Selasa, 01 Maret 2011

ARTIKEL: KENDALA DAN SOLUSI PEMBANGUNAN GEREJA DI INDONESIA

Warga negara Republik Indonesia yang berlatarbelakang aneka ragam suku, bahasa, budaya dan agama disebut sebagaii bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Untuk mempertahankan dan menciptakan keutuhan kesatuan bangsa yang bhineka itu; para pemuka-pemuka bangsa telah menetapkan dasar dan tatanan hidup bernegara dan berbangsa (bermasyarakat), yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Istimewa dalam hal mengenai toleransi beragama, pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebut : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Pada UUD pasal 28 E disebut (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya; memilih pendidikan dan pengajaran dst. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani. Pada UUD pasal 28 J dikatakan : setiap orang wajib menghormati hak azasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berlandaskan pengamalan dan pengkhayatan Pancasila dan UUD 45; Kerukunan umat beragama masih terbilang utuh sampai tahun 1950 ditengah-tengah negara ini walaupun ada gerakan segelintir orang yang mau menjadikan negara ini menjadi negara Islam. Pembangunan rumah ibadah maupun gedung sekolah dapat berdiri dimana-mana tanpa ada gangguan. Sebab pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat benar-benar berjiwa nasionalis, Pancasilais dan normatif.
Tetapi seiring dengan perkembangan jaman modern, nilai-nilai hidup yang berlandaskan Pancasilais dan yang bertatanan kepada UUD 1945 semakin memudar. Akibatnya tampillah di negara ini para cendekiawan yang menanamkan dan melakukan praktek intoleransi dan diskriminasi di tengah-tengah pemerintahan dan masyarakat. Oleh karena penyebaran virus intoleransi dan diskriminasi tersebut kaum mayoritas tampil menjadi penguasa atas kaum minoritas. Pancasila dan UUD 1945 tersebut diatas bukan lagi sebagai landasan dan tatanan hidup warga negara ini. Pengekangan jiwa Pancasila dan UUD 1945 terjadi oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 1/1976 tentang tata cara penyiaran Agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia dan pendirian rumah ibadah. SKB ini diterbitkan dengan dalih menghempang pengrusakan rumah ibadah. SKB itu disebutkan bukan penghempang tetapi dalam prakteknya SKB telah menjadi pemicu konflik antar umat beragama. Hal itu terbukti dari pengrusakan rumah ibadah yang semakin menjadi-jadi setelah diterbitkan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 8/2006 dan no. 9/2006 yang mengatur pendirian tempat peribadatan. Isi SKB ini menggambarkan adanya pengakuan hak-hak warga mayoritas atas warga minoritas. Pada SKB itu ada dituliskan apabila ada 90 warga sesuai dengan KTP (40 KK) yang membutuhkan tempat rumah ibadat, harus mendapatkan dukungan masyarakat paling sedikit 60 orang yang disahkan Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan, Kecamatan. Pertanyaan: Mengapa harus ada persetujuan atau dukungan masyarakat sekitar? Mengapa tidak cukup surat yang disyahkan aparat pemerintah? Bukankah yang membutuhkan rumah ibadah itu warga negara yang mempunyai hak yang sama dengan mereka dan dapat mendirikan tempat rumah ibadahnya di tanahnya sendiri? Kaum minoritas itu bukan pendatang atau penompang di negerinya sendiri. Hak dan Kebebasannya beribadah dan membangun tempat beribadat telah dijamin UUD 45. Oleh sebab itu, SKB telah mematikan jiwa UUD 45.
Kemudian permohonan yang ditanda tangani aparat pemerintahan itu disampaikan ke Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Anggota FKUB lebih banyak dari warga mayoritas sehingga dalam pengambilan keputusan selalu yang mayoritas yang berkuasa dan menang. Memang ada dituliskan dalam SKB tersebut : kalau dukungan warga tidak sampai 60 orang padahal pengguna sudah memenuhi keperluan nyata maka pemerintah akan memfasilitasinya. Rumusan ini hanya tinggal tulisan sebab permohonan yang telah direkomendasikan FKUB tidak diindahkan oleh Bupati selaku pejabat yang berwewenang menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pembangunan rumah ibadat. Malah ada Walikota yang arogan mencabut IMB pembangunan gereja yang sudah ada tetapi tidak mendapat teguran dari Gubernur atau Presiden.
Jadi, SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tidak memuluskan pembangunan gereja di Indonesia; mengapa praktek intoleransi, diskriminasi dan kekerasan terus terjadi dalam kebebasan beragama di Indonesia! Penyelenggara negara dan partai politik tidak mampu menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan dan tidak paham prinsip fundamental hak asasi manusia yang menjadi hak konstitusional warga negara. Tercatat 216 peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. Terdapat 103 tindakan negara yang melibatkan penyelengara negara sebagai aktor. Dari jumlah itu 24 adalah tindakan pembiaran dan 79 adalah tindakan aktif, termasuk pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan. Pemerintah pusat baru bertindak setelah situasi meruncing dan Pemerintah daerah tidak melakukan apa-apa (Kompas, selasa 25 Januari 2011 hal 16).
Selain daripada kendala pembangunan sarana peribadatan yang diakibatkan oknum-oknum pemerintah yang tidak nasionalis dan Pancasilais tersebut, kendala timbul pada grass-root (masyarakat golongan bawah). Tokoh-tokoh agama dan warga masing-masing agama tidak komunikatif sehingga terbangun sifat saling mencurigai, cemburu, irihati, saling menjelek-jelekkan dan membenci. Pada grass-root terbangun opini:
a) Komunitas mayoritas tidak menghendaki lokasi rumah ibadah berada di tengah-tengah mereka. Berdirinya rumah ibadah itu dianggap sebagai sarana penyiaran agama bagi yang lain dan mengganggu pada masyarakat sekitar. Mereka tidak menyadari bahwa gangguan itu belum seberapa kalau dibandingkan dengan gangguan Adzan dan penutupan jalan yang mereka perbuat.
b) Kehadiran komunitas minoritas ditegah-tengah mereka menimbulkan iri hati dan kecemburuan karena alasan kesenjangan ekonomi. Karena kaum minoritas yang lebih ulet, terampil dan mampu bekerja keras sehingga mereka memiliki tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi. Kesenjangan itu sering memicu konflik walaupun sifatnya tidak masuk akal.
c) Dalam masalah perkawinan yang berbeda agama seolah-olah ada pemaksaan untuk pindah agama di gereja. Padahal dalam gereja tidak dikenal istilah pemaksaan; harus berdasarkan kesadaran yang tulus. Sehubungan dengan perkawinan ini, disinyalir ada usaha untuk merusak muda-mudi kristen. Dengan pikiran : kawini dia, ikuti dulu sesaat agamanya, kemudian tinggalkan dia.
d) Oleh karena kepentingan politik, ada ormas yang menjadikan agama sebagai kendaraannya. Dalam menggolkan maksudnya diciptakan trik-trik supaya terjadi benturan pada grass-root. Dibentuk kelompok/forum/laskar-laskar yang brutal sebagai pembela kaum mayoritas. Mereka melebihi aparat keamanan dalam setiap aksinya. Merekalah yang tampil terdepan sebagai pengawas SKB yang menghampang pembangunan gereja dan pengerusakan tempat ibadah yang belum memiliki IMB.
e) Mereka iri dan cemburu atas perbedaan nilai sosial budaya yang nampak pada orang Kristen Batak dikala terjadi suasana suka dan duka maupun dalam hubungan kekerabatan yang diikat kasih dan parmargaon. Mereka mengetahui bahwa marga itu adalah salah satu sarana yang menguatkan kesatuan dan keakraban. Oleh sebab itu, ada usaha untuk menghilangkan marga supaya kesatuan dan keakraban itu lambat laun memudar. Mereka menganjurkan (mamaksakan) supaya marga jangan dituliskan pada akte kelahiran. Jangan mau. Tidak ada nama tanpa marga pada orang Kristen Batak sampai akhir jaman.
Mencari solusi mengatasi kendala pembangunan gereja akan mengalami proses yang rumit. Karena masalah itu tidak terlepas dari cara cara mafia hukum dan kebohongan pemerintah sebagai yang disuarakan oleh tokoh-tokoh lintas agama. Suara dan isi tulisan sungguh baik tetapi tindakan dan perbuatan tidak mencerminkan pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Mereka bukan pengayom menegakkan Bhineka Tungal Ika. Mereka adalah serigala yang berbulu domba. Oleh sebab itu, seluruh umat kristiani yang berbaju jirahkan kebenaran, keadilan dan kejujuran harus berani menyampaikan suara kenabian baik secara langsung maupun melalui media elektronik menegur oknum-oknum pemerintah yang tidak berwibawa. Supaya mereka bertobat untuk menjalankan hukum secara adil dan benar. Kendala IMB gereja akan dapat diatasi jikalau ada ketegasan dari aparat pemerintahan mulai dari Presidan sampai kepada Kepala Rukun Tetangga (KRT). Kalau seluruh aparat pemerintahan berjiwa nasionalis –Pancasilais yang secara tegas menindak oknum-oknum dan melarang/menghapuskan ormas-ormas pengacau di negeri ini, cita-cita bangsa yang sejahtera dan damai akan terwujud.
Oleh sebab itu, marilah kita doakan mereka. Tunjukkanlah rasa hormat dan loyalitasmu kepada pemerintah yang berwibawa dan taatilah peraturan yang berlaku. Lakukanlah kewajibanmu. Jadilah garam dan terang di tengah-tengah lingkungan mu. Menjadi pribadi yang komunikatif kepada sesamamu. Tampillah memancarkan sinar yang menyenangkan. Jangan norak oleh karena keberadaanmu. Jadilah saluran kasih Tuhan terhadap orang-orang yang ada disekitarmu supaya kebencian, iri hati dan kecemburuan hilang oleh karena kebaikanmu. Jauhkanlah rintangan-rintangan yang ditimbulkan perpecahan didalam gereja karena perpecahan itu sering menjadi satu alasan untuk tidak memberikan IMB. Hadapilah kenyataan hidup ini dengan berani. Jangan kecut. Tidak akan ada yang dapat melenyapkan gereja dari muka bumi ini walaupun dengan terpaksa harus menghadapai aneka ragam kesulitan. Ingatlah apa yang dikatakan Tuhan Yesus : “Lihatlah, Aku mengutus kamu seperti domba ketengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati (Matius 10 : 16)”.
Hadapilah keadaan itu. Badai akan berlalu sebab; Tuhan akan berperang untuk mu dan kamu akan diam saja (Keluaran 14 : 14). Pembangunan gereja akan menjadi kenyataan sebab urusannya ditangan Tuhan. Dengan diam saja bukan berarti no action tetapi kita diingatkan supaya jangan bersandar pada pikiran dan kemampuanmu, tetapi tunjukkanlah buah-buah imanmu terhadap pemerintah maupun masyarakat sekitarmu.

(Penulis adalah Pdt. Pangauan Purba, Sm.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Februari 2011)

Tidak ada komentar: