Setiap orang yang pergi ke gereja memiliki sebuah pilihan. Ia dapat saja memakirkan kendaraannya di tempat biasanya di halaman parkir gereja, melangkah menuju tempat duduk yang nyaman di barisan tempat duduk yang menjadi favoritnya, menonton jalannya ibadah yang berlangsung dengan baik, berbincang-bincang dengan teman-teman, kemudian pulang. Pengalaman tersebut menjadikan pengalaman hari Minggu pagi yang menyenangkan dan nyaman.
Atau, ia dapat saja melibatkan dirinya ke dalam suatu pengalaman yang membuat dirinya menyingsingkan lengan, bergabung dengan sebuah tim yang berhati hamba, dan membantu pembangunan gereja lokal seperti yang Allah kehendaki untuk kita lakukan. Kristus berpesan: Berikan dirimu untuk orang lain dan engkau akan menemukan hidupmu. Kita mungkin tidak memiliki banyak harta untuk kita berikan, jadi putuskanlah untuk mencobanya.
Namun, begitu banyak orang merasa ragu untuk menjadi pelayan/relawan digereja, karena mereka takut gagal. Sayapun sering merasa demikian. Namun, ketika kita membiarkan Kristus memimpin kita ke tempat Dia ingin kita melayani, kita menemukan suatu perasaan puas dan sukacita yang sangat luar biasa, yang tidak akan kita serahkan demi dunia ini.
Bagaimana dengan kita sendiri, setelah melalui pasca naposobulung, menikah, mempunyai anak? Apakah saat ini adalah waktu bagi kita untuk beranjak dari kursi penonton, mengambil perlengkapan, dan terjun ke lapangan pertandingan? Saya jamin, jauh lebih menyenangkan untuk menjadi seorang pemain dibandingkan hanya sekedar menjadi seorang penonton. Mengapa hanya menonton orang lain mengubah dunia ini, padahal kita sanggup untuk bergabung dengan mereka? Bertindaklah!
Upah Relawan/Pelayan
Berbahagialah orang-orang yang menemukan bahwa Allah dapat memakai tindakan kasih dan kebaikan yang kecil dan tersembunyi yang mereka miliki di dalam diri mereka untuk mengubah banyak kehidupan, gereja, komunitas lokal, dan pada akhirnya dunia.
Namun, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengubah kepercayaan yang sudah lama dipegang mengenai hal menjadi pelayan/relawan. Banyak orang percaya bahwa menjadi pelayan/relawan itu lebih menyangkut perihal tugas dan kerja keras, dan bukan hal yang menyenangkan dan memuaskan. Tetapi sayangnya, kadang kala memang itulah yang sering terjadi. Terlalu banyak pelayan/relawan yang memiliki hati yang rela terluka “pada saat bekerja”. Mereka telah memberikan respons terhadap ajakan untuk melayani, hanya untuk berakhir pada posisi pelayan/relawan yang dipandang rendah, memberikan hasil kerja dimana hanya sedikit orang yang merasa terpuaskan. Atau, mereka siap untuk melayani dan menemukan bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan; Seorang koordinator relawan yang tidak dipersiapkan telahmembuang-buang waktu mereka, menyebabkan mereka kehilangan waktu mereka yang berharga yang dengan rela telah mereka sisihkan dari jadwal kesibukan mereka.
Beberapa pelayan/relawan bekerja keras melakukan pekerjaan kasar tanpa pernah mendengar bahwa mereka melakukan perkara yang lebih besar; mereka diberi begitu banyak tugas, namun tidak diberi visi. Sedangkan yang lainnya merasa begitu sibuk dengan berbagai permintaan yang tak masuk akal, karena mereka tidak pernah menerima pelatihan yang tepat; bukannya dipersiapkan untuk menang, mereka malah terpuruk dalam keputusasaan dan kegagalan.
Banyak yang menjadi sakit hati pada saat seorang pemimpin memaksa mewajibkan mereka untuk “mengisi kekosongan” tanpa mempertimbangkan bakat atau talenta yang mereka miliki atau apa yang mereka suka lakukan. Beberapa orang malah telah memberikan waktunya selama berjam-jam bahkan bertahun-tahun dalam pelayanan sukarela kepada sebuah organisasi atau gereja, tanpa menerima satu ucapan terima kasih.
Potensi Untuk Melakukan Suatu Perbedaan
Gereja adalah harapan dunia. Namun, harapan itu terletak pada kesediaan para relawan di segala bidang kehidupan – para dokter, para guru, para ibu-ibu rumah tangga, para eksekutif bisnis, para mahasiswa, para perawat, para nenek, para insinyur yang sudah pensiun, para pengrajin kayu, dokter gigi, para penata rambut, anak-anak sekolah menengah, para pegawai toko kelontong – untuk dimobilisasi, diperlengkapi, dan digunakan oleh Allah.
Apapun keadaan kita, apakah Allah memberkati kita dengan empat puluh jam yang dapat kita gunakan dengan bijaksana dalam satu minggu, atau apakah kita hampir-hampir tidak dapat mencuri waktu selama empat puluh menit saja dalam satu bulan jadwal kerja anda yang sangat sibuk, kita memiliki potensi untuk melakukan suatu perbedaan di salah satu sudut dunia ini.
Hal apakah yang kita miliki dan dapat kita berikan? Lebih daripada apa yang mungkin kita pikirkan. Kita memiliki bakat dan talenta yang sudah ada dalam diri kita sejak lahir. Ketrampilan yang kita asah di rumah atau di dunia kerja. Pengalaman hidup yang telah mendewasakan diri kita. Kepedihan yang telah mengembangkan diri kita. Kasih para tetangga yang berasal dari hati Allah kepada kita.
Semua ini merupakan alat kebaikan yang penuh kuasa yang Allah curahkan kepada semua anak-anakNya. Mengapa? Agar kita dapat menebar kebaikan kepada orang lain. Salah satu definisi yang sangat saya sukai mengenai gereja adalah “komunitas berkat” -- suatu komunitas yang diberkati Allah agar dapat memberkati dunia.
Ketika kita memutuskan untuk menginventasikan sekecil apa pun berkat yang telah Allah berikan kepada kita ke dalam kehidupan orang lain, kita akan menemukan bahwa itu adalah benih dari sesuatu yang sangat besar yang dituai di dalam jiwa kita sendiri. Dan suatu hari, di tengah-tengah kita memberikan diri kita dalam semangat dan tindakan relawan/pelayan, benih itu akan berkembang menjadi suatu kenyataan yang menakjubkan bahwa untuk hal inilah kita diciptakan!
Pelayanan: Spekulasi Yang Besar
Sebagian besar dari kita ingin menjalani kehidupan yang memiliki tujuan. Kita ingin memberikan diri kita untuk suatu alasan yang layak. Namun, tahun-tahun yang penuh dengan budaya melayani kepentingan diri sendiri telah membuat kita menjadi bingung. Manjakan diri anda. Penuhi segala keinginan anda. Puaskan selera anda. Kejarlah kesenangan. Semuanya untuk anda.
Dengan adanya semua pesan itu, sangatlah mudah untuk memahami ketakutan kita bahwa menginvestasikan waktu dan tenaga untuk melayani Allah dan orang lain akan mempersempit kehidupan kita. Hal apakah yang sebenarnya akan terjadi, kita bertanya-tanya, jika kita meninggalkan rasa nyaman sebagai penonton dan menceburkan diri ke dalam lapangan pelayanan? Apakah kita akan menjadi lebih sibuk dari biasanya dan harus bekerja lebih keras lagi…tanpa adanya kenaikan pendapatan di rekening bank kita? Dan jika demikian, apakah hal itu masuk akal?
Jika saya menyerahkan diri saya untuk melayani, kita bertanya, apakah saya akan tetap menikmatinya atau malah mengkhawatirkannya? Apakah hidup akan semakin terasa memuaskan? Atau, semakin melelahkan? Apakah hal tersebut akan membantu diri saya bertumbuh secara rohani atau mungkin segala permintaan yang lebih besar itu akan melemahkan kehidupan rohani saya?
Ternyata, kepuasan yang sebenarnya tidak akan pernah diperoleh melalui kesenangan akan diri sendiri. Kesenangan diri sendiri tidak akan pernah membawa kepenuhan hidup yang kita cari. Hal tersebut malahan akan mendatangkan kekosongan dan penghancuran diri sendiri. Dan selama saat itu pula, anda akan menghancurkan diri orang lain.
Sebagian besar manusia pada akhirnya mengetahui apa yang diperlukan untuk mencapai posisi puncak yaitu memperoleh banyak uang, mendapatkan penghargaan. Kita semua ingin mencapai posisi puncak. Namun Yesus berkata: jalan menuju posisi puncak di dalam kerajaanNya adalah dengan menjadi seorang hamba yang setia bagi Bapa dan seorang hamba yang rendah hati terhadap sesamanya.
Dalam Matius 19:27, Petrus pada akhirnya menanyakan pertanyaan yang mungkin ingin ditanyakan oleh para murid-murid lainnya: “ Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?”. Tampak ada satu kerinduan yang menggerakkan hati Petrus untuk meninggalkan kehidupannya demi Yesus. Namun, ia hanyalah manusia biasa. Kehidupan lamanya, jika bukan merupakan suatu petualangan, sangatlah mudah untuk ditebak. Ia tahu apa yang dihadapinya dan yang tidak dihadapinya. Tetapi bersama Yesus, ia harus menyerahkan segala sesuatunya tanpa hasil yang pasti. Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki dan perempuan, ibunya atau bapanya, anak dan ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali 100 kali lipat.
Ambillah Spekulasi itu!
Dalam Markus 8:34-35 Yesus berkata, “ Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.
Jadi, bagaimana kita pasca Naposobulung menghadapi tantangan ini? Berani mencoba? Ambillah spekulasi yang besar. Ikutilah teladan Yesus dengan penyerahan total. Ambillah keuntungan dari setiap kesempatan untuk melayani -- bahkan sekalipun hal tersebut tampak tidak penting”. Jadilah seseorang yang membuka pintu bagi orang lain. Pilihlah tempat duduk di belakang, agar teman kita bisa duduk di bangku depan. Buanglah sampah sekalipun biasanya itu bukan pekerjaan kita. Rapikanlah kursi setelah rapat selesai dengan sukarela.Gandenglah lengan wanita tua yang hendak naik tangga di pusat perbelanjaan. Bukalah mata kita. Awasilah keadaan hati kita, minggu demi minggu. Lalu tanyakan kepada diri kita: Apakah saya menjadi beruntung atau malah merugi?
Dan jika kita mau, cobalah dengan cara lain. Setiap kesempatan yang anda miliki, posisikanlah diri kita di tengah, merengek-rengeklah, mintalah dunia untuk berputar di sekitar diri kita. Doronglah diri kita ke barisan depan. Menghilanglah saat tiba waktunya untuk melakukan pekerjaan kotor, pekerjaan yang membosankan. Menunduklah dengan rendah setiap pagi di depan cermin yang besar. Kemudian, melangkahlah mundur dan ujilah dengan jujur. Apakah kita semakin mendekat kepada Allah dan sesama atau malah menjadi lebih terisolasi? Apakah hidup kita semakin bahagia atau malah kosong? Apakah kita merasa puas atau putus asa? Ambillah spekulasi besar itu!
Cepat atau lambat, setiap orang harus memutuskan di mana mereka akan menempatkan taruhan mereka dalam spekulasi besar mengenai kehidupan. Dimanakah kita telah meletakkannya? Apakah di dalam gaya hidup yang berpusat pada diri sendiri? Atau, pada teladan Yesus dalam pelayanan? Kemanakah kita telah dibawa?
Kerinduan Melayani
Sebuah kerinduan yang diberikan Allah – suatu area yang penuh dengan minat yang tinggi --- terdapat di dalam diri setiap kita. Salah satu tujuan dari mencoba menjadi relawan/pelayan adalah untuk menemukan kerinduan tersebut. Menghubungkan bakat rohani kita dengan kerinduan yang kita miliki merupakan kunci untuk mendapatkan efektivitas terbesar dan rasa puas dalam melayani. Hal tersebut juga merupakan salah satu kunci untuk mempertahankan semangat dalam pelayanan. Saat kita sedang melayani dengan kerinduan, kita tidak memerlukan orang lain untuk mendorong-dorong kita agar tetap terlibat; Kita tidak tahan untuk tidak hadir. Hal tersebut rasanya seperti kerja, pada saat lonceng berbunyi, dan kita harus melakukan hal yang kita senangi.
Terbuka Bagi PanggilanNya
Kira-kira, kehilangan apa yang akan dialami oleh kita semua jika kita tidak bersikap terbuka? Sebuah tantangan? Sebuah petualangan? Sebuah kesempatan? Sebuah pangilan? Sebuah tujuan yang ada di dalam penderitaan? Suatu alat pertumbuhan pribadi? Suatu perjalanan menuju tindakan melakukan perbedaan?
Dalam dunia ini, banyak kebutuhan yang sangat besar – mulai dari rekonsiliasi ras sampai penghiburan bagi mereka yang berduka, mulai dari anak-anak yang dilatih sampai dengan pernikahan yang dipulihkan, mulai dari melayani para tunawisma sampai menguatkan yang hatinya lemah. Kebutuhan apakah yang kira-kira tidak akan terpenuhi bila setiap kita tidak membiarkan Allah bekerja melalui kerinduan kita, penderitaan – bahkan keengganan kita untuk menjangkau orang lain?
Kerinduan apakah yang mungkin Allah bangkitan didalam diri kita? Apakah ada sekelompok orang atau suatu permasalahan sosial yang tidak dapat kita singkirkan dari dalam pikiran kita? Pernahkah kita mengalami suatu kepedihan yang melembutkan hati kita bagi orang lain yang juga menderita hal yang serupa? Apakah kita merasakan suatu ketukan rohani dari suatu area pelayanan yang tidak pernah kita impikan atau kita kejar? Masuklah ke dalam pelayanan gereja kita, lihatlah ladang pelayanan yang Tuhan sudah sediakan bagi kita: Penerima Tamu, Pembawa kantong kolekte, Pelayanan Sekolah Minggu, Kelompok PA, Tim Kunjungan/Pemerhati Jemaat, Pendoa syafaat, kelompok Pujian (koor, song leader), Pemusik, Pembina Pemuda/Remaja, Penulis Buletin Narhasem, Pembawa Renungan, atau dapat menjadi fasilitator dari program yang ada. Di satu gereja teman saya, salah satu contoh wadah pelayanan untuk pasutri (pasangan suami istri), adalah pasangan suami istri yang melayani sebagai Penerima Tamu.
Bila kita mempunyai suatu kerinduan akan suatu bentuk pelayanan, namun hal tersebut belum ada wadahnya di gereja kita, doakanlah, mintalah kepada yang Empunya ladang. Bentuklah suatu tim, dan bila sudah dibicarakan dengan matang, sampaikanlah kepada Majelis Gereja. Gereja masa kini adalah gereja yang memberikan tempat untuk mengembangkan karunia dan talenta jemaatnya secara maximal. Karena pelayanan jemaat dalam mengembangkan gereja akan sangat efektif, karena untuk menjangkau masyarakat yang majemuk, jemaat sudah lebih bermasyarakat daripada Pendeta jemaat yang sering dilihat sebagai rohaniawan mimbar.
Jadi, Jangan bersikap tidak peduli terhadap apa yang terjadi di dalam hati kita saat ini. Izinkan Allah berbicara kepada kita. Dengarkanlah. Kemudian, bertindaklah. Melangkahlah. Bereksperimenlah. Ambillah tindakan! Lakukanlah sesuatu, di suatu tempat – Sekarang!
(Penulis adalah Monalita Hutabarat, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2008)
Namun, begitu banyak orang merasa ragu untuk menjadi pelayan/relawan digereja, karena mereka takut gagal. Sayapun sering merasa demikian. Namun, ketika kita membiarkan Kristus memimpin kita ke tempat Dia ingin kita melayani, kita menemukan suatu perasaan puas dan sukacita yang sangat luar biasa, yang tidak akan kita serahkan demi dunia ini.
Bagaimana dengan kita sendiri, setelah melalui pasca naposobulung, menikah, mempunyai anak? Apakah saat ini adalah waktu bagi kita untuk beranjak dari kursi penonton, mengambil perlengkapan, dan terjun ke lapangan pertandingan? Saya jamin, jauh lebih menyenangkan untuk menjadi seorang pemain dibandingkan hanya sekedar menjadi seorang penonton. Mengapa hanya menonton orang lain mengubah dunia ini, padahal kita sanggup untuk bergabung dengan mereka? Bertindaklah!
Upah Relawan/Pelayan
Berbahagialah orang-orang yang menemukan bahwa Allah dapat memakai tindakan kasih dan kebaikan yang kecil dan tersembunyi yang mereka miliki di dalam diri mereka untuk mengubah banyak kehidupan, gereja, komunitas lokal, dan pada akhirnya dunia.
Namun, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengubah kepercayaan yang sudah lama dipegang mengenai hal menjadi pelayan/relawan. Banyak orang percaya bahwa menjadi pelayan/relawan itu lebih menyangkut perihal tugas dan kerja keras, dan bukan hal yang menyenangkan dan memuaskan. Tetapi sayangnya, kadang kala memang itulah yang sering terjadi. Terlalu banyak pelayan/relawan yang memiliki hati yang rela terluka “pada saat bekerja”. Mereka telah memberikan respons terhadap ajakan untuk melayani, hanya untuk berakhir pada posisi pelayan/relawan yang dipandang rendah, memberikan hasil kerja dimana hanya sedikit orang yang merasa terpuaskan. Atau, mereka siap untuk melayani dan menemukan bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan; Seorang koordinator relawan yang tidak dipersiapkan telahmembuang-buang waktu mereka, menyebabkan mereka kehilangan waktu mereka yang berharga yang dengan rela telah mereka sisihkan dari jadwal kesibukan mereka.
Beberapa pelayan/relawan bekerja keras melakukan pekerjaan kasar tanpa pernah mendengar bahwa mereka melakukan perkara yang lebih besar; mereka diberi begitu banyak tugas, namun tidak diberi visi. Sedangkan yang lainnya merasa begitu sibuk dengan berbagai permintaan yang tak masuk akal, karena mereka tidak pernah menerima pelatihan yang tepat; bukannya dipersiapkan untuk menang, mereka malah terpuruk dalam keputusasaan dan kegagalan.
Banyak yang menjadi sakit hati pada saat seorang pemimpin memaksa mewajibkan mereka untuk “mengisi kekosongan” tanpa mempertimbangkan bakat atau talenta yang mereka miliki atau apa yang mereka suka lakukan. Beberapa orang malah telah memberikan waktunya selama berjam-jam bahkan bertahun-tahun dalam pelayanan sukarela kepada sebuah organisasi atau gereja, tanpa menerima satu ucapan terima kasih.
Potensi Untuk Melakukan Suatu Perbedaan
Gereja adalah harapan dunia. Namun, harapan itu terletak pada kesediaan para relawan di segala bidang kehidupan – para dokter, para guru, para ibu-ibu rumah tangga, para eksekutif bisnis, para mahasiswa, para perawat, para nenek, para insinyur yang sudah pensiun, para pengrajin kayu, dokter gigi, para penata rambut, anak-anak sekolah menengah, para pegawai toko kelontong – untuk dimobilisasi, diperlengkapi, dan digunakan oleh Allah.
Apapun keadaan kita, apakah Allah memberkati kita dengan empat puluh jam yang dapat kita gunakan dengan bijaksana dalam satu minggu, atau apakah kita hampir-hampir tidak dapat mencuri waktu selama empat puluh menit saja dalam satu bulan jadwal kerja anda yang sangat sibuk, kita memiliki potensi untuk melakukan suatu perbedaan di salah satu sudut dunia ini.
Hal apakah yang kita miliki dan dapat kita berikan? Lebih daripada apa yang mungkin kita pikirkan. Kita memiliki bakat dan talenta yang sudah ada dalam diri kita sejak lahir. Ketrampilan yang kita asah di rumah atau di dunia kerja. Pengalaman hidup yang telah mendewasakan diri kita. Kepedihan yang telah mengembangkan diri kita. Kasih para tetangga yang berasal dari hati Allah kepada kita.
Semua ini merupakan alat kebaikan yang penuh kuasa yang Allah curahkan kepada semua anak-anakNya. Mengapa? Agar kita dapat menebar kebaikan kepada orang lain. Salah satu definisi yang sangat saya sukai mengenai gereja adalah “komunitas berkat” -- suatu komunitas yang diberkati Allah agar dapat memberkati dunia.
Ketika kita memutuskan untuk menginventasikan sekecil apa pun berkat yang telah Allah berikan kepada kita ke dalam kehidupan orang lain, kita akan menemukan bahwa itu adalah benih dari sesuatu yang sangat besar yang dituai di dalam jiwa kita sendiri. Dan suatu hari, di tengah-tengah kita memberikan diri kita dalam semangat dan tindakan relawan/pelayan, benih itu akan berkembang menjadi suatu kenyataan yang menakjubkan bahwa untuk hal inilah kita diciptakan!
Pelayanan: Spekulasi Yang Besar
Sebagian besar dari kita ingin menjalani kehidupan yang memiliki tujuan. Kita ingin memberikan diri kita untuk suatu alasan yang layak. Namun, tahun-tahun yang penuh dengan budaya melayani kepentingan diri sendiri telah membuat kita menjadi bingung. Manjakan diri anda. Penuhi segala keinginan anda. Puaskan selera anda. Kejarlah kesenangan. Semuanya untuk anda.
Dengan adanya semua pesan itu, sangatlah mudah untuk memahami ketakutan kita bahwa menginvestasikan waktu dan tenaga untuk melayani Allah dan orang lain akan mempersempit kehidupan kita. Hal apakah yang sebenarnya akan terjadi, kita bertanya-tanya, jika kita meninggalkan rasa nyaman sebagai penonton dan menceburkan diri ke dalam lapangan pelayanan? Apakah kita akan menjadi lebih sibuk dari biasanya dan harus bekerja lebih keras lagi…tanpa adanya kenaikan pendapatan di rekening bank kita? Dan jika demikian, apakah hal itu masuk akal?
Jika saya menyerahkan diri saya untuk melayani, kita bertanya, apakah saya akan tetap menikmatinya atau malah mengkhawatirkannya? Apakah hidup akan semakin terasa memuaskan? Atau, semakin melelahkan? Apakah hal tersebut akan membantu diri saya bertumbuh secara rohani atau mungkin segala permintaan yang lebih besar itu akan melemahkan kehidupan rohani saya?
Ternyata, kepuasan yang sebenarnya tidak akan pernah diperoleh melalui kesenangan akan diri sendiri. Kesenangan diri sendiri tidak akan pernah membawa kepenuhan hidup yang kita cari. Hal tersebut malahan akan mendatangkan kekosongan dan penghancuran diri sendiri. Dan selama saat itu pula, anda akan menghancurkan diri orang lain.
Sebagian besar manusia pada akhirnya mengetahui apa yang diperlukan untuk mencapai posisi puncak yaitu memperoleh banyak uang, mendapatkan penghargaan. Kita semua ingin mencapai posisi puncak. Namun Yesus berkata: jalan menuju posisi puncak di dalam kerajaanNya adalah dengan menjadi seorang hamba yang setia bagi Bapa dan seorang hamba yang rendah hati terhadap sesamanya.
Dalam Matius 19:27, Petrus pada akhirnya menanyakan pertanyaan yang mungkin ingin ditanyakan oleh para murid-murid lainnya: “ Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?”. Tampak ada satu kerinduan yang menggerakkan hati Petrus untuk meninggalkan kehidupannya demi Yesus. Namun, ia hanyalah manusia biasa. Kehidupan lamanya, jika bukan merupakan suatu petualangan, sangatlah mudah untuk ditebak. Ia tahu apa yang dihadapinya dan yang tidak dihadapinya. Tetapi bersama Yesus, ia harus menyerahkan segala sesuatunya tanpa hasil yang pasti. Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki dan perempuan, ibunya atau bapanya, anak dan ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali 100 kali lipat.
Ambillah Spekulasi itu!
Dalam Markus 8:34-35 Yesus berkata, “ Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.
Jadi, bagaimana kita pasca Naposobulung menghadapi tantangan ini? Berani mencoba? Ambillah spekulasi yang besar. Ikutilah teladan Yesus dengan penyerahan total. Ambillah keuntungan dari setiap kesempatan untuk melayani -- bahkan sekalipun hal tersebut tampak tidak penting”. Jadilah seseorang yang membuka pintu bagi orang lain. Pilihlah tempat duduk di belakang, agar teman kita bisa duduk di bangku depan. Buanglah sampah sekalipun biasanya itu bukan pekerjaan kita. Rapikanlah kursi setelah rapat selesai dengan sukarela.Gandenglah lengan wanita tua yang hendak naik tangga di pusat perbelanjaan. Bukalah mata kita. Awasilah keadaan hati kita, minggu demi minggu. Lalu tanyakan kepada diri kita: Apakah saya menjadi beruntung atau malah merugi?
Dan jika kita mau, cobalah dengan cara lain. Setiap kesempatan yang anda miliki, posisikanlah diri kita di tengah, merengek-rengeklah, mintalah dunia untuk berputar di sekitar diri kita. Doronglah diri kita ke barisan depan. Menghilanglah saat tiba waktunya untuk melakukan pekerjaan kotor, pekerjaan yang membosankan. Menunduklah dengan rendah setiap pagi di depan cermin yang besar. Kemudian, melangkahlah mundur dan ujilah dengan jujur. Apakah kita semakin mendekat kepada Allah dan sesama atau malah menjadi lebih terisolasi? Apakah hidup kita semakin bahagia atau malah kosong? Apakah kita merasa puas atau putus asa? Ambillah spekulasi besar itu!
Cepat atau lambat, setiap orang harus memutuskan di mana mereka akan menempatkan taruhan mereka dalam spekulasi besar mengenai kehidupan. Dimanakah kita telah meletakkannya? Apakah di dalam gaya hidup yang berpusat pada diri sendiri? Atau, pada teladan Yesus dalam pelayanan? Kemanakah kita telah dibawa?
Kerinduan Melayani
Sebuah kerinduan yang diberikan Allah – suatu area yang penuh dengan minat yang tinggi --- terdapat di dalam diri setiap kita. Salah satu tujuan dari mencoba menjadi relawan/pelayan adalah untuk menemukan kerinduan tersebut. Menghubungkan bakat rohani kita dengan kerinduan yang kita miliki merupakan kunci untuk mendapatkan efektivitas terbesar dan rasa puas dalam melayani. Hal tersebut juga merupakan salah satu kunci untuk mempertahankan semangat dalam pelayanan. Saat kita sedang melayani dengan kerinduan, kita tidak memerlukan orang lain untuk mendorong-dorong kita agar tetap terlibat; Kita tidak tahan untuk tidak hadir. Hal tersebut rasanya seperti kerja, pada saat lonceng berbunyi, dan kita harus melakukan hal yang kita senangi.
Terbuka Bagi PanggilanNya
Kira-kira, kehilangan apa yang akan dialami oleh kita semua jika kita tidak bersikap terbuka? Sebuah tantangan? Sebuah petualangan? Sebuah kesempatan? Sebuah pangilan? Sebuah tujuan yang ada di dalam penderitaan? Suatu alat pertumbuhan pribadi? Suatu perjalanan menuju tindakan melakukan perbedaan?
Dalam dunia ini, banyak kebutuhan yang sangat besar – mulai dari rekonsiliasi ras sampai penghiburan bagi mereka yang berduka, mulai dari anak-anak yang dilatih sampai dengan pernikahan yang dipulihkan, mulai dari melayani para tunawisma sampai menguatkan yang hatinya lemah. Kebutuhan apakah yang kira-kira tidak akan terpenuhi bila setiap kita tidak membiarkan Allah bekerja melalui kerinduan kita, penderitaan – bahkan keengganan kita untuk menjangkau orang lain?
Kerinduan apakah yang mungkin Allah bangkitan didalam diri kita? Apakah ada sekelompok orang atau suatu permasalahan sosial yang tidak dapat kita singkirkan dari dalam pikiran kita? Pernahkah kita mengalami suatu kepedihan yang melembutkan hati kita bagi orang lain yang juga menderita hal yang serupa? Apakah kita merasakan suatu ketukan rohani dari suatu area pelayanan yang tidak pernah kita impikan atau kita kejar? Masuklah ke dalam pelayanan gereja kita, lihatlah ladang pelayanan yang Tuhan sudah sediakan bagi kita: Penerima Tamu, Pembawa kantong kolekte, Pelayanan Sekolah Minggu, Kelompok PA, Tim Kunjungan/Pemerhati Jemaat, Pendoa syafaat, kelompok Pujian (koor, song leader), Pemusik, Pembina Pemuda/Remaja, Penulis Buletin Narhasem, Pembawa Renungan, atau dapat menjadi fasilitator dari program yang ada. Di satu gereja teman saya, salah satu contoh wadah pelayanan untuk pasutri (pasangan suami istri), adalah pasangan suami istri yang melayani sebagai Penerima Tamu.
Bila kita mempunyai suatu kerinduan akan suatu bentuk pelayanan, namun hal tersebut belum ada wadahnya di gereja kita, doakanlah, mintalah kepada yang Empunya ladang. Bentuklah suatu tim, dan bila sudah dibicarakan dengan matang, sampaikanlah kepada Majelis Gereja. Gereja masa kini adalah gereja yang memberikan tempat untuk mengembangkan karunia dan talenta jemaatnya secara maximal. Karena pelayanan jemaat dalam mengembangkan gereja akan sangat efektif, karena untuk menjangkau masyarakat yang majemuk, jemaat sudah lebih bermasyarakat daripada Pendeta jemaat yang sering dilihat sebagai rohaniawan mimbar.
Jadi, Jangan bersikap tidak peduli terhadap apa yang terjadi di dalam hati kita saat ini. Izinkan Allah berbicara kepada kita. Dengarkanlah. Kemudian, bertindaklah. Melangkahlah. Bereksperimenlah. Ambillah tindakan! Lakukanlah sesuatu, di suatu tempat – Sekarang!
(Penulis adalah Monalita Hutabarat, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar