Redaksi Narhasem meminta saya untuk menulis dengan topik seperti di atas. Berdasarkan pemahaman klasik, bahwa naposobulung adalah mereka yang belum kawin, maka mereka yang namanya mantan naposobulung ialah mereka yang sudah menikah. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, orang yang disebut mantan naposobulung ialah pasangan muda yang belum terlalu lama menikah.
Flash Back
Gereja HKBP dengan tegas membagi anggota jemaatnya ke dalam beberapa kategori. Hal itu diatur di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Kategori itu ialah: sekolah minggu, remaja, naposobulung, parompuan dan ama. Di sekolah minggu, ada anak laki dan perempuan. Demikian juga di remaja dan naposobulung. Tetapi setelah orang menikah, HKBP tidak lagi membina warganya dalam konteks laki dan perempuan. Terjadi pemisahan antara pria dan wanita. Kapan keluarga muda itu dapat pelayanan secara intens? HKBP tidak menyediakan sarana bagi keluarga muda mendapat pelayanan. Mungkin dianggap sudah cukup, melalui kebaktian sektor, atau lungguk, mungkin juga ada anggapan yang mengatakan bahwa biarlah mereka turut ambil bagian dalam pelayanan kategori parompuan dan kategori ama.
Tetapi, kenyataan yang sangat kasat mata di hadapan kita ialah: sangat tidak banyak pasangan suami isteri yang terlibat dalam kegiatan kategorial. Jika sang isteri aktif di seksi parompuan, sangat tidak pasti, sang bapa akan aktif di seksi ama. Kenyataan pun mengatakan bahwa dalam kebaktian-kebaktian sektor, sangat jarang keluarga muda datang ke dalam kebaktian tersebut. Lalu, kapan mereka mendapatkan pelayanan yang intens?
Hal ini diperparah lagi dengan fakta yang mengatakan tidak adanya konseling nikah yang intens diadakan Gereja HKBP untuk pasangan yang akan menikah. Di HKBP Menteng, memang diadakan. Tetapi itu hanya dua kali pertemuan dengan pendeta. Bandingkan dengan Gereja GKI yang mengadakan konseling nikah selama satu tahun! Jika penulis tidak salah, HKBP Menganggap, anggota jemaat yang sudah sidi, dianggap sudah dewasa imannya. Oleh karena itu, pembinaan kepada anggota jemaat, cukup melalui porsi yang sudah ada sejak zaman para missionar melayani di Tanah Batak.
Kenyataan tidak! Bukan lagi rahasia, anggota jemaat HKBP yang baru menikah, telah cerai di pengadilan. Kita harus mengadakan satu pelayanan yang intens kepada keluarga-keluarga muda HKBP yang sekarang sedang menghadapi masalah yang jauh lebih sulit dari para orang tua mereka di puluhan tahun yang lalu. Sebagai jawaban atas kebutuhan itu, penulis mengadakan penelahan Alkitab bagi pasangan muda ini di HKBP Menteng Jakarta. Sekarang ini, ada keluarga muda yang turut ambil bagian di dalamnya terdapat 20 kepala keluarga. Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat turut ambil bagian di dalam penelahan Alkitab ini ialah: mereka yang hadir, haruslah pasangan suami isteri. Karena itu, kami menyebut PA itu PA Pasutri, akronim untuk pasangan suami isteri.
UUD Pernikahan Kristen
Alkitab mengatakan bahwa keluarga adalah institusi yang Allah dirikan di dunia ini. Oleh karena itu, setiap orang yang mau mendirikan keluarga, mereka harus memahami apa dan bagaimana keluarga itu dijalankan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah untuk satu keluarga. Oleh karena itu, pembinaan yang sangat mendasar pun harus diberikan kepada pasangan baru itu yakni: memahami dengan benar makna dari ayat yang disebut orang sebagai undang-undang dasar pernikahan Kristen. Nas itu adalah Kej. 2:24. Di sana sangat jelas dikatakan bahwa mereka yang menikah itu dulunya terdiri dari dua pribadi, sekarang menjadi satu. Demikianlah Tuhan Yesus menafsirkan ayat itu dalam kitab Injil.
Prinsip yang dipakai Alkitab di dalam membangun senantiasa merusak lebih dahulu, barulah dibentuk sesuatu yang baru! Hal ini sangat jelas disuarakan nabi Yeremia pada bangsa Israel. Kita membacanya dalam Yer. 1:10. Yeremia diperintahkan untuk mencabut, merobohkan, baru kemudian membangun dan menaman. Tatkala kedua pribadi yang mempersatukan diri dalam pernikahan, mereka memiliki pribadi yang unik! Agar kedua pribadi itu dapat dipersatukan dalam ikatan yang kudus, maka hal pertama yang harus dilakukan ialah: menanggalkan pribadi yang lama, lalu bersama-sama mengenakan pribadi yang baru di dalam Tuhan. Proses menanggalkan yang lama itu kita sebut dengan istilah: mencabut, merobohkan. Sementara mengenakan pribadi yang baru kita sebut dengan istilah: membangun dan menanam.
Picasso, seorang maestro di bidang seni lukis pernah mengatakan: "setiap karya seni dimulai dengan tindakan pengrusakan". Dari sesuatu yang dihancurkan, dirusak, keluarlah satu karya senih yang indah. Jika kita ingin membangun sebuah rumah tangga yang indah dan berseni, maka hal yang pertama harus kita lakukan ialah: merusak, atau meninggalkan pola kehidupan yang lama, dan bersama dengan pasangan kita, mulai mengenakan yang baru. Untuk itu, diperlukan proses belajar bersama. Tidak akan terjadi pengrusakan, atau proses menanggalkan, bilamana hanya satu sisi dari keluarga itu yang belajar. Itulah sebabnya kita harus mengadakan pembinaan secara bersama untuk pasangan suami dan isteri.
Cara Berpikir
Ada orang yang mengatakan bahwa perilaku orang ditentukan oleh pola pikir manusia itu sendiri. Tatkala kita bertindak, perilaku kita akan menjadi acuan dari tindak tanduk kita. Di sisi lain, dunia kita sekarang ini sudah sangat kental terkontaminasi 'roh' individualisme. Sementara di sisi lain, Alkitab mengajarkan kepada kita, 'roh' yang seharusnya bekerja di dalam diri kita ialah: 'roh kolektivisme'. Alkitab mengatakan bahwa persekutuan orang percaya itu digambarkan sebagai 'tubuh Kristus'. Para orang tua kita masih hidup dalam roh kolektivisme itu, sekalipun roh individualisme telah merasuk ke dalam hati mereka. Adat Batak yang mengajarkan kolektivisme, menjadi sarana bagi mereka untuk memupuk roh kolektivisme di dalam diri mereka. Kita dengan pasti, anak muda sekarang ini, tidak lagi berada di bawah pengaruh adat Batak yang intens. Sekarang ini, pergaulan anak muda Batak lebih banyak dengan orang di luar suku Batak. Inter relasi dengan orang di luar suku Batak, membuka mata hati mereka tentang pilihan lain di dalam hidup ini, di luar orang Batak.
Marilah kita melihat salah satu contoh kecil. Tatkala seseorang menikah, ia tidak sendiri lagi. Di dalam dirinya telah didepositkan pasangannya. Apalagi tatkala ia telah punya anak. Ia telah menjadi amani/nai anu! Kemana pun, ia pergi, pada hakekatnya anak dan isteri/suami itu, turut bersama dengan dia. Ingat, ia sudah berubah nama. Namanya sekarang ialah: bapanya/ibunya anu! Namun, karena produk dari roh individualisme, orang tetap merasa ia sendiri, tatkala ia berada di kantor, di luar rumah. Oleh karena itu, perilaku mereka tetap mengacu kepada pribadi mereka sebelum menikah. Pola seperti ini seharusnya dirusak! Melalui kerusakan pola pikir seperti itu, maka tiap-tiap orang akan belajar untuk mengenakan pola pikir yang baru. Pola pikir baru itu ialah: aku adalah satu pribadi yang di dalam diriku, ada isteri/suami dan anak-anak.
Pola yang dipakai orang Batak dalam memahami dirinya sebagai satu pribadi yang di dalamnya ada kolektivitas, pada hakekatnya adalah pola yang juga diajarkan Alkitab untuk diterapkan setiap orang Kristen. Kita salah satu contoh yang diajarkan kepada kita oleh Rasul Paulus dalam surat Efesus. "buanglah dusta dan berkatalah benar seorang terhadap yang lain, karena kita adalah sesama anggota" demikian kata Rasul Paulus dalam Ef. 4:25. Mengapa saya tidak perlu berdusta kepada sesama? Asumsi yang dipakai Rasul Paulus ialah: kita adalah anggota tubuh Kristus. Jadi, tatkala saya mendustai orang Kristen, maka pada hakekatnya, saya mendustai diri sendiri. Prinsip ini sangat pas dipraktekkan di dalam hidup rumah tangga.
Alkitab mengatakan bahwa suami mengasihi isterinya seperti ia mengasihi tubuhnya sendiri. Jika setiap suami atau isteri memahami bahwa partnernya adalah bagian yang tak terpisahkan dari dirinya sendiri, maka takkan ada dusta di antara mereka. Dusta tidak menguntungkan orang yang saling mengasihi. Oleh karena itu, dusta adalah sesuatu yang merugikan diri sendiri. Hal ini sangat benar, jika landasan dari relasi di dalam keluarga adalah kasih.
Sisi lain yang dibahas Paulus dalam pasal yang sama dalam surat yang sudah kita kutip di atas ialah masalah marah. Marah di dalam konteks kasih, punya batas. Itulah sebabnya Paulus mengatakan bahwa marah itu harus berakhir jika matahari terbenam. Bukankah hal yang sama harus dilaksanakan di dalam kehidupan berkeluarga? Sisi yang ketiga diutarakan Paulus dalam pasal itu ialah: soal mencuri dan bekerja. Hal-hal ini menjadi bagian hidup yang sangat pas untuk diterapkan dalam konteks hidup berkeluarga dalam perspektif kolektifisme. Kita berpikir, masalah berdusta, marah dan mencuri adalah masalah pribadi kita semata-mata, tanpa ada korelasinya dalam persekutuan keluarga kita. Alkitab mengatakan masalah itu tidaklah seperti yang kita perkirakan. Pola pikir seperti itu perlu mendapatkan perubahan.
Dalam rangka merubah pola pikir inilah, kita mengadakan pelayanan yang intens kepada para pasangan muda ini. Melalui pelayanan yang berkesinambungan, maka setahap demi setahap, diharapkan roh kolektivisme itu akan mengairi hati dari tiap-tiap keluarga muda yang tidak lagi tertarik kepada adat Batak yang menaburkan pola pikir kolektivisme yang sangat Kristen! Jika tidak ada counter attack terhadap pengaruh individualisme yang begitu menggerogoti hati kita, maka ditakutkan, akan ada degradasi iman yang sangat deras menggerus kehidupan beriman anggota jemaat di masa mendatang. Roh individualisme pada akhirnya mendewakan diri sendiri. Produknya yang terburuk ialah: tidak ada lagi tempat untuk Tuhan di dalam kehidupannya.
Menyatu
Sisi kedua dari undang-undang dasar pernikahan Kristen sebagaimana telah kita bicarakan di atas mengatakan bahwa orang yang menikah itu akan menyatu dengan isterinya. Setelah meninggalkan, sekarang datanglah bagian kedua, yakni: menyatu. Dua pribadi menjadi satu. Penyatuan ini merupakan pekerjaan yang tersulit di dalam hidup ini. Ada orang menjalani proses ini di sepanjang hidupnya. Gambaran yang paling agung yang pernah didemonstrasikan di dunia ini, tentang penyatuan ialah: Allah menjadi manusia! Untuk bisa menjadi manusia, Yesus mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba. Proses ini menjadi acuan bagi kita untuk mempersatukan diri di dalam satu keluarga yang memuliakan Tuhan di dalam kehidupan ini.
Bilamana kita perhatikan dengan seksama, langkah yang diambil Tuhan Yesus dalam rangka menjadi manusia, sebagaimana diuraikan Paulus dalam surat Filipi, maka kita akan menemukan pola yang sama seperti diutarakan di atas. Yesus mengosongkan diri lebih dahulu, lalu Ia mengambil rupa seorang hamba. Kita menggarisbawahi kata mengambil rupa. Inilah tindakan yang kita perlukan untuk diterapkan di dalam hidup pernikahan Kristen. Tiap pribadi yang telah mengikatkan diri dalam pernikahan yang kudus itu, perlu 'mengambil rupa' menjadi seorang isteri dan seorang suami yang telah dipersatukan Allah.
Bila proses 'mengambil rupa' ini berlanjut, maka langkah berikutnya adalah: merendahkan diri dan taat. Ketaatan adalah sesuatu yang dipelajari. Ketaatan tidak ada dengan sendirinya di dalam hidup kita. Pada hakekatnya kita adalah pemberontak. Untuk ini, kita perlu mengadakan pembinaan yang intens, agar selangkah demi selangkah, ketaatan itu akan terakulturasi di dalam hidup kita.
Bersekutu
Langkah ketiga dalam undang undang pernikahan Kristen itu ialah: persekutuan. Secara harfiah dikatakan menjadi satu daging. Seks adalah persekutuan yang paling intim dalam kehidupan manusia. Tetapi sekarang, dalam kehidupan manusia yang sangat individualistis, seks menjadi sesuatu yang hanya bersifat daging semata-mata. Allah mendisain seks menjadi satu sarana bagi manusia untuk memahami eksistensinya sebagai manusia dalam gambar Allah. Alkitab mengatakan bahwa seks adalah sebuah misteri. Tatkala seks diobral sebagaimana dilakukan dunia barat khususnya,maka misterinya pun hilang.
Persekutuan yang bersifat rohani inilah yang harus dipelajari setiap pasangan Kristen yang mengikatkan diri dalam pernikahan kudus. Mempelajari hal ini, tidaklah berakhir dalam tempo yang singkat. Oleh karena itu, belajar untuk menikmati persekutuan dalam nikah yang kudus adalah sebuah proses belajar seumur hidup. Oleh karena itu pula, pembinaan terhadap pasangan Kristen pun haruslah dilakukan seumur hidup pula.
Apalagi Tuhan telah mengaruniakan anak kepada kita. Seorang hamba Tuhan yang melayani dalam konseling keluarga Kristen mengatakan bahwa tiap anak membawa sebuah amplop dari Tuhan, tatkala ia hadir di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang dapat membuka amplop itu, kecuali dirinya sendiri. Para orang tua diminta agar mereka mendidik anak itu sedemikian rupa, agar di masa depannya, ia akan dimampukan untuk membuka amplop tersebut. Di dalam amplop itu, ada tertulis rencana Allah bagi masa depannya.
Musa menyampaikan firman Tuhan kepada bangsa Israel, agar setiap orang tua mempergunakan segala kesempatan untuk mengajarkan firman Tuhan yang telah mereka terima kepada anak-anaknya. Kita pun menerima firman itu melalui Gereja-Nya yang kudus. Pola persekutuan seperti ini harus diciptakan alagi dunia sekarang sudah sangat individualis. Bahkan orang sekarang ini telah memisahkan dirinya bahkan dengan anaknya sendiri. Strutur keluarga sekarang sudah sangat berbeda dengan para pendahulu kita. Anak adalah bagian tak terpisahkan dari dalam kehidupan orang tua. Itu dulu. Sekarang anak adalah bagian dari persekutuan keluarga yang diikat oleh norma yang sangat rapuh. Ikatan itu mungkin hanya dalam konteks hukum atau norma dalam masyarakat. Tatkala kepentingan pribadi sangat mendesak, kepentingan anak mendapatkan porsi yang paling akhir dalam hal mengambil keputusan.
Untuk menangkal semua hal-hal yang negatif produk dari zaman ini, kita sangat memutuhkan sebuah wadah untuk membina keutuhan keluarga. Orang dapat mengasah dan diasah dalam wadah itu. Semoga HKBP dapat melihat kebutuhan warganya dalam hal pembinaan terhadap keluarga-keluarga muda yang sekarang sedang mengalami pertempuran dahsyat dengan 'roh zaman' ini. Jika mereka kalah dalam pertempuran itu, maka masa depan Gereja pun tidak dapat dibayangkan. Sebab, anak-anak mereka inilah yang akan menentukan masa depan Gereja HKBP. Marilah kita merintis jalan yang akan mereka tempuh dengan selamat dan dalam damai sejahtera Tuhan.
(Penulis adalah St. Hotman Ch. Siahaan, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2008)
Flash Back
Gereja HKBP dengan tegas membagi anggota jemaatnya ke dalam beberapa kategori. Hal itu diatur di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Kategori itu ialah: sekolah minggu, remaja, naposobulung, parompuan dan ama. Di sekolah minggu, ada anak laki dan perempuan. Demikian juga di remaja dan naposobulung. Tetapi setelah orang menikah, HKBP tidak lagi membina warganya dalam konteks laki dan perempuan. Terjadi pemisahan antara pria dan wanita. Kapan keluarga muda itu dapat pelayanan secara intens? HKBP tidak menyediakan sarana bagi keluarga muda mendapat pelayanan. Mungkin dianggap sudah cukup, melalui kebaktian sektor, atau lungguk, mungkin juga ada anggapan yang mengatakan bahwa biarlah mereka turut ambil bagian dalam pelayanan kategori parompuan dan kategori ama.
Tetapi, kenyataan yang sangat kasat mata di hadapan kita ialah: sangat tidak banyak pasangan suami isteri yang terlibat dalam kegiatan kategorial. Jika sang isteri aktif di seksi parompuan, sangat tidak pasti, sang bapa akan aktif di seksi ama. Kenyataan pun mengatakan bahwa dalam kebaktian-kebaktian sektor, sangat jarang keluarga muda datang ke dalam kebaktian tersebut. Lalu, kapan mereka mendapatkan pelayanan yang intens?
Hal ini diperparah lagi dengan fakta yang mengatakan tidak adanya konseling nikah yang intens diadakan Gereja HKBP untuk pasangan yang akan menikah. Di HKBP Menteng, memang diadakan. Tetapi itu hanya dua kali pertemuan dengan pendeta. Bandingkan dengan Gereja GKI yang mengadakan konseling nikah selama satu tahun! Jika penulis tidak salah, HKBP Menganggap, anggota jemaat yang sudah sidi, dianggap sudah dewasa imannya. Oleh karena itu, pembinaan kepada anggota jemaat, cukup melalui porsi yang sudah ada sejak zaman para missionar melayani di Tanah Batak.
Kenyataan tidak! Bukan lagi rahasia, anggota jemaat HKBP yang baru menikah, telah cerai di pengadilan. Kita harus mengadakan satu pelayanan yang intens kepada keluarga-keluarga muda HKBP yang sekarang sedang menghadapi masalah yang jauh lebih sulit dari para orang tua mereka di puluhan tahun yang lalu. Sebagai jawaban atas kebutuhan itu, penulis mengadakan penelahan Alkitab bagi pasangan muda ini di HKBP Menteng Jakarta. Sekarang ini, ada keluarga muda yang turut ambil bagian di dalamnya terdapat 20 kepala keluarga. Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat turut ambil bagian di dalam penelahan Alkitab ini ialah: mereka yang hadir, haruslah pasangan suami isteri. Karena itu, kami menyebut PA itu PA Pasutri, akronim untuk pasangan suami isteri.
UUD Pernikahan Kristen
Alkitab mengatakan bahwa keluarga adalah institusi yang Allah dirikan di dunia ini. Oleh karena itu, setiap orang yang mau mendirikan keluarga, mereka harus memahami apa dan bagaimana keluarga itu dijalankan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah untuk satu keluarga. Oleh karena itu, pembinaan yang sangat mendasar pun harus diberikan kepada pasangan baru itu yakni: memahami dengan benar makna dari ayat yang disebut orang sebagai undang-undang dasar pernikahan Kristen. Nas itu adalah Kej. 2:24. Di sana sangat jelas dikatakan bahwa mereka yang menikah itu dulunya terdiri dari dua pribadi, sekarang menjadi satu. Demikianlah Tuhan Yesus menafsirkan ayat itu dalam kitab Injil.
Prinsip yang dipakai Alkitab di dalam membangun senantiasa merusak lebih dahulu, barulah dibentuk sesuatu yang baru! Hal ini sangat jelas disuarakan nabi Yeremia pada bangsa Israel. Kita membacanya dalam Yer. 1:10. Yeremia diperintahkan untuk mencabut, merobohkan, baru kemudian membangun dan menaman. Tatkala kedua pribadi yang mempersatukan diri dalam pernikahan, mereka memiliki pribadi yang unik! Agar kedua pribadi itu dapat dipersatukan dalam ikatan yang kudus, maka hal pertama yang harus dilakukan ialah: menanggalkan pribadi yang lama, lalu bersama-sama mengenakan pribadi yang baru di dalam Tuhan. Proses menanggalkan yang lama itu kita sebut dengan istilah: mencabut, merobohkan. Sementara mengenakan pribadi yang baru kita sebut dengan istilah: membangun dan menanam.
Picasso, seorang maestro di bidang seni lukis pernah mengatakan: "setiap karya seni dimulai dengan tindakan pengrusakan". Dari sesuatu yang dihancurkan, dirusak, keluarlah satu karya senih yang indah. Jika kita ingin membangun sebuah rumah tangga yang indah dan berseni, maka hal yang pertama harus kita lakukan ialah: merusak, atau meninggalkan pola kehidupan yang lama, dan bersama dengan pasangan kita, mulai mengenakan yang baru. Untuk itu, diperlukan proses belajar bersama. Tidak akan terjadi pengrusakan, atau proses menanggalkan, bilamana hanya satu sisi dari keluarga itu yang belajar. Itulah sebabnya kita harus mengadakan pembinaan secara bersama untuk pasangan suami dan isteri.
Cara Berpikir
Ada orang yang mengatakan bahwa perilaku orang ditentukan oleh pola pikir manusia itu sendiri. Tatkala kita bertindak, perilaku kita akan menjadi acuan dari tindak tanduk kita. Di sisi lain, dunia kita sekarang ini sudah sangat kental terkontaminasi 'roh' individualisme. Sementara di sisi lain, Alkitab mengajarkan kepada kita, 'roh' yang seharusnya bekerja di dalam diri kita ialah: 'roh kolektivisme'. Alkitab mengatakan bahwa persekutuan orang percaya itu digambarkan sebagai 'tubuh Kristus'. Para orang tua kita masih hidup dalam roh kolektivisme itu, sekalipun roh individualisme telah merasuk ke dalam hati mereka. Adat Batak yang mengajarkan kolektivisme, menjadi sarana bagi mereka untuk memupuk roh kolektivisme di dalam diri mereka. Kita dengan pasti, anak muda sekarang ini, tidak lagi berada di bawah pengaruh adat Batak yang intens. Sekarang ini, pergaulan anak muda Batak lebih banyak dengan orang di luar suku Batak. Inter relasi dengan orang di luar suku Batak, membuka mata hati mereka tentang pilihan lain di dalam hidup ini, di luar orang Batak.
Marilah kita melihat salah satu contoh kecil. Tatkala seseorang menikah, ia tidak sendiri lagi. Di dalam dirinya telah didepositkan pasangannya. Apalagi tatkala ia telah punya anak. Ia telah menjadi amani/nai anu! Kemana pun, ia pergi, pada hakekatnya anak dan isteri/suami itu, turut bersama dengan dia. Ingat, ia sudah berubah nama. Namanya sekarang ialah: bapanya/ibunya anu! Namun, karena produk dari roh individualisme, orang tetap merasa ia sendiri, tatkala ia berada di kantor, di luar rumah. Oleh karena itu, perilaku mereka tetap mengacu kepada pribadi mereka sebelum menikah. Pola seperti ini seharusnya dirusak! Melalui kerusakan pola pikir seperti itu, maka tiap-tiap orang akan belajar untuk mengenakan pola pikir yang baru. Pola pikir baru itu ialah: aku adalah satu pribadi yang di dalam diriku, ada isteri/suami dan anak-anak.
Pola yang dipakai orang Batak dalam memahami dirinya sebagai satu pribadi yang di dalamnya ada kolektivitas, pada hakekatnya adalah pola yang juga diajarkan Alkitab untuk diterapkan setiap orang Kristen. Kita salah satu contoh yang diajarkan kepada kita oleh Rasul Paulus dalam surat Efesus. "buanglah dusta dan berkatalah benar seorang terhadap yang lain, karena kita adalah sesama anggota" demikian kata Rasul Paulus dalam Ef. 4:25. Mengapa saya tidak perlu berdusta kepada sesama? Asumsi yang dipakai Rasul Paulus ialah: kita adalah anggota tubuh Kristus. Jadi, tatkala saya mendustai orang Kristen, maka pada hakekatnya, saya mendustai diri sendiri. Prinsip ini sangat pas dipraktekkan di dalam hidup rumah tangga.
Alkitab mengatakan bahwa suami mengasihi isterinya seperti ia mengasihi tubuhnya sendiri. Jika setiap suami atau isteri memahami bahwa partnernya adalah bagian yang tak terpisahkan dari dirinya sendiri, maka takkan ada dusta di antara mereka. Dusta tidak menguntungkan orang yang saling mengasihi. Oleh karena itu, dusta adalah sesuatu yang merugikan diri sendiri. Hal ini sangat benar, jika landasan dari relasi di dalam keluarga adalah kasih.
Sisi lain yang dibahas Paulus dalam pasal yang sama dalam surat yang sudah kita kutip di atas ialah masalah marah. Marah di dalam konteks kasih, punya batas. Itulah sebabnya Paulus mengatakan bahwa marah itu harus berakhir jika matahari terbenam. Bukankah hal yang sama harus dilaksanakan di dalam kehidupan berkeluarga? Sisi yang ketiga diutarakan Paulus dalam pasal itu ialah: soal mencuri dan bekerja. Hal-hal ini menjadi bagian hidup yang sangat pas untuk diterapkan dalam konteks hidup berkeluarga dalam perspektif kolektifisme. Kita berpikir, masalah berdusta, marah dan mencuri adalah masalah pribadi kita semata-mata, tanpa ada korelasinya dalam persekutuan keluarga kita. Alkitab mengatakan masalah itu tidaklah seperti yang kita perkirakan. Pola pikir seperti itu perlu mendapatkan perubahan.
Dalam rangka merubah pola pikir inilah, kita mengadakan pelayanan yang intens kepada para pasangan muda ini. Melalui pelayanan yang berkesinambungan, maka setahap demi setahap, diharapkan roh kolektivisme itu akan mengairi hati dari tiap-tiap keluarga muda yang tidak lagi tertarik kepada adat Batak yang menaburkan pola pikir kolektivisme yang sangat Kristen! Jika tidak ada counter attack terhadap pengaruh individualisme yang begitu menggerogoti hati kita, maka ditakutkan, akan ada degradasi iman yang sangat deras menggerus kehidupan beriman anggota jemaat di masa mendatang. Roh individualisme pada akhirnya mendewakan diri sendiri. Produknya yang terburuk ialah: tidak ada lagi tempat untuk Tuhan di dalam kehidupannya.
Menyatu
Sisi kedua dari undang-undang dasar pernikahan Kristen sebagaimana telah kita bicarakan di atas mengatakan bahwa orang yang menikah itu akan menyatu dengan isterinya. Setelah meninggalkan, sekarang datanglah bagian kedua, yakni: menyatu. Dua pribadi menjadi satu. Penyatuan ini merupakan pekerjaan yang tersulit di dalam hidup ini. Ada orang menjalani proses ini di sepanjang hidupnya. Gambaran yang paling agung yang pernah didemonstrasikan di dunia ini, tentang penyatuan ialah: Allah menjadi manusia! Untuk bisa menjadi manusia, Yesus mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba. Proses ini menjadi acuan bagi kita untuk mempersatukan diri di dalam satu keluarga yang memuliakan Tuhan di dalam kehidupan ini.
Bilamana kita perhatikan dengan seksama, langkah yang diambil Tuhan Yesus dalam rangka menjadi manusia, sebagaimana diuraikan Paulus dalam surat Filipi, maka kita akan menemukan pola yang sama seperti diutarakan di atas. Yesus mengosongkan diri lebih dahulu, lalu Ia mengambil rupa seorang hamba. Kita menggarisbawahi kata mengambil rupa. Inilah tindakan yang kita perlukan untuk diterapkan di dalam hidup pernikahan Kristen. Tiap pribadi yang telah mengikatkan diri dalam pernikahan yang kudus itu, perlu 'mengambil rupa' menjadi seorang isteri dan seorang suami yang telah dipersatukan Allah.
Bila proses 'mengambil rupa' ini berlanjut, maka langkah berikutnya adalah: merendahkan diri dan taat. Ketaatan adalah sesuatu yang dipelajari. Ketaatan tidak ada dengan sendirinya di dalam hidup kita. Pada hakekatnya kita adalah pemberontak. Untuk ini, kita perlu mengadakan pembinaan yang intens, agar selangkah demi selangkah, ketaatan itu akan terakulturasi di dalam hidup kita.
Bersekutu
Langkah ketiga dalam undang undang pernikahan Kristen itu ialah: persekutuan. Secara harfiah dikatakan menjadi satu daging. Seks adalah persekutuan yang paling intim dalam kehidupan manusia. Tetapi sekarang, dalam kehidupan manusia yang sangat individualistis, seks menjadi sesuatu yang hanya bersifat daging semata-mata. Allah mendisain seks menjadi satu sarana bagi manusia untuk memahami eksistensinya sebagai manusia dalam gambar Allah. Alkitab mengatakan bahwa seks adalah sebuah misteri. Tatkala seks diobral sebagaimana dilakukan dunia barat khususnya,maka misterinya pun hilang.
Persekutuan yang bersifat rohani inilah yang harus dipelajari setiap pasangan Kristen yang mengikatkan diri dalam pernikahan kudus. Mempelajari hal ini, tidaklah berakhir dalam tempo yang singkat. Oleh karena itu, belajar untuk menikmati persekutuan dalam nikah yang kudus adalah sebuah proses belajar seumur hidup. Oleh karena itu pula, pembinaan terhadap pasangan Kristen pun haruslah dilakukan seumur hidup pula.
Apalagi Tuhan telah mengaruniakan anak kepada kita. Seorang hamba Tuhan yang melayani dalam konseling keluarga Kristen mengatakan bahwa tiap anak membawa sebuah amplop dari Tuhan, tatkala ia hadir di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang dapat membuka amplop itu, kecuali dirinya sendiri. Para orang tua diminta agar mereka mendidik anak itu sedemikian rupa, agar di masa depannya, ia akan dimampukan untuk membuka amplop tersebut. Di dalam amplop itu, ada tertulis rencana Allah bagi masa depannya.
Musa menyampaikan firman Tuhan kepada bangsa Israel, agar setiap orang tua mempergunakan segala kesempatan untuk mengajarkan firman Tuhan yang telah mereka terima kepada anak-anaknya. Kita pun menerima firman itu melalui Gereja-Nya yang kudus. Pola persekutuan seperti ini harus diciptakan alagi dunia sekarang sudah sangat individualis. Bahkan orang sekarang ini telah memisahkan dirinya bahkan dengan anaknya sendiri. Strutur keluarga sekarang sudah sangat berbeda dengan para pendahulu kita. Anak adalah bagian tak terpisahkan dari dalam kehidupan orang tua. Itu dulu. Sekarang anak adalah bagian dari persekutuan keluarga yang diikat oleh norma yang sangat rapuh. Ikatan itu mungkin hanya dalam konteks hukum atau norma dalam masyarakat. Tatkala kepentingan pribadi sangat mendesak, kepentingan anak mendapatkan porsi yang paling akhir dalam hal mengambil keputusan.
Untuk menangkal semua hal-hal yang negatif produk dari zaman ini, kita sangat memutuhkan sebuah wadah untuk membina keutuhan keluarga. Orang dapat mengasah dan diasah dalam wadah itu. Semoga HKBP dapat melihat kebutuhan warganya dalam hal pembinaan terhadap keluarga-keluarga muda yang sekarang sedang mengalami pertempuran dahsyat dengan 'roh zaman' ini. Jika mereka kalah dalam pertempuran itu, maka masa depan Gereja pun tidak dapat dibayangkan. Sebab, anak-anak mereka inilah yang akan menentukan masa depan Gereja HKBP. Marilah kita merintis jalan yang akan mereka tempuh dengan selamat dan dalam damai sejahtera Tuhan.
(Penulis adalah St. Hotman Ch. Siahaan, tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi Juli 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar