Senin, 25 Oktober 2010

ARTIKEL: NANO-NANO, SIAPA TAKUT???

Pendahuluan
Berbicara mengenai integritas diri pada era sekarang adalah seperti membicarakan senioritas antara telur dan ayamnya. Artinya masih bersifat debatable. Oleh karena itu saya terlebih dahulu marsantabi (meminta maaf) kepada pembaca untuk perbedaan pandangan dan segala kekurangan yang sangat mungkin timbul dalam tulisan ini. Marsantabi adalah kebiasaan orang Batak bila akan membicarakan sesuatu yang serius dan bernilai. Sebab seperti jari tangan yang berlainan panjangnya ketika marsantabi, demikian juga orang Batak sadar bahwa tiap orang memiliki karakter dan pemahaman yang berbeda-beda mengenai satu topik tertentu. Dengan demikian marsantabi akan menjauhkan orang Batak dari sikap ingin benar dan menang sendiri. Ini jugalah yang membuat orang Batak sangat berpotensi menjadi orang yang memiliki integritas diri.

Apakah saya memiliki integritas?
Apakah ‘integritas diri’ itu? Sebelum saya mencoba untuk memaknainya, lebih baik kita langsung masuk kepada contoh soal terlebih dahulu. Saya akan memberikan beberapa kasus yang menunjukkan seseorang dikategorikan sebagai orang yang tidak memiliki integritas diri. Diharapkan dari contoh negatif, kita masing-masing dapat memiliki gambaran sendiri-sendiri mengenai topik ini.
Pernahkah anda merasakan jatuh cinta yang begitu dalam kepada seseorang? Kemudian cinta anda bersambut dan kalian menjadi satu pasangan yang sangat mesra. Hari demi hari anda lewatkan berduaan terus. Tiada hari tanpa menghabiskan 12 jam bersama pasangan. Akibatnya, anda yang tadinya orang yang sangat gaul dan memiliki banyak teman, sekarang menjadi orang yang sangat jauh dari teman-teman. Anda yang tadinya sangat rajin menabung menjadi orang yang sangat pemurah dalam membelikan pasangan bermacam-macam benda setiap hari, dari mulai traktir makan, traktir pulsa sampai menjadi pelanggan tetap mal-mal ternama. Yang sebelumnya adalah orang yang sangat bertanggungjawab dalam pekerjaan sekarang menjadi orang yang sering telat dan sering minta ijin karena si dia suka minta ditelepon pada jam kerja. Intinya, anda menjadi berubah 180 derajat dari kebiasaan positif sehari-hari karena cinta ada. Dengan demikian saya berani mengatakan bahwa anda adalah contoh orang yang sudah tidak memiliki integritas diri lagi sejak anda jatuh cinta.
Contoh kedua yang menunjukkan bahwa kita tidak lagi memiliki integritas diri adalah cerita mengenai seorang developer, sebut aja inisialnya Bapak A. Bapak A adalah seorang anggota jemaat HKBP yang rajin beribadah dan saleh. Dia juga sangat peduli dengan penderitaan sesamanya yang terpancar dari aksi-aksi sosialnya yang dilakukan secara rutin. Pada suatu ketika, dia mendapatkan proyek besar melalui perjuangan memenangkan tender yang sengit. Karena kecilnya nilai tender, maka Bapak A harus mengirit dana menjadi seminim mungkin agar pada akhirnya proyek bisa memberi keuntungan. Ternyata kenyataan di lapangan tidak seperti yang diduga sebelumnya. Penduduk hanya mau melepaskan tanah dengan harga yang sangat tinggi. Karena kehabisan akal, akhirnya Bapak A memilih membayar preman sebesar 500 juta daripada menempuh jalan negosiasi jujur yang mahal dan lama. Penduduk akhirnya mau melepaskan tanahnya, tetapi bukan karena keikhlasan melainkan karena tekanan dari para preman. Akibatnya, bukan sukacita yang penduduk rasakan melainkan penderitaan yang lebih parah lagi. Saya memastikan bahwa Bapak A adalah orang yang tidak memiliki integritas dalam dirinya.
Contoh ketiga adalah cerita tentang seorang mahasiswa potensial yang sangat aktif di kampus dengan inisial B. Kemampuan akademik si B tidak buruk tetapi juga tidak terlalu menonjol. Intinya dia masuk kategori sedang-sedang saja. Untuk mengorbitkan diri, B memilih jalur organisasi dengan mencalonkan diri menjadi pengurus senat mahasiswa. Puji Tuhan, dia berhasil terpilih menjadi coordinator di salah satu seksi dalam kepengurusan senat. Dia ingin menunjukkan eksistensinya melalui kinerjanya yang sangat tinggi dalam organisasi tersebut. Dia dipuji oleh ketua senat, dosen dan teman-teman mahasiswa sebagai salah satu pengurus senat yang hebat. Namun di sisi lain keluarganya jadi kecewa karena prestasi akademiknya menjadi jeblok dan kebanyakan mata kuliah yang diambil gagal. Kalaupun lulus, nilainya pun pas-pasan.
Masih banyak contoh-contoh lain. Tetapi dari tiga contoh di atas kiranya dapat memberi kita gambaran tentang apa itu integritas diri. Benang merah yang menghubungkan ketiga cerita di atas adalah seseorang yang tadinya memiliki prinsip hidup yang positif dalam dirinya, namun tiba-tiba berubah dalam sekejap karena berbagai hal. Akhirnya tindak-tanduk orang tersebut berubah dari hal-hal positif menjadi hal yang negatif. Namun satu hal yang menjadi keyakinan penulis adalah orang tersebut sesungguhnya tidak nyaman dengan perubahan yang dia lakukan. Mengapa demikian? Inilah yang akan kita bahas berikutnya. Sekarang marilah kita merenung sejenak apakah dalam perjalanan hidup yang sudah dan sedang berlangsung kita pernah menjadi orang yang akhirnya menjadi tidak memiliki integritas?

Nature vs Nurture
Setiap manusia tumbuh dalam dua konteks yang mengiringinya. Kedua konteks tersebut adalah nature (alam) dan nurture (budaya). Yang dimaksud dengan nature adalah kondisi alam di mana kita tumbuh dan berkembang. Apakah dia pegunungan atau pesisir? Bebatuan atau tanah subur? Pelosok atau perkotaan? Daerah dingin atau daerah panas? Rawan bencana atau daerah yang tenang? Semua kondisi alam ini akan mempengaruhi nurture kita dan pada akhirnya turut membentuk karakter kita sendiri.
Sedangkan nurture adalah budaya masyarakat tempat kita tumbuh yang di dalamnya kita berkembang. Nurture bisa mencakup agama, adat istiadat, pola tingkah laku dan pengajaran di keluarga, masyarakat dan lain sebagainya. Kondisi nurture kita akan mempengaruhi alam bawah sadar kita dan mempengaruhi cara berpikir dan bertingka laku kita sehari-hari. Nurture inilah yang sering disebut sebagai nilai-nilai atau prinsip-prinsip dasar dalam diri tiap manusia.
Uniknya, sering sekali nilai-nilai yang ada di dalam diri kita bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya, seorang penganut Kristen sejati yang tinggal di Jakarta akan menekankan hidup sederhana dan banyak membantu orang lain. Sedangkan alam tempat dia tinggal dan konteks sekelilingnya yang dipengaruhi oleh budaya modern menuntut orang tersebut untuk menabung sebanyak mungkin dan tidak terlalu banyak membantu orang lain. Di samping itu, gaya hidup modern juga menuntut orang tersebut untuk meng-update pakaian dan aksesorisnya sesering mungkin. Akibatnya pola hidup altruis menjadi tidak masuk akal. Nilai keKristenan dan nilai modernitas saling bertentangan dalam dirinya. Belum lagi nilai adat istiadat yang bisa menambah keruwetan dalam pertempuran nilai-nilai tersebut. Akhirnya kita bingung, nilai mana yang harus didahulukan?
Pertentangan nilai-nilai inilah yang membuat manusia di zaman modern (atau postmodern) sekarang ini jadi sering stress. Secara khusus orang-orang Batak yang hidup dengan tiga nilai yang sering bertentangan dalam diri mereka. Ketiga nilai tersebut adalah nilai keKristenan, nilai keBatakan dan nilai modernitas yang cenderung konsumeris dan individualistis. Ketika kita selaku orang Batak Kristen yang tinggal di Jakarta atau kota besar lainnya tidak secara tegas menentukan satu nilai utama yang akan kita anut melebihi nilai yang lain, maka kita akan hidup memakai topeng. Topeng ini pulalah yang akan membuat kita tidak memiliki integritas seperti tiga contoh di atas. Secepat mungkin kita bisa berubah ketika ada godaan atau tantangan dari luar. Munafik adalah kata yang paling tepat menggambarkan kondisi ini.
Uniknya, nilai keKristenan tidak bisa dijadikan nomor urut dua ataupun tiga. Sekali kita menganutnya, maka nilai tersebut harus menjadi yang utama mewarnai nilai-nilai yang lain. Bukankah kita selalu berdoa “… Jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga… Karena engkaulah yang empunya Kerajaan dan Kuasa dan Kemuliaan sampai selama-lamanya, Amin”. Selain itu, dalam pengakuan Iman Rasuli kita mengaku “… Aku percaya kepada Yesus Kristus…”. “Doa Bapa Kami” dan Pengakuan kepada Yesus Kristus dalam “Pengakuan Iman Rasuli” memposisikan kita untuk menempatkan kehendak Bapa sebagai yang utama dalam diri kita dan ajaran Yesus tentang kasih sebagai pedoman dalam tingkah laku kita. Kedua hal tersebut harus menjadi dasar bagi kita dalam menjalankan nilai budaya Batak dan menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman ini.

Integritas = Bebas Bertanggungjawab
Rasul Paulus menegaskan bahwa orang Kristen adalah orang-orang yang merdeka. Artinya, kita tidak lagi membutuhkan aturan-aturan yang terperinci untuk menentukan mana yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Orang Kristen tidak dilarang ataupun dibatasi untuk mengikuti perkembangan zaman. Setiap orang Kristen adalah orang yang bebas dalam menjalankan berbagai nilai-nilai dalam kehidupannya. Tetapi ingat, nilai-nilai yang lain hanya boleh menempati urutan dua ke bawah. Kita bebas menjalankan apa saja, asal tidak menghambat kita untuk menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Inilah yang disebut dengan bebas tetapi bertanggung jawab.
Secara konkret, ada tiga hal yang menjadi kewajiban tiap orang untuk mewujudkan Kerajaan Allah di sekitarnya. Ketiga hal tersebut adalah : mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dengan sungguh-sungguh, melakukan tugas yang menjadi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan ketiga adalah sebisa mungkin memenuhi harapan orang-orang yang mengasihi kita, secara khusus harapan orangtua kepada kita. Dalam mewujudkan tiga tanggungjawab di atas, kita bebas untuk menganut nilai apa saja. Yang penting menempatkan Kristus sebagai yang utama. Dengan demikian, ketika kita pacaran ataupun menjadi pelaku utama dalam kegiatan ekstrakulikuler, kita tetap berjalan pada relnya. Kita tidak memperlakukan pacar melebihi keluarga atau harapan keluarga dan tidak menjadikan kegiatan ekstrakulikuler melebihi tugas kita yang sesungguhnya sebagai mahasiswa. Tidak memiliki integritas berarti tahu dan sadar tentang apa yang seharusnya dilakukan tetapi tidak melakukannya juga.
Ada beberapa hal yang bisa membuat orang menjadi tidak bertanggungjawab atau tidak memiliki integritas. Hal-hal tersebut antara lain : malas. Orang yang malas akan menganggap jauh lebih ringan untuk tidak bertanggungjawab. Hal lainnya adalah karena ada hal lain yang lebih menarik, atau karena sedang punya mainan baru. Ini yang terjadi pada contoh orang pacaran di atas. Hal lain lagi adalah karena takut. Orang takut untuk susah sehingga mereka menjauhi resiko. Padahal tidak ada yang lebih menakutkan daripada ketakutan itu sendiri. Tetapi yang lebih berbahaya dari semua hal tersebut adalah bila kita tidak lebih menakutkan daripada ketakutan itu sendiri. Tetapi yang lebih berbahaya dari semua hal tersebut adalah bila kita tidak bertanggungjawab karena dikuasai oleh hawa nafsu dan emosi. Nafsu dan emosi dapat mematahkan pikiran sehat kita sehingga tidak tahu lagi mana yang salah dan mana yang benar.

Penutup
Akhirnya saya mau mengatakan bahwa kita tidak mungkin menutup diri dari kemajemukan nilai-nilai sekarang ini. Seorang pemuda Kristen harus berani ‘nano-nano’. Tetapi semua nilai tersebut harus dijalankan secara bertanggungjawab secara keKristenan. Itu syarat untuk menjadi integral bagi pemuda Kristen. Menjalani kehidupan dengan berbagai nilai tidak pernah mudah. Tetapi bukankah Yesus sudah mengingatkan dalam Mat. 10:16 bahwa kita diutus untuk menjadi domba di tengah serigala? Untuk itu kita harus tulus dan cerdik. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Jangan cerdik saja, karena kita bisa berubah menjadi serigala. Demikian sebaliknya.
Untuk itu, ada baiknya bila kita mendengarkan saran seorang ahli etika yang bernama Richard Niehbur (adiknya Reinhold Niehbur). Dalam teorinya “responsible ethics” ia mengatakan, untuk menjadi seorang yang bertanggungjawab sering-seringlah melakukan dialog sebelum mengambil sebuah keputusan. Dialog dapat dimulai dengan orang kedua (teman, saudara, dll) dan juga orang ketiga (alkitab, adat, norma-norma, dll). Setelah berdialog dengan itu semua, maka terakhir berdialoglah dengan orang pertama (diri sendiri). Dialog dengan diri sendiri kita lakukan pada tahap akhir karena pada saat itulah kita mempertimbangkan semua masukan yang muncul dari dialog sebelumnya. Dialog dengan diri sendiri inilah yang kita sebut dengan ‘mendengarkan suara hati’. Selamat mencoba dan semoga sukses menjadi pemuda yang memiliki integritas. Nano-nano… Siapa takut??? Salam dari Tarutung.

(Penulis adalah Cal. Pdt. Donald Ferry M. Pasaribu, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Agustus 2009)

Tidak ada komentar: