“Ketika seluruh orang Israel mendengar keputusan hukum yang diberikan raja, maka takutlah mereka kepada raja, sebab mereka melihat, bahwa hikmat dari pada Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan.”
(1 Raja 3:8)
(1 Raja 3:8)
Bahwa kita perlu beriman tidak ada yang ragu-ragu! Tapi, apakah kita butuh hikmat? Ini bisa diwacanakan. Kita tidak perlu wacana. Yang kita butuhkan adalah ketegasan. Yang pasti: kita juga butuh hikmat! Yesus juga menganjurkan dalam Matius 10:16, tapi dalam Alkitab terjemahan LAI diterjemahkan dengan kata ‘cerdik’ dari akar kata yang sama dengan ‘bijak’ atau ‘berhikmat’ yaitu kata: phronimoi. Senada dengan itu dalam nas sejajar juga ada seruan Tuhan untuk ‘berhati-hati’ (Markus 13:13) dan ‘waspada’ (Lukas 12:1) semuanya dalam konteks masa kritis dari perwujudan Kerajaan Allah.
Dalam konteks itu, ambil bagian dalam Kerajaan Allah tidak berarti menjalani kehidupan dengan tenang-tenang saja. Hidup akan selalu mulus, tidak akan ada tantangan yang berarti, kita boleh nyenyak tidur dan lahap makan…bukan itu jenis kehidupan yang sedang kita jalani. Sebaliknya, hidup menyambut Kerajaan Allah, apa lagi sampai ikut dipakai Tuhan untuk meluaskan Kerajaan Allah, tentunya akan berhadapan dengan tantangan-tantangan yang tidak mudah. Tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil untuk dihadapi oleh karena kekuatan dari orang percaya adalah Allah yang berkenan melayakkan kita (yang sebelumnya tidak layak!). Justru di sini kita butuh hikmat, yaitu ketika kita mewujudkan kehidupan yang mendapat dukungan dan penyertaan Allah.
Apakah yang Dimaksud dengan Hikmat?
Salomo merupakan ikon hikmat dalam dunia Perjanjian Lama bahkan Alkitab secara keseluruhan. Yesus juga ada menyinggung hikmat Salomo yang amat kesohor itu. Bukanlah tanpa alasan kalau kata hikmat melekat pada namanya. Oleh hikmat, Salomo dapat memimpin umatnya dengan penuh ketentraman. Ia dikenal tidak hanya oleh kalangan umat tapi juga sampai keluar kerajaannya.
Satu contoh hikmat Salomo yang sangat spektakuler adalah ketika ia mengadili dua orang ibu yang berebut anak yang hidup. Direnungkan dari pojok awam, cara Salomo dalam mengambil keputusan amat mengesankan. Perintahnya untuk memenggal kedua anak yang hidup ternyata menimbulkan dua reaksi yang berbeda dari kedua ibu. Ternyata reaksi itu menentukan siapa ibu yang sesungguhnya.
Tapi hikmat tidak hanya terbatas kepada kearifan dalam menimbang sebuah perkara atau dalam mengambil keputusan. Hikmat pada masa Raja itu juga mencakup ketrampilannya dalam membuahkan karya seni berupa tiga ribu amsal, seribu lebih nyanyian, sajak tentang pohon, percakapan hewan (1 Raja 4:32) dan teka-teki (1 Raja 10:1-2).
Dibandingkan dengan dunia Timur Dekat kuno, pada jaman itu, ternyata ‘Hikmat’ telah menjadi sebuah istilah teknis untuk aneka pengetahuan yang berguna bagi manusia. Sebagai pengetahuan yang berguna bagi manusia, hikmat ini telah melembaga. Ada bahan ajar yang diturun-alihkan (lisan maupun tulisan), ada guru dan murid, ada tempat-tempat pengajaran (semula di lingkungan istana tapi kemudian juga di tempat-tempat yang resmi dan ditujukan bagi masyarakat secara umum baik untuk menjadi calon pekerja di istana maupun bagi yang mau bekerja bagi tuan-tuan tanah). Memang ada juga hikmat rakyat yang pemakaiannya untuk tujuan hiburan (bandingkan nyanyian rakyat, berbalas pantun, pesta orang muda, pesta panen, dll). Dengan singkat, hikmat pada masa itu dapat kita sebut sebagai lembaga pengajaran masyarakat kuno yang utamanya ditujukan bagi kalangan istana dan bangsawan. Tapi ada pula hikmat yang berkembang di kalangan rakyat baik yang mengandung nasihat maupun yang sifatnya hiburan.
Di tengah-tengah interaksi semacam itu, bukan tidak mungkin pengajaran agama di lingkungan penganut Yahwisme (agama Perjanjian Lama) juga ada mengikuti tatacara pengajaran sebagaimana dikenal di dunia masyarakat secara umum. Demikianlah selanjutnya kita dapat melihat di dalam kitab Amsal aneka contoh hikmat (lihat Amsal 1:1-6). Ada hikmat yang memberi tuntunan bagi orang muda agar dalam kehidupannya berhasil. Ada yang mengandung nasihat agar tegas melawan kebodohan: jerat dosa amoral, kemalasan, dll. Namun, hikmat Israel tetap memiliki sesuatu yang khas. Bagi umat Israel hikmat dimengerti sebagai karunia Allah. Itu sebabnya yang menjadi semboyan dari hikmat adalah: Takut akan Allah (Amsal 1:7). Pada masa ini hikmat dapat kita bandingkan dengan ilmu pengetahuan praktis (terapan) berupa tuntunan moral, tuntunan bagi orang muda yang ingin hidupnya berhasil, dan tuntunan agar menjadi bijak dalam arti tidak hanya hidup sekadar untuk mengisi perut dan mencari untung, tapi hidup yang terhormat, berkecukupan, bahkan mengalami pertolongan Tuhan oleh karena cara hidup yang sejalan dengan tuntutan hukum Tuhan.
Hukum Taurat saja Cukup?
Umat Israel sebetulnya telah memiliki Hukum Tuhan yang dikenal dengan nama Hukum Taurat Allah. Yang dimaksud dengan hukum Taurat Allah bukan hanya Dasa Titah (Dekalog Etis). Masih ada lagi yang disebut dengan Dekalog Kultis (aturan tentang penyembahan). Selain itu juga ada sejumlah ketetapan yang mengatur tata social, misalnya jika ada konflik, jika ada orang miskin, dst. Namun ternyata dibutuhkan tata kehidupan lain yang tidak diatur dalam Hukum Taurat. Ada sebuah kebutuhan yaitu pegangan hidup yang tidak diatur dalam Hukum Taurat tapi secara praktek mereka pakai. Termasuk di dalamnya pengalaman praktis yang telah mereka hidupi sebagai pelajaran hidup, baik yang mereka peroleh sebelum mengenal hukum Taurat maupun pelajaran hidup yang diperoleh ketika Hukum Taurat telah mereka terima di gunung Sinai. Seperti telah disebutkan di atas, hikmat yang dimaksud dapat meliputi pengalaman dalam pergaulan, pengalaman dalam menunaikan pekerjaan, pengalaman dalam keluarga, pengalaman dengan keluarga istana maupun dengan masyarakat secara umum. Bahkan, hikmat dapat pula berarti, pengalaman-pengalaman dalam medan kehidupan setelah Hukum Taurat mereka kenal.
Selanjutnya ada kebutuhan hikmat yang baru yaitu ketika mereka hancur sebagai kerajaan yang berdaulat pada tahun 587 sebelum Masehi. Tidak bisa tidak, kehidupan harus diteruskan. Mereka tidak bisa melupakan begitu saja masa kejayaan sebagai Monarkhi-Teokrasi. Betapapun pahitnya, mereka harus menerima. Sambil memetik makna secara konseptual, pada waktu yang sama mereka harus menjalani kehidupan praktis. Dalam kondisi seperti itu mereka membutuhkan kearifan yang baru. Dengan hancurnya bait suci dan tatanan yang telah ada, mereka dikondisikan untuk memulai sesuatu corak keberagamaan yang baru, pada waktu yang sama juga corak hikmat yang baru. Tapi tetap harus dalam kerangka Taurat yang ada. Tidak boleh melenceng dari Hukum Tuhan yang ada yaitu: Hukum Taurat! Ini pun disebut Hikmat juga! Dengan demikian kita melihat bahwa Hikmat memenuhkan apa yang masih kurang. Hukum Taurat yang diterima melalui Musa di gunung Sinai memuat sejumlah norma hidup yang meliputi aturan ibadah dan keagamaan dan tata sosial. Toh, masih dibutuhkan pegangan-pegangan hidup dalam corak yang lain semisal pelajaran dari pengalaman. Ada pelajaran yang berharga yang dapat dipetik dari orang kecerobohan orang. Hal itu sebaiknya jangan dicontoh. Ada pula pelajaran berharga dari orang-orang yang rajin. Itu sebaiknya ditiru. Bila perlu mencontoh dari hewan, nggak apa-apa!
Dulu Taurat sekarang Iman
Pada masa Perjanjian Baru, fungsi Iman tampaknya disejajarkan dengan fungsi Taurat. Sebagaimana Taurat dibutuhkan dalam kehidupan umat pilihan pada masa Perjanjian Lama, maka demikianlah pula pada masa Perjanjian Baru fungsi itu diambil alih oleh fungsi Iman. Kepatuhan terhadap Taurat akan mendatangkan keselamatan dan berkat. Itu dulu! Sekarang: hanya dengan beriman saja.keselamatan telah menjadi milik kita. Dari pojok ini kita mengatakan bahwa ada benarnya jika dikatakan bahwa norma iman amat penting dalam komunitas Perjanjian yang Baru. Namun demikian fungsi iman tidak cukup secara sempit dilihat hanya sebagai ganti melakukan Hukum Taurat.
Pertama-tama, dalam masa Perjanjian Lama juga dibutuhkan iman. Yaitu iman yang membuat Abraham menaruh harapan kepada sebuah masa depan. Begitu pula iman yang membuat keturunan Yakub menantikan sebuah masa depan di tanah yang baru. Masih juga terlihat, bagimana peran iman pada masa umat Israel ketika menghadapi banyak bahaya musuh, apalagi setelah kejatuhan Yerusalem. Jadi iman adalah sesuatu yang memang tidak dapat lekang dari umat pilihan baik pada masa Perjanjian Lama maupun masa Perjanjian Baru.
Yang membuat iman pada masa Perjanjian Baru lebih khas adalah oleh karena umat Allah telah tiba pada titik yang amat signifikan. Rencana agung Allah yang telah dicoba diberitahukan dan dinubuatkan sebelumnya kini menemui penggenapan! Apa yang dinubuatkan kita telah digenapi. Apa yang ditunggu telah tiba. Masa penyelamatan umat pilihan telah tiba. Lalu sasaran penyelamatan dalam jaman yang baru ini juga tidak dibatasi kepada sebuah etnis saja, tapi meliputi bangsa-bangsa (baca: segala bangsa!) Iman sebagai dasar yang amat menentukan dalam komunitas umat pilihan adalah prasyarat mutlak. Namun perlu pula ditegaskan bahwa iman yang dimaksud bukan sebagai penyebab dari keselamatan tapi sebagai katup pembukaan diri dari manusia untuk dimasuki oleh anugerah Tuhan. Tidak beriman berarti tidak mau membuka pintu hati bagi pengampunan maupun penyelamatan Allah yang telah Allah kerjakan di Golgata!
Seterusnya pembukaan hati itu perlu diikuti oleh keteguhan dan ketekunan. Inilah yang tampaknya sulit untuk dipertahankan pada jaman ini. Pada umumnya setiap orang terbuka kepada hal-hal yang baru. Namun apakah hal-hal yang baru itu kemudian menjadi bagian yang menetap dari kehidupannya, ini adalah pertanyaan ikutan yang harus yang harus dikumandangkan.
Kuatnya iman dalam arti tidak goyah, baik oleh penganiayaan maupun oleh godaan hidup duniawi, dst adalah kunci kebertahanan dalam Kerajaan Allah. Iman menjadi kunci kemenangan dalam menghadapi pelbagai tantangan kehidupan. Lalu dari sini kita melihat hubungannya dengan kebutuhan akan hikmat!
Beriman dan Berhikmat!
Hikmat adalah kecakapan hidup, demikian dalam Perjanjian Lama. Pada masa kini kata hikmat mungkin lebih tepat diterjemahkan dengan kecerdasan. Semula kecerdasan yang paling dikejar adalah kecerdasan intelektual. Pada masa kini telah dikembangkan bahwa selain cerdas secara intelektual, dibutuhkan pula jenis kecerdasan yang lain yaitu: kecerdasan emosional (oleh agamawan ditambah dan dirangkum dengan kecerdasan spiritual!).
Cerdas secara intelektual berarti memaksimalkan logika. Manusia memiliki kemampuan berpikir yang amat mengagumkan. Kemampuan berpikir rata-rata manusia lebih daripada yang dapat dibayangkan oleh siapapun. Orang dengan tingkat kecerdasan intelektual yang pas-pasan ternyata mampu mengingat sebuah ensiklopedi (bayangkan!). Tapi itu bisa tidak maksimal jika ia juga tidak cerdas secara emosional. Kapasitas intelektual mesti ditopang oleh keberadaan emosional yang stabil. Tidak hanya stabil, tapi menimbulkan enerji yang luar biasa. Kecerdasan emosional dapat dilihat dari semangat yang kuat tapi tidak rapuh jika berhadapan dengan tantangan. Sepertinya untuk masa kita ini, kita bisa menemukan orang-orang yang tangguh secara iman. Mereka adalah orang-orang yang tidak tergoda oleh harta duniawi. Tidak bergeming mesti diolok-olok. Tidak gonta-ganti agama dan gereja meski dianiaya. Tetap rajin sembahyang mesti rejekinya tetap pas-pasan. Tidak jatuh kepada dosa amoral (jatuh kepada perbuatan asusila) dan dosa kriminal (jatuh kepada tindak kejahatan). Mereka adalah orang-orang yang tangguh dan militant. (Bahkan rohaniwan belum tentu seperti itu!)
Namun tampaknya mereka juga butuh hikmat baru. Yaitu hikmat yang membuat mereka tidak kehilangan rasa humor. Hikmat yang membuat mereka dengan lincah menempatkan diri kepada segala situasi tanpa harus kehilangan jatidiri. Ini dia yang sulit. Bagaimana kita dapat hidup dimanapun tanpa harus larut, tapi tetap menunjukkan nilai yang berbeda.
Mungkin itu beda-beda tipis dengan permisif kepada segala nilai. Bunglon. Kepada kejahatan. Kepada penindasan, ya: asal bukan saya! Kepada pelaku kejahatan kita bilang tidak apa-apa! Kepada orang yang hidup di dalam kemunafikan kita bungkam. Mungkin ada sejumlah alasan. Mulai dari takut orangnya tersinggung. Takut nanti kita tidak ditemani. Takut nanti kita dinilai tidak setia kawan…Begitukah?
Tampaknya untuk area di sini kita betul-betul diajak mikir. Harus ada beda antara, di satu sisi: mampu menempatkan diri secara luwes dan lincah dalam menerapkan norma-norma hidup beriman dengan di sisi yang lain: tidak punya sikap terhadap nilai-nilai yang ada seolah-oleh segala sesuatu adalah boleh! Itulah hikmat: kita tahu apa yang patut yang tidak. Kita tahu apa yang harus dilakukan pada saat yang tepat! Berarti hikmat yang benar butuh penerangan Allah, tapi juga dibarengi oleh tekad untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah pada segala keadaan. Di manapun dan kapanpun, taat dan hormat pada Allah serta kasih terhadap sesama!
(Penulis adalah Pdt. Maurixon Silitonga, M.Th., tulisan ini dimuat dalam Buletin Narhasem Edisi April 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar