Kamis, 30 September 2010

ARTIKEL: CINTA EROS

Bila berbicara tentang cinta, kita harus membedakan tiga aspek yang ada padanya. Saying aspek-aspek tersebut sering dicampuraduk atau dipertentanqkan satu dengan yang lain. Sebagaimana adanya aspek fisik, psikologis, dan rohani dalam kepribadian setiap manusia, begitu juga dalam suatu organisme atau kesatuan dari dua pribadi dalam pernikahan ada tiga aspek, yakni seks. eros dan agape. Aspek fisiknya dikenal sebagai "seks’. Aspek ini mencakup segala fungsi dan pengalaman biologis, dari pembuahan sampai kelahiran.
Seksualitas merupakan kegiatan yang berpusat kepada diri sendiri. Tentu saja, aktivitas seks harus melibatkan dua orang yang berbeda jenis untuk tujuan egoistic, yaitu berupa pemuasan keinginan, hawa nafsu. Pribadi yang lain hanya merupakan alat melalui mana seks dapat mencapai tujuannya, dan perasaan pribadi tersebut tidak harus diperhatikan.
Adalah salah apabila kita berusaha menggunakan fakta-fakta di atas untuk mendiskreditkan seksualitas, yang merupakan sarana perkembangbiakan manusia sebagaimana dikehendaki Tuhan. Seksualitas berfungsi sebagaimana fungsi-fungsi yang lain yang ditetapkan oleh Tuhan, misalnya seperti pencernaan, pernafasan dan peredaran darah. Namun, sebagaimana halnya fungsi-fungsi lain tersebut seks merupakan sebagian dari sesuatu yang lebih besar, dan terjadi hal-hal yang tidak wajar mengenai seks, apabila seks diransang dan dialami semata-mata hanya untuk seks itu sendiri
Eros, berbeda dengan seks, mempunyai keprihatinan terhadap pribadi yang lain sebagai seorang manusia yang mempunyai kepribadian dan bukan memanfatkanya sebagai sarana. Seorang laki-laki tidak tertarik secara erotis kepada semua wanita pada umumnya, tetapi hanya kepada seorang wanita tertentu dengan sifat-sifat pribadinya yang khusus pula.
Eros berusaha sekuat mungkin untuk memunculkan sifat-sifat kejantanan atau kewanitaan dari dalam kepribadian manusia. Kelemahlembutan dan kebaikan, daya tarik dan kehalusan pada satu pihak wanita, dan pada pihak pria keberanian, sikap ksatria serta kelakuan yang sopan dan penuh perhatian. Semua hal ini merupakan hal-hal yang erotis.
Eros yang adalah kegiatan jiwa manusia, selalu berkaitan dengan hubungan antara dua prang. Eros tidak pernah bertujuan untuk memuaskan keinginan pribadi seseorang, melainkan untuk menciptakan hubungan di mana masing-masing akan memberi kegembiraan atau kesenangan kepada yang lain. Pemuasan diri sendiri merupakan ciri-ciri seks dan hal ini sifatnya “sendiri”. Tetapi eros tidak pernah “sendiri” sebab dijalankan melalui pasangan. Eros menemukan pemenuhannya dalam hubungan cinta, memberi kesenangan kepada keduanya pada saat yang sama, memberi kemampuan kepada masing-masing untuk memberikan diri sendiri kepada yang lain, saling mengerti dan menghargai, memadamkan ego pribadi demi kebaikan yang lain.
Kita menderita kerugian besar di abad ini karena eros tidak banyak dikenal dan dicampuradukkan dengan seksualitas, paling tidak pada pihak laki-laki, Kebanyakan hal-hal yang dicap erotis oleh banyak moralis sebenarnya seksual juga sifatnya. Karena tak ada pengajaran moral yang diajarkan secara terus terang (terbuka), kaum pemuda dibiarkan bergumul sendiri dengan dorongan atau gairah yang muncul didalam badannya. Sebagaimana akibatnya, mereka tidak pernah dapat melihat lebih jauh dari pandangan bahwa cinta semata-mata merupakan dorongan seksual, Apa yang mereka butuhkan adalah pengajaran yang mencakup lebih dari seks, yaitu eros. Mereka perlu ditunjukkan bahwa obyek minat mereka yang utama, yakni tubuh wanita, meskipun tubuh tidak jahat dan bukannya remeh, kurang menarik jika dibandingkan dengan wanita dalam keseluruhan, yang terdiri dari tubuh pikiran dan jiwa.
Kelemahan yang paling umum dalam pernikahan mungkin adalah tidak berkembangnya eros. Kebanyakan suami sangat hebat dalam hal pengetahuan tentang seks, tetapi bodoh sekali dalam pengertian tentang eros. Oleh karena itu para istri mereka, yang lebih banyak dipengaruhi eros daripada seks, menjadi kecewa secara psikologis dan sebagai akibatnya secara fisik suaminya menimbulkan perasaan tak senang pada diri mereka. Perasaan dingin terhadap seks yakni ketiadaan nafsu birahi, pada pihak kaum istri merupakan pencerminan tepat dari sikap yang semata-mata seksual dan sama sekali tidak erotik pada diri suami mereka. Perasaan dingin ini hanya dapat ditimbulkan dengan memperbaiki sikap suaminya terlebih dahulu. Misalnya pipa air minum bekerja dengan tekanan maksimal apabila pintu air tepat pada posisinya; arus listrik yang maksimal hanya tercapai apabila keseluruhan aliran berjalan dengan baik. Apabila terjadi korsleting, maka kekuatan arus akan turun sampai nol. Seperti itu pula eros bergantung pada penguasaan seks.
Pemuda-pemuda, begitu pula laki-laki yang lebih tua, harus menyadari bahwa mereka mesti mengendalikan dorongan-dorongan yang timbul di dalam dirinya, bukan karena dorongan tersebut tidak baik atau bahwa hubungan seks yang terlalu sering mungkin berakibat serius atas fisik mereka, tetapi dengan tujuan untuk menjaga agar tegangan erotis tetap tinggi dan dengan demikian bersama istrinya mereka dapat menarik manfaat yang maksimal, Peringatan-peringatan moral yang mempersalahkan dorongan seksual menyatakan pandangan yang secara fundamental salah, dan sebetulnya pengaruhnya pada kaum pemuda tidak ada sama sekali. Apa yang sebenarnya diperlukan oleh kaum muda tersebut adalah mempelajari “seni bercinta" sebagai suatu yang dikehendaki Tuhan. Hal ini, sama dengan segala macam seni, tidak dapat diwujudkan tanpa disiplin.
Cinta juga memiiiki aspek yang ketiga, yaitu aspek rohani, yang dapat disebut dengan istilah Yunani agape. Seks berpusat pada ego, eros berpusat pada "kita berdua", yakni pasangan manusia, sedangkan pusat agape terletak lebih jauh dari pasangan manusia. Agape meliputi tanggungjawab satu terhadap yang lain, juga tanggungjawab kepada pihak ketiga. Agape memelihara loyalitas atau kesetiaan di antara kedua anggota suatu pasangan, meskipun apabila salah satu pihak tidak mau setia. Eros mengidupkan, "Jatuh cinta kepadaku; engkau tidak perlu setia."
Tetapi agape tahu bahwa dalam perkawinan yang terbaik pun ada saat-saat dimana cinta menjadi luntur dan kesetiaan harus mengisi kekosongan tersebut. Agape, sebagaimana dikatakan oleh almarhum ahli teologia dari negeri Swis, Emil Brunner, mencintai yang lain karena dia ada, bukan karena sifat-sifat tertentu. Seorang suami mencintai istrinya bukan hanya karena wajahnya yang cantik; seorang istri mencintai suaminya, bukan saja inteleknya. Dengan demikian Agape tidak terikat pada perbedaan seksual sebagaimana halnya dengan seks dan eros, "Tidak lagi diadakan perbedaan antara.... laki-laki dan perempuan, Saudara semuanya satu karena Kristus Yesus" (Gal 3:28, terj. Kabar Baik). Agape juga merupakan dasar persahabatan. Sebagaimana dikatakan oleh Montaigne, pengarang esei yang terkenal pada zaman dalu, mengenai temannya La Botie, "Apabila saya harus mengatakan mengapa saya harus mengasihinya, saya merasa satu-satunya jawab yang dapat saya berikan adalah: Sebab dia adalah dia, dan saya adalah saya".
Tetapi tidaklah benar sama sekali jika kita kemudian mempertentangkan agape dan eros sebagai dua ekstrim yang berlawanan, atau menganggap bahwa ogape lebih mulia dan lebih bersifat Kristen dari pada eros. Keduanya merupakan unsur yang sangat penting dalam pernikahan. Setiap pernikahan yang baik harus juga merupakan persahabatan. Suami isri perlu sama banyak saling menghargai, saling mencintai dan saling menarik sebagaimana dua orang yang bersahabat erat, Tetapi celakalah suatu pernikahan yang hanya semata-mata persahabatan, yaitu hanya Agap. Dalam setiap pernikahan yang baik suami istri harus saling mencintai dengan begitu menggelora dan kuat, secara terus-menerus saling membahagiakan, saling bersemangat dan mencari akal baru supaya hidupnya tidak begitu-begitu saja dan membosankan karena tak pernah ada variasi, dan menjadi seperti sepasang kekasih yang baru bercinta, yang selalu tergila-gila akan pasangannya. Tetapi celaka jugalah pernikahan yang hanya berisi nafsu, yaitu hanya eras.
Pernikahan dimulai ketika seorang laki-laki dan perempuan memutuskan untuk mempersatukan hidup mereka dan menyatakan keputusan itu kepada umum. Namun pada saat itu, seperti bayi yang baru lahir, pernikahan tersebut masih lemah dan perlu dibina. Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan sepenuhnnya. Sebagaimana seorang anak, pernikahan bukan sekedar kumpulan sejumlah bagian-bagian: Seks, eros, agape, kesetiaan, dan sebagainya, tetapi juga merupakan suatu kelengkapan dan kesatuan dari mulanya, yang terus berkembang setiap hari sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan.
Suami dan istri bersama-sama mengalami hal-hal yang menyenangkan dan menakutkan; mereka mengalami hal-hal yang tertentu yang membosankan dan hal-hal yang menggembirakan secara meluap. Seorang bayi dianugerahkan kepada mereka; mereka berdiri dengan kagum di samping ayunan bagitu juga ketika bayi itu mulai dapat melangkah dari tangan ibu ke tangan ayahnya. Kemudian mereka berdua merawat anak itu ketika anak itu sakit, serta merasakan ketakutan yang sama ketika anak itu sukar bernafas, dan berdoa bersama kepada Tuhan. Jika salah satu jatuh sakit, yang lain akan mengerjakan pekerjaan berdua, apabila suami atau istri kehilangan pekerjaan, mereka belajar lebih hemat dan mencari cara mengatasi masalah yang ada bersama-sama.
Kadang-kadang tarjadi masalah konflik diantara suami dan istri.
Mereka tidak dapat saling memahami, merasakan apa yang dirasakan oleh pasangannnya atau mengalah; kata-kata kasar diucapkan dan keduanya merasa sangat kesepian, susah dan marah. Kemudian mereka mendapati bahwa tidak akan ada orang lain yang bisa menolong, dan justru pasangannya yang paling penting dalam hidupnya. Lalu mereka rukun kembali dan merasa malu atas tindakan dalam mana mereka mementingkan diri, dan mereka mernbuang untuk selama-lamanya sebagian dari kecenderungan egois mereka itu. Pernikahan tumbuh melalui setiap gerakan yang dihargai dan dinilai tinggi yang dirasakan bersama oleh suami dan istri, mungkin ketika ada di desa, ketika mendengar musik, atau ketika membaca Alkitab, atau melalui setiap kata yang menghiburkan dalam situasi yang buruk, atau setiap letupan ketawa dari anak-anak mereka yang masih kecil.
Suami dan istri bukan hanya memiliki bersama apa yang telah berlalu, tetapi juga masa depan, yaitu semua rencana, harapan dan kekawatiran mereka yang telah dipersatukan, disamping Ketidakpastian mereka setiap pagi apakah mereka akan bersama lagi malam nanti. Tuhan memegang keduanya bersama-sama di tanganNya. Itulah pernikahan, dan pernikahan tidak dapat dipisahkan dan dipecahkan.
Ikatan cinta semacam ini digunakan berkali-kali dalam Alkitab, sebagai persamaan yang memadai untuk menyatakan kasih Tuhan kepada manusia dan perjanjianNya dengan umatNya. "sebab seperti seorang muda belia menjadi suami seorang anak dara, demikianlah Dia yang membangun engkau akan menjadi suamimu, dan seperti girang hatinya seorang mempelai melihat pengantin perempuan. demikianlah Allahmu akan girang hati atasmu” (Yes, 62:9). Dengan demikian cinta dalam pernikahan memiliki kekuatan untuk membuktikan bahwa kasih Tuhan dapat dipercayai, ataupun sebaliknya kalau tak ada kasih yang dinyatakan di dalam pernikahan tersebut, Cinta dan kesetiaan dalam pernikahan menetapkan pengertian yang macam mana yang dimiliki suami dan istri itu tentang kasih dan kesetiaan Tuhan.

(Penulis adalah Pdt. M.B.S. Hutasoit, S.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi September 2005)

Tidak ada komentar: