Rabu, 09 Maret 2011

ARTIKEL: TELAAH SINGKAT SIKAP AROGAN YANG DITEMUI DALAM PELAYANAN DI GEREJA BERKULTUR BATAK YANG BERSUMBER DARI KEKAYAAN DAN STATUS PERKAWINAN

Di setiap organisasi apapun, baik organisasi di gereja maupun non-gereja selalu saja muncul sikap arogan. Sebenarnya, tidak ada organisasi yang menyatakan bahwa organisasinya adalah organisasi yang arogan ataupun bercorak arogan, namun karena organisasi tersebut dalam kesehariannya dijalankan oleh manusia maka sikap arogan yang menjadi salah satu ciri dari perilaku manusia yang telah jatuh dalam dosa kerap kali bermunculan. Termasuk juga organisasi gereja, walaupun setiap minggu seluruh jemaat mendapatkan siraman Firman Tuhan setiap minggu dan juga menyatakan pengakuan dosa dalam setiap kebaktian minggu, hal tersebut tidak meniadakan munculnya sikap arogan dalam keseharian pelayanan di gereja. Tulisan singkat ini bermaksud membagikan pemahaman dan pengalaman penulis terhadap sikap arogan yang ditemui penulis dalam pelayanan di gereja batak, tentu kurang lebih 75 persen pengalaman ini didapat dari keikutsertaan penulis dalam pelayanan terdahulu di punguan naposobulung di HKBP Semper, selebihnya mungkin yang penulis alami dan ketahui dari pengalaman di resort, distrik dan juga mendengar sharing dari teman-teman naposobulung lain. Tulisan ini tidak bermaksud menjelek-jelekan gereja atau seseorang, tetapi tulisan ini dibuat dengan maksud sebagai bahan koreksi dan masukan untuk pengembangan pelayanan di gereja, khususnya gereja berkultur batak.

I. Definisi Arogan Dan Karateristik Arogansi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBI), arogan berarti sombong dan congkak. Lebih lanjut menurut KBI, secara psikologi, arogan itu mempunyai perasaan superiotas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah. Menurut penulis, superiotas adalah perasaan yang merasa lebih dibanding orang lain, padahal belum tentu lebih dan kalaupun ada kelebihan tidak perlu disewenangkan atau dilebih-lebihkan. Hal-hal yang sering dilebihkan tetapi belum tentu lebih yang menjadi karakteristik arogansi misalnya “lebih tinggi”, “lebih kuat”, “lebih memiliki kuasa/pengaruh”, “lebih hebat”, “lebih mengetahui atau lebih pandai atau lebih jago”, “lebih benar” dibanding orang lain dan sebagainya. Arogansi membuat manusia tidak dapat memandang dirinya dan juga manusia lain secara utuh. Sadar atau tidak ketika kita bertindak arogan, kita telah membuat perbedaan manusia yang seharusnya setara menjadi berkasta.
Sebagai telah penulis singgung diatas, perasaan arogan ini banyak sekali ditemui di masyarakat, di tempat perkuliahan yang intelektualitas menjadi “tuhan”nya pun sering ditemui sikap arogan, mis. ketika pertama kali masuk kuliah, sering dilakukan orientasi pengenalan kampus yang dilakukan oleh senior terhadap junior yang baru masuk. Walaupun tidak tertulis, senior secara lisan selalu menyatakan slogan-slogan: “Pasal 1 senior tidak pernah salah; Pasal 2 Jika senior salah, lihat Pasal 1). Dengan slogan ini, senior bisa berbuat semaunya terhadap juniornya. Slogan ini juga menunjukan bahwa arogansi sudah bertumbuh kembang dalam masyarakat dan mereka yang ada “diatas” menikmati dan tanpa sadar ikut serta dalam melembagakan sikap arogansi ini. Sikap Arogansi sadar atau tidak sadar pun muncul, tumbuh dan berkembang dengan baik dalam gereja batak. Sepertinya, jemaat dan juga parhalado kadang menikmati sikap-sikap arogansi tersebut. Sikap Arogan yang ditemui dalam pelayanan gereja batak tidak terlepas dari pemahaman atas budaya batak yang selama ini menjadi pegangan bagi jemaat gereja batak. Walaupun, kekristenan telah masuk dalam sejarah bangsa Batak, namun budaya batak pra-kristen yang tidak sesuai dengan falsafah iman Kristen masih kental dalam kehidupan jemaat gereja Batak. Memang tidak mudah merubah ini, tetapi kita yang telah mengenal Allah harus terus memperjuangkan perubahan ini, agar kita bisa hidup seturut dengan kehendak Allah. Dalam tulisan ini, akan dibahas sikap-sikap arogansi yang bersumber dari kekayaan dan status perkawinan, serta bagaimana arogansi itu menurut Firman Tuhan. Sebenarnya, selain kekayaan dan status perkawinan, terdapat juga arogansi yang bersumber dari segi lain, misalnya dari segi jenis kelamin, umur, pendidikan dan sebagainya. Namun karena keterbatasan waktu yang diberikan penulis oleh Tim Buletin Narhasem, penulis dengan lancang menyunat permintaan Tim Buletin Narhasem tersebut, penulis mohon maaf untuk itu.

II. Sikap Arogan Yang Ditemui Dalam Pelayanan Gereja Berkultur Batak Yang Bersumber Dari Kekayaan Dan Status Perkawinan
IIA. Arogansi yang bersumber dari kekayaan
Hamoraon (kekayaan) sering dijadikan tujuan hidup manusia. Tak terlepas manusia batak. Manusia Batak sangat mendambakan kekayaan, dengan kekayaan maka dapat dikatakan kita telah memperoleh kesuksesan hidup. Dengan kekayaan, kita dapat mengadakan pesta-pesta adat mewah yang secara tidak langsung dapat menaikan harkat dan martabat di tengah-tengah komunitas Batak. Karenanya, orang Batak umumnya sangat ingin anaknya menjadi orang kaya dikemudian hari. Tidak sedikit sewaktu anak-anak kita diiming-imingi kekayaan supaya rajin belajar. Iming-iming itu dilakukan berulang-ulang sehingga tanpa sadar tertanam dalam hati kita bahwa kekayaanlah yang menjadi tujuan indah dalam kehidupan. Makanya, sewaktu remaja dan naposo kita berjuang untuk mendapatkan kerjaan yang bagus yang tidak lain adalah pekerjaan yang dapat mendapatkan materi atau uang yang banyak. Salahkah kita jikalau berambisi mencari kekayaan yang sebanyak-banyaknya? Tidak, sepanjang kekayaan itu dipakai untuk kemuliaan Tuhan, dalam hal ini tidak dijadikan alat untuk menunjukan arogansi dalam pelayanan gereja. Kita harus akui materi memang diperlukan dalam pelayanan gereja. Karenanya, kita juga berdoa kepada Tuhan agar Tuhan berkenan melimpahkan berkat jasmani kepada jemaat kita. Penulis akan memberikan contoh sikap arogansi yang bersumber dari kekayaan jemaat dan sikap arogansi yang bersumber dari kekayaan gereja.
Pernah dalam suatu pesta parheheon di acara kebaktian minggu sewaktu naposo dulu, saya melihat sendiri ada suatu keluarga yang bukan jemaat HKBP Semper meminta sakramen babtisan kudus secara khusus untuk anaknya (bukan di acara babtisan yang ditetapkan sebelumnya). Mungkin dia harus membabtiskan anaknya karena pendeta resort waktu itu sedang melayani di acara kebaktian di HKBP Semper. Mereka diperlakukan secara “sangat” khusus. Mereka diberikan reservasi 2 baris bangku untuk keluarga besarnya dan rombongannya yang ikut hadir, padahal seharusnya reservasi hanya cukup diberikan kepada kedua orangtua anak yang dibabtiskan saja. Bahkan, opung dari anak yang dibabtis, yang kebetulan seorang sintua yang telah pensiun di HKBP dipersilahkan duduk menghadap jemaat di sebelah pendeta resort yang sedang bertugas, padahal setahu saya pada waktu itu yang duduk disebelah pendeta yang berkhotbah adalah guru huria. Saya merasa orang ini adalah orang yang memiliki kekayaan yang lebih dari jemaat lainnya dan saya dengar sudah banyak sekali uangnya yang telah dipergunakan untuk pelayanan gereja sehingga sepertinya gereja sudah memiliki banyak hutang dan karenanya gereja pantas memperlakukan mereka secara istimewa. Ini hanya dugaan saya, sekali lagi saya menduga, namun jikalau dugaan saya ini benar, maka pada waktu itu kita telah menunjukan contoh arogansi dalam pelayanan. Mari kita berfikir sebaliknya, jikalau ada jemaat miskin meminta babtisan kudus secara khusus kepada pihak gereja kita pada waktu itu, apakah gereja kita akan memberikannya? Jikalau memberikannya apakah dilakukan di kebaktian pagi atau di kebaktian sore saja supaya tidak menggangu kepadatan acara parheheon di kebaktian minggu pada waktu itu? Kemudian juga, apakah gereja akan menyediakan reservasi khusus buat mereka seperti reservasi yang diberikan kepada keluarga kaya yang membabtiskan anaknya seperti contoh diatas? Jikalau, kita menjawab ya atau dengan kata lain tidak membedakan perlakuan terhadap keluarga kaya dan keluarga miskin yang meminta pelayanan dari gereja maka pendapat saya yang menyatakan adanya arogansi pelayanan yang bersumber dari kekayaan adalah pendapat yang keliru.
Contoh pengalaman lain, sikap arogansi yang bersumber dari kekayaan gereja. Ada parhalado yang mengeluh dan menyatakan di depan pengurus naposo pada waktu itu bahwa jumlah persembahan kebaktian naposo tidak sebanding dengan biaya mengadakan kebaktian naposo sehingga kebaktian naposo perlu ditinjau lagi keberadaannya. Penulis sempat terperanjat dan gusar ketika mendengar langsung ucapan ini, mengapa ada pemikiran bahwa pelayanan naposo tidak boleh “merugikan” kekayaan gereja. Berapa sih ruginya “kekayaan” gereja dibanding biaya mengadakan pesta-pesta gereja yang belum tentu maksimal faedahnya dengan pelayanan gereja? Tak sadarkah parhalado pada waktu itu bahwa naposo itu perlu pembinaan yang sejalan dengan jiwa mudanya sehingga pelayanan itu mengena dan berpengaruh kuat dalam jiwa naposo. Naposo dan anak-anak itu masa depan gereja, kalau kita tidak membina naposo dan anak-anak atau membina tapi pelayanan tersebut tidak mengena ke jiwa mereka jangan harapkan gereja kita di masa mendatang dapat tegak berdiri.

IIB. Arogansi yang bersumber dari perkawinan
Salah satu ketidaksukaan banyak naposo sewaktu naposo kalau harkat dan martabat naposo direndahkan karena dia seorang naposo. Padahal banyak sekali Firman Tuhan yang bercerita mengenai injil yang memanggil dan memakai kaum muda dalam pelayanan gereja, sebut saja Daud, Musa, Timotius dan sebagainya. Namun di kalangan gereja berkultur batak, jangan harap naposo memperoleh kedudukan yang seimbang dalam pelayanan di gereja. Kondisi ini tercipta karena adat batak sangat membedakan sekali antara orang yang sudah kawin dan orang yang belum kawin. Hanya orang-orang yang sudah kawin saja yang dapat menerima memiliki posisi penting dan memiliki jambar (bagian) dalam acara-acara adat batak, sementara orang yang belum kawin, walaupun umurnya sudah lanjut, tetap saja tidak mendapatkan jambar apapun. Dalam tulisan ini, saya tidak mau mengkritisi adat batak, tetapi tolong jangan bawa-bawa aturan di adat batak mengenai perkawinan tersebut dengan aturan di gereja yang seharusnya tidak membeda-bedakan manusia dari status perkawinannya. Pendapat penulis ini jangan diartikan saya anti adat batak, banyak adat batak yang baik dan mencerahkan kehidupan saya dan saya bangga dan bersyukur menjadi orang batak, apalagi batak kristen.
Perhatikan dalam kepanitian-kepanitian gereja berkultur batak, setidaknya yang saya alami, posisi-posisi strategis selalu diberikan kepada orang tua, naposo hanya diberikan posisi-posisi pelayanan yang “parhobas” misalnya penerima tamu, pembantu umum atau hiburan dan paling tinggi menjadi salah satu wakil sekretaris supaya bisa disuruh menjadi pengetik, pokoknya ujung-ujungnya “holan parhobas”. Sedangkan posisi strategis sebagai salah satu penentu kebijakan selalu diserahkan kepada orang tua. Memang, sejatinya posisi apapun adalah parhobas, yaitu melayani Tuhan dan tidak ada pembedaan melayani Tuhan apapun jenis posisi pelayanannya. Tetapi, janganlah mengangkat atau meletakan posisi orang dalam pelayanan dengan secara tidak langsung memastikan dahulu status perkawinannya sudah atau belum. Lihat kemampuan dan komitmennya, itu yang penting. Tidak ada dasar landasannya yang menyatakan suatu kepanitiaan gereja akan berjalan dengan baik kalau dipimpin oleh orang-orang yang telah kawin. Kawin dan tidak kawin tidak dapat dijadikan landasan untuk menentukan posisi pelayanan di gereja, setiap jemaat yang mengasihi Tuhan, memiliki kemampuan dan komitmen yang baik, statusnya sudah kawin maupun belum kawin, menurut penulis dapat terlibat dalam jenis pelayanan apapun di gereja, termasuk posisi pelayanan yang strategis. Memang ada orang yang sudah kawin memiliki kemampuan dan komitmen baik dalam pelayanan, penulis setuju kalau mereka diberi posisi strategis dalam pelayanan, tetapi menurut penulis ada juga naposo yang memiliki kemampuan dan komitmen yang tidak kalah bahkan melebihi orang yang telah kawin sehingga layak diberi posisi pelayanan yang penting baginya.
Satu hal, penulis juga bersyukur kalau HKBP telah berani mengangkat sintua dari kalangan naposo, itu adalah terobosan yang baik dan semoga ini dapat diterapkan dengan maksimal di gereja berkultur batak. Percayalah, banyak potensi dan semangat kemudaan yang diperlukan dalam pelayanan di gereja berkultur batak. Sayang kalau hal ini disia-siakan. Terobosan ini secara tidak langsung mau menyatakan HKBP sebagai salah satu gereja berkultur batak sudah mengakui kemampuan naposo dalam terlibat aktif dalam pelayanan gereja yang bersifat strategis. Kalau menjadi sintua saja sudah boleh, kenapa terlibat dalam posisi strategis kepanitiaan belum bisa? Bisa donk...

III. Arogansi Menurut Alkitab dan Bagaimana Seharusnya Pelayan Bersikap?
Sebagaimana telah dijelaskan diatas arogansi adalah sifat sombong dan congkak. Secara tegas dikatakan dalam Amsal 21:4 bahwa hati yang sombong adalah pelita orang fasik dan itu adalah dosa. Demikian pula dalam Amsal 6:16-17 secara tegas Allah menyatakan kesombongan adalah salah satu dari tujuh perkara yang paling dibenci oleh Tuhan. Karenanya dalam dalam Yakobus 4:6 tersurat Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati. Sehingga, tidak ada tempatnya arogansi dalam kehidupan orang percaya. Memang bukan berarti dengan menjadi Kristen otomatis sikap-sikap arogansi itu akan hilang atau akan mudah kita hilangkan dalam diri kita. Mengilangkan arogansi dalam kehidupan manusia termasuk pelayan adalah suatu proses penjang yang kadang membuat hati kita menangis, namun jika kita terbuka untuk dikoreksi dan diperbaharui Tuhan maka Tuhan akan memampukan kita menjadi orang yang menjauhkan arogansi dalam kehidupan kita. Tinggal kita, maukah kita berusaha menjauhkan sikap arogansi dalam kehidupan kita?
Contoh tokoh-tokoh Alkitab yang tidak bersikap arogan antara lain adalah Yusuf dan Tuhan Yesus sendiri. Yusuf tidak arogan kepada saudara-saudaranya yang telah mencampakan dia, dia tetap mengasihi dan rendah hati walau hukum memungkinkan dia pada waktu itu untuk menghukum saudara-saudaranya yang mencampakkan dia. Walau dia seorang pejabat tinggi di Mesir pada waktu itu yang memiliki kuasa yang tinggi, dia tidak menggunakan kuasanya untuk berlaku arogan kepada saudara-saudaranya tersebut, melainkan kuasanya dipakai untuk menyatakan kasih dan kerendah-hatian. Lebih lagi Tuhan Yesus, dia rela disiksa dan akhirnya mati demi dosa manusia. Tak ternilai pengorbanan dan teladan rendah hati yang ditunjukan Tuhan Yesus.
Bagaimana dengan kita, apakah ada cara agar kita melepaskan dan menjauhkan diri dari sikap arogansi? Tentu ada, sebagai langkah awal bagi pelayan untuk menjauhkan sikap arogansi adalah marilah kita memeriksa dan menyadari siapa diri kita di hadapan Tuhan. Kita adalah manusia berdosa yang dilayakkan Tuhan menerima pengampunan dosa dan diperkenankan Tuhan menjadi pelayannya, maka marilah pelayan Tuhan memegahkan keselamatan Tuhan sebagai hal yang istimewa dan tidak tertandingi dengan apapun juga. Kita harus memiliki pikiran bahwa keselamatan dari Tuhan melebihi harta kita, melebihi aturan-aturan dunia yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, melebihi adat-adat batak yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, bahkan melebihi orang-orang yang kita kasihi sekalipun. Dengan memiliki pemahaman ini maka niscaya kita akan menjauhkan diri dari arogansi walaupun harta kita banyak atau status kita telah kawin atau umur kita jauh lebih tua atau karena pendidikan kita sangat tinggi, dan sebagainya. Langkah selanjutnya adalah, marilah kita mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan kita atau setidaknya marilah memperlakukan orang lain seperti memperlakukan diri kita sendiri. Yang “berlebih”, janganlah menggunakan kelebihannya untuk menunjukan superioritasnya terhadap orang lain, tetapi tetap mengasihi dan rendah hati kepada yang “berkekurangan”. Tuhan Memberkati kita semua.

(Penulis adalah Benny Manurung, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Maret 2011)

Tidak ada komentar: