pada tahun tujuhpuluhan (pada waktu itu bernama DGI), gereja (baca: Umat Kristiani dari arus utama pada waktu itu) telah menyadari panggilan untuk menyikapi kehidupan nyata yang sampai pada waktu itu (mungkin ada yang masih pada waktu ini?) hanya dilihat sebagai sebuah sisi jasmaniah kehidupan yang lebih rendah dari sisi kehidupan rohani. Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa Allah mangaruniakan kehidupan yang utuh. Oleh sebab itu panggilan yang diberikan kepada manusia adalah panggilan yang utuh untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk (Markus 16:15) yaitu untuk membebaskan dunia ini dari aneka belenggu yang ada, meliputi dosa, kebodohan dan kemiskinan. Tahun rahmat Tuhan harus nyata diberitakan kepada segala makhluk (Lukas 4:18-19).
Cara pandang yang telah dimulai sejak tahun 1971 itu (Sidang Raya itu dilaksanakan di Pematangsiantar sehingga sering disebut Siantar 71) makin mengkristal pada masa ini. Hal yang sama, bahkan lebih-lebih lagi di tingkat dunia. Yang dirumuskan sebagai: KPKC (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) tidak lain daripada upaya untuk menggugah gereja agar ikut dalam panggilan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, memupuk perdamaian dunia dan antar umat beragama dan seruan untuk memperingatkan dunia ini agar sungguh-sungguh memperhatikan lingkungan hidup. Dari situ selanjutnya, gereja terpanggil untuk menata kehidupannya secara holistik, tidak terkecuali aspek organisasinya.
Kita yang dari aliran Mainstream (Arus Utama), yaitu aliran-aliran reformasi dan injili, memang lalu terhenyak oleh kritik tajam dari aliran Kharismatik yang berkembang pesat di tahun delapanpuluhan. Tidak ada waktu untuk saling menyalahkan. Kita patut berterimakasih bagi saudara-saudara kita yang dari Kharismatik yang mengingatkan kita agar tidak melupakan bahwa Allah masih bekerja melalui RohNya untuk menghasilkan aneka mujizat dalam pelayanan penginjilan dan penyembuhan. Namun kita juga tetap menggiatkan aspek Sosial dari Injil, bahkan bila perlu aspek Politiknya (Antara lain, mengingat gereja kita yang masih sungkan untuk menyuarakan sikap kristiani tentang dinamika kehidupan berpolitik di Negara kita).

Menyambut Tahun Penatalayanan (Sekretariat)
Seiring dengan gerakan gereja yang mau mengarahkan dirinya kepada pelayanan yang utuh di mana seluruh aspek hidup hendak dibawa kepada terang Firman Tuhan, maka gereja kita juga menyambut Tahun Penatalayanan yang diagendakan untuk tahun 2010 ini. Rencananya akan diluncurkan secara serempak di tiap Distrik pada tanggal 7 September 2010. Bersamaan dengan itu pula nantinya akan dipasang spanduknya. Apakah yang hendak kita lihat dari Agenda Tahun ini? Sesuai dengan landasan alkitabiahnya: Rapi Tersusun, agenda tahun ini hendak menyentuh aspek organisasi gereja yaitu tentang administrasinya dan mekanisme gereja sebagai sebuah organisasi. Tentang soal ini selalu muncul gugatan apakah pengelolaan gereja dengan cara menggunakan perangkat organisasi mutakhir telah lari dari dasar gereja itu sendiri sebagai sebuah persekutuan yang rohani?
Saya mencoba menawarkan sebuah penjelasan yang sejalan dengan apa yang diuraikan dalam buku Panduan Tahun Penatalayanan. Aspek organisasi adalah penampakan gereja yang kelihatan sebagaimana kehadiran dalam ibadah adalah penampakan gereja yang kelihatan. Cara pengelolaan gereja, sesederhana apa pun adalah tetap pengelolaan. Mengelola gereja tanpa menggunakan Ilmu Organisasi mutakhir adalah tetap sebuah pengelolaan juga. Oleh sebab itu tidak ada gereja yang lepas dari sebuah hukum mekanisme.
Yang kedua, gereja adalah gereja yang terus berproses. Gereja selalu merupakan orang-orang (yang memiliki roh dan tubuh) yang sedang berjuang untuk meraih kedewasaan iman. Orang-orang yang memiliki aneka latarbelakang dan tingkat pertumbuhan yang berbeda-beda itu memerlukan standar-standar yang dapat dimengerti oleh manusia sekuler, oleh sebab itu harus diterjemahkan dengan perangkat-perangkat organisasi sekuler. Mungkin yang perlu kita ingatkan adalah falsafah atau jiwa yang mendasari standar-standar itu. Standar-standar yang tertuang dalam mekanisme gereja hendaknya merupakan cerminan dari organisator dan perumus yang dijiwai dan disemangati oleh Roh Kudus. Standar-standar itu hendaknya merupakan perumusan dari orang-orang yang hatinya, pikirannya, dan obsesinya telah dibaharui.

Rancangan Manusia dan Rancangan Allah
Salah satu yang amat penting dalam pengelolaan gereja adalah perencanaan. Kita telah akrab dengan istilah rencana strategis. Lewat renungan ini kita ingin menghubungkan kegiatan tahunan (atau empat tahunan) gerejawi sebagai institusi dengan karya Allah. Kita telah berupaya untuk menerjemahkan misi gereja melalui satuan program gereja dalam setiap mengusulkan dan mengesahkan program gereja. Hal itu hendaknya makin tegas lagi pada suasana Tahun Penatalayanan ini. Kita tidak boleh lupa bahwa Rancangan Allah adalah Alfa dan Omega. Dengan dasar itu kita ditantang untuk makin bergiat lagi mewujudkan kegiatan-kegiatan yang telah kita sepakati di dalam gereja kita.
Tapi itu baru dari segi institusi. Dari segi keseharian hidup anggota jemaat, kita juga ingin menyerukan bahwa apa yang dialami anggota jemaat dalam rutinitas sehari-hari dan mingguan termasuk dalam pelbagai kegiatan lain yang dijalani adalah juga merupakan medan perwujudan Rancangan Allah. Apa yang dialami ketika beristirahat dari bekerja dan berkumpul dengan keluarga adalah bagian dari Rancangan Allah.
Suasana yang dinikmati di tempat bekerja adalah bagian dari Rancangan Allah. Pangalaman yang tidak terduga di tengah jalan, mungkin kehujanan, mungkin kecopetan, mungkin ketemu dengan teman satu sekolah waktu SD, dst, itu juga adalah bagian dari Rancangan Allah. Allah merancang sebuah kehidupan yang amat indah. Allah merancang kehidupan yang dalam nas kita kali ini disebut sebagai: Rancangan Damai Sejahtera. Biarlah itu senantiasa yang membingkai segala rancangan kita!

(Penulis adalah Pdt. Maurixon Silitonga, M.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Februari 2010)

Tidak ada komentar: